webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 39 "Mengumpulkan Bahan Ramuan"

Seketika mulutku mengeluarkan teriakan kecil tatkala mendapati tubuh Dimas yang panas. Suhu badannya sangat tinggi dibandingkan dengan suhu badan normal. Tanganku terasa seperti melepuh hanya dengan menempelkan ke atas kulitnya saja. Begitu kontras dengan hawa dingin di gunung ini.

Bersamaan dengan mulutku yang terus memanggil namanya, tanganku menggoyang-goyangkan tubuh pria itu berharap dapat membuatnya tersadar. Kendati demikian, Dimas tetap berada di alam tidur dengan napas yang berat. Tindakanku yang berulang kali memanggil nama Dimas rupanya membuat Kak Shella terbangun. Gadis yang baru setengah sadar itu tampak berusaha mencerna situasi saat ini.

"Kenapa dengan Dimas?" tanya Kak Shella dengan wajah kebingungan.

"Entahlah, tubuhnya panas sekali! Apa kau bisa membantuku memeriksanya?"

Mendengar kondisi singkat dariku, Kak Shella beralih ke mode 'apoteker handal' meski dia baru saja terbangun dari tidurnya. Gadis itu mendekati Dimas dan memeriksa suhu tubuhnya. Begitu tangannya menyentuh dahi Dimas, ia sontak mengangkatnya kembali.

"Ya ampun! Tubuhnya panas sekali!" ujarnya dengan panik.

Kak Shella segera mengambil tas besar miliknya yang berisi peralatan medis, lalu mengeluarkan beberapa alat dan perlengkapan. Gadis bersurai sepunggung itu mengenakan sarung tangan putih yang menjadi ciri khasnya ketika bekerja sebagai apoteker. Kemudian ia menaruh sebuah pipa kecil sepanjang satu jengkal di mulut Dimas.

Benda itu semacam alat pengukur suhu tubuh berbasis alkohol. Cara kerjanya sama persis mirip termometer di duniaku dulu. Dekatkan alat itu dengan badan pasien, maka air alkohol akan menunjukkan suhu tubuh. Yang berbeda hanyalah satuan pengukur yang ada di alat itu, bukannya satuan derajat celcius melainkan satuan lain yang disebut pip. Suhu normal manusia berada di sekitar 14 hingga 16 pip.

Kenapa aku bisa tahu hal itu? Di saat aku jatuh sakit sebelumnya di Glafelden, suhu tubuhku diukur menggunakan alat itu.

"Ya ampun! Suhu tubuhnya mencapai 19 pip. Tinggi sekali!" pekik Kak Shella. Hal itu membuatku terkejut.

"Apa kau nggak punya sesuatu untuk menurunkan suhu tubuhnya?"

Tidak membalas pertanyaanku dengan kata-kata, Kak Shella menunjukkannya dengan mencari sesuatu di dalam tasnya. Beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan beberapa potong kain berukuran kecil yang dilapisi semacam plastik tipis transparan. Aku tidak tahu namanya secara pasti, tapi sepertinya benda itu berguna untuk menurunkan suhu tubuh.

Kak Shella menempatkan sepotong kain ke atas dahi Dimas. Setelah dikeluarkan dari bungkus plastiknya, kain itu merekat kuat pada kulit. Mungkin benda ini semacam plester penurun demam yang telah ditemukan di dunia ini. Aku belum pernah mencobanya, tapi sepertinya benda itu berguna.

Gadis bersurai panjang itu lalu membuka kancing jaket tebal dan kemeja yang dikenakan Dimas. Peluh keringat membasahi otot-otot bidang yang ada pada dada dan perut pria itu. Kak Shella menaruh beberapa potong kain lagi di atas badan Dimas, berharap plester ini dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Seketika itu, Kak Shella terdiam sejenak. Matanya memperhatikan sesuatu pada tubuh Dimas yang tak bisa kulihat dari sisi ini.

"Anggi, bantu aku memiringkan tubuhnya!"

"Baik," balasku dengan cepat tanpa pikir panjang.

Aku membantu Kak Shella memiringkan badannya agar menghadap ke sisiku, sementara gadis itu memeriksa punggung Dimas dari sisinya. Matanya terpaku pada satu sisi. Tangan kanannya perlahan-lahan mendekat pada punggung Dimas. Bukan untuk menempelkan plester penurun demam, melainkan meraba-raba kulitnya. Aku tidak bisa melihat apa yang ada di sana. Jadi tidak tahu apa yang membuat Kak Shella begitu terlihat ketakutan.

