webnovel

SEKAP

Rasa sayang yang terpendam sangat lama dalam tubuh seorang pria. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mengungkapkan perasaan itu. Karena suatu keadaan memaksanya untuk berucap, ucapan kalimat rasa sayang malam itu terlantunkan di tepi jalan. Dan, semuanya berubah semenjak itu.

DIKSICOFFEE · Realistic
Not enough ratings
4 Chs

Akibat Luka Lama

Pagi ini aku baru terbangun, melihat cahaya matahari menembus jendela kamarku. Memaksa mataku yang menyipit untuk melihatnya. Eyang yang sembari membukakan gorden di jendela kamarku berkata,"Bangun le.. nanti kamu terlambat lho.." Aku yang sudah terbangun, hanya mengucapkan beberapa kalimat lembut, untuk mengiyakan permintan Eyang. Tanpa sedikit pun buru-buru, aku pergi ke kamar mandi untuk mandi, dan melakukan persiapan sekolah  setelahnya.

Pagi yang segar ini, air terasa dingin mengguyur sekujur tubuh yang meminta kehangatan. Menggigil kedinginan, aku keluar kamar mandi setelah selesai mandi. Menuju kamar untuk mengenakan baju. Sarapan sudah disiapkan oleh Eyang, yang sudah memasakannya ketika selesai subuh. Mengingat akan hal itu aku belum subuh, ah, aku memang suka begini. 

Sarapan kali ini sangat hangat, seperti permintaanku yang belum dikabulkan waktu mandi. Keluar rumah aku dengan bersemangat, dan berpamitan kepada orang tua yang saat ini sedang bersamaku. Orang tua kedua setelah ibu, atau ayahku. Lalu gas motor sudah kuputar untuk  berjalan menuju ke sekolah, bersama dengan adikku yang akan kuantarkan terlebihh dahulu nanti. 

Di tempat yang berbeda, aku melihat jalanan menuju sekolah adikku, basah. Pantas saja, udara semalam panas, menjalar ke seluruh penjuru kamar. Aku yang sadar akan hal itu, melihatnya dengan sangat gembira. Tapi aku belum menyaksikan hujan di depan rumahku. Tapi juga tak mengapa, tetap harus bersyukur atas karunia-Nya yang telah Ia turunkan semalam. Karena pagi ini, aku tetap menikmati sesuatu dari kejadian yang sudah terjadi. Seketika itu angin membawakan sesuatu yang kutunggu-tunggu, atau bahkan setiap orang yang berkendara di sekitarku juga menunggu-nunggunya. Angin pagi membawakan hidungku bekas-bekas rintik tadi malam. Seperti membawakan pesan-pesan dari masalalu. Adikku dengan polos bertanya,"Mas, ini abis hujan to?" Lalu aku mencoba menjelaskan bahwa bekas-bekas hujan di pagi ini adalah bekas tadi malam.

Aku, telah mengantarkan adikku ke sekolahnya. Sekarang aku sudah berada di parkiran sekolakku, lagi. Langsung saja, aku beranjak masuk ke dalam sekolah. Lantas mengapa? Dan menunggu apa? Tak ada alasan aku untuk bertahan di parkiran sekolah. Tapi orang-orang di sekitarku seperti sedang melakukan penantian saat ini. Entah beralasan apa, atau sama sekali tidak memiliki alasan untuk beralasan. Ah, abaikan saja mereka.

Apakah sekolah hanya tempat melakukan penantian atas dasar masa depan? Apakah bukan karena sekolah yang menanti kita untuk datang kepadanya? Atau kita yang merakit perjuangan demi perjuangan di sekolah agar membuat masa depan yang menantikan kita? Lihatlah orang-orang yang tidak bisa bersekolah.

Kamu tahu? masa-masa seperti ini kerap digandrungi oleh orang-orang sebayaku. Ya, mengenal cinta. Memiliki awalan yang menerima kita apa adanya, dan akhirnya memberi jejak-jejak luka di atas rintihan tubuh kita.

