webnovel

SEKAP

Rasa sayang yang terpendam sangat lama dalam tubuh seorang pria. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mengungkapkan perasaan itu. Karena suatu keadaan memaksanya untuk berucap, ucapan kalimat rasa sayang malam itu terlantunkan di tepi jalan. Dan, semuanya berubah semenjak itu.

DIKSICOFFEE · Realistic
Not enough ratings
4 Chs

Jejak ke Sekian

12, Oktober 2019

Lagi-lagi tentang pagi. Aku bergegas menyalakan handphone, ternyata sudah pukul lima lebih lima belas. Dimas yang masih tertidur pulas, aku tepuk pundanya,"Mas, Dimas.. Bangun. Jam 05:15." Mudah sekali dia terbangun dan tetap tenang untuk menguasai nyawanya yang sedang kemana-mana. Aku langsung menuju kamar mandi. Setelah selesai Dimas, mencariku di dapur. Dia bertanya dimana kamar mandiku, aku menunjukan ruang sebelah kiri setelah dapur adalah kamar mandi. Dengan cekatan aku ganti pakaian di kamar, menggunakan kemeja berwarna hijau dongker dengan kancing yang terbuka untuk memperlihatkan baju hitam ketat di dalamnya.

Kukeluarkan dua ransel yang berada di kamar ke luar rumah. Menaruhnya di atas bangku, dua ransel itu berjejer dan terllihat gagah saat kupandangi. Cahaya matahari melihatku, dan aku sangat terlihat bahagia sekali pagi ini. Karena kami akan menempuh perjalanan jauh yang sangat menenangkan.

Sebelum berangkat, aku mencium aroma tempe goreng masakan Eyang. Aku sangat tergoda untuk masuk ke dapur. Menyicipi sedikit tempe dengan buru-buru. Saat aku mau beranjak kembali ke teras lagi, aku melihat Dimas sudah rapi keluar dari kamarku.

"Ransel lu taruh dimana, Van?"

"Itu di luar." Sembari melangkah ke luar rumah untuk mengecek sekali lagi peralatan yang kubawa. Bersama Dimas melihat dengan tiba-tiba motor matic datang, seorang ibu-ibu memboncengkan anaknya. Tak lain dan tak bukan adalah Pingkan. Aku sedikit menyapanya," Wahhh, ini ni yang ditunggu-tunggu."

Ibunya berdiri tepat di depanku berkata,"Le, jagain yo Pingkan." Ibu itu sedikit menahan air matanya yang mau tumpah,"Kalo anak udah punya kesukaan, aku raiso ngelarang. Tapi yo mung khawatir."

"Inggeh buk, tenang mawon enten kulo kalih Dimas." Ucapku yang berusaha ramah untuk menenangkan ibunya Pingkan. Aku meraih ransel Pingkan yang diulurkan kepadaku, lalu aku meletakannya di samping ransel kami. Dimas lalu angkat bicara dengan ramah untuk menenangkan ibunya Pingkan. Supaya tidak terlalu khawatir, karena ada dua pejantan yang siap menajganya nanti. Aku Sedikit menata barang-barang Pingkan yang dirasa belum rapi, dan memindah-mindahkan barang yang tidak terlalu memberatkan Pingkan.

"Van, udah beli koyo?"

"Itu entar aja, sekalian beli bensin di pom bensin yang deket sama Alfamart." Kataku, kepada Pingkan. Setelah semua dirasa cukup, aku menghampiri ibu Pingkan dan Dimas. Selekas itu ibunya Pinngkan pamit, tak mau beliau berlama-lama karena banyak kerjaan rumah yang harus beliau kerjakan.

Tinggal menunggu Herman untuk bergabung, dan kami akan beranjak menuju pertigaan Sambipitu. Kami bertiga berfoto menjelang keberangkatan, untuk dokumentasi. Lalu sebelum pergi aku masuk dan memberitahukan kepada Eyang dan kakek, bahwa kami sudah akan berangkat menuju Wonosobo. Eyang dan kakek, keluar rumah menuju teras dan akan menyaksikan kepergian kami untuk 2 hari kedepan. Adik-adikku sejak tadi pagi sudah pergi bersepeda, bersama teman-temannya.

