webnovel

SEKAP

Rasa sayang yang terpendam sangat lama dalam tubuh seorang pria. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mengungkapkan perasaan itu. Karena suatu keadaan memaksanya untuk berucap, ucapan kalimat rasa sayang malam itu terlantunkan di tepi jalan. Dan, semuanya berubah semenjak itu.

DIKSICOFFEE · Realistic
Not enough ratings
4 Chs

Jiwa Tenang

Hari berikutnya...

Masih ada seuntai perbincangan tadi malam dalam kepalaku. Mataku masih layu dihempas angin semalam. Aku pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih muka dan sikat gigi. Di depan cermin aku berkaca dan telanjang dada. Melihat dadaku yang belum terlihat sangat bidang tapi menurutku cukup. Mengangkat tangan kanan-kiri dan ngotot di depan cermin. Mataku lalu menuju kepada perut yang buncit. Ah, sudahlah, Pikirku.

Lalu lanjut ke dapur untuk menikmati teh hangat buatan Eyang pagi ini. Ku bawa ke teras rumah untuk menemani sebatang fanaku. Duduk di atas kursi dari anyaman bambu yang bisa membawaku ke masalalu sewaktu kecil. Merah muda pagi ini begitu riang mebisikan sapaannya kepada tanaman. Setelah ditimpa sejuknya udara pagi, seketika damai membalut dalam kepalaku. Merongrong dalam lantunan nada yang diam-diam akan keluar dari ujung timur semesta. Segelas teh hangat buatan sang nenek, lengkap untuk kunikmati genre yang santai ini.

Entah mengapa, aku membiasakan dan membiarkan hal-hal buruk tertulis dalam lembaran kehidupanku, yaitu, merokok setiap pagi. Kamarku saja bau asap rokok, pengap, dan ya begitulah kondisinya. Rokok, mungkin itu adalah kebutuhan psikisku. Karena jika tidak bisa membuang waktu keluar untuk pergi jauh atau hanya sekedar jalan-jalan, aku hanya merokok di dalam kamar atau di depan teras, dan temenung sesaat sebelum berangkat sekolah. Mungkin aku masih SMK, tapi ya, bagaimana lagi. Aku sudah begitu kecanduan. Sejak SMP aku sudah diajari teman-temanku merokok. Apakah tidak terlihat lucu, dan menggemaskan anak seusia itu sudah merokok? Tentu tidak. Aku menyesal dulu pernah belajar merokok. Hingga saat ini untuk berhenti pun susah. Sudah sering aku mengurangi jumlah batang rokok setiap hari. Tapi malahan yang terjadi adalah, aku sering menghabiskan batangan rokok lebih dari biasanya.

Seorang perokok aktif, akan menghisap lebih banyak rokok ketika gelisah. Mungkin aku hanya gelisah karena aku ingin berhenti merokok lebih cepat, dan terburu-buru untuk menguranginya. Dan mungkin awalan kalimat dari paragraf ini benar terhadapku. Andai saja ada obat berhenti merokok. "Arvan!" Agak berteriak Eyang memanggilku dari dapur.

"Iya, Eyang?"

"Buruan mandi trus sarapan, Le!"

"Iya, Ini dikit lagi abis kok tehnya." Balasku kepada Eyang sambil kutenggak segelas teh yang nikmat itu.

Mungkin sudah cukup bersenang-senang bersama mentari. Aku harus mandi agar mentari masih mau menemaniku, he he. Setelah mandi, aku sudah siap untuk pergi. Tetapi, sarapanku belum aku hampiri. Menggendong tas, dan bersama adikku yang paling bungsu ini akan aku antarkan terlebih dahulu ke sekolahnya yang tak jauh dari sekolahanku. Berpamitan dan mengucap salam seperti biasanya ketika berangkat sekolah.

Jalan raya terlihat masih sepi akan pengemudi. Maklum, mungkin aku berangkat terlalu pagi, karena harus mengantar adikku terlebih dahulu. Jembatan besar di daerahku bernama, jembatan Oyo. Itu di karenakan sungai yang tepat berada di bawah jembatan namanya, kali Oyo. Aku melewati jembatan itu setiap pagi. Dulu saat aku melewati jembatan itu, sejauh mata memandang di sekitar sungai ada sawah yang terhampar hijau. Terpapar sangat luas di sekitarnya, yang membuat mataku terbelalak ketika melihat pemandangan yang sejuk di pagi hari, kala itu. Tapi, karena hujan belum juga tiba, maka sawah belum juga basah apalagi hijau. Namun, saat ini aku melihat ada beberapa Petani yang sedang berusaha mengairi sawahnya dengan air sungai. Sungguh Tuhan selalu mencipatakan sesuatu dengan masing-masing manfaatnya. Dan juga kebaikan yang mengalir di segala penjuru sawah milik Petani, beberapa di antaranya tampak hijau dan subur. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih enggan bersyukur atas manfaat alam yang diberikan Tuhan kepada kita? Bersyukurlah, jagalah kebersihan alam, dan manfaatkan sebutuhnya.