Aku yang pernah merasakan pahitnya akan hal itu, mencoba menahan diri untuk tidak terburu-buru untuk merasakan cinta lagi. Ah, sebenarnya malas membahasnya. Tapi baiklah, agar menjadi seputar pemahamanku dicatatan ini. Pada dasarnya, hal ini memiliki makna yang lekat dalam diri kita, di hati kita, dan juga di sekitar kita. Karena setiap orang memiliki rasa dan juga perasaan yang sama tentang hal ini, tapi entah bagaimana mereka memaknainya. Hal ini seperti gula yang manis, yang sedang di taburkan kedalam kopi yang pahit. Tapi ingat, jangan berlebihan. Karena, kopi yang pahit saja tetap bisa kunikmati kok.

Saat ini menurutku, sah-sah saja aku mengenal hal itu. Tapi sayangnya, waktu SMP dulu aku sudah sering menjelajahi hati orang-orang yang sudah lama meninggalkan atau kutinggalkan. Dibilang ahli atau pakar, menurutku bukan, haha, itu terdengar konyol. Disakiti atau menyakiti, adalah kebiasaan yang lucu di waktu SMP. Bagaimana tidak? Usia seperti itu aku sudah cinta-cintaan. Tapi, sekarang aku bersyukur atas hal itu, aku telah dibangunkan dari tidur yang berkepanjangan. Merasakakan kehilangan seseorang dari hal seperti itu, memang begitu menyakitkan. Tapi, ini membuatku mengerti tentang apa artinya bertahan tanpa ditahan, datang tanpa diminta, dan mengerti tanpa dijelaskan. Dan seolah-olah gerbang kehidupan di mataku terbuka. Melihat seluruh kumpulan manusia yang sedang merajut asa demi masa depan, dan juga manusia-manusia yang kerjanya hanya cinta-cintaan saja. Saat gerbang di mataku terbuka, aku langsung dihadapakan untuk memilih akan kedua hal itu. Aku rasa aku tahu harus memilih yang mana.

Menyadari akan hal itu, membuatku bosan kepada banyak perempuan. Aku lebih memilih, saat ini aku seperti ini dulu, dan sendiri. Karena hidup harus disusun dengan baik. Biarkan dia datang lewat konspirasi alam semesta, tanpa kucari. Atau, biarkan aku mencarinnya dalam diam. Aku percaya, bahwa Tuhan yang Maha Romantis telah menyiapkannya. Aku tidak akan memperjuangkan seseorang, lebih baik aku memperjuangkan hidup. Bukan berarti hatiku telah mati, hanya saja lebih baik seperti itu, dari pada aku harus sibuk menata orang lain dan lupa dengan hidupku sendiri. Kecuali, jika ada seseorang yang mau sama-sama menata dan memperjuanngkan hidup. Mungkin, keadaan kasmaran yang seperti itu lebih menenangkan dan menurutku lebih banyak dicari atau ditunggu-tunggu banyak orang. Sudah, sudah, nanti aku terlena membahas ini.  Biarkan berlalu dan berjalan, selayaknya waktu yang sedang engkau abaikan. 

Saat pelajaran sedang berlangsung, yaitu mata pelajaran bahasa inggris. Aku ingat bahwa ada PR. Guru ini terkenal sebagai guru killer. Guru bahasa inggris itu langsung menyuruh kami untuk membuka PR yang sudah diberikan kemaren,"Ayo, tugas menerjemahkan cerita kemaren, dikumpulkan!" Dalam keheninganku, Herman menyenggolku,"Van, lu ngerjain nggak, Kok kaku gitu??" Aku menjawabnya dengan tergesa-gesa,"Belum!" Aku penuh keringat di dahi, menatap Herman dengan nanar. Teman-temanku sudah selesai maju dan duduk kembali ke bangku. Aku berfikiran untuk ke toilet, tapi Tuhan seperti sedang menahanku.

"Arvan!"

Aku kaget, keringatku semakin mengembun, dan bermunculan di tepi dahi. Aku menjawab,"Iya pak?"

"Mana Tugas kamu?!"

