webnovel

RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION)

Ruri Fujita adalah seorang wanita yang membangun karir ceremerlangnya sebagai designer lampu terkenal di Jepang mau pun di luar negeri. Hidupnya hampir sempurna dengan wajah cantik dan penghasilan besar setiap bulannya, memiliki sebuah toko lampu di Shibuya yang selalu diserbu oleh pelanggan. Tetapi dia dikenal pula sebagai RUNAWAY BRIDE versi Asia. Ruri terkenal dengan sebutan itu sejak dia selalu kabur dari altar pernikahannya di detik-detik sumpah setia dengan mempelai pria. Tidak ada yang mengetahui alasan tepatnya, mengapa wanita secantik dan sesukses Ruri selalu lari dari acara pernikahannya. Di balik kehidupannya yang menjadi dambaan setiap wanita mana pun, Ruri menyimpan sebuah trauma masa lalu yang tak bisa dilupakannya. Ruri adalah korban dari rumah tangga orang tuanya yang berantakan. Ayahnya yang kasar dan selalu memukuli Ibunya menjadi salah satu dari sekian banyak trauma yang dialaminya. Saat berusia 7 tahun, pembunuhan atas diri Ibunya, Akemi Kondo, 19 tahun silam oleh sebuah kelompok mafia terkenal Jepang, serta kaburnya Ayahnya dari kejadian tersebut merupakan daftar nomor satu penyebab traumanya. Ruri adalah saksi hidup pembunuhan Ibunya, menjadi target pembunuhan selanjutnya dan mengalami kebisuan selama 2 tahun di masa kanak-kanaknya. Ruri diasuh oleh detektif Wanatabe yang merupakan detektif kepolisian yang menyelidiki kasus Ibunya, dilimpahi kasih sayang bersama Isterinya serta menjadi teman sepermainan Daiki Watanabe, anak sang detektif. Bersama rekannya, detektif Yoshio Katoo, detektif Watanabe bermaksud menyelidiki kematian Ibu kandung Ruri. Namun sebuah alasan yang tidak jelas, kasus tersebut ditutup oleh pihak Kepolisian.

dindinthabita · Urban
Not enough ratings
74 Chs

Bab 23

"Apa?! Bagaimana jika kita membutuhkannya?" Hideo protes.

Sambil mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, Daiki menjawab anteng. "Kita tidak akan membutuhkannya lagi setelah tadi kita mengetahui benda itu terhubung pada komputer milik siapa."

Hasil penyelidikan Hideo sepanjang Daiki kembali ke Tokyo dengan alat pelacak itu adalah bahawa dia mendapatkan asal keberadaan benda itu melalui kode produksi yang dikirim Daiki melalui pesan SNS. Benda itu berasal dari sebuah komputer di area pemukiman Hiroo dan pusat kota Tokyo. Butuh kerja keras bersama detektif lainnya di Divisi Cyber Crime untuk menembus jaringan komputer tersebut dan membuat Hideo nyaris mengumpat Daiki yang berbagi tugas serumit itu.

Ruangan gelap menyambut mereka. Hideo yang telah memakai sarung tangan tidak mau menghidupkan saklar lampu dan mengeluarkan dua buah senter kecil, melemparkan salah satunya pada Daiki yang segera menerimanya.

Alis Daiki terangkat tinggi menatap senter kecil itu dan seringainya mengintip di wajah tampannya. Untung saja ruangan begitu gelap sehingga wajah Hideo yang merah padam tidak terlihat.

"Ternyata senter kecil ini banyak gunanya." Daiki menahan tawanya dan mulai berjalan memasuki ruang demi ruang yang tampak berantakan.

Melalui senter yang mereka pegang, ada salah satu ruang yang tertinggal oleh darah mengering di lantai dan beberapa bercak di dinding. Hideo menyinari darah mengering itu dan memandang Daiki yang terus masuk lebih dalam.