Gang gerbang SD Kartika Bangsa terpapang di depan wajahku. Adikku yang paling bungsu ini turun dari motor. Mengucap salam, dan mencium tanganku. "Sekolah yang bener ya."

"Iya, Mas. Assalamu'allaikum"

"Wa'allaikumsalam." Jawabku menyamakan nada merdu salam adikku.

Tepat di belakang kampus 1, aku duduk di motor di tempat parkir. Melepaskan helm, dan juga melepaskan helaan nafas. Benarkan? Mentari masih mau menemaniku. Cerah cahaya matahari menyapa berbarengan dengan temanku herman yang menepuk pundaku dari belakang, "Hey, Van!"

"Ngagetin aja lu ah! Apaan si?"

"Aku to jak mendaki tenan iki?"

"Yo iyo, Mosok aku ngapusi to, man. Kan kamu sendiri yang pernah bilang kalau kamu pengen ndaki, ya tak ajak sekarang! Gimana? Ngga mau?" Sodorku memberi pertanyaan galak.

Herman menampangkan muka sok imut, "Yo, mosok aku nolak to, Van." Seperti mukanya yang sok imut saat ini, mungkin dia sangat girang sekali karena tahu aku mengajaknya. Berkali-kali dan sudah sejak lama dia bercerita denganku bahwa dia ingin melakukan kegiatan itu. Aku sampai bosan mendengar segala keinginannya. Di karang-karang dia belum juga melakukan pendakian karena nggak punya teman. Makanya aku ajak dia agar dia tak berceloteh, agar ini jadi kala pertama dia mendaki. Aku tak mau berlama-lama di tempat parkir. Buru-buru aku masuk ke dalam sekolah untuk masuk pula ke dalam kelas.

Kringggggggg!!!!!!! Jam pertama dimulai. Guruku masuk ke dalam kelas dengan seragamnya yang tampak anggun berwarna cokelat. Aku duduk bersiap. Ketua kelas menyuarakan untuk sikap sempurna lalu berdoa. Pelajaran Bahasa Indonesia yang di ajar oleh guru cantik bernama, Bu Diah. Temanku herman ini seringkali menyenggol sikuku ketika Bu Diah masuk kelas. Kadang juga dia suka melongo melihat keindahan yang diciptakan oleh Tuhan, yang terpapar jelas di depan matanya. Masa iya, temanku ini jatuh cinta sama guru? Gila ni anak.

Istirahat sekolah pada siang hari sedang berlangsung. Dialog perbincanganku dengan teman-teman sedang diputar. Aku berbincang-bincang mengenai banyak hal. Berbagai topik telah dibicarakan. Aku mengajak beberapa temanku untuk ikut denganku pada tanggal 12 nanti. Lama sekali aku ngobrol dengan mereka mengenai itu. Tetapi pada akhirnya mereka tidak mau. Dan hasilnya nol, tidak ada tambahan orang untuk melakukan perjalanan ke Bismo. Tak apalah, yang terpenting besok aku jadi berangkat. Harus. Sebenarnya seminggu setelah ke Bismo, ada kawanku yang menawariku untuk ikut ke Prau. Tapi mungkin tidak jadi, karena pada tanggal yang mereka tetapkan itu hanya waton. Padahal mereka selalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Sejak itu aku prediksi kegiatan seminggu yang akan datang gagal. Makanya untuk antisipasi penyesalan yang akan datang, dan demi melepas kerinduanku kepada perjalanan, aku juga memilih seminggu sebelum ke Prau untuk ikut Dimas. Motoran ke Jogja, Magelang, lalu ke Wonosobo setelahnya membalik perjalanan dengan nama kota. Baru saja membuat angan-angan tentang kepergianku. Bunyi bel di segala penjuru isi sekolah terdengar.

"Istirahat akan selesai dalam lima menit."

Kami semua yang berada di kantin segera bergegas masuk ke kelas. "eh, eh, eh, bentar Van, belom abis." Jerit temanku Fadli. "Bodo amat, lama!" Aku menyeret kerah lehernya untuk masuk ke kelas.