"Belum selesai pak, hehe." Seperti tidak merasa bersalah, aku menjawabnya dengan mesam-mesem.

"Ah, kenapa bisa lupa? Tau gini, sebelum tidur aku ngecek dulu!" Ucapku, karena kesal mendapat hukuman membersihkan toilet pria yang bau. Seketika itu, ada yang ikut menyahut dari belakang tubuhku,"Makanya, kalau ada PR tu kerjaiiinnn."

Aku menoleh kebelakang dan kaget,"Lah, lu ngapain disini?"

"Orang gua juga nggak ngerjain.." Ucap Herman dengan santainya.

"Bambang!" Sambil mengangkatkan gagang pel ke arahnya.

Kriiiingggggg!!!!! Bel istirahat berbunyi. "Ayo, ke kantin, Man." Tanpa basa-basi, ajakanku langsung diterima. Mendapati diriku yang masih suka mengabaikan hal-hal kecil, dalam hatiku berkata dengan garang, Katanya mau berubah? Mana!  Mengisi penjuru ruangan dalam diriku. Entah, hal bodoh apa yang sedang terjadi. Tapi sudahlah, asalkan besok tak lagi mengulanginya. "Buk, soto dua, yahhhh" Suara Herman ke ibu-ibu kantin. Aku baru akan beranjak duduk, Herman bertanya soal peralatan pendakian,"Eh, Van"

"Apaan?" Jaawabku dengan nada sengak

"Besok mendaki.. gue bawa peralatan apa aja?"  

Aku menjelaskan sesuatu kepada Herman,"Jadi gini, kemaren setelah mbahas ini sama dimas, berhubung acaranya mendadak dan kamu baru pertama kalinya, kamu cukup bawa peralatan yang sekiranya untuk pribadi kamu aja."

"Lha kaya SB, tenda, dan semacemnya?"

"Itu nanti Dimas yang mau nyari sewaan buat kita, katanya."

"Tapi, gue udah punya SB."

"Yaudah, nanti biar gue omongin ke Dimas." Dia mengangguk, seraya dengan soto yang dia pesan tadi sudah datang. Akhirnya kami makan, sambil menikmati remah-remahnya obrolan kami. Dulu, sebelum senang melakukan kegiatan itu, aku sudah lama ingin melakukan perjalanan. ya, mendaki maksudnya. Aku lebih senang dipanggil pejalan, karena aku masih amatiran yang nekat.

Pertama kalinya aku mendaki, aku sudah membawa sedikit cerita yang mampu kuputar lagi dalam memori kepalaku. Mulai dari kaki seorang wanita yang keram di tengah-tengah pendakian, salah satu temanku yang diam-diam turun lebih dulu tanpa kami, dan terbakarnya portable stove kami saat hendak memasak. Kejadian-kejadian lucu seperti itu datang dengan sangat tak disangka. Makanya, aku sangat ketagihan melakukannya lagi, karena rasa penasaran yang kian menyelimuti. Dan kali ini, aku akan pergi  ke gunung Bismo dengan kawan-kawan baru dari kota Bantul. Entah cerita apa lagi yang akan terselip setelah usai mendaki besok.

Jam sekolah telah usai. Menuju tempat biasanya untuk pulang. Aku akan ke rumah Dandi terlebih dahulu untuk mengambil SB dan matras. Semua peralatan dan logistik yang sesuai dengan kebutuhanku, harus segera aku lengkapi hari ini. Karena, perjalanan jauh dan pendakian akan kita mulai dalam jangka waktu, satu hari lagi. Sejenak saat perjalanan pulang, aku mampir dulu ke warung untuk membeli empat buah mie instan rasa soto ayam. Dan sebotol air putih, satu setengah literan. Setelah itu melanjutkan perjalananku untuk kembali ke rumah. 

