webnovel

Perkenalan

Sepekan kemudian, sore hari, kulihatlah dari kejauhan ayah dan abangku mengarak lembu-lembu yang akan ditempatkan di kandang baru yang telah disiapkan ayah. Memang dari kemarin sore hingga tadi malam aku mendengar mereka membicarakan lembu. Mengajak abang-abangku ikut ke kota untuk mengarak lembu ke kampung Alur Langsat.

Lebih empat jam perjalan sudah ditempuh ayah, abangku dan lembu-lembu itu dari kota, dari desa dekat pasar Pajak Pagi di kota sana, karena memang pemilik atau Tokeh/Tauke alamatnya di sana. Tak jauh dari Pajak Pagi. Kata ayah, lembu ini akan kami pelihara sesanggup dan semampu mungkin, dan kesepakatan antara ayah dan tokeh adalah: bila ada dua induk melahirkan, maka dibagi dua. Satu anaknya untuk kami dan satunya lagi untuk tokeh. Tokeh cara orang Kuta Cane menyebut tauke atau bos atau pemilik lembu.

Sore itu tokeh juga ikut mengantarkan lembunya ke kampung kami Alur Langsat, tapi dia naik mobil Kodiselnya. Tokeh orang yang lumanyan kaya, dia punya toko kelontong dan punya banyak lembu yang ia peliharakan ke orang lain, keluarga kami salah satunya. Bukan hanya keluarga kami yang punya renacana demikian, orang lain di kampung lain juga ada, bahkan Pak Lungku, adik ayahku juga begitu.

Sore itu abangku-abangku dan aku diperkenalkan dengan lembu-lembu kami. Cara kenalannya hanyalah mudah, aku disuruh mendekati dan memberi lembu-lembu itu dengan garam di tanganku, hingga tak heran semua lembu mengelilingiku dan menjilat-jilat tanganku. Ayahku dan dikuti oleh tokeh menyebutkan nama-nama kami pada lembu, hingga sampai pada namaku; ini namanya Daud, yang akan memelihara kalian. Begitu kata ayah dan tokeh, belakang hari kutahu ternyata lembu juga bisa diajak bicara, eh lebih tepatnya lembu jugalah mengerti maksud penjaganya.

Karena aku masih kecil dan belum masuk SD, jadilah yang mengangon abang-abangku saja. Abangku yang nomor dua dan yang nomor tiga. Yang paling besar dia tidak mau, katanya dia malu. Terlebih dia akan menikah. Ayah dan ibu membersihkan kandang. Kadang-kadang abangku yang paling besar juga gantian, lagi-lagi kadang dan terkadang, jarang sekali. Yang gantian adalah abangku yang nomor dua dan yang nomor tiga.

Bang ngah dan bang ayang istilah yang digunakan di daerah kami, Kuta Cane. Abangku Piyah, dia mulai mengangon sejak ia duduk di kelas empat SD, dan aku sudah kelas satu SD pada tahun 2001. Aku laki-laki paling kecil, tapi bukan aku yang paling disayang ayah ataupun ibu. Adik-adaikku tiga perempuan dan satu kakak perempuan, tiga abang-abang. Kami ada delapan orang.

Masa kecilku bermain di kampung halaman hanya sampai kelas tiga SD, kelas tiga aku tinggal kelas, sehinggu aku ngulang lagi di tahun berikutnya. Dan memang kalau dihitung umur sudahlah cukup untuk mengangon lembu dengan abangku yang nomor tiga, namannya, Piyah. Adapun abangku yang nomor dua dia sudah tidak mau lagi ngangon lantaran dia sudah pandai pacaran, dia sudah malu dan katanya aku sudah bisa menjadi penerusnya.

Aku pun ikut mengangon dengan abangku nomor tiga. Nama panggilannya, Piyah. Awal diajak mengangon aku pun senang, sebab memang sejak awal datangnya lembu-lembu itu, aku sudah minta ikut mengangon. Tetapi ayah tidak membolehkan, karena aku masih kecil. Ayah takut aku hanyut di sungai karena belum bisa berenang bila nanti menyeberangi sungai Alas.

Hari pertama ikut mengangon dengan abangku, dia juga senang akhirnya ia punya teman. Sudah setahun sejak abangku yang kedua berhenti, dia selalu sendirian menggembala. Hari ini aku ikut dengannya.

"Ini namanya, Khonjang." katanya memberitahuku nama salah satu lembu padaku sambil jalan menuju tempat menggembala.

"Khonjang ini adalah bos di antara lembu yang lain, Daud. Dia ditakuti dari semua lembu kita ini, dia kuat dan pemberani. Bila ada dari kelompok lembu orang lain mengganggu salah satu lembu kita, maka Khonjang akan marah besar! Makanya jalannya juga kalau tidak di tengah-tengah lembu yang lain, dia pasti di belakang."

"Kenapa dia kau beri nama Khonjang?" tanyaku penasaran.

"Karena dia ini tinggi dan besar. Kau lihatlah badannya. Makanya Khonjang adalah cocok untuk namanya."