Tibalah sore hari, aku keluar dari gerbang sekolah menuju ke tempat parkiran. Kendati lelah aku tetap akan pulang ke rumah. Ya iya, kemana lagi. Aku rasa diriku benar-benar bosan melihat jalanan ini. Setiap hari aku melewati jalan yang sama, aspal yang sama. "Ke wonosobo, masih dua hari lagi." Di sepanjang jalan aku menggerutu tentang kebosanan, kelelahan, apapun. Akhirnya aku bernyanyi di sepanjang jalan untuk sedikit menghilangkan rasa penat yang berani-beraninya menyelinap ke dalam kepalaku. "Aku kesal dengan jarak, yang sering memisahkan kita. Hingga aku hanya bisa, berbincang denganmu diWhats.. app. Aku kesal dengan waktu, yang tak berhenti bergerak...." Nyanyianku masih berlanjut di jalan. Aku berniat mampir ke warung depan SMPku dulu, untuk melihat matahari yang turun dari sebelah barat celah-celah bukit.

Kini aku sampai di tempat Bu Lastri, helai-perhelai saset kopi bergelayut di depan warungnya. Pemilik warung adalah seorang ibuk-ibuk, atau bisa di sebut juga emak-emak. Aku biasa menyapanya,"Bu Lastri?" Sudah lama sekali aku tak ke tempat ini, beliau balik menyapaku dengan riang,"Weh, lagi bali?" Percakapan kecil pun langsung terjadi.

Mengingat-ingat dulu, aku sering bolos sekolah lalu nongkrong di sini. Kalau diingat-ingat malu juga. Duduk di kursi, dan tangan kanan di meja memegang sebatang rokok yang menyala. Aku melihat ke kanan, tepat dimana arah barat adalah arah matahari turun di celah-celah bukit. Seraya itu aku menenggak kopi yang sudah mulai dingin.

'Kan ku habiskan soreku di tempat sederhana ini,

hingga matahari benar-benar ditelan bumi.

Biarkan lelahku dikenyam lewat hanyutnya waktu sore,

agar aku cepat melihat bintang dan lampu terang.

'Kan ku tuliskan secarik puisi:

di kamar

di wc

di teras

di jalan

di hutan

Agar sepi nan kesepian ini memiliki makna yang abadi.

Selamat datang malam, lekaslah bersemayam di kamarku.

Selamat tinggal sore, aku mau pulang dulu.

Kamar yang elok dan berantakan, masih mau menerimaku utuh di atas kasur. Nyaman sekali ketika menjatuhkan diri di atasnya. Terimakasih kasur kau selalu membawaku ke dalam reruntuhan mimpi. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan ingatanku kepada pendakian. Seluruh barang yang seharusnya sudah disiapkan, belum juga aku siapkan. Aku bergegas untuk menghubungi temanku, yang mana dia adalah pendaki. Panggilan sedang berlangsung, dan langsung diangkat. "Halo Dan?" Dandi namanya.

"Iya Van, ono opo?" Iya balik bertanya

"Gini.. aku mau pinjem matras sama sleeping bag, buat tanggal 12 nanti, mau aku buat Bismo, gimana, boleh nggak?"

Tanpa sedikit pun rasa segan Dandi menjawab,"Boleh, boleh.. ambil aja."

"Ohya, besok siang aku ke sana, bisakan?"

"Bisa.. nanti biar diambilin yang ada di rumah."

"Oh, ya udah."

"Okeee.."

Sepertinya Dandi, tidak akan ada di rumah. Tapi tetap akan aku ambil peralatan-peralatan itu. Setengah dari peralatan yang aku bawa masih meminjam kepada teman, setengahnya lagi aku sudah punya sendiri. Aku masih menabung sedikit demi sedikit untuk membeli peralatan, tapi tak masalah juga meminjam. Menurutku, asalkan bertanggungjawab, tak apa.

Adzan maghrib sudah melanda di seluruh penjuru langit. Aku belum juga membersihkan diri. Aku berlari ke kamar mandi, dan mandi dengan terburu-buru. Selesai sudah. Yang harus aku lakukan sudah kulakukan. Badan yang segar dan fikiran yang tenang, enak sekali rasanya jika bersantai sejenak. Memikirkan hal yang kurang penting difikirkan, hanya untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam kepalaku. Cinta. Cinta adalah hal yang manis. Tapi hidup ini tidak melulu tentang cinta, bukan berarti kita tidak boleh menikmati itu.

Misalnya, melakukan perjalanan hidup yang pahit dengan ikhlas, akan membuat kita terbiasa atas apa-apa yang kita lakukan. Seperti kata seorang penyanyi, hidup ini tidak melulu soal cinta, tetapi bukan berarti kita tidak boleh merasakannya. Hidup ini seperti kopi, pahit tapi tetap nikmat dirasakan meski tanpa gula. Bukan berarti kita tidak boleh memasukan gula kedalam kopi. Kadang juga kita harus memasukan gula untuk menikmati manisnya cinta dalam hidup. Asalkan, gula itu tidak berlebihan.