Dimas menghapiri eyang dan kakek, dan memperkenalkan diri sekaligus berpamitan,"Mbah, saya Dimas temennya Arvan, dan ini Pingkan."

Tangan Pingkan langsung menjemput tangan eyang dan kakek,"Saya, Pingkan mbah" Ucapnya dengan sangat ramah.

"Ya, ya, ya, sudah mau berangkat to??" Tanya kakek.

Aku menjawabnya,"Iya, tapi nanti jemput temen dulu di Sambipitu."

"Ohya udah, hati-hati dijalan ya. Ndak usah ngebut-ngebut yang terpenting keselamatan." Sambil mengangkat telunjunya sebagai isyarat nasihat.

"Oke, kek, siap.. Ya udah aku sama temen-temen berangkat dulu, Assalamualaikum." Mencium tangan eyang dan kakek. Bersama dengan ransel yang sudah kami gendong, lalu kami berangkat dengan sangat khitmat dan hati-hati.

"Waalaikumsalam... ."

Masih jam 6 pagi ketika kulihat jam tangan saat di perjalanan. Menuju pertigaan Sambipitu untuk menunggu Herman, si pria yang berpostur lebih tinggi dariku dan sedikit gempal. Setelah sampai di tempat tujuan pertama, kami berhenti sejenak untuk mampir sarapan. Melihat warung soto ayam di sebelah kanan jalan, warung ini akhirnya menjadi tempat menunggu temamku, Herman. Dia belum juga sampai di petigaan, padahal tadi sudah ku kirim pesan bahwa sudah otw, dan katanya dia juga. Mungkin memang dia pengendara yang santai.

"Buk, soto 2, es jeruk 2, es teh 1" Dimas memesan soto di warung ini.

Aku beranjak duduk di tempat yang dirasa nyaman,"Lu nggak, sarapan Ping.."

"Nggak, udah kenyang.."

"Kenyang, apa diet lu? Ha ha" Tawaku garing.

"Apaan si.. tadi udah sarapan di rumah."

Dimas beranjak duduk di sebelah Pingkan yang berada di depanku. Aku melihat layar handphoneku yang tiba-tiba menyala. Herman. Dia sudah sampai di pertigaan, katanya. Dan masih bingung mencariku dan kawan-kawan. Aku bilang kepada Herman bahwa aku berada di warung soto arah jalan menuju rumahku. Aku keluar dari tempat warung soto ini.

"Dimana si???"

"Eiy, gw liat elu nyet, nggak usah bingung." Aku melihat dia jauh berada di seberang.

"Apaan, mana elunya?"

"Liat kekanan, sedikit kebelakang lagi, iya."

"Nah, ini baru." Suaranya langsung senyap dari handphoneku. Lalu Herman menuju kemari dengan motornya, dan ransel kecilnya yang berada di depan dashboard. Lalu dia turun menghampiri kami di warung soto dengan sedikit canggung. Maklum, mungkin karena belum kenalan dengan kawan-kawanku. Aku yang mempersilahkannya duduk di sebelahku, dan kubiarkan dia memperkenalkan diri, selagi aku pamit sejenak untuk mencari toilet. Agar mereka memiliki keakraban secara langsung ketika bertemu, dan juga saat melakukan pendakian nanti.

Aku bertanya di mana tempat toilet berada kepada ibu penjaga warung. Berhubung warung ini menjadi satu dengan rumahnya. Aku dipersilahkan untuk numpang toilet di rumah ibu penjaga warung ini, tetapi lewat belakang. Katanya, tidak jauh dari sini, ibu itu menunjuk gerbang kecil yang berada di sebelah kanan warung ini. Aku di suruhnya, untuk masuk saja kedalam gerbang dan melihat kekanan nanti akan ada tulisan 'toilet'. Aku telah berada di tempat yang ibu maksud. Tempat ini mungkin memang khusus untuk para pembeli. Kondisinya tidak terang tapi juga tidak gelap, mungkin tidak ada tempat lagi untuk membuat toilet khusus untuk para pembeli.

Telah usai membuang sesuatu, aku mengaca di potongan cermin kecil yang berada di dalam toilet. Aku melihat diriku lagi, pandanganku menyelimuti diriku yang berada di dalam cermin. Aku sedikit memberikan senyum kecut yang mungkin akan membuatku sedikit bersemangat. Lalu aku keluar dan kembali ke tempat kawan-kawanku. Herman tampaknya sudah lumayan akrab jika diperhatikan, baguslah. Berhubung Dimas orangnya ramah, dan Herman sendiri orangnnya terbuka. Jadi, tidak ada yang canggung satu sama lain.