"Daiki...aku tidak yakin Jiro Miura membunuh pria ini hanya dengan pentungan. Darahnya begitu banyak," seru Hideo heran. Dia dan Daiki tidak melihat kondisi mayat dan hanya menerima laporan dari Divisi Forensik kepolisian, Peter McKenzie terbunuh karena dipukul. Tapi bila melihat dari banyaknya darah, itu terlihat seperti luka dari benda tajam.

"Senpai! Kemari!" Suara Daiki mengagetkan Hideo dan dia segera berlari ke arah di mana Daiki berada, yaitu di kamar tidur.

Hideo melihat Daiki sedang membungkuk pada meja komputer yang sedang berjalan. Dalam sekali pandang Hideo melihat keadaan kamar itu seperti kapal pecah. Tiap laci dan lemari terbuka dan isinya berhamburan. Tapi dia lebih tertarik pada raut wajah tegang milik Daiki.

Dia mendekat dan melongok dari punggung pria itu. Sebuah folder berisikan data Bank Asing Saitama yang terhubung pada laman web tampak kosong dan berganti menjadi data web baru. Lucifer.

Kedua orang itu terpaku saat terus membuka web tersebut. Itu adalah sebuah sindikat yang terorganisir dan berbahaya. Sebuah jaringan kejahatan yang melibatkan perdagangan obat-obatan terlarang, senjata gelap dan prostitusi. Jaringannya begitu luas menyebar di Amerika dan Eropa dan kini mulai merambah ke Jepang. Lebih mengejutkan lagi bahwa sindikat tersebut terhubung langsung pada Kepolisian!

"Apa-apan ini?!" desis Hideo geram.

Jari Daiki terus bergerak menelusuri pengembangan dari sindikat itu. Sebuah data dari salah satu Bank masuk ke dalam target pengambilan Lucifer.

Daiki mengklik nama bank tersebut dan data itu segera muncul. Keduanya tersandar ketika melihat profil pemilik bank tersebut. Kali ini baik Daiki dan Hideo sudah yakin akan keterlibatan Jiro Miura atas kasus Akemi Kondoo. Nama Kenji Fujita beserta fotonya terpampang jelas.

Daiki mengusap wajahnya. "Kita harus menemukan pemimpin dari Lucifer ini."

Hideo melihat di bagian atas tentang owner dan menyuruh Daiki mengklik kotak tersebut.

"Klik di sini." Hideo mengetuk layar komputer dan ketika Daiki mengklik, halaman tersebut terproteksi.

"Aish!" Daiki menepuk meja komputer. Dia memandang Hideo. "Aku terpaksa membobol sandinya. Tapi akan memakan waktu..." Daiki mengeluarkan flashdisk dan siap mencoloknya ketika Hideo memberi tanda di depan mulutnya.

"Tunggu! Dengar!" Pendengaran Hideo yang terlatih segera mendengar suara mencurigakan di luar kamar tersebut. Suara pintu terbuka membuat keduanya cepat mematikan senter dan Daiki segera men-copy data ke dalam flashdisk.

"Cepat..." desis Daiki pada gambar pemindahan data ke flashdisk. Dia cepat mempersiapkan pistol di tangan begitu juga Hideo.

Suara langkah kaki terdengar pelan mulai mengitari apartemen. Daiki segera mencabut flashdisk ketika semua data telah ter-copy dan sewaktu dia ingin mematikan komputer, sebuah bagian map di komputer tersebut menampilkan data yang terhubung. Sebuah area di area Azabu tampak sedang terhubung dengan komputer tersebut.

"Daiki! Matikan komputer!" desak Hideo yang sudah berdiri di balik pintu dengan pistolnya.

Suara langkah kaki semakin mendekati pintu kamar tersebut. Daiki menekan tombol shut down pada komputer dan bergerak tanpa suara ke balik lemari di dekat jendela.

