webnovel

Reverse Orbital [IND]

Ini seperti yang terjadi sebelum 21-12-2012. Sekelompok paranormal menyatakan bahwa peristiwa besar akan terjadi di dunia ini. Tapi bukan kiamat, mereka mengatakan transformasi, 'Holy Friday'. Hari dimana gerhana matahari total terjadi, tapi kemudian arah matahari berbeda, rotasi bumi terbalik. Matahari akan terbit dari barat. Selanjutnya, manusia akan menerima 'grace' dari alam yang lebih tinggi. Untuk bersaing, meningkatkan, mengembangkan, beradaptasi. Bagaimana tanggapan 'human' dan 'high-human'?

Hamartama · Fantasy
Not enough ratings
17 Chs

Wajah Kedua Mereka

*Knokkk... knockkk...

"Knock knock" *bisik

"Siapa di sana?"

"Paket..." *bisik

*Plakkk

"Aw, maaf Om." *bisik

"hwmwm... iya gwep pfttt-" *bisik

Sialan, padahal dirinya sendiri ikut menahan tawa. Kalau ikut terhibur dengan leluconnya, tidak usah mengemplangku juga kan...

"Ehmmm. Ini aku Metal-healer."

"Ok, masuk!"

*Kriekkk... Kami masuk melewati pintu yang pinggirannya disekat dengan isolator karet seperti pada kulkas. Apa mungkin Yolanda introvert ya...

"Permisi Sus..."

"Ah, nggak perlu terlalu formal Mas Dik."

"Ok, makasih Mbak Yol."

"Hmmm... Mas Dik tadi bilang kalau kemungkinan ada grup lain dan ini anak salah satunya?"

"Iya, Mbak."

"Kalau gitu, Mas tahu di mana yang lainnya?"

"Nggak Mbak, maaf. Aku cuma dapat anak ini."

"Mas tahu identitas anak ini?"

"Nggak juga Mbak."

"Tapi 5 ribu poin ya... banyak juga. Gracenya apa?"

Sial, aku belum mendiskusikannya dengan Om Dika.

"Aku nggak tahu, mungkin materialisasi bubble wa-"

"Uhuk uhuk"

"Eh dia siuman Mas?"

Aku tak bisa membiarkannya menangani ini. Lagi pula, siapa yang akan bergabung ke kelompok pencuri dengan grace semacam materialisasi bubble warp? Orang ini... mode seriusnya sudah habis.

Bingung, takut, bingung, takut... ok.

"Hah? Di- Aku di mana?!!"

"Kamu di kamarku. Apa yang terakhir kamu ingat? Holy Friday?"

"Ak- aku... aku nggak tahu... Holy Friday?"

Dia berdiri dari kursinya dan pergi menuju pintu. Dalam perjalanannya, ia hanya melihat ke arah pintu tanpa melihat kami sedetik pun.

*Klack

Dia benar-benar percaya diri kalau dia bisa menghabisi kita berdua kapan pun dia mau ya...

"Siapa namamu?"

"Rega... Regatama Kak. Aku di mana?"

"Ini di markas kami. Kamu tahu dokter Niko?"

"Niko... oh ya. Kalau kuingat Kak Jeremy pernah bilang kalau dia bos kita, tapi bos apa ya..."

"Oh, jadi si Jeremy yang ajak kamu ya..."

"Huh?" Om Dika terkaget dan kebingungan mendengar kami.

Tepat sasaran lagi. Aku tak bisa mengatakannya ke Om Dika karena ini hanya dugaan kasarku. Mengatakannya akan mengurangi kepercayaan dirinya untuk datang ke sini. Toh, mungkin nanti dia juga akan mendengarnya sendiri dari Yolanda.

"Iya, tapi... tapi... aku nggak tahu dia ajak mainan apa... aku tadi keliling di lantai 3 terus... ugh... bangun sudah di sini."

"Tchhh, itu Jeremy... selalu saja buat onar. Cuma karena dia sepupunya dokter Niko dia pikir dia bebas buat onar."

"Mmm... Kakak marah? Mana... Kak Jweremy di mwana..." *Srttt

"Eh?"

"Kok... kwenapa aku dwi sini sweme om-om swerem ini..." *Srttt srttt

"Loh, WOY?! kok malah mewek?!"

Kesempatannn!

*Srakkk

Aku berdiri dan berbegas menjauhi Om Dika lalu memeluk erat Sus Yolanda. Ah... aku suka peran ini...

"Aaaaa... Kakkk... bwantu awku... itwu om-om swerem... huaaa..." *srttt srttt srttt

"Ah iya iya cup cup... dia teman Kakak kok."

"Tweman... Apa Kwakak jwega oyang ahat?" *srttt

"Jeremy sialan..." Sus Yolanda mengatakannya dengan nada jengkel lalu melepas kaca matanya dan mengusap matanya.