Soto yang sudah datang sekitar satu menit yang lalu saat aku di toilet tadi. Mungkin akan jadi pemanasan. Aku mencoba menyeruputnya dari sendok dan memang benar-benar panas. Kemudian es jeruk yang sudah tersedia, seketika buru-buru langsung kuminum. Mereka bertiga sedikit terbahak melihatku. Sementara soto saat ini hanya kuaduk-aduk agar tidak terlalu panas.

Setelah ritual mengisi perut selesai, kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dimas yang hendak membayar makanan bertanya jumlah harga pesanan tadi. "Nih gw tambahin."

"Udah, ini dulu aja. Ntar gampang di sono, ye." Tukasnya Dimas

"Oh, ya udah." Aku menuju kemotor, dan merapikan ransel agar nyaman saat aku kendarai. Ransel besar di depanku, dan.. aku terlihat paling ribet sendiri. Karena aku selalu mencari-cari titik ternyamanku. Pada akhirnya tas itu tetap aku gendong. Pilihan yang tepat bagiku.

"Di dekat sini ada POM, nanti kita mampir dulu aja buat ngisi bensin. Di sebelahnya nanti juga ada alfamart kalau mau beli koyo sekalian aja." Kata Dimas.

"Okay." Jawabku singkat dan semangat.

Sebagian dari kami akhirnya berhenti di POM untuk mengisi bensin. Sedangkan aku ke alfamart untuk membeli koyo dan beberapa cemilan kecil. Setelah dirasa cukup, aku keluar untuk duduk sejenak menunggu mereka dalam antrian panjang. Kopi dalam botol dan sebatang fana menemani hamparan kenyamanan ini. Meja kursi di depan tempat ini sengaja dibiar acak-acak, tak rapi. Mereka memang tidak berusaha untuk membuat pengunjung nyaman. Tapi itu sama sekali tidak berpengaruh untuk kenyamananku. Ini sudah lebih dari cukup untuk melegakan pikiran sementara.

Dimas, Pingkan dan Herman datang. Pingkan yang turun dari motor bertanya. "Koyo udah, Van?"

"Udah." Jawabku sembari melihat Dimas masuk ke Alfamart. "Eh, mau beli apa lagi?"

"Gw lupa nggak bawa mantol, coy."

"Oh, ya udah." Aku menyuruh Pingkan dan Herman untuk duduk dulu sejenak.

Tak lama kemudian Dimas keluar dari dalam Alfamart. "Ayok berangkat."

"Lah, belum juga lama pada duduk." Sambungku.

"Elu, udah lama. Ayok, katanya mau liat puncak." Aku langsung buru-buru menyambar jog dan bergegas untuk berangkat ke Wonosobo.

Dalam perjalananku, aku diselimuti dengan kedamaian. Angin sepoi-sepoi yang sedikit dingin memunculkan sebuah perasaan indah tentang alam yang akan saya kunjungi ini. Aku sangat merindukan alam.

Akhirnya aku sampai di Kota Bantul, aku sudah berada di rumah Anissa. Kukira Salma sudah berada di sini, dan kita bisa langsung berangkat. Saat Ibu Anissa keluar dan menyuruh semuanya untuk beristirahat sejenak, kami disuguhi Mie Ayam buatan ibu Anissa sendiri. Rasa lelah seketika berubah menjadi lapar.

Setelah selesai makan kami menata barang-barang yang hendak dimasukan kedalam ranselku. Saat sambil mencoba untuk lebih akrab dengan Anissa secara langsung berhadapan dengan orangnya. Ternyata kami sedikit salah, bahwa sebenarnya saat menuju kerumah Anissa kami bisa menjemput Salma terlebih dahulu. Dan itu tidak kami ketahui saat perjalanan. Apa boleh buat. Waktunya untuk berangkat sekaligus menjemput gadis satu ini.

Persawahan yang hijau terhampar seperti lukisan yang menurutku indah sewaktu kecil. Orang-orangan sawah yang terlihat tua dan ramah, menyambut kedatanganku dengan berdiam.