webnovel

RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION)

Ruri Fujita adalah seorang wanita yang membangun karir ceremerlangnya sebagai designer lampu terkenal di Jepang mau pun di luar negeri. Hidupnya hampir sempurna dengan wajah cantik dan penghasilan besar setiap bulannya, memiliki sebuah toko lampu di Shibuya yang selalu diserbu oleh pelanggan. Tetapi dia dikenal pula sebagai RUNAWAY BRIDE versi Asia. Ruri terkenal dengan sebutan itu sejak dia selalu kabur dari altar pernikahannya di detik-detik sumpah setia dengan mempelai pria. Tidak ada yang mengetahui alasan tepatnya, mengapa wanita secantik dan sesukses Ruri selalu lari dari acara pernikahannya. Di balik kehidupannya yang menjadi dambaan setiap wanita mana pun, Ruri menyimpan sebuah trauma masa lalu yang tak bisa dilupakannya. Ruri adalah korban dari rumah tangga orang tuanya yang berantakan. Ayahnya yang kasar dan selalu memukuli Ibunya menjadi salah satu dari sekian banyak trauma yang dialaminya. Saat berusia 7 tahun, pembunuhan atas diri Ibunya, Akemi Kondo, 19 tahun silam oleh sebuah kelompok mafia terkenal Jepang, serta kaburnya Ayahnya dari kejadian tersebut merupakan daftar nomor satu penyebab traumanya. Ruri adalah saksi hidup pembunuhan Ibunya, menjadi target pembunuhan selanjutnya dan mengalami kebisuan selama 2 tahun di masa kanak-kanaknya. Ruri diasuh oleh detektif Wanatabe yang merupakan detektif kepolisian yang menyelidiki kasus Ibunya, dilimpahi kasih sayang bersama Isterinya serta menjadi teman sepermainan Daiki Watanabe, anak sang detektif. Bersama rekannya, detektif Yoshio Katoo, detektif Watanabe bermaksud menyelidiki kematian Ibu kandung Ruri. Namun sebuah alasan yang tidak jelas, kasus tersebut ditutup oleh pihak Kepolisian.

dindinthabita · Urban
Not enough ratings
74 Chs

Bab 21

Daiki tersadar dan mengusap wajahnya. Dia menatap Ruri yang tengah menatapnya dengan tatapan heran. "Dari mana kau mengenal pria necis barusan?" Suara Daiki terdengar tidak bersahabat.

Ruri mengerutkan keningnya. "Aku tidak terlalu mengenalnya. Dia muncul begitu saja di sampingku ketika aku memilih aksesoris dan mengajakku berkenalan."

"Dan kau bercerita tentang tokomu di Tokyo?" Kembali Daiki bertanya. Kali ini dengan nada penasaran.

Bola mata Ruri membulat. Dia memiringkan wajahnya di depan Daiki. "Apa kau sedang cemburu?" goda Ruri dengan menahan senyum.

Wajah Daiki bersemu merah. Dia melangkah meninggalkan Ruri yang membuat wanita itu terpaksa mengejarnya.

"Mengapa kau bisa muncul dengan tiba-tiba begini?" Ruri bertanya setelah mereka sampai pada mobil Daiki.

Daiki membuka pintu mobil dan duduk di belakang setir. Wajahnya masih terlihat penasaran dengan kemunculan Mamoru dengan gelang serupa yang sedang diselidikinya.

Ketika mendengar pertanyaan Ruri, Daiki menghela napas seraya menghidupkan mesin mobil. "Di dalam dompetmu terdapat alat pelacak."

Sementara itu Junichi dan Mamoru memarkir mobilnya di sebuah tikungan stasiun Subway Koto menanti lewatnya mobil Daiki yang membawa Ruri.

Junichi menatap Mamoru dengan jengkel. "Mengapa kau bisa muncul? Dan rasanya aku pernah melihat wajah pria barusan!"

Mamoru menoleh Junichi sekilas. "Maaf. Aku melihat pria itu berlari menuju pusat perbelanjaan dan langsung mengejarnya." Mamoru menggantungkan kalimatnya hingga membuat Junichi mendelik padanya. "Dia adalah Detektif Daiki Watanabe. Profilnya pernah kau lihat malam itu. Dia merupakan penyidik inti dalam kasus Bank Asing Saitama dan Toshima dan sekarang kasus pembunuhan Jiro Miura. Dan yang terpenting dialah putra Detektif Takao Watanabe yang ingin mengusut ayahmu atas keterlibatan pembunuhan Akemi Kondoo."