Pada sore ini, cahaya matahari tidak bisa berkutik dari tubuhku. Perjalanan pulang untuk persiapan pergi, dan pergi untuk persiapan pulang. Matahari menuju tenggelam, namun belum petang. Melihat jam dinding masih jam 15.45 saat aku memasuki rumah. Menyapa Eyang dan kakek seperti biasa, dan kembali ke kamar untuk sejenak berisitirahat. Aku yang tengah kelelahan, membuka handphone. Untuk memeriksa grub pendakian besok. Ternyata juga belum ada kabar atau perbincangan-perbincangan kecil apapun. Mungkin, mereka juga sedang mempersiapkan logistik dan peralatan untuk besok.  

Walaupun lelah, aku tetap bersemangat untuk menyiapkan keperluanku. Mie yang telah ku beli, aku masukan ke dalam ransel. Serta beberapa pakaian yang sekiranya diperlukan.  Eyangku datang ke kamarku, untuk menanyakan aku akan berangkat jam berapa besok. Mengingat besok aku akan berangkat jam 6,  aku minta tolong kepada Eyang untuk membangunkanku, jika aku belum bangun. Eyang mengiyakannya, kemudian Eyang keluar rumah begitu saja, aku hanya melihatnya dengan kebingungan. Dan melanjutkan persiapanku untuk besok. Handphoneku bergetar-getar, mungkin saat ini mereka sedang perang pesan persiapan mendaki. Notif-notif yang masuk membuatku tak bisa menahan diri untuk membukanya. Grub sedang lucu, mereka saling mengingatkan senter. Pingkan juga mengingatkan aku untuk membawa senter, karena aku suka tidak membawa peralatan dengan lengkap. Semua senter yang ada di rumahku rusak dan aku juga tidak mau mengurangi uangku untuk membelinya, uangku hanya cukup untuk perjalanan saja. Malas juga rasanya untuk meminjam tetangga atau menghubungi Dandi lagi.

Sebelum matahari terbenam, aku buru-buru ke rumah Dandi mengambil peralatan yang terlupakan tadi. Eyangku tiba-tiba saja kembali masuk ke kamar dan memberikan beberapa rot. Aku menerimanya dan mengucapkan terimakasih kepada Eyang yang telah baik hati memberikan banyak sangu untuk perjalananku. Selang beberapa saat, aku langsung pergi ke rumah Dandi. Sekitar tujuh sampai sepuluh kilo untuk ke rumahnya. Biasa, dengan si Rambo. Di perjalanan matahari sudah ingin sembunyi, aku yang menatapnya hanya bisa teburu-buru. "Assalamualaikum.." Aku telah sampai di rumah Dandi.

"Waalaikumsalam.." Sahut seorang ibu-ibu dari dalam rumah,"Ehhhh... Arvan, ada apa sore-sore kesini? Dandinya lagi nggak ada"

"Oh, nggapapa buk, saya kesini mau ngambil matras sama SB. Kemaren udah izin sama Dandinya."

"Oh, ya.. sebentar-sebentar." Orang tua Dandi masuk lagi ke rumah, lalu keluar dengan peralatan yang kupesan. Aku hanya mengucapkann terimakasih dan menitipkan salam untuk Dandi. Lalu aku berpamitan pulang, debu jalanan mulai menghantam tubuhku. Terputarlah gas motorku, menuju rumah. Sore yang kian hilang, membuatku ingin menikmatinya sejenak. Warnanya merah ke unguan, memberikan kesempurnaan yang berbeda. Tapi, niatku kuurungkan. 

Sesampainnya aku di rumah, dihadpanku  sudah ada Pingkan dan kawannya duduk di motor. Kelihatannya mereka sedang menantiku. "Ono opo, kan? Maghrib-maghrib." Aku menyapa sembari menghampirinya.

"Owalah.. ditunggu dari tadi, kok, baru juga dateng." Tegurnya balik menyapaku.

"Ya, mana aku tahu kalau kalian nungguin aku. Makanya nghubungin dulu kalau mau ke sini."

"Lihatenn notifmu!" Sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan. Aku masih nyengir karena handphoneku yang aku silent saat dihubungi Pingkan.

"Buat apa ini?" Tanyaku, bingung karena dia, kenapa tiba-tiba memberikan uang iuran kepadaku. Sedangkan aku tidak memiliki kembalian untuk uangnya saat ini. Dia memaksaku untuk membawannya terlebih dahulu, namun aku masih menolaknya. Dengan dalih yang sama, aku berkata,"Nanti aja, obat-obatan dan yang lainnya, biar aku yang urus."