Sesaat kemudian, ia melepas sesuatu seperti potongan kain dan perban dengan bercak darah. Berkat mataku yang bisa melihat di kegelapan, aku bisa tahu itu adalah noda darah meski penerangan di sini hanya berasal lentera kecil.

Ketakutan merasuki pikiranku, sedetik kemudian aku membaringkan tubuh Dimas dalam posisi telungkup sehingga bisa dapat melihat langsung punggungnya. Sebuah luka dengan panjang kira-kira lima belas sentimeter tergaris di tubuhnya. Memang tidak terlalu dalam, namun luka seperti ini harus segera ditangani agar tidak fatal.

"D-D-Dimas? Dia terluka?" ucapku terbata-bata karena menahan rasa kaget dan takut yang bercampur jadi satu. "Dari mana dia mendapatkan luka ini? Apa jangan-jangan ketika bertarung melawan monster Tarantula sebelumnya? Kenapa Dimas tidak bilang kalau dia terluka, sih?"

"Coba lihat ini, Anggi! Ini bukan luka biasa. Luka ini beracun!"

Mataku sekali lagi terfokus pada luka di punggung Dimas. Sebuah garis yang melintang secara horizontal, memberi efek yang cukup serius. Selain bernanah, pinggir lukanya juga tampak melepuh dan berair. Mungkin inilah yang menyebabkan lukanya sulit menutup dan membuat kondisi Dimas memburuk.

"Apa kau bisa menyembuhkannya, Kak Shella?" tanyaku penuh harap, namun gadis itu memberi gelengan kepala dengan pelan.

"Racun ini kuat, aku ngga bisa membuat ramuan dengan tumbuhan herbal yang kubawa," seru Kak Shella dengan panik. Raut wajahnya tampak ketakutan den kebingungan, dia seperti tidak tahu harus berbuat apa.

Aku terdiam sejenak. Apa benar tak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan Dimas? Kalau terus begini, pria itu pasti tidak akan bertahan lama. Tidak. Pasti ada jalan. Kak Shella berkata bila ia tidak bisa menyembuhkan Dimas dengan tanaman herbal yang ia bawa.

Bukankah itu artinya ia hanya tidak punya bahannya saja?

"Beri tahu bahan apa saja yang kau butuhkan, aku akan mencarikannya di gunung ini!" usulku dengan tenang, mencoba tidak hanyut dalam kepanikan.

"Tapi kita nggak tahu bahan-bahan itu ada di gunung ini atau tidak, kan?"

"Nggak ada salahnya untuk mencoba. Selama harapan masih ada, pasrah bukan pilihan."

Kata-kataku yang dalam tampak membekas padanya. Gadis itu mulai menurunkan tensinya ke arah tenang dan rileks. Padahal semenit lalu ia begitu panik bak kantung uangnya baru saja dicuri di pusat kota. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. Matanya kemudian menatapku dengan kalem.

"Maafkan aku, Anggi! Aku benar-benar panik saat mengetahui luka Dimas. Soalnya luka beracun yang kuat seperti ini butuh bahan yang terbilang sulit didapatkan."

"Nggak masalah kalau kau panik, asal jangan sampai lepas kontrol saja." Aku tersenyum ke pada Kak Shella, berharap dapat memberi gadis itu rasa tenang dan nyaman. "Jadi, bahan apa yang diperlukan untuk membuat penawarnya?"

"Tiga buah Jamur Selinida Hitam dan seikat Akar Bunga Turnia."

"Aku sudah pernah melihat Akar Bunga Turnia, tetapi baru kali ini aku mendengar tentang Jamur Selinida Hitam."

"Jamur Selinida Hitam ini terbilang langka. Mereka tumbuh di tempat-tempat gelap dan sangat lembab. Kau tahu Kantung Semar? Bentuknya seperti itu, hanya saja jamur ini tumbuh di akar pohon. Juga berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau busuk menyengat." Kak Shella menjelaskan dengan hati-hati, sementara aku mendengarkan dengan seksama. "Perlu kau ingat, saat memetiknya jangan sampai menggunakan tangan kosong. Sebab getah yang ada di dalam jamur itu bisa membuat kulitmu terbakar."

"Apa kamu yakin itu bahan yang tepat? Jamur itu tampak beracun dan mengerikan."

Kak Shella tersenyum tipis mendengarku. "Apa kau tahu? Racun dapat dijadikan sebagai obat jika digunakan dengan dosis yang tepat."

