webnovel

Nama Nabi

Kata ibuku, waktu aku kecil, aku lahir pada hari sabtu pagi. Warna kulitku hitam kemerahan. Aku sama seperti anak yang lain, suka menangis dan menangis. Hanya menangislah yang aku tau. Sedikit mengkhawatirkan ibuku, tentu membuatnya gelisah. Hingga pada suatu hari aku menangis begitu keras. Suara tangisku terdengar ke rumah tetanga. Aku ditimang, aku dielus, kepalaku disapu-sapu dengan tangan ibuku.

Tetapi aku tetap menangis, semakin menjadi-jadi. Ibuku heran, tidak pernahnya aku menangis sedemikian kerasnya. Ia tempelkan tangannya pada keningku, tak ia rasakan badanku panas. Hampir ia melarikanku ke rumah sakit terdekat. Akhirnya datangalah tetangga ibuku itu, dia istri dari abang ayahku. Dia Mak Ngah-ku, katanya pada ibuku, "Coba periksa sarung tangannya." Dan benar sarung tangan karet yang berwarna merah yang aku kenakan telah mengikat ketat tangan bulatku yang tambun. Sarung tangan itu adalah milik abangku dulunya. Mungkin waktu kecilnya dia lebih kurus dibandingkan aku. Ibuku segera membuka sarung tangan yang aku kenakan. Aku menangis, ibuku pun ikut menangis. Ibu melihat kulit tanganku yang dililiti karet sarung tanganku itu hampir tembus ke tulang. Itulah yang membuatku menangis sampai berjam-jam, hingga aku pun lelah dan tertidur.

Sarung tangan itulah yang membekas di pergelangan tanganku hingga hari ini. Kedua tanganku seperti ada sebuah karet yang tertanam di dalam kulitku. Hingga saat ini aku sudah besar, sudah berusia dua puluh tiga tahun, masih ada bekasnya. Ketika ibu mengunjungiku di pesantren Darul Amin atau ketika aku libur dan pulang kampung, aku mengenakan baju lengan pendek, saat aku menyalami ayah dan ibuku, ibuku melihat bekas itu dan teringat masa kecilku. Tak jarang ia menceritakannya padaku. Padahal rasa sakitnya aku sudah lama tidak mengingatnya.

Pada usiaku yang ke enam tahun kurang dua bulan, aku didaftarkan ibu masuk Sekolah Dasar Negeri Salim Pinim.. Sebab anak tentangga seumuranku juga didaftarkan ibunya, hingga ibuku pun ikutan menyekolahkanku.

"Berapa usianya?" tanya guru sekolah pada ibuku.

"Enam tahun kurang dua bulan, Bapak Guru."

"Tanggal dan tahun lahirnya?"

"Aku tidak ingat, pokoknya umurnya enam tahun kurang dua bulan, Pak Guru. Dia lahir di hari Sabtu pagi, Bapak Guru."

Ibuku tidak pernah sekolah. Dia tidak pernah mengenakan seragam putih-merah. Dia tidak kenal huruf abjad. Waktu kecilnya dialah yang menjaga adik-adiknya. Ayah dan ibunya bekerja di sawah. Ibuku di rumahnya saja, tidak pernah pergi ke sekolah. Selain nasib miskin kedua orang tuanya, dia jugalah dipilih menjaga adik-adiknya yang masih kecil. Sementara abangnya? Pergi sekolah. Sekarang ketika aku besar, aku sangat sedih mendapati ibuku yang tidak tahu membaca.

Ibu tidak dapat membaca buku yang di dalamnya banyak keindahan dan ilmu. Ibuku tidak bisa membaca cerita yang ditulis oleh para penulis di dalam buku. Ibuku tidak dapat merasakan betapa enak dan indahanya ketika tahu membaca. Ibuku tidak bisa merasakan betapa senangnya bisa membaca novel apalagi bisa membaca tulisan arab buku dari karya ulama. Ibuku sering mendengar nama Imam Syafi'I, ikut madzhab Syafi'I, shalat menurut madzhab Imam Syafi'I tapi sayang sekali ibuku tidak bisa membaca kitabnya, makanya aku disekolahkannya di pesantren, bahkan ibuku juga tidak bisa membaca yang aku tulis ini. Nanti jika ia ingin tahu, ibu akan menyuruh adikku Linda membacakan untuknya, ibu akan menyimaknya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tetap bisa bahagia saat melihat kitab Imam Syafi'I yang tebal, yang terpajang di rak kecil dalam kamarku, ya itu kitab abangku yang mengaji di Pesantren Mudi Mesra Samalanga. Tapi ada satu yang membuatku sangat bangga pada ibuku: dia hebat menghitung! Dalam mengkali, mengurang dan menambahkan uang tentunya.

