webnovel

Anak Pegawai Kecelakaan

Tidak selalu menggembala ke tempat jauh. Adakalanya aku menggembala di padang rumput tepi kanan-kiri jalan raya. Ada kalanya fi halaman SD-ku sendiri meskipun rumputnya tidak banyak. Sebab aku telat membuka kandang. Yang lain sudah pulang duluan. San sendiri di MIS dekat rumah, dia selalu pulang lebih awal.

Aku sudah kelas 6 SD, kadang aku telatbpulang seperti anak SMP. Aku dan lembu-lembuku sudah tidak bisa lagi ke tempat yang jauh, harus ke desa Salim Pinim yang bisa memakan waktu lebih tiga satu jam ke padang rumput jika menggembala di Tebing. Meskipun memang tak jarang lembu-lembuku aku suruh lari agar cepat sampai di pandang rumput. Apalagi jika berangkatnya bersamaan dengan rombongan yang lain. Kalau yang di depan menyuruh lembunya lari, maka aku juga memukul paha lembuku agar lari, tentu bukan pukulan yang kuat. Dengan begitu, jarak antar kelompok hanya satu meter saja. Tapi kadang Khinjang tidak mau lari, sebab badannya tambun dan berat ia membawa badannya sendiri.

Kalau musim panen, baik itu panen padi atau jagung, aku menggembala di sawah kami. Untuk menuju ke sawah ini mestilah lewat sawahnya Dekh dan San. Tentu juga harus menunggu mereka panen. Kalau panennya serentak maka langsung bisa ke lewat. Meskipun hal ini memisahkan diri dari kelompok lain namun kadang waktu seperti inilah kesempatan dan kesenangan tersendiri.

Senangnya dekat dari rumah, kalau aku lapar aku bisa pulang sebentar dengan mengamanahi San untuk menjaga lembuku sekejap. Aku tidak perlu lagi jalan jauh ke padang rumput di Salim Pinim sana, apalagi ke Tebing, tidak harus melewati rumah Ifah dan Uni dan juga kawan-kawanku yang lain. Rata-rata, hampir setengah persen dari kawanku rumahnya di pinggir jalan aspal. Aku juga idak perlu lagi ke desa Alur Nangka, tidak mesti menggembela di Gunung baik di desa Lawe Tungkal ataupun Batu Seding dan Rambah Sayang.

Sewaktu menggembala di tepi jalan raya, banyak teman-temanku yang lewat dan memanggil namaku. Aku juga memanggil namanya. Aku sering menggembala di sawah dekat rumahnya Pak Bahri. Pernah juga menggembala di sawah depan penduduk dusun Jambu di seberang jalan di bawah sana. Aku juga pernah menggembala di tepi jalan raya di dekat rumah temanku Amdan. Segala ada kesempatan dan tempat yang lumayan luas untuk pakan lembu, tentu kami akan ke situ selagi tidak ada tanaman penduduk.

Sebenarnya sawah kami ini adalah sawah yang disewa ayah dulunya, lalu ayah menjual enam lembu untuk membeli sawah ini. Cukup panjang sawah ini hingga ke sungai alas sana. Lembu yang enam itu adalah sewaktu Piyah yang menggembala, aku baru beberapa bulan ikut menggembala dengannya.

Di tahun ini, di kelas enam ini ayahku membeli sepeda R-X King, bukan sepeda motor. Besi badan sepedanya tidak semua melengkung ke bawah, melainkan juga ada yang lurus dari bangku duduk ke pegangan setang. Kakiku tidak sampai ke aspal jika aku duduk di bangkunya, mesti turun sebelah.

Begitu pulang menggembala, aku mendapati sepeda baru telah terparkir di dalam rumah kami. Tidak kenal lelah, aku langsung saja mengayuh sepeda itu di jalan raya hingga waktu magrib. Lalu mandi, makan dan mengaji dengan ayah.

Ayahku hampir tidak pernah absen, begitu pun aku. Meskipun ayah lelah dia tetap mengajar kami mengaji. Meskipun aku lelah sejak jam setengah satu siabg menggembala, begitu pulang ke rumah aku tetap ikut mengaji, kecuali aku sakit, namun sangat jarang sekali aku sakit. Mungkin karena setiap hari keringatku keluar, sehat, tahan panas dan hujan. Dulunya Piyah juga begitu, sepulang menggembala dia tetap ikut mengaji.

Aku sudah al-Quran, bacaanku paling jauh atau paling atas dari yang lain dan memang tianggal aku yang paling tua. Teman-teman seumuranku sudah berhenti mengaji. San juga sesekali saja ia datang karena lelah sehabis menggembala, ia tak sanggup lagi ikut mengaji. Karena aku paling tua dan paling besar, jadi aku yang duluan maju ke depan membaca al-Quran setengah halaman setiap harinya, kemudian di bawah aku. Setelah aku selesai, aku juga dipercaya ayah menyimak bacaan yang masih juz satu dan dua dan juga yang masih juz 'amma dan Iqra'. Aku pernah khatam dua kali lalu ulangi lagi dari al-Baqarah.

Dulunya semua abang-abang dan kakakku baik kandung atau pun sepupu, bahkan ada yang datang dari luar keluarga kami bahkan dari desa sebelah kanan dan kiri, dulu ramai mereka mengaji ke ayah. Semuanya pernah dipukul dengan rotan, kepala digoyang-goyong atau istilah ayah adalah di-Koco-koco atau di-Udeng-udeng. Ada juga yang menangis gara-gara dimarahi dan dipukul di telapak tangan dengan rotan. Meskipun begitu, tidak ada yang berani melapor ke orang tua, kalau pun melapor akan percuma sebab malah kena marah sampai di rumah, memang tidak ada satu pun yang punya niatan melapor, sungguh zaman itu santri tidak kenal dengan istilah melapor, santri tidak tahu bahwa guru bisa dan boleh dilaporkan ke orang tua bahkan polisi.