Wajah Junichi berubah keras. Dia menggigit kepalan tinjunya. "Kembali ke Tokyo. Aku ingin segera mengoperasikan Bank Asing Saitama menjadi markas kita. Dan aku juga harus segera membuka kembali rumahku di Azabu. Di rumah itu banyak sekali data tersimpan di ruang kerja Otou-san."

Tak banyak bicara dan tidak lagi menunggu mobil Daiki lewat, Mamoru menancap gas menuju kembali ke Tokyo.

****

Ruri terbelalak mendengar kalimat Daiki. Dia menatap pria itu yang sedang menjalankan mobilnya dengan perlahan. Merasa Ruri terdiam, Daiki melirik wanita itu dan menghela napas. "Benda itu kutemukan tadi malam di dasar dompetmu. Itu berhasil kudeteksi karena menggunakan peralatan komputer milik Otou-san semalam. Ada seseorang yang menyimpannya di sana untuk memata-matai gerak gerikmu."

Ruri mengusap rambutnya dan membuang tatapannya ke luar jendela mobil. "Mengapa aku? Sebenarnya apa yang sedang kuhadapi sekarang?" gumam Ruri kesal. Dibanding rasa takut, rasa kesalnya lebih besar membuat Ruri membenci keadaannya. "Bukankah ini semua kesalahan ayahku? Mengapa harus aku yang merasakan semua kesakitan ini? Di mana dia selama ini?!"

"Ruri..."

"Mengapa aku tidak ikut mati saja bersama Okaa-san sehingga tidak merasakan semua ketakutan ini!" Ruri akhirnya hilang kendali. Dia berteriak seraya mencengkram rambutnya.

"Ruri!" Daiki menghentikan mobil secara tiba-tiba di badan jalan dan segera memeluk Ruri yang histeris. Daiki mendekap tubuh itu dengan erat dan membenamkan wajahnya di puncak kepala Ruri. Dia mengangkat mukanya sambil berkata penuh emosi. "Jangan bicara begitu. Ada aku di sini! Pandanglah aku, Ruri...ada aku di sisimu," Daiki merangkum wajah Ruri yang pucat dan mendekatkan wajah pias itu pada wajahnya.

Sepasang mata Ruri berlinang ketika melihat bagaimana Daiki berusaha menguatkan dirinya. Dia merasa dirinya hampir tidak sanggup lagi menghadapi semua yang berhubungan dengan kasus pembunuhan yang melibatkan dirinya. Daiki menyadari betapa pertahanan diri Ruri runtuh mendengar bahwa dirinya ditempeli alat pelacak yang bahkan Daiki sendiri tidak bisa menebak siapa yang melakukannya. Dia menempelkan dahinya pada dahi Ruri dan berbisik lirih.

"Kumohon...kuatlah Ruri...aku berjanji akan menuntaskan semua ini. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Percayalah." Selain dia menguatkan hati Ruri, sebenarnya Daiki juga sedang menguatkan dirinya sendiri dalam menghadapi kasus pelik ini. Rekaman CCTV yang ditontonnya semalam membuat dia menyadari dia sedang memburu seorang pembunuh berdarah dingin. Seorang pembunuh yang sudah melalukan pembunuhan sejak usianya masih belia. Anak lelaki itulah pembunuh yang sebenarnya.

Ruri menyusupkan wajahnya di lekuk leher Daiki dan menangis di sana. Dirasakannya kembali Daiki memeluknya. "Maaf," isaknya perlahan di sela-sela tangisnya.

Mendapati akhirnya Ruri menangis justru membuat Daiki lebih lega karena dengan cara demikian wanita itu bisa menumpahkan rasa sedih dan marah serta putus asanya. Selama 19 tahun Ruri hidup dalam rasa ketakutan yang besar dan Daiki bersumpah akan menyeret Kenji Fujita ke hadapan Ruri untuk mempertanggungjawabkan semua yang sudah dilakukannya terhadap putrinya sendiri selama belasan tahun ini.

