webnovel

RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION)

Ruri Fujita adalah seorang wanita yang membangun karir ceremerlangnya sebagai designer lampu terkenal di Jepang mau pun di luar negeri. Hidupnya hampir sempurna dengan wajah cantik dan penghasilan besar setiap bulannya, memiliki sebuah toko lampu di Shibuya yang selalu diserbu oleh pelanggan. Tetapi dia dikenal pula sebagai RUNAWAY BRIDE versi Asia. Ruri terkenal dengan sebutan itu sejak dia selalu kabur dari altar pernikahannya di detik-detik sumpah setia dengan mempelai pria. Tidak ada yang mengetahui alasan tepatnya, mengapa wanita secantik dan sesukses Ruri selalu lari dari acara pernikahannya. Di balik kehidupannya yang menjadi dambaan setiap wanita mana pun, Ruri menyimpan sebuah trauma masa lalu yang tak bisa dilupakannya. Ruri adalah korban dari rumah tangga orang tuanya yang berantakan. Ayahnya yang kasar dan selalu memukuli Ibunya menjadi salah satu dari sekian banyak trauma yang dialaminya. Saat berusia 7 tahun, pembunuhan atas diri Ibunya, Akemi Kondo, 19 tahun silam oleh sebuah kelompok mafia terkenal Jepang, serta kaburnya Ayahnya dari kejadian tersebut merupakan daftar nomor satu penyebab traumanya. Ruri adalah saksi hidup pembunuhan Ibunya, menjadi target pembunuhan selanjutnya dan mengalami kebisuan selama 2 tahun di masa kanak-kanaknya. Ruri diasuh oleh detektif Wanatabe yang merupakan detektif kepolisian yang menyelidiki kasus Ibunya, dilimpahi kasih sayang bersama Isterinya serta menjadi teman sepermainan Daiki Watanabe, anak sang detektif. Bersama rekannya, detektif Yoshio Katoo, detektif Watanabe bermaksud menyelidiki kematian Ibu kandung Ruri. Namun sebuah alasan yang tidak jelas, kasus tersebut ditutup oleh pihak Kepolisian.

dindinthabita · Urban
Not enough ratings
74 Chs

Bab 22

Tubuh Sayuri terdorong ke tembok dengan mata terbelalak menatap orang yang sedang membekap mulutnya dengan telapak tangan itu. Seraut wajah yang biasanya tampak lembut kini menatapnya dengan tampang keras dengan sepasang mata tajam menusuk.

Mamoru menekan tubuh Sayuri ke tembok sambil tangannya menutup mulut wanita itu. Tatapan mata Mamoru terlihat garang menuding Sayuri.

"Apa yang kau lakukan di ruang kerja Junichi-sama?" desis Mamoru ke wajah Sayuri.

Sepasang mata yang awalnya terlihat terkejut kini berganti dengan pandang mata menantang. Dia merasa bekapan pada mulutnya sedikit melonggar sehingga dia memiliki ruang untuk berbicara.

"Apa urusanmu jika tunangan Senpaimu masuk ke ruang kerjanya?!" Sayuri bertanya balik.

Terlihat rahang Mamoru mengeras. Dia memajukan tubuhnya sehingga semakin menghimpit tubuh Sayuri. Jantung keduanya berpacu liar namun baik Sayuri mau pun Mamoru tidak ingin saling mengalah hanya karena rasa kebutuhan mereka untuk saling menyentuh.

"Kau membuka komputernya. Apa yang kau ambil dari sana..." suara Mamoru terdengar berat dan rendah, mengancam Sayuri.

Sayuri menggenggam erat flashdisk di dalam kantong roknya. Dia lupa bahwa CCTV di ruang kerja Junichi bekerja dengan baik dan terhubung langsung ke komputer Mamoru. Dia juga lupa bahwa pada saat itu Mamoru berada di penthouse Junichi, belum beranjak dari sana setelah kepergian Junichi ke Saitama.

Sayuri menepis tangan Mamoru dan berusaha keluar dari kurungan pria itu. "Itu bukan urusanmu!" tukasnya ketus.

Tapi kembali Mamoru menahan tubuh Sayuri dan memajukan wajahnya ke wajah wanita itu. "Itu urusanku, Onee-san. Kembalikan flashdisk itu," tangan Mamoru bergerak menelusuri lengan Sayuri yang berada di dalam saku roknya.