"Begitu kah? Baik, aku akan mencoba mencari dua bahan itu sekarang!"

Tanpa bertanya lebih banyak lagi, aku bangkit dan mengambil tas kulit kecilku. Karena aku akan membawa jamur beracun yang akan membakar kulit, sebaiknya aku menggunakan sesuatu sebagai wadah agar tidak terluka. Selain itu aku turut membawa kantung air dan belati kecilku, lalu menyampirkannya ke ikat pinggang.

"Tolong jaga Dimas untukku!" ujarku sebelum pergi meninggalkan tenda kecil ini.

"Serahkan padaku. Kau juga berhati-hatilah! Jangan sampai terluka lagi. Aku tidak mau jika harus merawat dua pasien di saat bersamaan."

"Kau benar. Kalau begitu aku pergi dulu," tukasku sembari melempar senyum.

Setelah itu aku langsung melangkah menjauhi tenda, menuruni lereng gunung di mana vegetasi tanaman lebih variatif ketimbang di daerah puncak. Kakiku berlari-lari kecil mengikuti jalan setapak yang curam. Berbeda dengan saat mendaki, menuruni lereng saat malam jauh lebih cepat dan menyenangkan. Kini aku tidak perlu lagi memakai tenaga ekstra untuk membawa barang bawaan berat di bawah teriknya sang Surya.

Tiba-tiba aku teringat dengan Dimas. Si Bodoh itu terluka saat bertarung dengan monster Laba-Laba sebelumnya, namun ia tidak memberitahuku dan Kak Shella tentang hal itu. Mungkin karena sudah lama bersamanya, aku bisa memahami jalan pikiran Dimas. Ia pasti tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Si Bodoh itu juga pasti berpikir kalau ia bisa mengatasi luka itu sendirian.

Memang benar-benar tolol temanku ini! Harga dirinya yang ingin terlihat kuat sungguh sangat menyebalkan. Aku sudah sering protes padanya tentang ini, namun ia itu selalu tidak mengindahkannya. Kalau ia selamat dari ini, aku akan memakinya habis-habisan.

Fokusku saat ini adalah mencari dua bahan yang diperlukan untuk membuat penawar racun di tubuh Dimas. Jamur Selinida Hitam dan Akar Bunga Turnia.

Kalau Bunga Turnia aku sudah pernah melihatnya di toko bunga Kota Glafelden. Bunga Turnia merupakan tumbuhan tahunan dengan tinggi antara 70 hingga 90 cm. Setiap batangnya hanya memiliki satu bunga di ujung tangkainya. Bentuk bunganya saat kuncup mirip seperti mata bor, namun akan sangat indah saat mekar. Jika musimnya tiba, Bunga Turnia yang memiliki puluhan mahkota bunga akan mekar mengikuti arah jarum jam. Karena bentuknya yang sangat indah itulah, Bunga Turnia diburu orang-orang sebagai hadiah atau pajangan di rumah.

Akan tetapi baru-baru ini muncul kabar bila akar bunga ini bisa digunakan sebagai bahan untuk ramuan herbal guna mengobati banyak penyakit. Karena khasiatnya, kepopuleran akar Bunga Turnia pun meroket dan menjadikannya salah satu komoditas paling laris di pasaran. Bunga ini memang dapat kau temukan di alam bebas, tapi tidak sedikit pula yang mengembangbiakkannya di dalam kota. Itu yang aku tahu dari Bunga Turnia.

Berbeda dengan bahan lainnya, Jamur Selenida Hitam. Ini adalah pertama kali aku mendengar namanya. Dari penjelasan Kak Shella, jamur hitam beracun ini berbentuk seperti Kantung Semar. Memiliki getah beracun yang sanggup membakar kulit.

Mendadak aku menelan ludah. Jika getahnya saja mematikan seperti itu, bagaimana jika jamur itu dijadikan ramuan dan dijejalkan ke mulut Dimas? Bukannya itu justru mempercepat kematianya? Aku benar-benar bingung. Jujur, aku tidak paham sama sekali dengan ilmu herbologi yang didalami Kak Shella. Semoga saja campuran dengan akar Bunga Turnia menjadikan getah jamur itu aman untuk dikonsumsi.

Selang satu jam berlalu, aku sudah sampai di pertengahan lereng gunung. Padahal butuh waktu setengah hari untuk mendaki dari sini ke tempat tenda didirikan. Dari titik ini aku berjalan mengarah ke utara, karena sebelumnya aku sempat melihat padang Bunga Turnia di sekitar situ.