"Bener lho, jangan ampe lupa!"

"Iya, gampang. Cuma antangin sama Freshcare, kan." Jawabku langsung dia iyakan. Lalu dirinya dan temannya berpamitan pulang. Temannya yang menggunakan masker tiba-tiba tertawa. Saat dia dan temannya sedang beranjak pergi, aku mencoba menahannya. Karena, aku penasaran siapa wajah yang ada di balik masker tersebut. Mereka berhenti, dan aku menanyakan sesuatu, "Ayuk, ya!" Dia menengok dan tertawa melihatku,"Iya, dong. Tak kira lupa kamu tu." Katanya, sambil membuka maskernya. "Kurang kerjaan lo." Tak mau berlama-lama, lalu mereka berpamitan.

Adzan maghrib tiba saat aku berada di kamar. Menata seluruh perlengkapanku untuk pergi ke Wonosobo besok pagi. Peralatan yang tadi kuambil, juga ikut aku masukan ke dalam ransel, kecuali matras. Tetapi ukuran ransel masih belum terlihat penuh, dan menurutku kurang menyenangkan jika barang bawaanku tidak terasa berat atau banyak. Kucoba membangunkan grub yang sedang tidur, dengan foto ranselku yang terlihat hanya terisi sedikit barang. Aku mengatakan bahwa ranselku belum terisi penuh, dan aku malah merasa seperti akan pergi ke pantai. Dimas dan Anisa dengan cekatan melahap chatku di grub.

Dimas Putra : Alah, itu cuma karena belum ke isi punyaku. wkwk

Anisa AP : Sip, bisa masuk tu jligen kecil punyaku. Haha

Mereka saling melemparkan permintaan lucu kepadaku. Kubolehkan saja permintaan mereka untuk memasukan perlengkapan ke dalam ranselku. Toh, masih banyak juga perlengkapan-perlengkapan yang belum masuk, dan ranselku mungkin adalah satu-satunya ransel yang memiliki ruang tersisa di antara ransel mereka. Sementara, yang aku butuhkan sudah kurapikan sedemikian rupa. Lelah tiba-tiba menghempaskanku ke kasur kenyamananku. Aku yang ingat belum mandi harus rela bangun lagi untuk  mandi.

Kini, malam kian menyertai. Dalam heningnya, Aku begitu sadar bahwa akan ada perjalanan yang menyenangkan, dan mampu menjadi obat dalam diriku yang rapuh saat ini. Di bawah lampu terang dalam kamar, aku mengirim gambar freshcare dan antangin yang kubelikan tadi sore sebelum isya', untuk perlengkapan. Dan ternyata, Pingkan membalas chatku dengan emotikon tertawa. Dia memberitahuku bahwa belum ada salonpas yang harus kubeli. Karena besok udara yang pastinya dingin. Harus ada perlengkapan kesehatan yang bisa membuat beberapa bagian tubuh kita menjadi sedikit hangat.

Dimas Putra :  wkwk. semangtnya besok mau brangkat.

Pingkan :  H-berapa emangnya wkwk

Arvan Pratama :  H-1/2 :').

Anisa AP : Masih lama kak

Anisa AP : Santuy lahhh

Pingkan : Terlalu spirit ini wkwk

Kami pun hanyut dalam percakapan-percakapan yang menyamankan. Hingga membahas hal yang tak pentinng sekalipun juga terjadi. Lama sekali kurasakan percakapan ini, mataku terlalu lelah bercengkrama dengan layar kaca tapi tetap kupaksa. Karena keasikan kecil ini akan ikut hanyut di belantara nanti. Sedikit membahas perlengkapan. Dan mungkin aku sangat terlihat girang, karena terlalu  bersemangat. Mengapa begitu semangatnya aku saat ini, menanti esok untuk pergi dari rumah. Menahan semangat tak mungkin pula, karena semangat adalah hal positif yang bebas untuk tumbuh. Tak mungkin hal semacam itu bisa kututup-tutupi.