Namun hal yang paling disyukuri ibuku tentunya ialah ia berjodoh dengan lelaki shalih, tidak pernah meninggalkan shalat. Semua anaknya masuk pesantren, bahkan ada yang belajar di Dayah Perbatasan Darul Amin, hingga ke Al-Azhar Kairo. Mungkin inilah bentuk keadilan Allah. Tetapi ibuku tidak pula menyesali itu, ia ikhlas dengan pengorbanannya. Dia tidak iri pada abangnya yang paling tua menjadi kepala Sekolah Dasar di Lawe Kongker. Malah ia bangga dan ikut senang. Luar biasa ibu!

Karena pada tahun itu adalah para pendaftar masuk Sekolah Dasar anak-anak yang kelahiran 1994, hingga dibuatlah tahun lahirku tahun 94, karena menurut keterangan ibu umurku kurang dua bulan barulah sampai enam tahun. Ibu tidak pernah terpikir menuliskan tanggal lahirku, aku pun tdak pernah menyalahkannya ketika aku sudah dewasa. Lagi-lagi aku mengerti bahwa ia tidak bisa membaca, ibuku tidak pernah pergi ke sekolah, ibuku tidak pernah mengenakan seragam, kecuali seragam wiridan yasinan ibu-ibu tiap hari jumat jam dua siang bergilir di setiap rrumah. Aku pernah lihat ibu-ibu yang lain datang ke rumahku untuk wiridan yasin, ibuku sibuk menyiapkan minuman.. Karena ibu juga tidak tahu tanggal lahirku, sehingga ditulislah oleh guruku bahwa aku lahir tanggal satu. Hingga hari ini kalau ada sahabat yang mengucapkan ulang tahun padaku, aku tidak begitu respon, hanya senyum, kadang aku tertawa sendiri. Setiap tanggal satu Oktober, tak sedikit dan tak jarang teman-temanku mengucapkan selamat ulang tahun padaku, mendoakanku.Aku hanya bisa berkata: aamiin, terima kasih, ya. Begitu. Makanya kalau soal ulang tahun aku tidak begitu bahagia wah-wownya. Dan memang di rumahku tidak pernah ada ucapan ulang tahun begitu. Ayah dan ibuku akan terheran-heran jika misalnya teman-temanku sampai datang ke rumah membawakan kado dan pesta kecilan hanya untuk memperingati ulang tahunku. Aku sendiri baru tahu ada ucapan dan pesta kecilan untuk ulang tahun waktu masuk pesantren.

Ayahku, katanya dia pernah sekolah, tapi tidak tamat SD karena orang tuanya tidak mampu. Hanya sampai kelas empat SD saja. Ayahku bisa membaca dan juga mengaji, bahkan dia menjadi guru ngaji. Aku pertama kali mengenal huruf abjad dan huruf hijaiyah adalah dari ayah. Ayahku adalah guru pertamaku sebelum aku masuk Sekolah Dasar. Tak jarang aku dipukul hingga menangis waktu belajar membaca dengannya. Seharusnya ayahku menuliskan tanggal lahirku, tapi aku juga tidak menyalahinya. Aku tahu dia banyak pikiran, dia memikirkan yang lain yang mungkin jauh lebih peting, dia pontang-panting mencari nafkah. Memikirkan bagaimana agar kami bisa bertahan hidup, tidak pernah terpikir dan tidak sempat memikirkan untuk menuliskan tanggal lahirku. Ayah sepakat dengan kata ibuku bahwa aku lahir di hari sabtu pagi.

"Siapa namanya?" tanya guru.

"Daud, Bapak Guru." jawab ibuku.

"Itu saja?"

"Tak lebih tak kurang, Bapak Guru."

Namaku adalah pemberian kakekku. Ayahku adalah guru mengaji, tentu ia suka dan setuju namaku yang agamis. Nama Nabi Daud. Kenapa namaku hanya Daud? Mungkin ayahku tidak pernah terpikir bahwa namaku boleh diperpanjang, dan dia tidak pernah menjumpai di buku bacaannya ada nama nabi Daud yang ditambahkan dengan nama lain. Barangkali menurut ayahku adalah perilaku tak sopan menambah-nambahi nama Nabi, apalagi menguranginya. Hanya Daud, singkat, tepat dan sederhana.