Mendengar bahwa Mamoru mengetahui keberadaan flashdisk itu membuat wajah Sayuri memucat. Dia mengepalkan tinjunya dan memukul dada keras Mamoru dengan tangannya yang bebas. "Jangan sentuh aku!" Sayuri berseru keras dan dengan kekuatannya, dia memukul. Dia juga mendorong tubuh kokoh Mamoru sehingga pria itu terpaksa mundur beberapa langkah.

Mamoru menatap Sayuri dengan terkejut. Di antara wajah pucat dan marah milik Sayuri, dia melihat linangan airmata di sana.

Sayuri mencengkram kerah blusnya dan berkata lirih pada Mamoru yang terpaku. "Kau sudah terlalu dalam masuk ke dalam lumpur, Hozy!" Setelah berkata begitu Sayuri berlari meninggalkan Mamoru.

Mamoru termundur dan menabrak sebuah meja bundar di lorong itu. Dia mengusap wajahnya yang terasa berkeringat dingin. Sinar mata Sayuri seakan menudingnya. Dia telah kehilangan kepercayaan wanita itu. Dan rasanya begitu menyakitkan. Mamoru menekan kedua lengannya di meja itu. Setetes airmata jatuh menimpa benda itu. Rasa sakit karena kehilangan kepercayaan Sayuri lebih menyakitkan daripada melihat perceraian orangtuanya. Lebih menyakitkan ketika tubuhnya hampir remuk karena pukulan para tukang pukul Junichi. Bagi Mamoru keberadaan Sayuri bagai penguat hidupnya yang payah.

"Apa yang harus kulakukan?" suara Mamoru begitu lirih. Ketika Mamoru dilanda perasaan terombang ambing seperti itu, sebuah pesan masuk membuatnya menatap layar ponselnya.

Ke Saitama sekarang. Minta ijin pada Nona lampumu itu - Junichi.

****

Ruri keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya ketika bel pintu apartmennya berbunyi. Dia menatap pintu itu dengan tegang saat teringat terakhir tadi Daiki mengantarnya.

"Jangan langsung membuka pintu dari siapa pun. Besar kemungkinan orang yang meletakkan pelacak di dompetmu sudah mengetahui tempat tinggalmu."

Ruri mendekati pintunya yang berbunyi sekali lagi. Dia mengintip dari lubang pintu dan bernapas lega ketika melihat sosok Naoko. Dia segera membuka pintu dan menyambut sahabatnya itu dengan tawa.

"Hai!!" seru Ruri memeluk Naoko.

Naoko balas memeluk Ruri dan melangkah masuk. "Kupikir kau berada di toko," ujar Naoko seraya duduk di sofa ruang tamu Ruri. Dia meletakkan sebuah buku tebal di atas meja yang diketahui Ruri sebagai buku design gaun pengantin.

Masih dengan handuk di kepala, Ruri duduk di depan Naoko dengan bersila. "Tidak...dari Koto, Daiki langsung mengantarku pulang. Lagipula aku terpaksa menelpon Rui untuk menutup toko lebih awal."

Naoko membuka tutup mangkuk kaca yang berisi marshmallow, mengambil satu manisan warna warni itu dan melemparnya ke mulut.

"Mengapa?"

Ruri ikut mengambil satu marshmallow dan menggigitnya. "Mamoru tidak bisa datang ke toko karena ada urusan di luar. Kupikir biar sajalah memberi waktu istirahat para karyawanku itu sebelum melakukan bisnis besar dengan perusahaan interior di London itu." Mata Ruri melihat buku design Naoko. "Apa kau dari tempat klienmu?" Ruri meraih buku itu dan mulai melembarinya.

Puluhan design gaun pengantin tercetak di sana. Bakat Naoko yang luar biasa itu mampu menghasilkan gaun pengantin sekelas Vera Wang.

Naoko menopangkan sikunya pada lututnya dan menunjuk halaman terakhir yang masih merupakan coretan kasar. "Menurutmu apakah tampak cantik berbentuk kembang atau duyung?" Naoko menatap Ruri dengan senyum rahasia.

Ruri memandang sketsa kasar itu dan meniliknya dengan seksama. "Sepertinya model untuk gaun ini memiliki leher jenjang dan kaki yang panjang. Kupikir akan terlihat seksi jika gaun pengantin ini berbentuk duyung dengan leher terbuka membelah di antara dada. Tudung kepalanya jangan terlalu panjang. Lebih baik warnanya jangan terlalu putih tapi mendekati warna susu strawberry." Lalu Ruri tertawa. "Aish..mengapa aku malah memberikan pendapatku? Ini tentu milik klienmu..."