Dia melepasakan pelukannya dan menghapus airmata Ruri dengan punggung tangannya dan tersenyum. "Ayo kita pulang. Otou-san sangat khawatir dan aku juga tidak mau ditilang karena berhenti sembarangan." Daiki mencoba mencairkan suasana agar Ruri bisa menepis rasa sedihnya.

Ruri menghapus airmatanya dan membersit hidungnya dengan tissu yang terletak di dashboard audy itu. Daiki sengaja memperlambat laju mobilnya agar bisa memberi kesempatan pada Ruri untuk menenangkan diri. Mereka bercakap ringan namun rasa penasaran Daiki akan manusia bernama Mamoru yang tiba-tiba menjadi karyawan Ruri dan berada di Koto membuat lidah Daiki gatal untuk bertanya.

"Hmmm...Mamoru itu...apakah sudah lama menjadi karyawanmu?" tanya Daiki santai.

Ruri menoleh Daiki dan mendapati wajah pria itu biasa saja. "Sekitar seminggu yang lalu. Waktu terakhir aku kabur dari altar," jawab Ruri.

Daiki membelokkan setirnya memasuki pemukiman rumah ayahnya. "Apakah memang namanya Mamoru? Tanpa marga? Apa kau meminta CVnya?"

Ruri mengerutkan keningnya. "Tidak...Mamoru itu seperti nama panggilan. Kalau tidak salah ada artinya. Aku lupa. Tapi dia melamar menggunakan nama aslinya, Hozy Mori. Kenapa?" Ruri menatap Daiki dengan penasaran.

Daiki memarkir mobilnya dengan mulus di halaman rumah Takao. Hozy Mori. Daiki mengingat nama itu dengan baik. Dia menoleh Ruri seraya tersenyum. Dia memajukan wajahnya dan mendaratkan kecupan ringan pada pipi mulus yang merona itu.

"Aku hanya ingin tahu saja tentang pria muda tampan yang berada di samping Ruriku setiap harinya."

****

Malamnya Daiki memasukkan flashdisk ke komputer Takao untuk menonton kembali rekaman CCTV pembunuhan Jiro Miura. Berkali-kali dia men-zoom gambar si pengantar pizza untuk memperhatikan gelang yang dikenakan si pembunuh. Lama dia memperhatikan rekaman itu sambil membayangkan sosok Mamoru.

Dia meraih ponselnya dan melirik jam di sana. Sudah cukup larut dan smirk evilnya muncul. Sorry Senpai...aku merusak malammu lagi, kekeh Daiki dalam hati.

Dia menekan nomor Hideo dan dugaannya benar. Senpainya itu menyambut teleponnya dengan nada kesal yang parau.

"HEi! Kau selalu menggangguku!" - Suara Hideo.

Daiki tersenyum senang mendengar nada jengkel Hideo. Dia masih bisa mendengar sisa-sisa napas pria itu memburu. "Maaf. Besok aku dan Ruri kembali ke Tokyo..."

"Aku tidak bertanya!" - Suara Hideo sakit hati.

Senyum Daiki makin lebar. "Bagaimana perkembangan di Tokyo?"

"Sebuah data kepolisaan dibobol oleh seorang hacker. Data itu tercuri dari Divisi Narkoba." - Suara Hideo.

"Kapan terjadinya? Kau tidak berhasil mendapatkannya?" - Daiki menekan beberapa kata sandi kepolisian dan masuk ke dalam sandi Divisi Narkoba dengan alias Lady Bird. Akses langsung diterima dan keningnya berkerut melihat data tersebut kosong.

"Beberapa jam yang lalu. Aku hampir berhasil mendapatkannya tapi laju pergerakan data tidak bisa lagi dihentikan" - Suara Hideo. "Ah.Daiki... lebih baik tunggu kau kembali saja kita membahasnya"

Daiki mendengar keluhan Hideo namun matanya terus menjelajah jaringan yang terhubung pada data yang hilang. Sambil menunggu loading data, Daiki melihat alat pelacak yang ditemukannya.