"Hum gitu." Sahutku berlagak mengerti. Lembu orang lain yang punya ciri-ciri yang sama juga diberi nama demikian. Mungkin sudah turun temurun dari orang-orang mengangon di daerahku bahwa peliharaan harus diberi nama. Aku mengangguk mendengarkan ia mengenalkan salah satu lembu padaku. Aku tidak memanggilnya abang, melainkan namanya, Piyah. Mungkin karena umur kami tidak begitu jauh, hanya beda empat tahun. Walaupun kami beda empat tahun, kalau tinggi dan besar dia jauh lebih besar dan tinggi, tapi aku sudah biasa memanggil namanya.

"Khonjang, ini adikku, Daud, yang akan selalu bersama kita seterusnya."

"Memangnya Khonjang mengerti dengan ucapannmu?"

"Tidak, tapi dia dengar. Kalau dia dengar bisa jadi dia mengerti."

"Maksudmu?"

"Buktinya, saat kularang dia jangan makan tanaman jagung orang di pinggir jalan dan aku pukul, dia takut dan tidak berani lagi meskipun besok harinya ia ulangi lagi."

"Hum gitu, tapi itu kan kalau dipukul. Terus ucapanmu tadi dia mengerti nggak?"

"Mengerti."

"Masak?"

"Buktinya, saat dia mau makan tanaman orang, kusebut namaya dan melarangnya kemudian ia tidak jadi makan, padahal tidak aku pukul."

"Oh gitu." Aku langsung menerima ucapannya dan kusimpan baik-baik. Meskipun aku belum yakin.

"Nah yang ini, namanya Induk, karena dialah yang paling tua di antara lembu kita yang lain, Daud."

"Kalau yang itu!?" tanyaku sambil menunjuk ke depan, pada salah satu lembu kami yang sudah jalan sambil lari jauh ke depan, meninggalkan kelompoknya.

"Yang itu namanya Cimun. Dia memang sedikit nakal. Dia sengaja lari jauh ke depan kemudian singgah dan mencomot tanaman di pinggir jalan. Sekarang kau kejarlah dia, amankan! Jangan kasih dia makan jagung orang, Daud!" Aku pun lari dan mengejar Cimun, kularang ia, kutakuti dengan batang pohon sebesar ibu jariku. Setelah ia gabung dengan kelompoknya, Piyah pun melanjutkan bicaranya. Tampak senang ia kulihat hari ini, karena akhirnya adiknya, aku, bergabung juga dengannya. Sudah cukup lama ia sendirian, tidak punya teman cerita sambil berjalan menuju tempat menggembala yang lumayan jauh.

"Cimun itu memang suka begitu, Daud. Kalau aku lari mengejarnya, kelompok yang sedang bersatu ini akan berpencar juga. Semuanya menyamping dan mencomot tanaman orang lain. Jadi kadang aku biarkan saja Cimun lari sepuasnya daripada yang banyak ini bubar barisan. Aku sudah lelah mengejar Cimun," Aku mengerti dengan susah payahnya selama ini sendirian mengawasi lembu kami yang lebih dua puluhan ekor, menjaga mereka sepanjang perjalanan agar tidak makan tanaman orang.

Kelompok yang berjalan rapi ini pun terkadang suka bubar saat ada kesempatan. Seperti jika ada mobil yang lewat, maka semua lembu akan minggir dan saat itulah kesempatan terbaik mereka memakan jagung, daun ubi, padi, dan tanaman lain yang di pinggir jalan raya. Lima menit sekali pula mobil lewat. Tentu lembu-lembu kami senang. Kalau motor yang lewat mereka kurang senyum, sebab motor hanya kecil, tidak menggeser mereka, masih ada setengah jalan lagi yang kosong. Tetapi Piyah tidak segan-segan memarahi dan memukul kasar pada lembu yang nakal seperti Cimun dan Khonjang. Meskipun ada yang baik seperti Induk, Piyah jarang sekali memukulnya karena dialah paling baik di antara semu lembu lainnya.

Mungkin karena dia tau diri bahwa dia paling tua, atau selera mencuri hak manusia tanpa izin sudah tidak zamannya lagi. Tapi kalau Piyah lagi lalai saja, Induk juga ikutan. Oh teryata dia juga mau kalau lagi ada kesempatan.

"Satu lagi alasan kenapa namanya Cimun? Karena dia suka loncat pagar Daud. Cobalah kau lihat kandang Sekhap," kandang sekhap adalah kandang kedua.

"Pagar bambunya pada patah, itu si Cimun yang punya ulah," lanjut Piyah menjelaskan. Cimun adalah bahasa daerah Kuta Cane yang artinya mentimun. Mungkin hanya di Alur Langsat ada nama lembu yang diambil dari nama buahan.

"Mentimun kan gitu, kalau ada pohon, kayu, bambu, dinding rumah, dan gubuk di dekatnya pasti ia menjalar naik ke atas meskipun tidak dengan melocat. Mentimun suka menaiki yang tinggi. Begtiulah Cimun itu, Daud, dia suka melompati pagar walaupun pagar itu tinggi. Bahkan kalau Cimun kabur dari kandangnya, Daud, dia tidak ketahun. Sebab tidak ada pagar yang rusak, itulah betapa pandai dan tingginya ia melompat, Daud!" Yang Piyah ceritakan betul. Karena memang aku tidak jarang disuruh ayah mencari Cimun yang telah kabur dari kandang Sekhap, dan ternyata dia sembunyi dan kudapati sedang makan daun-daun jagung.

Satu jam perjalanan, kami pun sampai di tempat menggembala.