webnovel

Dayah Perbatasaan Darul Amin 2

Becak bambkhu berhenti di samping gedung. Kubaca tulisan yang tertempel di dindingnya: SMKS Darul Amin. Mesin becak dimatikan, aku dan bambkhu pun turun.

Ayah-ibuku, kulihat mereka naik motor lagi ke arah gerbang lalu belok ke kanan, tidak keluar gerbang. Kata ayah mau ke rumah pimpinan untuk mendaftarkanku. Hum, sekarang kutahu, ternyata bangunan tunggal sebelah kiri gerbang saat masuk di pinggir pagar tadi adalah rumah pimpinan.

Aku dan bambkhu menunggu ayah-ibuku di samping gedung SMK. Lima menit kemudian, kulihat beberapa santriwati. Satu di antara mereka datang mendekat ke kami, wajahnya begitu cantik, kulitn pipinya putih, imut dan chubby. Kemudian ia mulai menyapa,

"Cari siapa, Pak?" tanya santriwati itu.

"Ini mau daftarkan anak masuk pesantren." jawab bambkhu-ku.

"Kau anak mana?" tanya bambkhu.

"Aku anak Titimas, Pak."

"Edih, anak Titimas kin kau? De ise gelakhmu?" Lah, kamu anak Titimas? Siapa namamu?

"Gelakhku, Wan, Pak." sahutnya. Namaku Wulan.

"Go kelas pige kau?" tanya bambkhu lagi. Udah kelas berapa.

"Kelas due SMK." sahutnya. Dia mendatangi kami dengan maksud memberitahukan kepada kami bahwa ini adalah lokasi asrama putri. Tak lama bamkbhu mengobrol dengan santriwati itu, Wulan pun mohon diri. Dialah santri wati yang pertama kali kutahu namanya. Belakang hari kutahu istilah memanggnya harus ditambah kata, Ukhti sebelum namanya. Dia juga suku Alas, sama-sama anak Engkeran. Tak lama kemudian, kulihat ayah dan ibuku datang, dan diikuti seorang ustadz berbadan berisi namun tak sepenuhnya gendut, beliau naik motor cat merah dan putih. Begitu ayah mendekat,

"Salami tengkumu, side no me pimpinen ni pesantren nde." kata ayahku. Salami ustadzmu, beliaulah pimpinan di pesantren ini. Barulah kutahu beliau adalah bapak pimpinan, buya.

"Ise gelakhmu?" tanya beliau pakai suku Alas, ternyata beliau juga orang Alas.

"Daud, Ustadz." jawabku segan sedikit menunduk dan senyum. Beliau pun menelepon. Kudengar dalam percakapan beliau dengan seorang ustadz, memberi perintah pada ustadz lain agar mengantar kami ke asrama putra.

"Timai jak akhi khoh ustadz pengasuhen ngarahken kendin me asrama nu, Pak." kata beliau, lalu beliau pun mohon diri.

"We, Tengku." sahut ayahku santun. Ya Tengku. Ayahku tidak pernah memanggil seorang ustadz dengan kata ustadz, selalu dengan kata 'Tengku' seperti kebiasaan orang Aceh lainnya. Sewaktu menunggu ustadz datang, ayah pun memberitahu bambkhu bahwa biaya uang pendaftaran, uang bangunan, dan uang spp tidaklah begitu mahal, ayahku langsung melunasi uang spp untuk tiga bulan.

Perbulannya hanya bayar 130 ribu, sebab kata ayah ke buya, kami bawa kompor. Itu artinya aku masak sendiri, bukan dapur umum. Ayahku tidak mampu membiayaiku untuk dapur umum, sebab bukan hanya aku yang masuk pesantren, abangku yang nomor tiga jugalah masuk pesantren di Samalanga Kab. Bireun, sudah lebih dua tahun ia di sana. Tiap bulan ayahku mengiriminya 500 ribu rupiah, dan bedanya dia dapur umum dan aku masak sendiri, jika duanya dapur umum, akan terlalu memberatkan ayahku.