Memang sudah menjadi adat di kampung bahwa murid/santri memang wajar dipukul, guru/ustadz bukanlah orang gila yang bisa memukul tanpa ada alasan. Orang tua maklum sebab mereka dulunya juga dipukul gurunya sewaktu mengaji sehingga hal ini pun turun-menurun menjadi hal yang wajar. Lagipula pukulan rotan di telapak tangan adalah pukulan wajar yang tidak berlebihan, masih sesuai dengan umur, SD atau pun SMP. Belakang hari ketika aku telah aliyah, libur pondok, kakak sepupu kami, kak Ani, yang telah menikah dan sudah punya anak seumuran SMP. Sewaktu ia kembali ke kampung kami, beliau berujar, "Kalau dulu aku tak mengaji dengan Pak Yang, sungguh malu sekali aku dengan emak-emak yang lain ketika baca Yasinan. Bersyukur dulu ikut mengaji dengan Pak-Yang." ujarnya.

Ayahku anak laki-laki nomor tiga, di daerang kami, nomor tiga dipanggil "yang" saudara sepupu memanggil, "pak-Yang, Paman-Yang"

Sehabis pulang menggembala aku selalu menyempatkan bersepeda. Baik bersepeda di jalan raya atau sewaktu mandi ke sungai di Rumah Suluk atau ke sungai alas di sawah kami sana. Kalau hari minggu, kalau tidak ada pekerjaan membantu ayah di sawah menanam jagung, memupuk jagung, mencabut rumput, menjaga padi agar tidak dimakan burung, maka aku sudah pasti bersepeda ke mana aku mau. Kadang aku bersepeda dengan membonceng adik sepupuku si Ari ke desa Stambul Jaya, lalu masuk ke dalam hingga desa Lenggakhe, Limau Mukukh, Lawe Kongkekh-desa Pamanku, lalu tembus ke Engkekhan Cingkam Mekhanggun. Kemudian balik ke rumah.

Ada kala aku dan sepupu seumuran bersepeda ke desa Kuta Batu lalu pulang kerumah, bahkan pernah bersepeda hingga ke pusat Kota, Kuta Cane. Ke Pinding, masuk ke dalam, ke Jambur Papan, Lapangan Pesawat Terbang Agara Leuser, Semadam Baru, Simpang Semadam Atas, Lawe Sumur, Salim Pipit. Pernah juga naik dari Bukit Jembatan Barung ke Bukit Cinta menembus ke jembatan Jongakh kemudian putar balik ke arah kota kemudian lewat dari jembatan Barung lalu ke Engkeran. Setidaknya telah mengelilingi setengah dari kabupaten Aceh Tenggara.

Sebulan setelah punya sepeda, aku sesekali naik sepeda ke sekolah, terlebih ketika kami harus ikut Les untuk persiapan Ujian Nasional. Sebelum ada sepeda, pulang sekolah jalan kaki di bawah terik matahari. Keringat membasahi seragam sekolahku. Kalau lagi jadwal Les, ayahku yang menggembala sebab abagku Piyah sudah masuk pesantren Samalanga, sudah satu tahun dia sana. Ketika dia pertama kali meninggalkan rumah, ibuku menangis bukan main, tangisan ibu pecah, terdengar ke tetangga.

Aku pernah boncengan dengan tiga dengan kawan SD-ku berangkat ke Sekolah mengikuti les sehabis makan siang di rumah. Aku sengaja ingin berangkat kira-kira sepuluh menit sebelum pelajaran mulai sebab aku bisa sampai sekolah dalam sepuluh menit dengan mengayuh sepeda kecepatan maksimal yang aku mampu. Aku kira hanya aku yang belum berangkat. Ternyata begitu keluarkan sepeda dan membuka pintu, temanku yang tinggal di pinggir sungai kali Alas sana, satunya anak pegawai dan satunya sama nasibnya dengan aku, anak petani. Lewat lah dua temanku itu senyam-senyum.

"Ayo cepat naik!" ajakku.

Anak pegawai duduk di badan besi sepeda seperti duduk anak perempuan, satunya berdiri di belakang dan aku duduk di bangku. Ban sepeda sudah mulai terlihat mepet meskipun anginnya tidak berkurang. Tidak bisa dikayuh kencang karena bebannya tiga orang. Telah jauh perjalanan, sepanjang jalan kami ketawa-ketiwi, terngakak-ngakak dengan tingkah kami, hanya kami satu-satunya yang naik sepeda bonceng tiga ke sekolah.

Tidak sampai dua puluh meter lagi tiba di lapangan sekolah, tiba-tiba aku merasa susah belok lurus malah belok ke kanan, akhrinya kami jatuh ke dalam parit. Untung saja paritnya sudah kering karena musim kemarau namun tanahnya sebagian masih basah. Celana panjang kami sedikit kotor, baju kami tdak apa-apa, tidak ada yang terluka, telapak tangan kami juga kotor setang sepedaku sudah berputar ke arah yang tak seharusnya. Lalu aku putar balik lagi ke sisi semula. Kemudian dua orang temanku jalan duluan dan aku naik sepeda dengan stirnya yang telah goyang.

Begitu selesai LES, aku ajak lagi naik bonceng tiga dua kawanku itu, mereka ketawa dan tak mau lagi naik, mereka ingin jalan kaki saja. Namun kedepannya sesekali masih ada yang aku bonceng meskipun tidak bertiga.