Daiki dan Hideo melihat pintu kamar itu terbuka dan sebuah sosok gelap melangkah masuk. Ruangan yang gelap gulita itu membuat pandang mata Daiki dan Hideo kesulitan untuk mengenali sosok itu meskipun dari bayangannya, sosok itu adalah seorang pria.

Baik Daiki dan Hideo sudah siaga seandainya pria gelap itu menyadari kehadiran mereka. Keduanya sudah siap dengan pistol dan posisi siap. Namun sepertinya sosok pria itu hanya tertuju pada satu objek.

Pria gelap itu berjalan menuju komputer Peter dan mulai menyalakannya. Daiki yang lebih dekat dengan keberadaan pria itu menjulurkan kepalanya untuk mempelajari sosok yang membungkuk membelakanginya.

Dari cahaya komputer tampak pria itu membuka laman web yang sudah dibuka Daiki. Daiki sangsi bahwa pria itu tidak tahu bahwa komputer itu baru saja digunakan kerena terlihat pria itu meraba PC dan berdiri tegak. Tampak kepalanya menoleh kiri kanan dan Daiki melihat bahwa pria itu juga sedang mencopy sebuah data.

Merasa tidak ada yang janggal, pria itu kembali membungkuk dan mencabut flashdisknya. Mematikan komputer dan berjalan menuju ke luar pintu.

Hideo dan Daiki keluar dari tempat mereka dan segera berlari keluar. Tanpa kesepakatan apa pun keduanya berlari menuju lift yang sedang turun. Mereka melihat angka yang terus turun dan memutuskan mengejar lewat tangga darurat. Sebelum Daiki mengikuti Hideo dia melihat sebuah kamera CCTV di lorong lift tersebut. Dia mengeluarkan ponsel yang telah dirakit menjadi alat untuk merekam rekaman CCTV dengan hanya memotretnya dan langsung mengirimnya ke markas Cyber Crime Kepolisian saat itu juga.

Sambil mengikuti Hideo menuruni tangga darurat, Daiki menelpon kepala Ichiro. "Saya sudah mengirim rekaman CCTV di gedung apartemen Peter McKenzi. Ada pria asing yang mendatangi apartemen Peter dan mengambil data di komputernya. Dan ada satu hal yang harus anda ketahui. Akan kami bicarakan di markas."

Daiki dan Hideo membuka pintu tangga darurat dan berlari cepat menembus lobi dan melihat sebuah porche putih melaju keluar dari parkiran gedung apartemen.

Daiki dan Hideo mencoba berlari mengejar namun kaca mobil terlalu gelap sehingga mereka tidak bisa mengetahui wajah pria itu. Mereka hanya bisa menatap mobil itu melaju di depan mereka dan sebuah jari tengah teracung ke arah mereka dari kaca jendela yang terbuka sedikit.

Hideo menghentakkan kakinya dengan gemas. "Sialan! Seharusnya dari tadi sudah kita hajar saja dia!" Hideo menatap Daiki yang berdiri diam saja. "Kenapa kau tadi diam saja di balik lemari itu, Daiki!" tuntut Hideo penasaran.

Daiki menyentuhkan ujung jarinya pada bibirnya dan memandang kejauhan di mana mobil Porche itu berlalu. Lalu dia menatap Senpainya dan menghela napas. "Kalau tadi kita melawannya, berarti kita telah terpancing. Orang itu tahu kita membuka komputer Peter dan dia sengaja mendatangi apartemen tersebut."

"Tidak masuk akal! Bagaimana bisa dia muncul secepat itu!" bantah Hideo.

Daiki teringat sebuah area yang terhubung langsung dengan komputer Peter. Azabu.

"Apakah kau tahu bahwa Azabu tidak jauh dari Asakusa?"

"Tentu saja. Area itu seperti kentut saja jika kau ingin ke sana dari sini," dengus Hideo jengkel dan berjalan berbalik.

