webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 08 "Sang Pengintai dari Barat"

Aku terkejut. Dibandingkan dengan saat menyadari bila Kohru—binatang imut yang ternyata adalah peliharaan Elvian—bisa mengganas seperti harimau, hal ini membuatku terhenyak. Bagaimana bisa seseorang datang entah dari mana, tiba-tiba bertanya bahwa aku manusia atau bukan? Meskipun aku tidak merias muka untuk menyempurnakan penyamaran. Aku yakin penampilanku cukup untuk menipu mata orang lain.

Setetes keringat dingin muncul di keningku. Terbesit sepintas dugaan bila wanita ini semacam penyihir yang mampu menerawang orang lain. Datang dari ibukota kerajaan dan tak sengaja bertemu denganku. Perasaanku jadi buruk. Akan timbul masalah yang menimpa bila orang-orang tahu bahwa aku adalah manusia setengah peri.

"A-Aku? Bukan manusia? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud," bantahku, berpura-pura tidak mengerti.

"Kau pasti mengerti apa yang kumaksud, Anak Muda! Meski warna kulit dan rambutmu mirip dengan manusia," dalam satu kedipan mata, tahu-tahu tangannya sudah masuk ke dalam sungkupku. Lantas mengelus-elus telingaku yang panjang dari bawah hingga ke atas. Aku tidak sempat bereaksi. Hanya terdiam membisu seperti patung marmer di taman selama beberapa saat, "tapi tidak dengan telinga panjang yang kau sembunyikan ini. Teknik kamuflase yang setengah-setengah. Belum matang."

Senyum di wajah wanita itu terkembang, seakan penuh kepuasan. Aku yang sempat tertegun, memutuskan untuk segera mengambil langkah seribu dari tempat itu. Walau sempat beberapa kali menabrak orang dan gerobak makanan di jalan yang super ramai ini, aku tetap tak mengendurkan kecepatan. Tidak ada alasan untuk menoleh kembali ke belakang. Siapa pun perempuan itu, ia telah mengetahui rasku sebenarnya. Aku mendapat firasat buruk jika keberadaanku diketahui oleh negeri ini.

Setelah beberapa menit berlari, staminaku berkurang. Napasku tersengal-sengal. Keringat mengucur deras dari seluruh badanku. Dengan tubuh yang lelah dan kekurangan tenaga, kupaksa dua tungkai ini berjalan lebih jauh untuk sampai ke bangku yang berada lima meter lagi. Pakaian tebal dan serba tertutup ini membuatnya jadi tambah buruk. Aku kegerahan. Beruntunglah bangku ini berada di bayangan gedung. Jadi panas matahari tak semakin memperparah keadaan.

Kugunakan tangan untuk mengibas-ngibaskan ke arah leher. Sebenarnya aku ingin membuka tudung dan membiarkan angin semilir membelainya dengan kesejukan alami. Tapi aku tidak berani mengambil risiko. Was-was jika ada seseorang yang melihat telinga panjangku.

Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Ini adalah daerah pemukiman yang ada di pinggir kota. Arsitektur rumah-rumah di kawasan ini tak terlalu menawan. Terlihat sangat sederhana. Tempat ini sepertinya pemukiman orang-orang menengah ke bawah. Beruntunglah aku tidak sampai ke area para bangsawan tinggal. Tidak sembarang orang dapat masuk ke sana. Orang biasa akan dihukum bila kedapatan masuk tanpa izin.

Angin bertiup kencang, menghilangkan rasa gerah yang menyelimuti. Sekaligus mengeringkan bibir ini. Aku mengelus tenggorokanku yang kering. Haus! Tidak ada keran minum di sini. Benar juga, lagipula Dewan Kota—pihak berwenang yang mengatur kota Glafelden—mana mau membangun keran minum di tempat ini. Toko-toko juga tutup. Jalanan terlihat lengang. Jendela-jendela dan pintu rumah tertutup rapat. Sepertinya penduduk di sini banyak yang pergi ke Festival Matahari.

Di saat tersiksa oleh rasa letih dan haus ini, tiba-tiba ada seseorang yang memberiku minum. "Ini ... minumlah!"

Aku langsung menyambar botol plastik yang ia sodorkan, lantas meminumnya banyak-banyak. Jus jeruk dingin. Minuman yang sangat tepat guna melenyapkan rasa dahaga ini. Aku mengosongkan gelas itu dalam sekejap. Rasanya lega sekali.

"Terima kasih," ujarku seraya menatap orang yang memberiku minum. Ia berdiri di sampingku dan tertawa. Melihat wajahnya, aku terperanjat kaget. "Kau lagi? Bagaimana bisa ada di sini?!"

Wanita yang sebelumnya berada di alun-alun, entah bagaimana sudah berada di sini. Mataku melotot. Rasanya ingin sekali mengambil langkah seribu, namun tubuh ini tak mengizinkan. Tenagaku sudah habis. Kakiku terasa membatu.

"Kau tidak perlu takut begitu." Wanita itu tertawa kecil, lalu duduk di sampingku dengan santai dan bersikap ramah. "Tidak begitu sulit untuk mengejarmu, tahu? Kau kabur sambil meninggalkan jejak Esze. Bodoh sekali! Seharusnya kau menekan energi Esze-mu agar tidak lepas tak terkendali."

"Esze? Maksudmu?"

Setelah mengonfirmasi bahwa ia tidak seberbahaya yang kupikirkan sebelumnya, aku menjadi lebih rileks. Bertanya penasaran tentang kata yang mengganggu pikiranku. Esze? Baru pertama kali kudengar istilah itu.

"Apa yang kau bicarakan? Jangan bergurau! Walau masih jauh dari kata sempurna, orang yang menggunakan teknik penyamaran sepertimu mustahil tak mengenal Esze."