"Kwakak nwangis jwuga?" srttt

"Nggak... okok, Kakak Yola bakal kasih tahu ke kamu ok? Kamu duduk di kursi itu gih..."

"Emmm... kwakak... *srttt ...ndwak bwakal jwahatin akwu?"

"Enggak duh... sudah, kamu duduk di sana ya... Kakak buatkan coklat panas, ok?"

"Okayyy..." Aku melepaskannya dan pergi menuju kursi.

"Tchhh... lima ribu poinmu itu juga hasil berbuat jahat..." Dia menggerutu dengan pelan, tapi tetap terdengar olehku yang belum berjarak jauh darinya.

Aku duduk tenang di kursi yang tadi ia duduki sembari menunggu coklat panasku. Ini kursi yang nyaman. Rasanya seperti duduk di kursi bos perusahaan... eh, tunggu... bukannya ini kursi gaming?

"Enggg, Kak..."

"Iya?"

"Itu teman Kakak nggak dibuatkan minum juga?"

"Tchhh... ok, Mas Dika mau apa?"

"Terserah Mbak, yang penting Mbak nggak kerepotan..."

"Halah... okok."

Sembari menunggunya melakukan tugas rumah tangga, kita... dua laki-laki di sini, hanya duduk santai di kursi kami. Om Dika pun memelototiku dengan wajahnya yang kebingungan. Kalimat seperti, "Kali ini apa lagi?", terpampang di wajahnya. Aku pun menggerakkan bibirku tanpa suara untuk memberinya isyarat dan mengacungkan jempolku untuk memperjelasnya.

[A-M-A-N]

Namun, reaksinya di luar dugaanku. Ia juga mengacungkan jempol sambil menyipitkan mata dan memasang senyuman mesum di wajahnya. Aku pun langsung membuang muka. Orang tua sialan. Aku bilang 'aman' bukan 'nyaman'. Oh Tuhan... pejantan memang seperti ini ya... tak peduli umurnya, dan tak peduli status hubungannya.

Aku juga memandangi sekeliling dan menemukan beberapa hal. Diffuser elektrik yang tak mengeluarkan aroma, beberapa bahan kimia yang tersusun rapi di etalase, dan... sekarung serbuk gergaji? Lantainya pun juga dikotori dengan serbuk gergaji. Mau bangun rumah? Jelas tidak... untuk bertarung ya...

Di meja Yolanda terdapat beberapa lembar kertas, baik yang kosong dan yang tidak. Isinya kebanyakan tentang laporan harian, dan... ada beberapa yang dicoret. Hmmm? Apa ini... '32500750 = 1320000 x 7 x 4 (sisa 4459250 gold)', gold?

*Grabbb

Dia mengambil lembaran itu dari tanganku. Tapi daripada terlihat marah, ia terlihat malu-malu.

"Jangan lancang ya... Kakak juga bisa marah lo..."

"Iya Kak, maaf..."

"Ini coklatmu, Mas Dik, ini kopinya."

"Makasih"

"Rega, kamu tahu Holy Friday, grace, sama black-box?"

"Ha? Apa itu? Game? Film? Black-box... itu bukannya yang ada di pesawat?"

Yolanda menghela nafas memasang wajah seriusnya.

"Kalau... kalau Kakak bilang kita ini sebenarnya orang jahat gimana?" Dia menyorotku dengan mata tajamnya.

Tangan kanannya memegang gelas yang jelas isinya juga coklat panas, karena aku melihat sedikit noda coklat yang melapisi lipstiknya. Di sisi lain, tangan kirinya memasang shuto uchi seolah ia bersiap untuk memotong sesuatu dengan itu.

"Ya berarti aku juga anak nakal. Kalau Kak Jeremy sama Kak Yola sama-sama tahu dokter Niko kan berarti kita di kelompok yang sama..."

"Blurppp... uhuk... kok kamu bisa seenteng itu ngomongnya sih ahahahaha... Jeremy ternyata bisa dapat anak lucu juga ya..."

"Enggg, Kakak kenapa?"

"Ah, maaf maaf. Ok Kakak perjelas saja, kita ini kelompok pencuri black-box."

"Pencuri? Black-box?"

"Jumat lalu, ada gerhana dan setelah itu Matahari terbit dari Barat. Manusia diberikan kekuatan yang disebut grace, yang membuat kita bisa melakukan hal semacam sihir. Itu orang bisa menyembuhkan luka, dan punyaku bisa mengendalikan udara."

"Wo- wow... keren. Jadi kayak game RPG..."

"YAP! Keren kan ahahahaha..."

"Enggg... Mbak, aku boleh merokok di sini?"

"Ok."