Aku pun tidak mempermasalahkan hal itu, syukur aku sudah dimasukkannya ke pesantren, sebab memang ini murni kemauanku, bukan paksaan kedua orang tuaku. Tidak lama menunggu, datanglah dua orang yang kulihat duduk di bangunan paling pinggir sebelah kanan tadi. Beliau mendekat ke kami, menyalami ayah dan bambkhu, dan aku menyalami beliau-beliau yang berdiri dekat bambkhu.

"Kenalkan saya, Ustadz Husni, selaku pengasuhan santri." jelas beliau. Ayah, ibuku dan bambkhu mengangguk mengerti.

"Siapa namamu?" tanya ustadz Husni padaku.

"Daud, Ustadz." sahutku sedikit takut. Oh ternyata yang berbadan kekar yang sekarang berdiri di depanku ini bukanlah tentara yang sedang dapat giliran piket, melainkan seorang ustadz. Beliau tinggi betul! Badannya tegap berisi! Lengannya besar pula! Kalau beliah menumbukku saat aku ada salah, saat aku nakal dan melanggar disiplin, sudah pasti aku pingsan! Aku menakuti diriku sendiri dengan berandai-andai aku bersalah, dan aku benar-benar takut melakukan kesalahan, aku mau nurut segala aturan pondok ini. Kemudian kami diarahkan ke asrama putra.

Bambkhu menyalakan mesin becaknya, lalu melewati lapangan dan mengarah ke bangunan yang tadi kulihat dua orang ustadz duduk. Lokasi ini benar-benar mirip kompi tentara! Dan tibalah aku di lokasi asrama putra!

Di sebelah kanan, berdiri bangunan papan yang adalah pabrik kayu yang sedang bersuara bising bekerja. Rumput-rumput lapangan setinggi lutut, jika aku rebahan di sisi kanan lapangan ini, kuyakin mereka yang di duduk di teras masjid sana tidak akan melihatku. Beberapa santri main volly.

Asrama hanya dua bangunan. Di sebelah kanan, di samping pabrik kayu atau panglong adalah perpustakaan, dan dua gedung sekolah. Setelah pabrik kayu, dan sebelah kiri atau yang sedang kulihat di sisi kiri-kanan masjid adalah dua bangunan untuk asrama.

Aku diarahkan ustadz Husni di bangunan asrama yang sebelah kiri kalau dilihat dari depan masjid. Alasan kenapa aku di asrama sisi kiri, sebab hanya tinggal asrama sebelah kiri lagi ada kamar yang kosong. Asramanya dua sisi. Sisi depan dan belakang, di tengah-tengah dibatasi dengan setengah beton dan setengah papan. Aku bagian sisi kamar depan.

"Joni Iskandar, ini teman barumu satu kamar. Kenalan lah kalian dulu." kata ustadz Husni pada salah seorang santri. Kami pun kenalan, katanya dia berasal dari Ngkeran juga, nama desanya Kuta Batu Satu, aku tahu persis itu di mana sebab tiap kali mau ke kota aku selalu melewati desanya.

Joni pun bergegas, membereskan barang-barangnya, mengosongkan sebagian tempat untuk barang-barangku. Lalu dia pun menyapu. Kenapa aku tinggal dengan Joni? Sebab dia jugalah masak sendiri dan tinggal sendiri. Yang lain juga kebanyakan masak sendiri namun tinggal berdua dalam satu kamar.

Di Pesantren Terpadu Darul Amin boleh masak sendiri bagi yang tidak mampu dan boleh juga dapur umum bagi yang mampu. Bambkhu menurunkan barang-barangku. Aku pun memasukkan semua barangku ke dalam kamar.

Sementara ayah dan ibuku pergi ke luar, katanya mau beli nasi bungkus untuk makan malamku nanti, sebab aku belum tau cara memasak, di rumah aku tidak pernah masak lauk, hanya tau masak nasi saja. Waktu SD dulu ayahku mengajariku cara masak nasi agar tidak mentah dan lembek. Cuci beras minimal tiga kali. Ukur airnya dengan mencelupkan jari telunjuk kanan, jari harus tenggelam dua inci di atas beras, apinya jangan terlalu kecil dan jangan pula terlalu besar. Ayah mengajariku masak beras saat ibuku tidak di rumah, sedang berkunjung ke rumah paman di Ngkeran Lawe Kongkekh.