Hingga naik kei kelas empat SD namaku hanyalah Daud. Begitu aku mulai lancar membaca, aku merasa namaku terlalu pendek. Kulihat nama temanmku banyak yang berawalan dari huruf 'M' seperti. M. Syamsul, M. Abdi, M. Syuhada dan yang lainnya. Suatu hari aku diajak ibu ikut tabligh akbar di balai pengajian yang tak jauh dari rumah. Kata pak tengku yang ceramah, jika ingin akhlak anaknya bagus macam akhlaknya Rasulullah, maka jangan lupa namai anaknya dengan nama Muhammad. Hingga penerimaan rapor naik ke kelas lima, kutusilah huruf "M" di dalam raporku yang kulit sampulnya berwarna merah itu. Dan di kelas lima wali kelasku berganti-yang sebelumnya adalah ibu guru dan sekarang adalah pak guru. Nama beliau Pak Jamrin. Beliau adalah wali kelas favoritku. Beliau sering sekali memaggil nama kami yang berawal dari huruf "M" kemduian titik itu, beliau panjangkan jadi: Muhammad, hingga di daftar absen kelas namaku berubah jadi: Muhammad Daud.

Dulu sebelum aku masuk Sekolah Dasar. Abangku yang paling tua sudah menikah. Sebulan dua bulan kurang lebih ia dan istrinya masih tinggal bersama kami. Istrinya sayang sekali padaku. Di rumah kami semua anggota rumah memanggilku Daud, kecuali istri abangku, dia malah memanggilku dengan nama yang belum pernah aku dengar. Dia jarang sekali memanggilku dengan nama; Daud.

"Nggo kau mangan, Farma?" Kamu sudah makan, Farma?

"Nggo, Kak." Sudah, Kak. Ya dia memanggilku Farma. Sampai hari ini usiaku sudah dua puluh tiga tahun, dia masih memanggilku: Farma. Awalnya aku cuek saja ketika ia memanggilku Farma. Bahkan kadang aku tidak merespon, dan tidak jarang juga aku tanyakan padanya.

"Kenapa kakak memanggilku Farma?"

"Ibu kakak orang Jawa, beliau suka nama Farma." Hanya itu saja alasannya. Selebihnya aku tidak tahu dan tidak ingat. Katanya pula Farma itu punya makna dan sampai saat ini aku tidak menemukan maknanya, juga tidak pernah lagi menanyakannya pada kakakku. Ketika sudah kuliah aku mencarinya di Google, yang muncul adalah: Kimia Farma, Apotek Farma dan nama obatan yang ada tulisannya Farma. Memang tak satu pun kutemukan Nama Nabi Daud yang ditambahi dengan Farma. Ketika kucari nama Farma di pencarian Facebook, yang muncul ialah nama-nama orang India yang memakai Farma. Aku tidak pernah terpikir ingin menuliskannya di raporku, sebab nama itu masih asing di telingaku. Lama kemudian, aku sudah terbiasa mendengarnya, hingga sudah lima tahun lebih ia memanggilku dengan Farma, akhirnya masuk juga ke hatiku, meresap ke dalam jiwaku. Setiap kali ia berkata, "Farma" aku mulai menoleh dan menyahut. Sampai ketika mau ujian nasional kelas enam SD, ada pengisian nama untuk dituliskan nantinya di dalam ijazah. Wali kelas kami di kelas enam jugalah pak Jamrin, kata beliau, "Tuliskanlah nama lengkap kalian!" Dan aku tulislah nama lengkapku: Muhammad Daud Parma. Tapi kemudian diperbaiki oleh wali kelasku, jadilah: Farma. Aku menuliskan huruf "P" dan pak Jamrin menggantinya dengan huruf "F" Saat pengisian nama di dalam lembar jawaban komputer, namaku hampir memenuhi kotaknya!

Ketika pengumuman kelulusan, aku carilah namaku yang berawal dari huruf "M" dan alhamdulillah aku menemukan namaku di antara nama-nama temanku yang LULUS. Kulihat nama lengkapku begitu panjang, beda, istimewa dan aku bahagia, tersenyem bangga! Dan saat pengambilan ijazah, kulihat namaku begitu gagah karena panjangnya. Sampai duduk di bangku kuliah, namaku sudah memakai sesuai dengan yang tertulis di dalam ijazah SD-ku. Tidak menurut akta kelahiranku. Kenapa? Sebab aku tidak punya akta kelahiran. Aku mulai punya akta lahir sejak usiaku yang kedelapan belas tahun, saat hendak belajar ke Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Hal itu pun karena terpaksa aku membuatnya, syarat untuk pemberkasan kuliah. Dan sekarang aku adalah mahasiswa Al-Azhar Kairo. Saat ini hari minggu pagi tanggal 15 Juli 2018, aku mulai menuliskan ini di dalam kamarku di Darrasah-Kawakib Kairo. Oh tapi aku tidak langsung ingin memulaiya dari sini, aku ingin memulai dari masa kecilku. Setelah lulus SD, aku ingin masuk pesantren! Eh bukan dari aku di pesantren Darul Amin, tapi dari kenangan SD dulu ya? Hehehe.