"Aku ingin meminta pertolonganmu." - Daiki mendengar geraman Hideo di seberang. Dia kembali terkekeh. "Aku akan mengirim sebuah gambar alat pelacak melalui ponsel. Aku perlu tidur malam ini untuk perjalanan besok. Aku ingin kau mencari tahu alat pelacak itu terhubung ke komputer milik siapa. Ah, kau bisa melakukannya besok pagi. Benda ini terdapat di dalam dompet Ruri." - Kembali Daiki mendengar helaan napas Hideo dan akhirnya setuju.

"Arigatou, Senpai." - Daiki menutup percakapan. Dia tidak ingin mengganggu Hideo lebih lama.

Sebelum dia mematikan komputer, gambar pria pengantar pizza dengan White Guardian Brecelet tersebut di printnya. Daiki menatap dengan lekat gelang tersebut dan merasa yakin bahwa gelang serupa dikenakan oleh Mamoru. Dia akan mencari tahu tentang pria itu dengan berpedoman dengan nama Hozy Mori.

Daiki mengirimi gambar alat pelacak itu melalui ponsel dari berbagai sudut terutama kode pengguna alat pelacak tersebut kepada Hideo. Setelah itu dia berjalan untuk mematikan lampu ruangan itu dan terpaku sejenak. Dia teringat kalimat Ruri. "Nama panggilannya Mamoru. Kalau tidak salah ada artinya. Aku lupa..."

"Mamoru..." sambil menggumam Daiki mematikan saklar dan berjalan menaiki tangga.

Dia mendorong pintu kamar Ruri dan melihat wanita itu sudah tidur dengan nyenyak. Daiki menutup kembali pintu kamar itu. Dia tidak ingin mengganggu Ruri malam itu.

Ketika hendak menuju kamarnya, melalui jendela lorong dia melihat ayahnya duduk sendirian di kebun bunganya dengan ditemani beberapa botol minuman. Daiki membatalkan niatnya untuk tidur dan berlari menuju kebun.

Takao menegak sakenya ketika suara Daiki muncul di belakangnya.

"Otou-san, kau tidak mengajakku minum?" Daiki mendudukkan dirinya di bangku di depan ayahnya.

Takao tertawa saat melihat anaknya menuang saku ke gelas dan menegaknya dalam sekali tegukan. Daiki mengeluarkan suara khas orang sehabis minum sake dan tertawa pada Takao.

"Selalu mendapatkan sake terbaik." Daiki mengacungkan gelasnya dan menuangkan kembali ke sana.

"Kau peminum ulung," kekeh Takao.

Daiki mengusap ujung bibirnya dari sisa sake dan menatap ayahnya. "Aku termasuk orang nomor tiga dalam urusan minum di kepolisian."

"Apa ada yang lebih kuat darimu?" tanya Takao.

"Salah satunya Hideo senpai," jawab Daiki. Dia menatap takao. "Tapi kepala Ichiro Nakano yang memegang rekor."

Takao mendongak ke langit. "Ah, Ichiro-kun. Dia juniorku dan merupakan salah satu yang tidak puas atas ditutupnya kasus Akemi Kondoo." Lalu dia menoleh Daiki. "Apa dataku cukup membantu penyelidikanmu?"

Daiki sedang tidak ingin membahas urusan kasus itu bersama ayahnya malam itu. Dia ingin membicarakan percakapan normal antara ayah dan anak. "Hampir seluruh datamu kubawa pulang ke Tokyo."

Takao sangat mengenal Daiki seperti mengenal dirinya. Anaknya itu sedang tidak ingin membahas pekerjaan malam itu. Takao ingin menikmati waktu saat itu bersama Daiki.

"Aku sudah bicara dengan Ruri tadi pagi. Kau akan menikahinya, bukan?" tanya Takao tersenyum.

Di balik remang malam, pria tua itu menangkap rona merah di wajah Daiki. Dia tertawa keras. "Aku sangat lega ketika mengetahui hubungan kalian melalui mata tuaku ini. Selama ini aku merasa tidak rela Ruriku itu berjalan di altar menuju para pria bodoh itu. Sebenarnya aku selalu girang melihat Ruri kabur didetik-detik penentuan itu." Takao menuang sake di gelas Daiki dan di gelasnya sendiri.

Daiki tertawa pula sambil kembali meneguk sake yang ke sekian kalinya. "Kupikir kau justru keberatan jika pria itu adalah aku."