Aku menyusun semua barang milikku di kamar Joni yang juga sudah resmi jadi kamarku. Pertama kali aku meletakkan tempat yang pas untuk petiku yang dua petak, satunya tempat beras, ikan tri, piring dan sebagainya. Satu petaknya lagi tempat baju-bajuku yang tak lebih lima belas lembar. Lalu kuletakkan kompor, ember kemudian menyusun tempat tidur. Aku menyusun tikar buatan ibuku di atas ranjang. Aku dan Joni satu ranjang, dia memakai kasur tipis, sementara aku memasang dua tikar buatan ibuku, keterampilan yang patut aku banggakan dari ibuku. Semua tikar di rumah kami adalah buatan ibuku, tidak pernah membeli tikar yang bahannya dari batang bengkuang itu.

Ayahku tidak membelikan kasur, ayah tak punya duit. Ibuku pandai betul menganyam tikar dari daun bengkuang, dua lembar hasil anyamannya dia berikan untuk alas tidurku di pesantren.

Dua lembar lagi masih tinggal di Istiqomah. Bambkhu duduk di atas becaknya sembari merokok, matahari hampir terbenam. Kulihat beberapa santri masuk dari luar pagar di belakang pabrik kayu. Kata Joni Iskandar, santri putra mandinya di luar pagar di sumur bawah sana. Setelah semuanya beres, tersusun rapi, ayah dan ibuku pun datang. Mereka melihat ke kamarku, sudah rapi. Kemudian ibuku memberikan dua nasi bungkus, satu bungkusnya ibumneyuruhku berbagi dengan teman kamarku. Kemudian ayah, ibuku dan bambkhu pun pamit.

"De balik be kami na. Go bon wakhi no. Nahan sebulan akhi khoh aku ngantatken bekhasmu. Khajin belajakh." kata ayahku. Jadi kami pulang dulu, ya. Hari sudah sore. Nanti sebulan lagi aku datang megantarkan berasmu. Belajar yang rajin. Kata ayah menasihati dan memulai mohon pamit pulang.

"Khajin belajakh na, Nakku. Ulang nakal, mejile mekhimbang. Khajin ngulang pelajakhenmu." nasihat ibuku. Belajar yang rajin ya anakku. Jangan nakal, bertemanlah dengan baik. Rajin mengulang pelajaranmu.

Setelah kusalami dengan salam cium semuanya, mereka pun pergi meninggalkanku. Aku sedih? Tidak, aku menatap dengan tersenyum saat mereka pergi. Sudah tak ada lagi kesedihan di hatiku untuk tinggal di kampung baruku ini.

Hari sudah benar-benar sore. Adzan magrib akan segera berkumandang. Joni pun mengajakku ke masjid. Setelah shalat magrib berjamaah, pimpinan pun berdiri di depan. Tirai putri dinaikkan.

Beliau memperkenalkanku pada semua santri putra dan putri yang tak sampai 200 orang. Buya tidak menyuruhku berdiri di depan, beliau hanya memperkenalkan namaku, asalku dan aku duduk di kelas satu SMP, selamat bergaul. Hanya itu, tidak lebih. Keluar dari masjid, semua santri balik ke asrama dan masuk ke kamar masing-masing. Aku dan Joni makan dengan nasi bungkus yang tadi sore dibelikan ayah. Sembari makan, Joni bicara sesekali.

"Yang tadi itu, Ustadz Muckhtar, tapi kami biasa menamai singkatan nama beliau, yaitu ustadz MT." jelasnya padaku.

"Oh." sahutku mengerti. Malam setelah shalat isya, aku diajak oleh Joni keliling kamar barisan depan dan belakang, kenalan satu persatu.

"Woi ada anak baru ni!" Yang mendengar di kamar sebelah pun datang mendekat, kenalan, bertukar cerita. Kemudian pindah ke gedung satunya. Aku singgah paling lama di salah satu kamar, mulai kenalan lagi dan bercerita tentang sekolahku sampai waktu tidur tiba. Dan jumpalah aku dengan Edisyah anak Lawe Tungkal.

Dia bertanya padaku bagaimana aku tahu pesantren ini. Kujelaskan padanya bahwa ayahku tahu dari ayahnya. Edisyah orangnya tambun, edikit jerawatan, kalau dilihat dari wajahnya, kuyakin dia orang baik. Dia sudah kelas 3 SMP.