Aku menggeleng. Semakin tidak mengerti apa yang diucapkan olehnya. Seharusnya wanita ini mengungkapkan jawaban yang ingin kudapat. Bukan malah membuatnya menjadi tambah rumit.

Justru wanita itu yang terlihat kaget. "Kau baru keluar dari gua yang mana? Apa kau tak sadar tentang dirimu sendiri?"

Aku menggeleng lebih keras.

Ia menepuk jidat. "Ya ampun! Ternyata ada juga Elvian yang tidak tahu dirinya sendiri."

"Elvian? Aku bukan Elvian, tapi –."

"Ikut aku!" Perempuan itu menarik lenganku dan menyeretnya mengikuti langkahnya. Tanpa mengetahui akan dibawa kemana.

Kami melewati jalanan yang mengarah ke dinding kota sebelah selatan. Bangunan-bangunan yang terbuat dari tembok sebelumnya berganti dengan kumpulan bangunan berbahan dasar kayu dan seng. Pola perumahannya pun tak teratur. Ada yang menjorok ke sebagian jalan. Ada pula rumah yang menghalangi jalanan, sehingga harus meniti sela di antara rumah untuk melewatinya. Jalanan juga semakin sempit, yang mustahil untuk dilewati kereta kuda. Tak hanya itu, jalanan rusak dan becek ada di mana-mana. Untuk sepintas, kawasan ini mirip dengan permukiman kumuh yang ada di Jakarta.

Jika daerah sebelumnya kurang diperhatikan Dewan Kota, aku sangat yakin kawasan ini tidak dipedulikan sama sekali oleh mereka. Bahkan mereka mungkin telah menghapusnya dari peta kota. Yang jelas, ini benar-benar daerah tak terawat.

"Kita mau kemana?" tanyaku dengan pelan. Karena jarak dari jalanan ke pintu rumah-rumah hanya selebar satu meter. Aku tak mau suaraku mengganggu penduduk yang berada di dalamnya.

"Diam dan ikuti saja aku."

Aku mengikutinya dari belakang, mencoba menyesuaikan langkah kaki dengannya yang cepat. Di jalan, aku lebih memperhatikan wanita ini. Mengesampingkan tentang 'siapa dia sebenarnya?', aku lebih menyukai sosoknya yang tinggi. Tubuhku hanya sekitar bahunya saja. Rambutnya tergerai indah sampai ke pundak. Warna kulitnya sawo matang. Sungguh perwujudan gadis tropis yang eksotis.

Meskipun tubuhku sudah menjadi perempuan seutuhnya, aku cukup tertarik dengan parasnya yang menawan. Sepertinya jiwa lelakiku belum hilang seutuhnya.

Beberapa saat kemudian kami sampai di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Butuh sedikit kewaspadaan ketika menaiki dua-tiga anak tangga lapuk untuk sampai ke beranda. Jika tidak, kau mungkin akan terjatuh. Wanita itu menyilakanku masuk setelah membuka pintu. Interiornya tak begitu bagus. Tak ada harapan lebih yang kupikirkan dari rumah kayu yang uzur.

Tak ada harapan lebih yang kupikirkan dari rumah kayu yang uzur

(Ilustrasi)

"Silakan duduk!"

Aku duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Sementara wanita itu menuju ruangan kecil di sebelahnya, yang sepertinya adalah dapur sekaligus ruang makan. Aku tahu dari melihat sepintas meja makan panjang dan tungku yang berada di dalamnya.

Pandanganku mengedar ke sekeliling. Di rumah yang berukuran 7x6 meter ini, hanya terdapat empat ruangan. Selain ruang tamu ini, ada satu kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Cukup sempit, namun barang-barang wanita itu cukup banyak. Alhasil, beberapa perabotan rumah diletakan tumpang tindih dengan barang lainnya, yang membuat bangunan ini tak ada ubahnya dengan gudang barang bekas. Aku sama sekali tak keberatan dengan kondisi rumah yang berantakan seperti ini. Toh, keadaan markas pemburu 'Kelam Malam' bisa lebih buruk dari ini.

Lagipula, ini membuatku yakin bila ia bukanlah orang yang bermaksud jahat. Wanita itu datang sembari menyuguhiku teh hijau yang suam-suam kuku.

"Silakan diminum!" serunya.

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung mengambil cangkir kecil dan menyesapnya. Ini adalah pertama kalinya aku minum teh hijau di negeri ini. Rasanya tak jauh berbeda dari yang pernah kuingat.

"Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku membawamu kemari, kan?" Wanita itu seperti sudah tahu yang ingin kutanyakan. Celetukannya sangat tepat.

Aku mengangguk pelan.

"Lebih baik kita mulai dengan perkenalan diri terlebih dahulu. Namaku Almira. Aku hanyalah buruh pabrik roti biasa. Setidaknya itulah identitasku di negeri ini." Wanita itu tersenyum kecil. Seolah tahu dari wajah bingungku, dia menjentikkan jarinya. Saat itulah kedua bola mataku nyaris keluar. Dalam sekejap, penampilannya berubah. Warna rambut yang sebelumnya cokelat, meluruh menjadi kuning keemasan. Begitu pula kulitnya yang sawo matang, tiba-tiba saja menjadi sangat pucat. Aku terhenyak saat memperhatikan telinganya mengerucut panjang ke atas hingga nyaris sejengkal. "Tapi sebenarnya namaku adalah Elywien-Kri, mantan pengintai dari Kerajaan Elvian Barat."

Sebuah senyum tipis tersimpul di ujung bibirnya. Seakan mengatakan banyak makna, yang tak kutahu satu pun artinya.