webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 41 "Tiba di Kota Arnest"

Aku menunduk untuk memastikan apa yang kutemukan, dan benar, itu adalah Jamur Selenida Hitam. Ciri-cirinya begitu sama persis dengan yang dijelaskan Shella sebelumnya. Jamur ini memiliki warna hitam pekat dan berbentuk seperti kantung. Dari yang kuingat, getah jamur ini begitu berbahaya jika terkena kulit. Sebaiknya aku berhati-hati agar tidak melukai diri sendiri.

Untuk sesaat aku terdiam sejenak, memikirkan bagaimana cara memetik benda itu tanpa menyentuhnya. Sayang sekali aku tidak memiliki sarung tangan kulit untuk melindungi telapak tangan.

Di tengah kegelapan malam, mataku terpancing pada kilatan samar pada bilah belati yang menggantung di pinggang. Betul juga! Aku sampai lupa memiliki benda ini.

Dengan segera aku mencabut bilah belati dari ikat pinggang dan mencoba untuk memotong batang jamur itu. Bagi manusia, melakukan hal ini di dalam kegelapan tanpa bantuan penerangan akan sulit. Untunglah aku memiliki kemampuan Haier-Elvian.

Sumpah, aku sudah ratusan kali berterima kasih karena telah diberkati kemampuan ini! Meski aku juga merutuk dengan jumlah yang sama karena perubahan tubuhku yang drastis. Setidaknya masih ada hal baik di balik ketidakberuntunganku.

Setelah mengiris dengan perlahan batang jamur, kantung jamur yang berwarna hitam pekat itu jatuh ke tanah dalam keadaan terbalik. Saat itulah aku melihat tumpahan getah hitam nan kental menetes ke atas tanah. Permukaan tanah langsung menghitam dan mendesis begitu bersentuhan dengan getah jamur. Bulu kudukku seketika berdiri ketika membayangkan getah itu menyentuh kulitku.

Seram! Kenapa tumbuhan seperti itu bisa ada di dunia ini? Dan mengapa benda yang berbahaya itu dapat menjadi bahan obat herbal?

Aku langsung menggeleng. Mencoba menyingkirkan segala hal yang tidak kupahami. Memikirkan hal yang tidak penting hanya akan membuang waktu. Prioritasku saat ini adalah mengumpulkan jamur hitam beracun ini ke pada Shella, agar dapat dijadikan obat untuk Dimas. Semoga saja tumbuhan ini benar-benar berguna.

Selepas memastikan getah menetes semua ke atas tanah, aku menusuk kantung jamur dan mengumpulkannya di atas batu dekat tempatku berdiri. Dengan cara yang sama persis, aku berhasil mendapatkan tiga buah kantung Jamur Selenida Hitam.

Sebelum memasukkannya ke dalam tas kulit, aku membungkusnya dengan daun lebar yang kupetik di dekat sana. Aku tidak ingin menaruh jamur beracun ini begitu saja ke dalam tas. Karena bisa saja getah masih menetes dan merembes pada tas, lalu tanpa sengaja mengenai kulitku.

Setelah memastikan jamur itu dibungkus dengan rapi dan memasukkannya ke dalam tas, aku bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Tujuanku sekarang adalah mendaki gunung dan kembali ke perkemahan tempat Shella dan Dimas berada.

Aku memaksa tungkaiku terus melangkah dan mendaki, meski tenaga sudah terkuras setelah melawan monster Tardigrada. Seluruh sendiku terasa ingin lepas, napasku tersengal-sengal, punggungku terkulai dan tak sanggup untuk ditegakkan. Rasa letih saat ini jauh melebihi ketika aku dalam pelarian di Kota Ruvia beberapa waktu yang lalu.

Ingin rasanya berhenti dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah, tapi aku hanya akan membuang-buang waktu saja. Saat ini kondisi Dimas sedang berpacu dengan waktu. Jika terlambat, keadaan pria itu mungkin akan memburuk. Jadi sebisa mungkin aku terus berjalan meski tubuh ini sudah kehilangan tenaga.