Tidak butuh waktu lama sampai aku tiba di padang Bunga Turnia tumbuh. Tempat ini cukup kecil, tak luas seperti padang rumput di kaki gunung. Mungkin luasnya hanya setengah lapangan sepak bola saja. Tempat ini berada di ujung tebing, tidak ada tumbuhan lain yang tumbuh di sini selain Bunga Turnia dan semak rerumputan.

Aku segera mendekat ke salah satu tangkai bunga yang menjulang dari permukaan tanah. Saat ini masih belum musimnya Bunga Turnia mekar, jadi aku tidak bisa menyaksikan puluhan mahkota yang mengembang indah. Hanya bisa melihat bunga dalam kondisi kuncup yang mirip seperti mata bor.

Yah, hal itu tak terlalu pengaruh bagiku! Saat ini aku hanya butuh akarnya saja.

Dalam satu hentakan, aku mencabut sebuah tangkai yang ada di depanku. Kemudian memotong bagian akarnya dengan belati kecil yang tergantung di pinggang. Setelah itu kumasukkan akarnya ke dalam tas kulit yang kubawa. Kak Shella mengatakan hanya butuh satu, namun aku mengambil lima buah akar Bunga Turnia lagi. Tentu untuk berjaga-jaga jika Kak Shella harus membuat ramuan semacam itu suatu waktu nanti. Jadi ia tak perlu kebingungan saat kehabisan bahan.

Setelah memasukkan beberapa ikat akar bunga ke dalam tas, aku bergegas untuk meninggalkan padang itu. Tujuanku selanjutnya adalah menemukan Jamur Selenida Hitam. Ini lumayan sulit, sebab aku tidak tahu di mana mereka tumbuh di gunung ini.

Mencarinya secara acak akan membuang-buang waktu dan tenaga. Semakin lama waktu yang terbuang, maka semakin parah luka Dimas akan menyebar. Artinya aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang berharga. Kak Shella mengatakan jamur ini tumbuh di tempat gelap dan lembab. Sepertinya pinggir sungai adalah tempat yang harus kususuri.

Aku memejamkan mata sejenak, memfokuskan diri untuk menggunakan Indera Superku. Dari padang ini, aku mendapatkan proyeksi jelas di sekelilingku. Meski dunia ini monokrom, namun gambaran yang kudapatkan sangat detail melebihi apa yang bisa kulihat dengan mata normal. Mulai dari burung yang terbang puluhan meter di atas, koloni semut yang terus bekerja tanpa istirahat, hingga pandangan beberapa ratus meter ke segala arah.

Jika harus kujabarkan, cara kerjanya mirip seperti gelombang sonar kapal laut. Gelombang suara dipancarkan ke semua penjuru, jika mengenai sesuatu gelombang akan terpantul kembali dan tertangkap ke alat penerima. Hanya saja dalam kasus kemampuanku, tubuhku mengeluarkan gelombang suara yang berkelanjutan setiap detiknya dan sangat kuat hingga dapat menembus jarak yang jauh.

Dengan kemampuan ini, aku bisa menemukan aliran sungai dengan mudah yang letaknya hanya beberapa puluh meter di depan. Baru saja kunonaktifkan Indera Super, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara dentuman kencang yang berasal dari sesuatu yang jatuh di depan mataku. Aku yang terkaget tidak kuasa untuk melompat ke belakang dan mengambil jarak aman.

Sesuatu telah jatuh di tengah padang bunga dan menciptakan deburan pasir serta tanah di udara. Banyak tangkai-tangkai bunga patah di sekitarnya, namun aku tak terlalu mempedulikan itu. Mataku kini terfokus pada sesuatu yang baru saja terjatuh.

Sebuah, tidak, seekor binatang perlahan-lahan bangkit dari tanah. Sangat sulit mempercayainya padahal aku langsung melihat dengan mata kepala sendiri. Seekor beruang, atau lebih tepatnya seekor monster beruang dengan tinggi sekitar delapan meter berdiri dan menatapku tajam. Ia memiliki empat tangan sama besar yang mempunyai cakar-cakar tajam nan panjang di setiap tangannya. Bulu putihnya mengingatkanku dengan beruang kutub, tapi jelas ini bukan sekedar beruang biasa.

"D-Dari mana datangnya beruang ini?" tanyaku dengan panik. "Kenapa Indera Superku tak bisa mendeteksinya sebelumnya?"

Sedetik kemudian, monster beruang itu mengeluarkan suara lolongan yang memecah kesunyian malam dan langit gelap.