Daiki berusaha menahan tawanya melihat kejengkelan Hideo. "Makanya aku bilang itu juga seperti kentut bahwa komputer Peter terhubung pada salah satu tempat di Azabu."

Hideo menghentikan gerakannya untuk menatap Daiki. "Apa maksudmu?"

"Maksudku bahwa Azabu itu adalah area di mana alamat rumah mafia besar Shinobu Kimura berada. Ayah dari pemimpin Luficer. Bos Jiro Miura. Yang isterinya berselingkuh dengan pria yang membobol seluruh isi brankasnya, Kenji Fujita. Apa kau puas?" tantang Daiki. "Aku akan mempersempit skala rutenya untuk memastikan lagi keberadaan rumah itu."

"Jadi apa yang kau rencanakan?" tanya Hideo tegang.

Daiki menyimpan pistolnya di balik jaket dan tersenyum miring pada Hideo. "Maksudku besok malam aku ingin mengajakmu memasuki rumah Shinobu secara diam-diam."

Bola mata HIdeo membesar. Dia menepuk dahinya. "Aish! Apa tidak ada libur bagiku...." erangnya putus asa.

Daiki berjalan santai ke mobil mereka sambil terbahak mendengar keluhan Hideo. Suara dering ponselnya bergetar di saku jaketnya. Dia tersenyum melihat nama di layar ponselnya.

"Hallo..."

"Daiki...aku baru ingat. Arti nama Mamoru adalah Guardian. Guardian atau penjaga. Itu arti namanya yang disebutnya padaku pertama kali." - Suara Ruri.

****

Mamoru melepas maskernya dan meletakkan sebuah flashdisk di atas meja Junichi. Malam itu dia harus mengambil semua data yang terdapat di komputer Peter McKenzi. Dan ketika dia membuka komputer secara otomatis terhubung pada komputer pada milik Peter dan menemukan bahwa benda itu sedang aktif.

Mamoru langsung bergerak cepat menuju Asakusa yang berjarak tidak jauh dari Azabu. Saat dia berada di apartemen Peter, dia mengetahui keberadaan kedua detektif tersebut di kamar Peter. Dia menanti tindakan keduanya saat itu dan ternyata mereka sama-sama menanti. Kesempatan tersebut membuat Mamoru mengambil semua data dan memasang proteksi otomatis jika salah satu detektif tersebut mengambilnya.

Junichi tersenyum pada Mamoru yang berdiri tegak di depannya. Malam itu dia dan sebagian anggotanya berada di rumah ayahnya di Azabu. Dia mulai mengatur organisasinya dan berencana akan membuka pintu rumah itu dalam 2 hari.

Junichi meraih flashdisk tersebut dan menempelkannya di bibir. "Apa Nonamu itu sudah setuju dengan kontrak kerja sama dengan perusahaan interior dari London itu?"

Dengan wajah tanpa ekspresi , Mamoru menjawab tenang. "Dia menyetujuinya dan memintaku untuk membuat email balasan pada perusahaan tersebut."

Terdengar tawa Junichi membahana di ruangan itu. Dia menatap wajah Mamoru yang kaku. "Bukankah akan lebih mudah mengundangnya ke rumah ini dalam beberapa hari ke depan. aku akan mengadakan pesta di sini dan menjadi pemilik perusahaan interior tersebut." Junichi bersandar pada sandaran kursi empuknya.

Mamoru membungkuk dan berkata halus. "kalau begitu aku kembali dulu.."

Junichi mengetukkan jarinya pada lengan kursi dan menatap tajam tubuh yang membungkuk hormat itu. "Apa Sayuri sering berbicara denganmu belakangan ini?"

Suara rendah Junichi membuat Mamoru terpaku menatap lantai marmer di bawah matanya. Perlahan dia mengangkat wajahnya dan bertemu pada pandang mata tajam bagai elang milik Junichi.