Dimas adalah sahabat terbaik sekaligus orang paling dekat yang kumiliki di dunia ini. Aku tak ingin melihatnya kesakitan seperti itu. Kalau sampai hal buruk terjadi padanya, aku tak sanggup membayangkannya.

Sembari mengabaikan segala pikiran buruk, aku terus mendaki lereng gunung yang kian curam. Memang ini bukanlah jalan yang kulalui siang tadi. Tapi karena masih berada di sisi gunung yang sama, aku pasti akan menemukan perkemahan jika terus naik ke atas gunung.

Aku menyeret kakiku naik ke atas tanpa henti, hingga tidak sadar waktu sudah berlalu cukup lama. Mungkin sudah satu atau dua jam. Pemandangan sekitar menjadi deretan pohon pinus yang menjulang tinggi menembus pekatnya kabut dan awan yang menggantung rendah. Di suatu tempat dekat sini, pasti ada tenda tempat Dimas dan Shella berada.

Dengan terburu-buru aku berlari kecil sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari siluet tenda sederhana beratap terpal yang didirikan di bawah batang pohon besar. Kabut yang cukup tebal mengurangi jarak pandangku. Mataku memang bisa menembus gelap malam, namun tidak dengan kabut.

Semakin lama kabut kian menebal, membuatku hanya mampu melihat lima meter ke depan. Dikepung kabut yang mulai menyelimutiku, aku kehilangan arah. Kutengok ke segala penjuru, namun tak menemukan apa-apa.

"Kak Shella! Dimas!" jeritku melengking di tengah kesunyian ini.

Kondisi tubuhku yang sangat letih, menjadi menurun karena suhu di sini menurun begitu cepat. Suhu saat ini lebih dingin dari pada saat hujan turun. Jaket tipis yang menyelimuti tubuhku tak mampu melawan temperatur ekstrim ini.

Kemana pun mataku memandang, hanya ada kabut putih. Langkah kakiku semakin berat, napasku terengah-engah. Berulang kali aku meneriakkan nama Dimas dan Kak Shella, berharap mereka dapat mendengarnya dan membalas jeritanku. Mungkin karena itu, energi yang kumiliki habis hingga tidak lagi mampu mempertahankan konsentrasi.

Ketika aku sedang berlari kecil, tiba-tiba saja kakiku terantuk sesuatu entah itu akar pohon atau batu. Detik berikutnya aku langsung tersungkur mencium tanah. Kucoba memaksa membangkitkan tubuhku, namun tak bisa. Tubuhku sudah sampai pada batasnya, hingga tidak bisa lagi menggerakkan anggota badan. Seolah-olah ada lusinan tali yang menahanku untuk tetap berada di tanah.

Aku bahkan tak bisa mengontrol jemariku sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah diam memandangi kabut tebal yang menyelubungi diriku.

Apa ini sudah berakhir?

Jika iya, ini benar-benar konyol. Perjalanan yang kumulai dengan ambisi besar dan tekad kuat harus berakhir tepat setelah aku memulainya.

Sepertinya aku terlalu banyak bicara. Jika diberikan kesempatan lagi, mungkin aku akan belajar untuk menutup sedikit mulutku.

Andai saja ... aku ....

***

Dunia putih, adalah sebuah dunia yang tidak ada apa pun di dalamnya selain warna putih. Sejauh mata memandang tidak ada yang bisa kau lihat selain kehampaan.

Entah apa yang sudah kulakukan hingga harus terdampar di tempat ini. Jika diingat kembali, aku gagal di tengah perjalanan guna merubah nasibku. Mungkin inilah hukuman yang pantas untuk orang yang begitu sesumbar dan tak menghasilkan apa-apa.

Kendati demikian, aku merasa jika itu tidak adil. Memangnya siapa yang ingin gagal? Semua orang pasti ingin sukses. Entah itu dalam karir, usaha, percintaan, atau hidup mereka. Tidak ada orang yang bercita-cita gagal, begitu pun denganku. Aku ingin mengulanginya lagi. Tolong biarkan aku memperbaikinya sekali lagi!

Aku ingin keluar.