Teman-teman yang juga kelas satu smp duduk di sekitarku dan menanyakan banyak hal. Aku berasal dari mana, pindahan dari mana, pondok mana, kenapa pindah, bagaimana bisa tahu Darul Amin, siapa yang dikenal di sini, ada kakak perempuannya tidak di sini dan sebagainya. Dan datanglah seorang senior, rambut belah dua, badannya tidak kurus, putih, lumayan ganteng, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek, bergabunglah ia dengan kami.

"Orang mana, Nggi?" tanyanya. Pakai kata "nggi" sudah pasti dia ini orang Alas pikirku.

"Ngkeran Alur Langsat, Akh." kalimat, "Akh" sudah dikasih tahu Joni di saat makan tadi, begitu cara memanggil senior di pesantren ini.

"Kamu suku Alas?"

"Ya, Akh.. Kalau, Akh orang mana dan suku apa?" aku balik nanya.

"Orang Medan." sahutnya senyum.

"Tapi, Akh bisa bahasa Alas?"

"Bisa dikit-dikit, Nggi." jelasnya. Semua di ruangan itu selain aku tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut, ada yang setengah batuk dan ada juga yang bilang, "Akh Sunek!" Sedangkan aku hanya tersenyum dan maklum bahwa dia bercanda denganku.

Malam pertama di pesantren Darul Amin, aku sudah lumayan tahu banyak nama teman-teman yang seangkatanku dan yang suku Alas. Lalu waktu tidur pun tiba, ustadz Hasyimi dan Ustadz Husni keliling asrama, semuanya balik ke kamar masing-masing.

Malam pertama di pesantren, aku begitu bahagia, merasa ini adalah kampung baruku yang indah. Aku berjanji aku akan betah di sini, tidak akan pulang ke kampung kalau tidak disuruh pulang, tidak akan mengeluh, akan nurut atas semua peraturan pesantren, tidak melanggar disiplin, tidak akan pindah sekolah lagi, aku yakin pilihan ayahku kali ini paling tepat untukku, dan yang terpenting adalah nasihat ayah-ibuku: belajar yang rajin!

Aku diantarkan ayah-ibuku masuk pesantren Terpadu Darul Amin di bulan Januari 2008, yang ketika itu sebagai pimpinan adalah al-Marhum al-Mukarram al-Ustadz Muckhtar. (Untuk beliau, al-Fatihah).

Tidak lama kemudian, kira-kira setelah dua bulan lamanya aku di Darul Amin, pimpimanan baru Darul Amin dilantik. Dan datanglah guru-guru kami yang terhormat dari Pondok Modern Gontor. Sejak saat itu dan hingga hari ini Darul Amin makin maju dan berkembang dan akan terus menerus mendidik anak-anak Indonesia yang: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas. Dibawah kepemimpinan ayahanda kami, al-Mukarram, al-Ustadz Drs. H. Muckhlisin Desky, M.M. Semoga Allah senantiasa menjaga buya, tercurahi rahmat dan nikmat dari-Nya, Allah panjangkan umur buya, sehat bahagia, semoga Dia Yang Maha Pemberi berkah memberkahi setiap langkah buya. Allahu Aamiin.

Tidak lama setelah beliau dilantik menjadi pimpinan, didatangkanlah guru-guru kami lainnya yang terhormat dari berbagai daerah. Beliau-beliau adalah alumni Pondok Modern Gontor, satu almamter dengan buya. Dan sistem pendidikan Kuliyatul Mu'alimin al-Islamiyah (KMI) pun mulai diterapkan perlahan.

Selepas shalat magrib di masjid Darul Amin (2008) berdirilah secara bergantian guru-guru kami di depan seluruh santri untuk memperkenalkan diri kepada kami setelah beberapa hari di Darul Amin. Beliau-beliau adalah: Ustadzuna Noor Arif asal Karawang dan istri beliau Ustadzatuna Laila Fajriah asal Aceh, bagian pengasuhan dan bendahara. Ustadzuna M. Anggung, asli Bekasi, bagian bahasa.