"Tidak. Sayuri-sama sama sekali tidak berbicara apapun padaku ..", jawab Mamoru tanpa emosi.

Sebelah alis Junichi terangkat. "Bahkan ketika seharian kemarin kalian bersama?" pancing Junichi.

Dengan mengeraskan hatinya, Mamoru menjawab. "Tidak! Aku hanya mengantarnya berkeliling Tokyo dan membawakan kantong belanjaannya."

Lama Junichi menatap Mamoru, berusaha mencari kebenaran di balik kalimat itu. Mamoru sama sekali tidak mengalihkan matanya dari tatapan Junichi meski pun jantungnya sudah seperti godam menghantam dadanya.

Lalu senyum Junichi muncul di bibirnya. "Baiklah. Kau boleh kembali."

Mamoru memutar tubuhnya dan berjalan menuju pintu ketika suara Junichi kembali terdengar. "Aku hanya percaya padamu, Mamoru. Kuharap kau mempertahankan itu."

Mamoru meraih pegangan pintu dan membukanya. Dia menjawab tanpa menoleh. "Terima kasih, Junichi-sama"

Junichi menatap berlalunya Mamoru dan dia menghempaskan punggungnya bersandar pada sandaran kursi. Dia mencengkram lengan kursinya dan memejamkan matanya.

Tubuhnya sangat bergetar penuh semangat ketika mendapatkan kenyataan bahwa anak musuh besarnya sudah berada di depan matanya. Apalagi sejak mendengar dari mata-matanya di London yang mengatakan bahwa Kenji Fujita sedang bersiap kembali ke Tokyo.

Junichi membuka matanya. Sepasang matanya bersorot kejam dan bengis. Kedua tangannya terkepal erat. Kedua ayah dan anak Fujita itu akan hancur d itanganku, biar mereka merasakan bagaimana hidupku hancur sejak kehadiran mereka! Terutama pria bejat mesum itu!

Junichi membuka sebuah laci di mejanya dan mengelurkan selembar foto dari sana. Dia menatap seorang wanita cantik yang sedang memeluk seorang anak lelaki. Mereka tertawa bahagia dengan pemandangan laut Odaiba.

Junichi meremukkan foto itu dengan tangannya dan mengoyaknya hingga berkeping-keping. Di mulutnya mendesiskan satu kalimat penuh kebencian. "Jalang!"

Sementara itu Mamoru melintasi lorong rumah tua itu dengan diam. Rumah kediaman Kimura sudah lama kosong sejak 19 tahun lalu. Menurut yang didengar Mamoru dari para senior, rumah tua yang megah itu merupakan sarang kejahatan kelompok mereka. Di rumah itulah tempat segala transaksi kejahatan berlangsung.

Rumah yang megah dan memiliki banyak lorong dan ruangan itu masing-masing mempunyai fungsi bahkan untuk kejahatan prostitusi, Shinobu membangun sebuah bangunan khusus di bagian rumah itu. Kini penerusnya, Junichi Kimura akan menghidupkan kembali kegiatan itu dua hari lagi. Rumah hantu itu kini akan kembali terisi lagi oleh hantu-hantu yang dinamakan kebengisan dan kejahatan.

Mamoru memotong jalan melalui sebuah kebun bunga yang sedang dalam pembetulan. Junichi berencana akan membangun kebun mawar di sana untuk Sayuri.

Teringat akan Sayuri, jantung Mamoru berdetak lebih kencang. Kalimat terakhir Junichi sebelum dia meninggalkan ruangan pria itu masih melekat di benak Mamoru. Membuatnya akhirnya terduduk di sebuah kursi berkarat dan menatap langit malam. Dia tidak bisa menghentikan cinta terlarangnya pada Sayuri. Meski pun dia tahu wanita itu sangat membencinya menjadi sosok Mamoru. Meskipun dia tahu resikonya dia akan mati di tangan Junichi jika affair mereka diketahui.