Aku harus memberontak keluar dari tempat ini. Rasanya sudah cukup lama aku berada di dunia putih ini hingga hampir gila.

Bersamaan dengan keinginan kuat yang meluap dari dalam hati, di depan pandangan mataku muncul sebuah cahaya kekuningan yang berpendar. Munculnya warna ini menodai kesucian dunia putih yang terjaga selama ini. Perlahan-lahan cahaya itu menguat dan berpendar dengan sangat terang hingga membuatku harus menutup mata.

Di kali berikutnya aku membuka mata, aku dapat melihat ujung pohon pinus yang berlatarkan langit biru cerah. Barisan pepohonan yang cukup rapat dan dedaunan yang jarang, menghalangi mataku dari pancaran matahari hangat secara langsung. Aku mengerjapkan mata sesaat, kemudian mengerling ke samping.

Di sebelah tempatku berbaring ada seorang pemuda yang duduk sembari menatap ke arah mentari pagi. Pemuda itu bergeming seolah menikmati waktu-waktu matahari naik ke atas dengan perlahan. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengenali pemuda itu.

"Dimas?" ucapku perlahan.

Aku yang sudah mendapatkan kembali tenaga mencoba bangkit pelan-pelan. Mataku sudah dapat melihat jelas dan baik, jadi tidak mungkin aku salah lihat. Apalagi dari jarak sedekat ini. Benar-benar kelewatan jika aku tak bisa mengenali sahabatku sendiri.

"Kau sudah bangun?" balas pemuda itu sembari melirikkan matanya padaku.

"Kau sudah baikan?" Aku begitu terkejut melihatnya baik-baik saja hingga acuh pada pertanyaanya.

"Kau bisa lihat dengan matamu sendiri."

"Apa kau juga mati?"

"Bodoh! Main asal bicara saja. Lihat ke sebelah kirimu!" ujar Dimas seraya menunjuk ke balik badanku.

Mataku mengikuti arah jari telunjuknya, di situ aku mendapati sosok Kak Shella yang sedang memasak sesuatu di atas bara api. Gadis bersurai sepunggung itu menyambutku dengan senyum hangat yang tak kalah dari mentari pagi.

"Apa kau sudah baikan sekarang?" tanya gadis itu. Kemudian pandangannya diarahkan kembali pada periuk tanah liat di atas bara. Shella menambahkan garam dan daun kemangi, sebelum mengaduknya dengan rata.

"Ya, begitulah," jawabku pelan. Masih meragu dengan apa yang telah terjadi. Padahal aku yakin sekali aku pingsan sebelum mencapai perkemahan.

"Pasti kau ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi semalam, kan?"

Seolah dapat menebak isi kepalaku, gadis itu melontarkan pertanyaan yang baru saja ingin kuajukan. Aku mengangguk pelan sebagai tanggapan.

"Saat aku sedang menunggumu kembali semalam, aku tiba-tiba mendengar suaramu memanggil-manggil namaku. Awalnya kukira sedang berhalusinasi, lama-kelamaan suaramu terdengar sangat jelas. Begitu mencoba mendekat ke arah sumber suara yang mendadak berhenti, aku menemukanmu tergeletak di tanah. Kemudian aku membawamu kembali ke kemah."

"Serius?" ungkapku tak percaya.

Gadis itu tersenyum jahil dan tertawa kecil. "Jangan meremehkanku, tahu! Kalau cuma Anggi sih, aku masih bisa menggendongmu. Setelah itu aku membuatkan obat herbal untuk Dimas dari bahan-bahan yang ada di tasmu."

"Begitu, ya?"

Setelah mendengar penjelasan Shella, aku menghembuskan napas lega. Sungguh, ini benar-benar melegakan. Sebelumnya aku berpikir akan gagal mencapai perkemahan, kemudian Dimas yang tak mendapatkan obatnya akan memburuk. Aku menoleh ke samping kananku dan mendapati Dimas yang sedang menyesap segelas air hangat.

Pemuda itu merasakan tatapanku dan mambalas. Mata kami berdua bertemu dan terdiam satu sama lain selama beberapa detik, sebelum akhirnya aku membuka obrolan.