Aku ingat betul bagaimana beliau memperkenalkan diri, "Saya Muhammad Anggung. Bukan Agung, bukan Anggun, tapi di tengah-tengah: Anggung." jelas beliau. Lalu Ustadzuna Taufiq Lubis, asal Medan bagian pramuka. Belum lama beliau di Darul Amin, langsung membawa kontingen Darul Amin ikut andil LP3K di Lheokseumawe antar pondok Modern tingkat provinsi.

Ustadzuna Uri Khatansyah asal Bangka Belitung, paling jauh, bagian Tapak Suci (pencak silat). Pertama dan terakhir kalinya beliau bawa santri Darul Amin ke Pesantren Misbahul Ulum Lhoksukun untuk fighting. Aku juga ikut sebagai peserta lomba. Lawanku sudah kelas pelatih sementara aku baru latihan sebulan waktu itu. Namun karena berat badannya sama denganku, akhirnya bertarung juga. Tentu saja aku kalah, untung aja aku tidak babak belur. Pukulanku tidak lebih tiga kali masuk. Sedangkan ia berkali-kali bahkan aku kena tekel pakai gaya balik badan itu, memutar ke belakang dan kaki kanan main di bawah, harus cepat melakukan gerakan itu agar lawan bisa tumbang. Aku pun bisa jurus itu, tapi tak sekali pun bisa aku praktikkan saat bertanding padahal sewaktu latihan tak jarang aku pakai.

Beliau-beliaulah pengajar dan perintis pertama sistem Gontor di Darul Amin.

Luar biasa perjuangan beliau datang dari daerah yang jauh ke sebuah perkampungan di Lawe Pakam. Tanoh Alas nama desa itu. Di sana ada pondok bernam Darul Amin yang bisa diibaratkan hidup 'segan mati tak mau' masih gelap-gelap, lampu yang hidup bisa dihitung pakai jari, pojok-pojoknya angker, semak-semak, pohon-pohon tinggi melebihi gedung, hampir tidak berani lewat sendirian di malam hari di jalan utamanya, belum rapi, belum bersih, peserta didiknya sebagian menetap dan sebagiannya pulang pergi, sebagian dapur umum, sebagian lagi masak sendiri.

Hal yang terasa cepat sekali diubah oleh guru-guru kami dari Gontor ialah pemerataan. Orang tua kami diundang untuk silaturahmi bersama bapak pimpinan, ada hal penting yang ingin disampaikan buya. Dua di antara poin penting dalam silaturahmi bersama wali santri itu ialah tidak boleh lagi ada santri yang masak sendiri, semuanya harus dapur umum. Sebelum keputusan itu direalisasikan aku sempat masak sendiri kurang lebih dua bulan. Dan tidak boleh lagi ada yang pulang pergi, semuanya masuk asrama. Yang sedang sudah terlanjur, membiarkan mereka hingga tamat terlebih dulu.

Bulan berikutnya ayahku datang ke Darul Amin membayarkan uang dapur umum dan membawa kompor dan peti tempat pakaianku ke rumah.

Bagaimana kesan pertama santri Darul Amin ketika guru-guru baru kami datang? Kaget! Tapi juga senang. Walaupun ada beberapa santri yang tidak suka karena diwajibkan dapur umum, tetapi di kemudian hari baru ia sadar betapa rapinya rencana Darul Amin ke depan dengan jadwal-jadwalnya yang mulai terisi dan padat. Kalaulah harus memasak lagi, betul-betul tak sempat makan, sebab lonceng mulai berbunyi secara terstruktur dengan jam, menit dan detik ke berapa. Kalau telat siap-siap angkat paha. Klepak! Merah-biru bekasnya.

Sebelum guru-guru kami dari Gontor datang, lonceng telah bunyi kami masih menggoreng ikan teri di asrama. Tapi kini tidak bisa lagi, lonceng berbunyi harus bergegas, lari! Lonceng kami milik pemerintah, besi panjang berdiri layaknya batang pohon yang tinggi. Ada yang berwarna coklat dan ada yang tidak berwarna, berakar memanjang melintang di atasnya, terhubung ke rumah-rumah, tentu saja banyak anda temui di tepi-tepi jalan. Beberapa kembaran lonceng itu berdiri tegak di dekat gedung kelas kami. Itulah yang dipukul oleh Ustadzana Uri. Dari Darul Amin terdengar hingga ke bukit Islamic Center sana bahkan Kampung Bakti.

