webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 07 "Festival Matahari"

"Berhentilah memanggilku seperti itu, Almira! Kau membuatku terlihat seperti hewan langka." Aku menggerutu. Bersungut-sungut melipat kedua tangan di depan dada selagi memandangnya sebal.

"Tapi kau memang langka, kan?" Perempuan itu tertawa kecil, mengangkat bahunya seolah merasa tak bersalah. Lalu duduk di sofa yang berhadapan denganku. "Aku tahu tujuanmu kemari. Kau ingin memintaku mengajarimu tentang Esze lagi, kan?"

Aku mengangguk cepat. Bagus kalau ia sudah tahu tujuanku ke sini, jadi tidak perlu susah lagi menjelaskannya dari awal.

"Kau ini ... setiap pergi kemari pasti selalu saja meminta itu." Wanita Elvian itu menghela napas panjang. Merentangkan kedua tangannya di atas sandaran sofa. "Setidaknya sekali-kali bawakan aku makanan, kek!"

"Kau lupa? Aku kan sudah sering mentraktir kau dan anakmu makan."

"Paling cuma di kedai biasa. Kali ini traktir kami berdua di restoran mewah, baru aku mau."

"Baiklah, tapi tidak dalam waktu dekat. Karena sekarang aku sedang diusir pak tua bajingan itu. Jadi aku tak memiliki uang sepeser pun saat ini."

"Diusir?" Almira menaikkan sebelah alisnya.

Setengah jam berlalu selagi aku menceritakan semua yang terjadi kemarin. Semua uneg-uneg yang ada dalam hati kulepaskan tanpa saring. Merutuki Grussel dan Igresti tentu tak terlewatkan. Dua orang itulah yang membuat suasana hatiku kelam seharian penuh. Almira hanya tertawa mendengar ceritaku, sesekali membalas dengan ejekan. Aku jadi menyesal menceritakannya pada orang ini.

"Makanya, jangan jadi pemburu kalau bodoh!" ejeknya sinis. Suaranya terdengar dari dapur yang berada di sebelah ruang tamu. Aroma teh hijau diiringi bunyi adukan sendok pada gelas menjadi latar dari suara tawanya.

Tidak lama setelahnya ia berjalan melintasi ruang tamu, kedua tangannya penuh membawa sebuah nampan. Ada dua cangkir teh yang masih suam-suam kuku dan toples kue kering cokelat. Aku segera mencomot sepotong meski belum sampai ke atas meja. Almira melotot. Namun aku tak peduli. Mengangkat bahuku dan mengambil sepotong kue lagi.

"Menjadi pemburu sepertinya membuat sifatmu kurang ajar, ya!" Almira menaruh nampan ke atas meja. Menyajikan cangkir teh dan toples kue kering ke atas meja.

"Ayolah! Tidak usah kaku seperti itu. Orang yang selalu minta ditraktir saat makan, tidak punya hak menasehatiku tentang kesopanan."

Almira menghela napas, menepuk jidatnya. Mungkin ia sudah capek berurusan dengan orang sepertiku. Tanpa mencoba mengatur sikapku lagi, perempuan itu mengambil salah satu cangkir yang masih mengeluarkan uap panas. Kemudian menyesapnya tanpa takut bibirnya melepuh. Sementara aku masih perlu meniup-niupnya agar dingin. Aku berani bertaruh, wanita itu menggunakan Esze. Bisa teknik mendinginkan suatu barang, atau membuat bibirnya kebal panas. Entahlah, sebagai seorang Elvian murni, hal itu pasti sangat mudah baginya.

Walau kadang terlihat menyebalkan, sebenarnya dia orang yang sangat baik. Almira ialah satu-satunya orang di kota ini yang bisa menyadari rasku sebenarnya meski tertutup tudung dan pakaian tebal. Dari perempuan itu aku belajar banyak hal, terutama cara menggunakan Esze. Ia melatihku agar bisa menggunakan potensiku sebagai manusia setengah peri dengan baik. Wanita ini pula yang memberitahuku banyak informasi berguna di negeri ini. Termasuk perihal tentang kegemparan besar jika dunia tahu bila rasku adalah Haier-Elvian.