"Aku senang melihatmu baik-baik saja," ungkapku penuh kelegaan.

"Ya, berkat tanaman herbal yang kau bawa. Terima kasih."

"Bagaimana rasa obatnya? Enak?"

Dimas langsung menunjukkan ekspresi jijik dan membuang muka. "Mengerikan. Aku berharap tidak akan meminumnya lagi sampai kapan pun."

Aku langsung tertawa mendengarnya. Biasanya ia adalah orang yang sok kuat. Jika dia saja sampai berkata seperti itu, artinya rasa obat itu benar-benar buruk. Bisa kubayangkan sih. Jamur beracun yang getahnya dapat membakar kulit, siapa pun pasti takkan mau memasukkan benda itu ke dalam mulut. Entah bagaimana Shella memprosesnya menjadi dapat dikonsumsi. Yang jelas, rasanya tidak berubah menjadi enak.

Setelah itu kami bertiga menghabiskan waktu sembari menyantap sarapan sup jamur buatan Shella. Baik Dimas dan Shella bertanya apa saja yang sudah kulalui sampai harus pingsan seperti semalam. Kujawab saja dengan jujur.

Keduanya tampak terkesima dengan apa yang telah kulewati. Bahkan aku sendiri pun masih belum percaya bisa lolos dari kejaran monster Tardigrada. Rasanya kejadian semalam itu tidak nyata. Jika sekarang adalah satu bulan yang lalu, aku tidak menyangka akan dapat melalui itu semua. Bertarung melawan monster-monster dan pergi ke tempat jauh. Ini mungkin adalah pencapaian terbesarku selama ini.

Mengesampingkan hal itu, aku bersyukur masih dapat bertahan hingga kini. Namun aku tak boleh berpuas diri. Ini masih awal perjalanan, yang mungkin belum mencapai 1% dari total keseluruhan. Masih banyak tantangan dan petualangan tak terduga yang akan kuhadapi. Mungkin jauh lebih besar dan berbahaya dari ini.

Tapi tidak berlebihan kukira apabila menganggap sampai di titik ini adalah sebuah kesuksesan kecil. Hal ini bisa kujadikan modal untuk percaya diri demi menghadapi hari esok.

Setelah sarapan selesai, kami bertiga membereskan perkemahan agar dapat segera berangkat dan melanjutkan perjalanan. Berhubung Dimas baru saja pulih, kami tidak terlalu tergesa-gesa seperti hari kemarin. Mengejar target itu perlu, namun menyesuaikan kondisi itu lebih penting. Percuma saja kami tergesa-gesa jika memaksakan diri, bisa-bisa malah kejadian tak terduga yang datang.

Kami bertiga mendaki puncak gunung yang sudah tak terlalu jauh. Aku sudah dapat melihat puncaknya. Beruntung pagi ini hujan dan kabut tidak menghalangi, jadi tim kecil ini bisa bergerak tanpa ada hambatan.

Kami berjalan berbaris seperti anak sekolah. Dimas berada paling depan, ia bertugas untuk memilih jalan dengan peta yang dipegangnya. Kemudian Shella di tengah, membawa tas miliknya yang berisi bahan dan alat meracik obat herbal. Lalu aku berjalan di paling belakang, berusaha memastikan tidak ada ancaman apa pun yang mengikuti kami.

"Hei, Kak Shella!" kataku dengan pelan ke depan.

Gadis itu menoleh ke belakang dan menaikan sebelah alisnya. "Ada apa?"

"Terima kasih, ya!" ujarku dengan melempar senyum.

"Untuk apa?" tanya Shella sembari melambatkan langkah kakinya, lalu berjalan di sampingku.

"Menggendongku kembali ke perkemahan."

"Bukankah itu sudah seharusnya?"

Aku menggeleng. "Kalau tidak ada kau, mungkin aku akan mati kedinginan di tempat itu. Dimas juga mungkin takkan selamat kalau tidak ada obat yang kau racik. Kau waktu itu bilang hanya menjadi beban buatku dan Dimas. Nyatanya, kemarin kau menyelamatkan kami berdua. Kalau saja kemarin tidak ada Kak Shella, kami berdua pasti mati. Jadi, terima kasih, ya!"