Dimas Putra : wkwk, bisa gue tandain, kalo udah gini susah tidur kalian

Arvan Pratama : Jangan pada begadang. Siap fisik, siap hati.. eh.

Dimas Pratama : Halahh, mbok yo diinget waktu dulu. Ngabarin jam 1 pagi sampai jam lima pagi harusnya udah di titik kumpul. Eh, telat semua

Arvan Pratama : Aku angkat tangan, salahkan yakup. haha

Dimas Putra : Awal pertemuan yang rumit. wkwk

Arvan Pratama : jhahaha

Akan kusinggung sedikit mengenai hubungan Pingkan dan Dimas, waktu di sumbing beberapa bulan lalu.  Sepertinya kalo dia mengerti, akan asik untuk dibahas di grub ini.

Arvan Pratama : Dimana saat mendaki, setiap masing-masing rekan baper dan ngga jadian. Selesai mendaki, ngga ada hubungan atau komunikasi, dan mereka pulang ke rumah masing-masing dalam keadaan hati yang hampa.

Anisa AP : Iku sampean Sik baperan. wkwk

Arvan Pratama : wkwk

Salma Putri : Seketika grup rame bambang haha

Dimas Putra : Netizen dipersilahkan untuk berkomentar!

Arvan Pratama : sebenernya aku agak sedikit menyindir kamu.

Arvan Pratama : jangan bahas kemana-mana udeh.. simpan ke asikan ini buat besok;)

Salma Putri : Widih mario tegal:D

Arvan Pratama : (Mengirim stiker monyet mangap).

Salma Putri : Eh ya Allah, monyet itu

Salma Putri : Tak kira aku:'(

Anisa AP : Sik ngomong kalo iku koe sopo Bambang

Salma Putri : Iya itu Arvan bilang kalo itu aku.

Arvan Pratama : ngga:'(

Anisa AP : Ohh.. lancang, sini minta dicium.

Sudah cukup kurasa untuk berguraunya. Masing-masing kami tak membalas chat grub lagi. Setiap dari kami mungkin ada yang masih mempersiapkan sesuatu, ada yang sudah istirahat, atau malah ada yang masih begadang, karena sedang menggebu menunggu hari esok. Sepertiku. Aku yang belum tidur, sibuk memilih lagi barang-barang yang ingin kumasukan. Karena aku akan merasa lebih lega, ketika barang bawaanku lebih banyak. Tapi, kurasa memang sudah tak perlu ada yang masuk, selain barang-barang temanku nanti. 

Aku kira grub sudah selesai, ternyata layar handphoneku menyala karena ada notif dari salah satu temanku. Ternyata, aku yang sedang dicari.

Dimas Putra : @⁨Arvan Pratama⁩ monitor!

Arvan Pratama : Iya, gimana, Dim?

Dimas Putra : Tak tidur rumahmu, gimana?

Arvan Pratama : Bisa bisa..

Dimas Putra : Share lokasi

Malam itu aku duduk  santai di kamar, untuk  menunggu Dimas. Agar menghilangkan rasa bosan, aku menulis secarik kata-kata. Di temani dengan kepulann dari sebatang fana yang kuhirup. Malam telah begitu larut, kata-kata yang belum kutulis ternyata keluar terlbih dahulu dari ide liarku. Otakku seketika bergerak menelusuri kehidupan sehari-hari para manusia. Perdebatan yang tak ada habisnya bisa kulihat. Biasanya aku sering melihat orang-orang yang sedang berkumpul. Sangat suka sekali memperdebatkan hal yang memang tidak penting untuk dibahas. Dan mereka saling menuhankan kata-kata mereka sendiri untuk memenangakan perdebatan konyol mereka.

"Hal terbodoh adalah, menguraikan hal yang sekiranya memang tidak penting, dan membuatnya menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada habisnya."