Naoko merampas buku itu dan mulai mencoret sana sini. "Oke. Akan kugambar sesuai imajinasimu.." ucap Naoko dengan serius.

Ruri mengibaskan tangannya. "Hei..jangan dengarkan aku. Nanti tidak sesuai dengan kemauan klienmu."

Naoko mengangkat matanya dari buku itu dan tertawa renyah. "Mengapa? Ini gaun milikmu. Jadi aku akan membuatnya sesuai imajinasimu."

"Apa? Gaunku?" Ruri merasakan wajahnya memanas.

Naoko menutup buku tebalnya dan mengangguk. "Ya. Aku sedang menggarap gaun pengantinmu yang ketujuh. Aish...kuharap ini yang terakhir. Malam kalian baru sampai di Koto, Daiki-kun menelponku. Dia memintaku untuk menggambar gaun pengantin untukmu. Dia tidak meminta seperti apa bentuknya tapi dia meminta gaun itu terbuat dari kain sutra. Mendengar bentuk yang tadi kau sebutkan, sutra adalah pilihan yang tepat karena gaun itu akan melekat pas di tubuhmu. Dasar Daiki itu mesum semuanya." Naoko tertawa keras.

Ruri tidak tahu bahwa diam-diam Daiki menelpon Naoko. Dia tersenyum senang saat sebuah pesan diterima ponselnya.

Ruri membuka pesan bernomor itu dan membaca cepat.

"Selamat malam. Apa anda masih mengingat janji kita besok?" – Sayuri Fukuda.

Ruri segera membalas pesan itu.

"Tentu saja. Sarutahiko Coffee 1-6-6 Ebisu, Shibuya pukul 10" - Ruri.

"Baiklah. Saya akan datang tepat waktu" – Sayuri Fukuda.

Ruri menggigit ujung ponselnya setelah berbalas pesan dengan wanita asing yang sama sekali belum dijumpainya. Ruri merasa sedikit aneh dengan wanita bernama Sayuri Fukuda yang begitu ngotot bertemu dirinya. Selagi dia memikirkan hal itu, dia mendengar gumaman Naoko sambil merancang gaunnya.

"Kedua pria itu sekarang akan lebih kurang istirahat karena mengejar pembunuh yang mengenakan White Guardian Brecelet itu, " keluh Naoko.

Tiba-tiba Ruri menegakkan tubuhnya. Dia berseru keras pada Naoko. "Guardian?! Ya itu arti namanya. Guardian adalah penjaga! Mamoru artinya adalah guardian atau penjaga!" Ruri menepuk dahinya. "Mengapa aku bisa lupa sewaktu Daiki menanyakannya?"

****

Malam itu juga Daiki dan Hideo pergi ke apartemen Direktur Bank Asing Saitama yang terbunuh di tangan Jiro Miura. Apartemen mewah itu berada di Asakusa.

Daiki dan Hideo bergerak cepat memasuki lift tanpa dicurigai orang-orang. Kedua pria itu berpakaian serba hitam seperti preman dan langsung menekan nomor 23 di mana terletak apartemen Peter McKenzie.

Keduanya berjalan cepat menuju pintu apartemen yang ditutupi garis kuning kepolisian. Hideo menatap Daiki dengan bimbang.

"Apa kau yakin dengan ini?"

"Aku harus memastikan semuanya dari awal seperti yang ayahku bilang. Mengunjungi TKP." Daiki menjawab sambil dia menyingkirkan tali kuning tersebut dan mulai melakukan pembobolan kode kombinasi pintu apartemen.

Alis Hideo terangkat. "Kita dilarang merusak barang bukti."

Daiki berhasil membuka kode kombinasi apartemen itu dan tersenyum dengan khasnya. Dia mendorong pintu hingga terbuka lebar.

"Membobol kode kombinasi demi kepentingan penyelidikan diperbolehkan." Daiki melangkah masuk sambil menunjukkan lencana polisinya.

Hideo memutar bola matanya. "Aku curiga otakmu terbuat dari apa heh!" Dia mengikuti Daiki dan segera menutup kembali pintu tersebut. Dia teringat akan alat pelacak yang berada di tubuh Daiki.

"Kau sudah mematikan alat pelacak itu?", tanya Hideo khawatir.

Tanpa menoleh Daiki menjawab pendek. "Benda itu sudah kuhancurkan!"