Bagaiman kami tidak kagum dan bangga dengan guru-guru kami waktu itu? Mereka begitu serius, begitu rajin, begitu tepat waktu, begitu kompak, padahal jumlah mereka sedikit, semangatnya berbukit-bukit!

Satu-satunya guru Gontor kami yang berkeluarga ialah Ustadzuna Noor Arif, Adapun buya kami masih akan menikah waktu itu. Selebihnya masih lajang. Semangat juang mereka begitu mantap! Nurut dan hormat mereka ke buya tak diragukan lagi, satu visi dan misi merintis dan memajukan Darul Amin.

Kami selaku santri benar-benar terayomi, terawasi selama 24 jam. Siang dan malam kami dibalut disiplin Pondok Modern, hingga-hingga bertanya dalam hati? Hal baru apa? Perubahan baru apa yang bakal kami terima setelah ini? Dan kami mau tidak mau harus siap! Harus setuju! Harus ikut! Meskipun sifat kekanakan kami sebagai santri kadang ingin melawan semua disiplin-disiplin itu! Maklum, remaja memang begitu, hanya menginginkan kesenangan jangka sekarang, bukan jangka mendatang yang masih panjang.

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris kami mulai disisipi setiap paginya dengan kosa-kata baru. Aku suka sekali moment ini. Ustadzuna Anggung sebagai bagian bahasa. Tidak banyak, dua sampai tiga kosa-kata (mufradat) saja. Hingga tak disadari kosa-kata itu makin banyak, memenuhi buku tulis kami, sehingga akhirnya kami bisa menjawab dan mengerti yang diucapkan Ustadzuna Anggung dan guru kami lainnya dalam bahasa arab dan inggris. Aku benar-benar tidak berani bicara selain dua bahasa itu.

Jangankan bahasa Alas, bahasa indonesia saja kena panggil sehabis magrib. Keluar dari kantor bagian bahasa jalan berasa pincang. Aku pernah dipukul di paha sampai tidak sanggup berdiri. Gara-gara di-Jasus oleh teman sewaktu mandi tanpa sengaja terpleset bahasa Alas, hanya bilang, "eno", kebeteluan yang masuk bahasa kemarin magrib sedang mandi di kamar mandi yang sama denganku. Udahlah, selepas magrib di hari itu, pincang lah. Menangis? Anak petani tak semanja itu, Kawan! Tak pernah pula aku melapor ke orang tuaku aku dipukul sekuat itu, kalau pun melapor, kaidah yang ayahku gunakan cuma satu: kau pasti salah makanya kau dipukul.

Pramuka kami aktif, tiap hari Sabtu selepas makan siang wajib ikut pramuka, berdiri di tanah lapang, ikut acara dan kegiatan lainnya di bawah terik matahari. Ustadz Taufiq Lubis sebagai bagian pramuka.

Disiplin kami mulai tidak bisa ditawar dengan kasih sayang, bila melanggar berturut-turut, gundul! Cukur halus. Ustadzuna Uri, melihat muka beliau saja membuat kami sengan tidak berani kita dekat-dekat dengan kalimat, 'cabut lewat pagar' Logat khas melayu orang Belitungnya kadang beliau padukan dengan logat orang Medan, "Gundul kau!"

Uang dapur umum dan spp tidak boleh telat, bila dapat kiriman atau uangnya diantar orang tua, langsung berikan ke bendahara pondok. Ustadzuna Husni sebagai bagian dapur dan keamanan santri, pemilik suara merdu, alumni Raudhatul Hasanah Paya Bundung, paling tinggi dan paling kekar se-Darul Amin. Ya meskipun banyak yang telat bayar uang bulanan, mau bagaimana lagi, rata-rata ekonomi santri Darul Amin menengah kebawah, ayah ibu kami bekerja di sawah.