Mendengar pujianku, gadis itu langsung sumringah. Dia menunjukkan senyum lebar yang tak dapat ditahan. Kemudian mengangguk-angguk kegirangan lantas mengacungkan tinju kanannya padaku.

"Aku memang tidak bisa bertarung. Tapi kalau untuk hal lain, serahkan padaku."

Mataku mengamati wajah dan tinjunya secara bergantian. Kemudian membalas tinju dengan tangan kiriku secara perlahan. "Kita adalah tim."

Setelahnya aku dan Shella tertawa berbarengan. Hal itu menimbulkan kegaduhan yang mengundang perhatian Dimas yang sedari tadi sibuk memperhatikan petanya.

"Bisa-bisanya kalian tos tim tanpa aku. Memangnya aku di sini cuma figuran?" gerutu Dimas yang menghentikan langkahnya.

"Kenapa kau baru sadar?" balasku dengan nada mengejek.

Dimas memasang wajah terkejut selama beberapa saat. "Baik, jika itu katamu. Mohon maaf, aku yang hanya figuran sedikit terburu-buru. Jadi kalian para tokoh utama silahkan cari jalan sendiri."

Pemuda tinggi itu segera mempercepat langkahnya meninggalkanku dan Shella. Tak mempedulikan dua orang di belakang, ia berjalan cepat mendaki tanpa peduli seberapa curam medan yang dilalui. Aku dan Shella bertatapan satu sama lain, lalu tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Dimas yang seperti anak kecil.

Keseruan itu berlanjut selama perjalanan hingga membuat kami tanpa sadar sudah mencapai puncak gunung ini.

Dimas membantuku naik ke atas bebatuan yang cukup tinggi, aku menarik tanganku dengan kuat agar sampai di atas. Akhirnya kami tiba di puncak Pegunungan Lintang Utara.

Mataku terkesima melihat apa yang ada di hadapanku. Langit cerah tanpa awan dan kabut membantuku menikmati pemandangan ini. Kini aku bisa melihat cakrawala barat dari ketinggian. Tampak jauh lebih indah dari yang biasa kulihat di pinggir kota Glafelden. Sejauh mata memandang, hamparan hutan hijau terbentang luas bak karpet yang dibentangkan di atas tanah lapang. Bagai lukisan di atas kanvas yang dicat dengan seni tinggi.

Temperatur super rendah di atas sini tak bisa menghentikanku menikmati keindahan panorama alam. Saking takjubnya, aku mengabaikan hal lain seolah-olah tak ingin diganggu tuk sementara.

"Hei, lihat di sana!" seru Dimas. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah menara beratap merah yang mencuat dari lebatnya pepohonan.

Aku segera melempar pandangan ke arah yangia tunjuk. Benar, di suatu tempat ada menara merah yang berdiri di tengah hutan. Sontak aku menajamkan indera penglihatanku ke arah sana. Di saat yang sama, aku mendapati ada beberapa menara yang berdiri di dekatnya. Tak hanya itu, ada juga bangunan lain yang berada di balik dedaunan.

Manusia biasa takkan bisa melihat sejelas yang kusaksikan saat ini. Selain bangunan, aku juga dapat melihat orang-orang berlalu lalang di atas batang dan dahan pohon. Hutan di balik pegunungan ini tak serupa seperti di Kota Ruvia yang tumbuh hingga ratusan meter. Hutan di sini terdiri dari pepohonan pendek berbatang super tebal dan bercabang banyak. Jika harus kujelaskan, hutan di sini seperti ribuan pohon bonsai raksasa yang ditanam rapat satu sama lain.

Orang-orang di sana mendirikan bangunan di atas batang dan dahan pohon raksasa, mirip seperti di Kota Ruvia. Entah mengapa aku tak bisa menahan senyumku.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Shella.

"Itu adalah Kota Arnest, tujuan pertama kita!"