Kurasa ini sudah sangat malam, Dimas tak kunjung sampai. Apa jangan-jangan lokasi yang aku kirim di grub salah. Sering sekali teerjadi eror di whatsappku dalam mengirim lokasi. Terkadang suka salah alamat. Aku ingin menghubungi Dimas, tapi layar kaca sudah menyala lebih dulu saat hendak kuambil. Aku mengetahui pesan Dimas di grub, ternyata motornya sedang berhalangan. Keinginannya untuk menambah barang bawaan dan ingin tidur lebih awal di rumahku, sementara waktu harus pupus di ulur waktu. Karena ban motornya bocor di tengah-tengah pejalanan. Dia mengabariku saat itu juga, dan memberitahuku untuk tidak tidur duluan karena Dimas belum pernah ke rumahku sebelumnya. Akhirnya aku menunggunya dengan mata kantuk

Lama sekali aku menunggu Dimas, sampa-sampai mataku telah berdaptasi dengan angin malap yang sepi dan membuat ngantuk. layar handphoneku menyala, Dimas kembali mengabariku, bahwa di sudah tancap gas menuju rumahku. Tapi tetap saja akan lama, ban motornya yang bocor itu masih berada tidak jauh dari rumahnya. Sedangkan rumahku masih berkilo-kilo meter dari rumahnya. Untung saja mataku sudah beradaptasi oleh suasana hening yang menangkan saat ini. 

Dimas yang tadi memberikan kabar kalau dirinya sudah berangkat menuju kemari. Kini dia menghubungiku lagi dan bertanya, rumahku sebelah mana setelah masjid kuning yang aku beritahu padanya. Aku kemudian keluar rumah, dan menghampiri Dimas dari belakangnya. Rumahku tepat berada di kiri masjid kuning yang Dimas tanyakan.

"Doorrr!!"

"Paan si? kurang kerjaan. Rumah lu, yang mana?" Tanyanya, tanpa sebelumnya merassa kaget.

"Ini di belakang kita, nyet."

"Oalah, mbok yo tadi bilang to, Van."

"Udah, ayok masuk"

Aku menyuruhnya memasukan motornya sekalian. Barang yang dia bawa cukup banyak dalam ranselnya. Belum lagi sekantung plastik besar yang dia taruh di depannya saat berkendara. Tak heran jika barang yang dia bawa banyak. Berhubung perjalanan Dimas kemarin menyisakan banyak makanan logistik, jadi dia bawa semua beberapa makanan instan yang belum termasak. Pintu kamar aku bukakan, dan dia akan bermalam di kamarku. 

Sebelum tidur, kami menata barang-barang yang tersisa diluar untuk dimasukan ke dalam ranselku. Aku diberinya, tenda, matras, dan beberapa makanan. Aku berusaha merapikannya serapi mungkin di dalam ranselku. Selepas itu kami berdua merebahkan diri. Tiba-tiba Dimas mengluarkan pisau lipat Arei. Dia memainkan pisau itu layaknya seorang aktor film action.

"Beli kapan ini?"

"Baru tadi." katanya, sambil aku memegangnya untuk kumainkan. Tombol di antara mata pisau dan gagang aku tekan, lalu pisau itu dengan indahnya keluar. Aku mencoba untuk menutupnnya, tapi cukup sulit. Hingga akhirnya aku menutupnya dan aku buka lagi, dan berkali-kali kumainkan seperti itu.

"Gw norak, Ha ha."

"Ha ha. Van, ehmm.. ehmm.. kering." Sambil meraba-raba lehernya.

"Iye-iye, bentar gw ambilin air putih." Sembari beranjak ke tempat dapur. Malam ini sudah jam 12 saat aku menengok jam bulat yang menempel di dinding. Ternyata, sudah sangat larut. Aku kembali ke kamar dan hanya saling sedikit memberi perbincangan. Kutengok Dimas sedang menonton serial anime. Aku bertanya kepadanya, apakah dia belum mengantuk. Dia menjawab masihh santai, dia belum mengantuk sama sekali katanya. Karena aku sudah lelah, aku beranjak duluan untuk tidur. Selimut aku lebarkan untuk memeluk tubuh, dan aku berusaha untuk tidur.