Beliau-beliu ada perintis pertama sistem KMI di Darul Amin. Sebagai pejuang dan perintis pertama itu adalah orang yang luar biasa, orang pilihan, mereka layak diabadikan di dalam catatan sejarah lembaga tersebut, dan tentunya akan selalu terpahat di hati dan ingatan orang-orang yang bersamanya kala itu. Jujur, setelah jadi alumni, tak jarang ingatan masa lalu terlintas, terlebih ketika melihat foto-foto Darul Amin zaman dulu. Juga teringat lagi wajah-wajah mereka, keikhlsan mereka, kegigihan mereka, keseriusan mereka, perjuangan mereka merintis Darul Amin. Memang sudah Allah takdirkan, Allah kirimkan orang-orang baik nan ikhlas ke Darul Amin untuk mendidik santri Darul Amin yang wawasannya sama sekali belum tahu bagaimana sistem pendidikan pondok Modern Gontor.

Guru-guru kami sesering dan sesempat mungkin bercerita di akhir pelajaran tentang Gontor, baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Nilai-nilai kepondok moderenan mereka tanamkan pelan-pelan, yang, 'berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas'. Kecintaan kami akan pondok kami makin terasa, bahkan juga cinta pada pondok Modern Gontor yang padahal waktu itu kami tidak tahu ia berada di mana?

Gambar-gambarnya sering terlihat di buku guru kami yang mereka bawa sewaktu mengajar, jadi wallpaper komputer pondok kami. Gambar masjid Jami' Gontor dan menaranya itu, kalau melihatnya hari ini ingat lagi guru-guru kami dari Gontor, ingat Darul Amin dan merasa bersyukur ada alumni Gontor yang mau datang mengajar di Lawe Pakam.

Alumni Gontor, terkhusus guru-guru kami benar-benar mencontohkan suri tauladan yang baik, membawa mahabbah, ukhwah islamiyah ke Darul Amin. Kalau mereka tidak sayang ke kami, kalau mereka tidak ikhlas atau kalau kami pun tidak senang dengan sistem yang mereka bawa, tidak mungkin rasanya kami bisa bertahan di Darul Amin hingga alumni, tidak akan tertarik ingin masuk Gontor, atau sekadar berkunjung pun tidak minat.

Begitu lulus kelas tiga KMI atau tiga SMP, ketika liburan, pulang Dari Lawe Pakam ke Alur Langsat. Sehari tiba di rumah aku minta izin ke ayah ibuku agar memasukkanku ke Pondok Modern Gontor.

"Dimana itu pondoknya?" tanya emak.

"Di Jawa sana lah pokoknya, Mak. Aku pun nggak tau di mana, cuman namanya yang aku tau. Gontor nama pondoknya, Mak."

"Yuh, jauhnya pun ke Jawa. Udahlah di Darul Amin aja, usah jauh kali ke Jawa. Tak mampu rasanya kami biaya ke sana. Lagipula kau udah pernah pindah sekolah. Jangan pindah lagi, di situ aja sampai tamat. Pokok pisang kalau sering dipindah-pindahkan, bisa-bisa ia tak berbuah bahkan tak hidup." terang emak.

Terasa sesak di dada dapat tanggapan begitu dari ibu, tapi aku tidak juga memaksakan kehendakku. Aku nurut saja segimana orang tuaku saja, semampu mereka saja, aku lanjut lagi di Darul Amin.

"Kalau gitu, belikanlah lemariku, Mak."

"Ya nanti mamak kasih uang lemari."

"Ya, Mak. Di Darul Amin pun ada jual lemari. Nanti aku beli di sana aja." jelasku. Hanya itu syarat dariku untuk mau lanjut lagi di Darul Amin. Karena memang sejak kelas satu hingga kelas tiga KMI aku meggunakan lemari pondok untuk tempat pakaianku. Lemari besar dua pintu.

Bagi yang tidak punya lemari sementara boleh menggunakan lemari itu. Tapi begitu naik kelas tiga lemari-lemari besar itu tidak boleh lagi digunakan sebab akan difungsikan untuk keperluan pondok. Temanku sebelah pintunya lagi bernama Bahagia. Kenapa ia bisa jadi teman satu lemari denganku? Gara-gara pernah adu jotos di lapangan volley sehabis pulang dari kelas belajar malam. Agar tidak dendam dan segera baikan, wali kelas kami Ustadz Anggung menjadikan kami teman satu lemari berdua, tentu juga satu kamar. Karena lemari pondok telah disita, aku tidak punya lemari lagi. Akhirnya wali kelasku meminjamkan koper beliau untuk aku jadikan tempat pakaianku. Baik betul wali kelas kami itu!

