webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 40 "Di Hadapan Monster Tardigrada"

Indera pendengaranku yang lebih sensitif ketimbang manusia, seketika merasakan sakit yang luar biasa. Seakan-akan gendang telingaku ditusuk oleh paku hingga tembus ke dalam kepala. Telapak tangan milikku pun tak kuasa menahan kencangnya suara yang masuk. Meski suara lolongannya tak lama, tenagaku terkuras hanya untuk menahan bunyi yang memekakkan telinga.

Tubuhku nyaris jatuh ke atas tanah kalau saja otakku tidak memberi perintah untuk tetap siaga di depan monster ini. Kulemparkan pandanganku ke depan. Monster beruang itu berbulu putih tebal mirip dengan beruang kutub, tingginya sekitar tiga lantai bangunan. Monster itu memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki, dengan tubuh gemuk yang bergelambir.

Sekilas aku mengingat pelajaran Biologi yang diajarkan di dunia lamaku. Monster ini mirip sekali dengan Tardigrada, binatang mikroskopik yang berbentuk seperti beruang. Bentuk kepalanya yang hanya memiliki mulut tanpa mata juga mirip sekali. Aku bahkan merasa jika monster yang berdiri di depanku ini awalnya Tardigrada yang diperbesar dengan senter pembesar Doraemon, lalu diberi serum penumbuh bulu di sekujur tubuhnya.

Ya, itulah monster yang ada dihadapanku sekarang! Sedetik kemudian dia langsung mengambil sikap untuk menerjang ke arahku.

"Sial! Kenapa jadinya malah seperti ini?" rutukku dengan gusar.

Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Aku segera berlari di antara sela-sela pepohonan, berharap ia akan kesulitan mengejarku.

Telingaku bisa mendengar suara-suara berdebum pada tanah di belakang punggung. Tampaknya monster beruang itu tidak terlalu cepat. Aku tahu dari interval suara pijakan kaki monster itu yang begitu lambat. Seakan gerakan lajunya terhalangi oleh tubuhnya yang gemuk. Beberapa saat kemudian, bunyi pijakan monster itu menghilang. Aku penasaran apakah monster itu sudah berhenti dan menyerah untuk mengejarku yang gesit ini?

Aku memperlambat lajuku dan menoleh ke belakang, namun aku tak menemukan sosok hewan aneh itu di sana.

"Tunggu! Bagaimana mungkin binatang sebesar itu menghilang begitu saja?"

Di saat nyaris tenggelam dalam pikiranku sendiri, jawabannya ada di atas kepalaku. Ini bukanlah metafora, namun secara harfiah beruang itu benar-benar ada di atas kepalaku.

Sial! Aku segera menghindar dengan menggulingkan tubuhku ke tanah. Kalau aku tak melakukan hal itu, aku pasti mati. Tubuhku bergidik ngeri setelah mendapati batang pohon yang berada di dekatku sebelumnya, terbelah menjadi dua karena cakaran monster Tardigrada itu.

Untuk sesaat aku terdiam tercengang melihatnya. Itu benar-benar nyaris sekali. Membayangkan jika aku tak sempat menghindar, pasti tubuhku yang akan terbelah dua. Monster sialan ini! Ternyata dia dapat melompat jauh! Tidak ingin bernasib sama dengan batang pohon, aku langsung berlari menjauhi beruang besar itu.

Namun tidak peduli seberapa besar aku membuat jarak dengannya, Tardigrada ini selalu dapat mengejarku dengan lompatan jauhnya. Langkah kecil yang dibuatnya hanyalah sebagai ancang-ancang untuk lompatan jarak jauh. Aku bersumpah, jika saja ia manusia, Tardigrada itu pasti akan memenangkan banyak kejuaraan lompat jauh.

Mungkin ini yang membuat monster itu tiba-tiba ada di depanku saat di padang Bunga Turnia. Ia melompat dari tempat yang sangat jauh. Namun kenapa aku tidak bisa mengetahui keberadaannya dengan Indera Superku?

"Brengsek!" sergahku ketika punggungku terbentur akar pohon yang melintang ketika berguling di atas tanah.

Tardigrada itu tak kenal menyerah, ia seperti tidak tahu kapan harus berhenti. Di lain pihak, aku sudah keletihan karena terus menghindar. Rasanya mustahil ia akan melepaskanku begitu saja. Sebaiknya apa yang harus kulakukan? Melawannya dengan kondisi kelelahan bukan pilihan yang bijak. Menggunakan Esze akan menguras tenaga. Jika aku kehabisan tenaga dan monster itu masih belum tumbang, aku akan habis.

Saat itu juga aku mendengar suara gemericik air yang berada di dekat sini. Sepertinya itu sungai! Kalau aku kabur ke sana, mungkin binatang itu akan berhenti mengejar. Kupaksa kakiku untuk berlari meski nyaris kehabisan tenaga. Tidak beberapa lama kemudian, aku mendapati apa yang kuharapkan di depanku. Sungai itu cukup lebar dan sepertinya agak dalam. Arusnya cukup deras untuk menghanyutkan sesuatu atau seseorang.