Dia adalah penyanyi favoritku. Lewat kata-katanya tentang kehidupan, membuatku ingat kembali akan hal yang terlupakan. Kadang aku tertampar oleh fikiran yang membaca kalimat-kalimatnya. Berhubung dia juga seorang penulis, aku juga suka mengutip kata-kata yang ada di buku-buku hasil karyanya itu. 

Pukul 07.40, aku merasa tidak ada tugas dan pekerjaan sekolah yang harus dikerjakan. Aku membuka handphoneku untuk memeriksa grup whatsapp Mt.Bismo. ternyata disana sedang terjadi perbincangan-prbincangan kecil. Sekedar untuk mengakrabkan diri kepada mereka yang belum saling kenal. Aku pun ikut terjun setelah Dimas mengirim pesan menarik untukku tanggapi.

Dimas Putra : (Mengirim gambar setumpukan mie instan) Mie sisa kemaren, masih buanyak tak bawa semua.

Salma Putri : Bawa aja kak buat logistik kakak

Dimas Putra : Buanyak banget yoo Ma, ini bisa buat bareng" . Tak bawain 10 ya . Nanti temen" bisa menyesuaikan . Yang biasanya makannya buanyak @⁨Arvan Pratama

Dimas Putra : Abisin bae besok

Arvan Pratama : Melongo aku liatnya wkwk

Kami akhirnya hanyut ke dalam perbincangan yang mengucur di layar kaca. Aku hanya membalas pesan-pesan mereka dengan singkat. Yang penting aku di antara mereka yang belum kenal denganku, bisa sedikit mengetahui sikapku setelah membaca pesan-pesan kukirim. Lelah meliputi malam ini, dan yang benar saja, udara panas juga ikut menyelimuti segala penjuru. Aku hunuskan sebatang fana lagi ke mulutku. Dan lagi-lagi kubakar. Malam ini terasa sepi dan membosankan bagiku. Dari notepad handphoneku aku menulis sebuah kalimat.

Tuhan, berikan aku kalimat tanya, untuk sebuah penjelasan. Kalimat pemahaman, untuk sebuah pengertian. 

Aku seperti terbang ke atas rotasi orbit di antara bintang-bintang, lalu ditarik kembali ke bumi. Aku tahu, Tuhan tidak akan mungkin marah oleh permintaan seperti itu. Karena Tuhan, pasti akan memberikannya lewat ribuan langkah perjalananku. Esok hari nanti akan kucari itu. Karena tiba-tiba aku yakin, bahwa Tuhan telah mengirimnya ke semesta. Hanya saja aku belum melanjutan perjalananku dulu. Setelah aku mendapati kalimatku yang tiba-tiba keluar tadi, aku semakin bersemangat untuk mencari-cari pemberian tuhan atas permintaanku itu. Aku buru-buru tidur untuk mempercepat waktu. Ujung rokok kutekan ke tembok, lalu melemparkan diri ke atas ranjang hangatku dan tidur.

Waktu malam ini akan bergulir sangat lambat. Tetapi, tanpa kusadari dalam tidurku, dan esok hari nanti aku sudah akan terbangun untuk bertanya, sebenarnya berapa jam aku tidur? Terasa sedikit sekali. Perjalanan waktu jika diibaratkan dengan sebuah masa depan. Sebuah masa depan membutuhkan proses yang memakan waktu, fikiran, tenaga, dan kadang ada juga yang mengeluarkan materi. Kehidupanku sedang berjalan menuju masa depan. Jika aku hanya berdiam diri, atau membiarkan waktu berjalan tanpa melakukan apapun untuk sebuah proses. Esok hari nanti aku akan bertanya, sebenarnya berapa puluh tahun aku berjalan menuju masa kini? Sebenarnya seberapa keras aku menjalani sebuah proses? Seberapa hebat aku kemaren untuk menjadi sekarang? Seberapa sabar? Seberapa ikhlas? Berapa kali jatuh? Aku pun tidak akan mengetahuinya

Hai, kawan. Hanya sekedar mengingatkan diri sendiri. Nikmati prosesmu seberat apapun itu, waktu memang lambat jika dirasakan. Tapi juga jangan terburu-buru untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Maka dari itu, nikmatilah sebuah proses untuk hari esok. Waktu akan terbakar cepat jika kamu melupakannya, dan dalam waktu itu akan ada perjalananmu, akan ada pejuanganmu, dan seberapa keras kamu melewatinya. Tanam saja hal-hal apapun yang dapat menunjang masa depanmu, hal-hal itu akan tumbuh, dan kamu sendiri yang akan menuainya. 

Kesadaranku mulai hilang ditelan waktu dan malam..