Yolanda terlihat bersemangat dengan ceritanya. Di sisi lain, polisi sialan ini malah terlalu menikmati waktunya. Mungkin ini kesempatanku untuk menunjukkan sesuatu yang agak ekstrem...

*Crasss Aku menyayat tanganku dengan cutter yang kutemukan di mejanya. Aku rasa ini hanya butuh waktu 10 detik...

"EH LOH?!! Kam-"

"Om, bisa sembukan ini? Aku mau melihatnya dengan mataku sendiri..."

"Bocah gila... Sini!"

Aku pun menuju ke arahnya untuk disembuhkan.

"Kamu gila ya... jadi ini kenapa kamu diajak sama si Jeremy ya... Padahal kamu tadi mewek sambil merangkul Kakak..."

"Ya, maaf... Kakak nggak kelihatan jahat soalnya, jadi aku nggak ragu hehehe..."

"Bisa saja... kalu gitu, enggg... kamu bisa kok ke sini kapan pun kamu butuh Kakak..."

"Hehehe... makasih Kak Yol."

Ya... untung itu dia. Aku tak begitu yakin bermain dengan Yohana. Wajahnya cukup tebal, dan itu butuh waktu yang lebih lama untuk membuatnya mempercayaiku. Tapi tidak dengan Yolanda.

Awalnya kukira mereka bergabung dengan Niko karena keinginan pribadi, tapi sekarang mulai agak terlihat. Berbeda dengan Yohana, Yolanda tak pernah memanggilnya bos. Caranya memanggil Niko, caranya enggan mengurus laporan harian, dan caranya menggerutu saat diminta menangani kami... aku merasa ada celah didirinya.

"Mungkin kubongkar sekalian karena kalian sudah sampai sini. Tapi... Rega ambil 3 ribu poin dari Mas Dika gih. Sentuh black-boxnya terus bilang Nahb. Mas Dik, tolong black-boxnya..."

"Ok Mbak. Al-Grace."

"Oh jadi ini black-box ya... Nahb!" Aku mendekati Om Dika lalu menyentuh black-boxnya dan mengucap mantra itu.

Aku tak bisa berbisik, dan setelah 2 menit aku sudah harus terlihat mendapatkan ingatan kembali, jadi... di 2 menit awal ini lah kesempatanku untuk memberi isyarat.

"Oh... kuncinya Al-Grace ya..." Aku mengatakannya sambil memelototi Om Dika. Ia pun langsung mengangguk.

"Nanti kamu juga bakal ingat sendiri kok... Mas Dik, ada yang mau aku omongkan juga."

109... 110... 111... 112...

"Tolong tetap tenang. Sebenarnya..." Yolanda menghentikan ucapannya. Mungkin ia menungguku... 119... 120...

"Ugh... jadi ini ya..." Aku berpura-pura kesakitan seolah aku mendapat kembali ingatanku.

"Sebenarnya, kita dipisah menjadi 2 grup. Di mata kami, kalian bukan pengumpan dan eksekutor, tapi cuma 23 tumbal. Eksekutor yang asli cuma ada 6, tugas kami adalah mengeksekusi tumbal."

"HA?!! TUMBAL?!"

"Jeremy dan eksekutor baru itu juga salah satunya. Mereka ditugaskan untuk mengawasi kalian di lapangan. Dan ada satu orang lagi, adiknya Yohana, Andika. Tiga orang sisanya... dokter Niko, aku sama Yohana."

Om Dika, daripada terlihat geram, ia hanya terdiam dan kebingungan sembari memelototiku. Aku pun hanya menyeringai padanya karena dugaanku benar.

"Dengan kemampuan bertarungmu kami memang sudah berencana merekrutmu ke dalam, makanya aku beberkan saja sekalian. Itu anak juga mungkin salah satunya, karena dia diajak Jeremy. Jadi... apa Mas mau ikut?"

Dia menajamkan matanya padaku sekarang. Aku membalasnya dengan anggukan.

"O- ok Mbak, aku ikut."

"Ok... Selesai. Jadi ini ya grace..."

"Kamu sudah bisa panggil black-box lagi?"

"Dis" Om Dika langsung mengembalikan black-box miliknya.

"Ya...Al-" Aku berputar 90 derajat dan memosisikan tubuhku untuk menutupi Om Dika. Dia pun sepertinya sudah paham dengan apa yang ingin kulakukan.

"Al-Grace!" Sebuah black-box muncul tepat di depanku.

"Gracemu apa?"

"Ah... nggak seru kalau aku langsung bilang. Gimana kalau sparing sama aku Kak?"

"Hehhh... ok. Aku sekarang paham kenapa Jeremy mengajakmu... Sini! Kakak ajari kamu bertarung pakai otak..."

Kami langsung memasang kuda-kuda kami bersamaan.