Memang dengan mengikuti arus aku akan sampai ke hilir sungai yang mana akan membuatku semakin jauh dari tenda. Tapi itu lebih baik dari pada harus dimangsa monster Tardigrada.

Aku tiba di tepian tebing di tepi sungai, tiga meter di bawahnya terdapat aliran sungai yang akan kugunakan sebagai jalur pelarian. Aku menoleh ke belakang setelah menyadari tak ada lagi suara pijakan ke tanah atau bunyi batang pohon yang rusak. Mahkluk itu sedang melompat!

Tanpa membuang waktu lebih lama aku segera meloncat dari tebing dan menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu monster Tardigrada menerjang ke mari. Telat satu detik saja, maka tubuhku akan terbelah dua.

Tepat sebelum menyentuh permukaan air, aku mengeluarkan Viglet Harapan dan mulai merapal satu mantera.

"Vitr Stit!"

Dunia bawah air langsung datang menyambut. Mataku yang dapat melihat di kegelapan tidak hanya bisa digunakan di atas tanah, namun juga di bawah air selama masih jernih. Aku dapat melihat ikan-ikan kecil yang berenang menjauhi mahkluk darat sepertiku, juga dasar sungai yang diisi bebatuan. Kalau saja situasinya lebih bagus, aku pasti akan menikmati pemandangan ini.

Sedetik kemudian, sekujur tubuhku diselimuti angin yang bersumber dari ujung Viglet Harapan. Angin itu awalnya membentuk membran tipis, kemudian berubah menjadi gumpalan bola angin yang menyelimuti tubuhku. Ini adalah mantera pertahanan Esze berunsur angin yang diajarkan oleh Almira. Biasanya digunakan untuk menahan serangan musuh dari serangan anak panah. Namun dalam kondisi ini, aku memakainya agar tidak tenggelam dan hanyut karena arus sungai yang deras.

Gumpalan angin ini membawa badanku terapung sebelum akhirnya menghilang tanpa bekas. Jika tidak kurapal, mungkin aku sudah hanyut dan tidak bisa muncul lagi ke permukaan sebelum jadi mayat.

Berbeda dengan dugaan sebelumnya, monster Tardigrada itu tidak berhenti mengejarku walau sudah menceburkan diri ke dalam air. Malah hal ini membuatnya mudah menebak arah pergerakanku, ia hanya tinggal mengikuti aliran sungai saja. Tardigrada itu melompat beberapa puluh meter ke tepi sungai di depan. Tempat ia berdiri sekarang adalah daerah penyempitan lebar sungai yang daratannya menjorok ke arah air.

Perlahan tapi pasti aku mulai mendekati Tardigrada yang menunggu di tebing di atasku. Monster itu mengangkat cakarnya tinggi-tinggi dan bersiap untuk menghujamkannya ke tubuhku. Lebar sungai yang menyempit menjadi lima meter saja membuatku tidak bisa kemana-mana.

Ini benar-benar gawat! Kalau aku tidak melakukan sesuatu, tubuhku pasti dilubanginya!

Di saat super kritis, mendadak aku mendapat sebuah ide. Bukan yang cemerlang memang, justru berisiko tinggi karena peluang berhasilnya 50:50. Tapi bukan aku namanya jika pasrah sebelum mencoba.

Arus air perlahan semakin deras akibat penyempitan lebar sungai. Membuatku kesulitan untuk mempertahankan posisi di atas permukaan air. Dalam kondisi itu, aku mencoba untuk mengangkat tangan sembari memegang Viglet Harapan. Satu meter, dua meter, sedikit demi sedikit jarak antara Tardigrada dan aku terpangkas menyisakan beberapa meter saja.

Dari jarak sedekat ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Monster itu tidak memiliki mata, hidung, atau pun telinga. Yang ada di sana hanyalah mulut besar yang berisi puluhan gigi runcing. Entah apa jadinya kalau kepalaku masuk ke dalam mulutnya, mungkin sudah tak berbentuk lagi.

Monster Tardigrada itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan bersiap mengujamkan cakar panjangnya ke bawah. Sepersekian detik sebelum cakar itu menembus tubuhku, aku mengarahkan Viglet Harapan pada muka monster.

"Vitr Blast!"

Selepas mantera keluar dari mulut, aura putih langsung terkumpul pada ujung tongkat. Angin menggumpal membentuk pusaran seukuran bola kasti. Aku menembakkan gumpalan angin itu tepat pada wajah monster beruang. Bersamaan dengan itu aku mengambil napas banyak-banyak sebelum akhirnya menenggelamkan diriku ke dasar sungai.