"Kau adalah pilihan terbaik bagi Ruri. Anak itu belum pernah merasakan kebahagiaan yang sempurna meski pun selama ini dia tumbuh bersama kita. Aku tahu dia bahagia tapi kau tahu arti bahagia secara batin dan rasa aman bukan? Kedua hal itu hanya denganmu bisa didapatnya." Takao menatap lekat sepasang mata Daiki yang memiliki sinar yang sama sepertinya.

"Aku tahu, Otou-san. Lagipula aku memang sudah mencintai Ruri dari kecil. Cinta seorang anak-anak berubah menjadi cinta orang dewasa ketika umurku 16 tahun." Daiki teringat bagaimana dulu dia memendam rasa cintanya pada Ruri serta fantasinya bersama wanita itu.

Takao tertawa dan mereka bercakap-cakap sepanjang malam disaksikan oleh Ruri dari jendela kamarnya. Dia menempelkan dahinya pada kaca jendela dan merasakan airmatanya mengalir. Dia merasa beruntung berada di dalam lemari pakaian 19 tahun lalu dan ditemukan oleh Takao. Meskipun hidupnya dibayangi oleh monster masa lalu dan sempat berpikir lebih baik dia mati bersama ibunya, tapi selama 19 tahun ini dia bahagia berada di tengah-tengah keluarga Watanabe.

Tiba-tiba dia melihat Daiki mendongak ke arah jendela kamarnya dan memberikan senyum khasnya untuk Ruri.

Ketika besoknya mereka kembali ke Tokyo, Daiki dengan sengaja mengaktifkan secara manual alat pelacak yang kini berada didalam saku celananya. Dia memancing pemilik alat tersebut untuk kembali menggunakan komputernya agar Hideo lebih mudah melacak di mana alat itu terhubung.

Sementara itu di Tokyo, Junichi mulai mengoperasikan Bank Asing Saitama yang kini telah berganti sistem kerjanya. Dari hasil pencurian data yang dilakukan Mamoru dari komputer Divisi Narkoba, Junichi mulai menghubungi beberapa gembong narkoba di Eropa untuk melakukan pertemuan. Selain itu juga Mamoru tidak berhenti menekan kemajuan saham yang dimiliki oleh Kenji Fujita di London sehingga beberapa Bank milik pria itu mulai kehilangan kepercayaan nasabah. Membuat akhirnya Kenji memutuskan kembali ke Jepang untuk menemukan orang yang telah menghancurkan hidupnya hanya dalam waktu seminggu.

Sayuri diam-diam memperhatikan semua yang dilakukan Junichi dan Mamoru membuat dia nekad untuk memasuki ruang kerja Junichi di hari kepulangan Ruri dan Daiki ke Tokyo.

Kesempatan itu didapatkan Sayuri ketika Junichi pergi ke Saitama untuk bertemu para mafia Eropa lainnya. Sebagai seorang wanita yang mendampingi seorang mafia seperti Junichi, membuat Sayuri sedikit banyak mengetahui cara kerja kelompok tersebut temasuk cara masuk ke dalam akses komputer mereka. Meskipun Sayuri tidak mengerti cara meretas namun dia bisa membuka data milik Junichi.

Dengan jantung berdebar Sayuri mulai membuka folder yang terdapat di data D. Dia menemukan folder Bank Asing Saitama serta folder yang bernama R.U.R.I.

Sayuri tergerak membuka folder tersebut dan ternyata langsung terhubung pada laman web milik toko lampu yang dikunjunginya beberapa hari lalu berdasarkan hasil mengupingnya malam itu. Meski pun masih sangat samar, Sayuri mulai memahami mengapa Mamoru terlihat terkejut akan kemunculannya di toko itu. Posisi Mamoru sebagai karyawan di sana juga ketidaksenangan Junichi dia mengunjungi toko tersebut.

Khawatir ada yang melihat dia berada di ruang kerja Junichi, Sayuri cepat mengeluarkan flashdisk yang sengaja dibawanya. Dia mengcopy semua folder yang dicurigainya dan setelah selesai, dia mematikan komputer dan mengembalikan benda-benda yang disentuhnya ketempat semula.

Sayuri menutup pintu ruang kerja itu dengan pelan. Tiba-tiba dia terkejut bahwa sebuah tangan membekap mulutnya dari belakang.