Suatu hari selepas makan siang, temanku berlaqab 'jaddun' menarik-narik koper itu di depan asrama. Sebab memang seluruh santri putra hanya aku seorang yang makai koper, jadi agak lucu menurutnya. Tanpa bilang-bilang, ia dorong-dorong dan tarik-tarik koper itu di teras depan asrama.

"Ayo mudik! Ayo mudik!" ajaknya pada semua penghuni asrama sembari tawa. Aku yang baru selesai makan siang dari ruang makan dekat dapur melihatnya begitu tentu saja marah. Sebab ia belum izin.

"Bagus kau sikit, masukkan lagi balik!"

Kalaupun ia minta izin tak akan aku izinkan. Seenaknya saja membawa tempat pakaianku mondar-mandir depan asrama macam fashion show!

Setelah libur panjang aku balik lagi ke Darul Amin, naik ke kelas empat KMI. Perasaan dalam dada belum lega gara-gara tidak lanjut ke Gontor. Bahkan aku telat sehari balik pondok, mesti dintarkan dan ditemani ibu. Sebelum tiba di Lawe Pakam, aku dan ibuku mampir di Pekan Lawe Desky untuk membeli perlengkapan alat tulis dan seragam aliyah. Setelah belanja aku lanjut ke pondok, ibu balik ke rumah. Tak perlu diantar sebab sudah belanja, ibu yakin aku lurus melewati kampung Bakti, tidak mutar balik lagi. Ibu percaya padaku bahwa aku akan tiba desa Tanoh Alas, masuk lewat gerbang Darul Amin, lekas melapor ke guru bahwa telah pulang, membayarkan uang bulanan, kemudian nurut segala aturan.

Di acara agenda tahunan (Khutbatul 'Arsy) Pekan Perkenalan Santri, kumpul seluruh guru dan santri bersama pimpinan, akhirnya aku mendapatkan ucapan yang membuat hatiku lapang dan yakin untuk istiqamah lanjut di Darul Amin, ucapan itu sangat menyakinkanku, kata buya pada kami semua, "Kenapa kamu ingin ke Gontor? Gontor sendiri sudah datang kepadamu?!" Akhirnya makin mantap dan yakin lagi, bismillah, di Darul Amin hingga alumni! Karena memang bukan aku saja yang ingin lanjut ke Gontor, ada beberapa orang, mungkin kabar dari salah satu kami sampai ke buya, atau memang firasat buya, aku tak tahu.

Tahun-tahun berikutnya guru-guru kami alumni Gontor terus didatangkan buya, silih berganti. Tiap ada guru baru terasa betul ada perubahan baru. Terutama semangat mereka, terasa nyetrum ke dalam jiwa. Pengalaman-pengalaman mereka yang akan mereka ceritakan ke kami, sangat termotivasi dan terinspirasi. Apalagi bidang keahlian mereka, kami sangat penasaran tentunya. Buya memang selalu menghadirkan orang-orang pilihan, yang masing-masing guru mahir di bidangnya sendiri. Karena sebagai guru perintis, guru-guru kami saling membantu, saling dukung, satu guru bisa jadi berperan di berbagai bagian, pikiran dan tenaga yang mereka keluarkan berkali-kali lipat.

Ini hanya sebatas apa yang aku lihat dan aku rasakan di Darul Amin. Ini adalah pandanganku terhadap guru-guru kami dan Darul Amin kala itu, tentu saja ada kekurangan dalam tulisan ini.

Semoga Allah membalas jasa guru-guru kami yang telah ikhlas mendidik kami. Semoga ilmu yang mereka ajarkan kepada kami menjadi ilmu yang bermanfaat. Semoga Allah senantiasa menjaga Darul Amin dari segala fitnah dan berjaya hingga yaumul akhir. Allahumma Aamin.

Washallallahu 'ala sayyidina Muhammadin wa'ala alihi washahbihi ajma'in.

Selesai ditulis di,

Gamaliyah-Kairo, Ju'mat pagi, 13 Oktober 2023. Pukul 08:44 Waktu Kairo. Tiga bulan sebelum kembali ke tanah air (alathuul=Back For Good-BFG).