Begitu masuk ke dunia air sekali lagi, indera pendengaranku tidak berfungsi, dan mataku tidak dapat menembus dengan jelas ke atas permukaan air. Namun aku melihat bayangan besar hitam yang ambruk dari tebing dan jatuh ke tepi sungai di bawahnya. Hal itu membuat beberapa tanah dan bebatuan jatuh ke dalam air di belakangku.

Entah apa yang sebenarnya terjadi di atas sana, aku harus menahan rasa penasaran. Sebab aku harus tetap di dalam air untuk sementara, mengikuti arus air sungai yang membawaku entah sejauh apa. Aku melakukan ini untuk menghilangkan jejak, berjaga-jaga barangkali seranganku masih belum mampu menumbangkan monster beruang itu.

Rencanaku adalah menyerangnya untuk menghilangkan konsentrasinya terhadapku. Setelah fokusnya buyar, aku bersembunyi di dalam air dan menggunakan arus sungai untuk segera menjauh dari Tardigrada. Aku bilang sebelumnya rencana ini cukup berisiko karena bisa saja monster itu kebal terhadap serangan Esze angin.

Tidak disangka, rencana sederhana itu berhasil. Aku tidak tahu apakah beruang itu di atas sana masih mengejarku dengan menyusuri sungai atau tidak? Yang pasti jika ingin memperbesar peluang kabur, aku harus tetap di dalam air mengikuti arus sungai.

Jeram dan arusnya tak menentu, membuatku sulit untuk terus berada di dalam air. Terkadang kepalaku tersembul ke permukaan, karena kondisi yang seperti itu, aku memutuskan tak lagi bersembunyi di dalam air. Aku memperhatikan, pemandangan sudah berbeda dari sebelumnya. Sungai sudah tidak lagi dihimpit tebing-tebing tinggi di kedua sisinya, melainkan bebatuan kecil dan rerumputan.

Tampaknya tempat ini sudah dekat dengan kaki gunung. Setelah memastikan Tardigrada itu tak mengejar lagi, aku segera menepi ke tepi sungai. Tubuh dan bajuku basah kuyup, ditambah hembusan angin yang membelai badan, membuatku mengigil kedinginan. Gigiku bergemeretak, tanganku bergetar tak karuan, rasa dinginnya benar-benar masuk ke dalam badan. Kalau saja monster beruang itu ada di sini, aku yakin pasti akan mati langkah.

Beberapa kali aku sengaja mengeluarkan batuk kecil untuk membersihkan air dari kerongkongan. Aku duduk di atas batu besar di pinggir sungai, mencoba mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikiran.

"Vitr Ifu!"

Bersamaan dengan untaian mantera yang terlepas dari mulut, ujung tongkat Viglet Harapanku mengeluarkan angin kasar dan panas. Kuarahkan ujung tongkat pada badan, selain untuk menghangatkan, juga dapat mengeringkan pakaian. Meskipun hasilnya tidak benar-benar kering, setidaknya lebih baik dari pada tidak sama sekali. Aku tidak punya waktu untuk mengeringkan pakaian secara normal, mau tak mau harus kugunakan cara ini.

Memakai pakaian yang basah ketika malam hari di gunung, bukanlah kebiasaan yang baik. Tubuh akan mengalami hipotermia parah yang akan langsung meruntuhkan daya tahan. Jika begitu, entah apa yang terjadi nanti. Tidak hanya gagal mendapatkan bahan ramuan, aku bahkan akan menghambat timku.

Sebelum pergi dari sini, aku mengecek kembali bawaanku. Mengesampingkan bilah belati yang masih pada tempatnya, kulihat ke dalam tas kulit yang basah. Hanya tersisa dua ikat akar Bunga Turnia di sana. Padahal aku yakin sekali sebelumnya menaruh enam ikat di dalam, sepertinya hanyut di sungai.

Aku menghela napas. Nasib baiknya adalah masih ada sisa akar Bunga Turnia untuk dijadikan bahan ramuan. Aku berdiri dan mencoba untuk segera pergi dari sini. Namun tepat sebelum membuat langkah pertama, penglihatan malamku mendadak menangkap sesuatu.

Berasal dari dalam hutan yang berada di hadapanku, di bawah rimbunnya pepohonan kulihat sesuatu yang memancing rasa penasaran. Aku berjalan mendekatinya, melesak di antara pohon-pohon Dedalu yang tumbuh di pinggir sungai. Daerah ini begitu lembab karena terdapat beberapa aliran sungai kecil di antara pepohonan dan lumut-lumut hijau.

Berada beberapa meter di depanku, tumbuh sekelompok kecil fungus yang berada di akar salah satu pohon. Kulangkahkan kaki mendekat agar kecurigaanku hilang. Saat itulah aku bisa melihat jelas yang ada di hadapanku. Itu adalah fungus berwarna hitam dengan bentuk menyerupai periuk.

"Tunggu, bukankah ini Jamur Selenida Hitam?"