Mendadak aku jadi teringat, saat pertama kali kami bertemu sekitar delapan bulan yang lalu.

============

Saat itu kota tengah merayakan Festival Matahari. Sebuah perayaan yang diperuntukan pada Sang Dewa Matahari, Lillio. Sebagai salah satu dari dua Dewa Agung yang disembah di negeri ini. Di hari spesial itu, Kota Glafelden mengadakan pawai yang diisi oleh ritual sesembahan beserta tarian di alun-alun kota.

Selain itu, Festival Matahari juga diramaikan oleh berbagai macam pertunjukan kesenian, kios-kios makanan, serta para pedagang yang memberikan diskon setengah harga. Bagiku yang masih baru di tempat ini, Festival Matahari ini adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Di sana mungkin ada tudung baru yang bagus. Aku sudah bosan menggunakan model lama seperti ini. Jika ditambah dengan masker, penampilanku nyaris mirip dengan pekerja tambang di dalam tanah.

Aku meminta Dimas dan Kak Shella untuk menemaniku berkeliling. Sebelumnya aku sempat mengajak Si Kembar, Vian dan Vani, tapi ditolak. Restoran tempat keduanya bekerja membuka kedai kecil-kecilan di festival itu, jadi tak punya waktu untuk berkeliling. Aku mengerti. Setidaknya aku akan mengunjungi mereka nanti.

Kami bertiga datang pagi hari. Saat matahari perlahan-lahan naik sepenggalah. Cuaca tampak sangat cerah, tidak terlihat awan satu pun sejauh mata memandang. Angin bertiup semilir. Dedaunan kering berjatuhan bersamaan dimulainya Festival Matahari.

Di alun-alun kota yang memiliki panjang dua ratus meter dan lebar seratus meter, rombongan penari ritual masuk dari pintu sebelah barat. Setelah kuperhatikan baik-baik, rombongan penari ritual ini bervariasi. Ada kelompok perempuan yang mengenakan baju tradisional corak merah, kelompok ksatria berkuda lengkap dengan seragam serta atributnya, juga ada kelompok penari pria bertopeng binatang yang tampak menyeramkan. Mereka mulai menari-nari setelah memasuki alun-alun. Sekilas, ritual ini mirip dengan Festival Budaya yang ada di Indonesia.

Kelompok ksatria berkuda membagi menjadi dua kelompok, mengelilingi kelompok penari perempuan dari dua sisi. Kemudian para penari bertopeng mengganggu, mencoba menyerang penari wanita. Walau tampak seperti bertarung, para ksatria dan pria bertopeng sebenarnya tengah menari. Menyelaraskan gerakan satu sama lain, meliukan badan, dan berputar dengan anggun. Benar-benar seperti sekelompok penari profesional. Yang paling membuatku takjub adalah kuda-kuda yang mereka tumpangi, dapat menari mengikuti arahan ksatria.

"Kuda-kuda itu khusus untuk ritual, jadi mereka diajari untuk menari. Bukan untuk berperang atau menarik kereta," ujar Kak Shella.

Decak kagum para penonton menghiasi seisi tempat ini. Beberapa di antaranya bertepuk tangan dan bersiul, walau sebenarnya dilarang karena akan mengganggu jalannya festival. Aku, Dimas, dan Kak Shella bertiga duduk di sudut alun-alun yang sedikit agak jauh dari para penari. Tempat ini lebih tinggi dari permukaan tanah. Jadi kami tidak perlu khawatir dengan para penonton berdiri yang menutupi pandangan.

Kami terus mengamati para ksatria yang tampak terdesak oleh para monster. Wajah-wajah mereka tampak seperti sedang menghadapi bahaya sungguhan. Benar-benar akting yang sempurna. Tiba-tiba, suara terompet berdengung dari pintu selatan. Seluruh penonton memusatkan perhatian pada seorang penari yang masuk ke dalam dengan gagah. Pakaiannya bernuansa merah keoranyean. Terlihat mahal dan penuh pernak-pernik. Mahkota emas yang disampirkan di kepala, membuat penari itu tampak berkuasa.

"Hoo ... siapa itu?" tanya Dimas yang sedikit tertarik.

"Itu penari yang memerankan Dewa Matahari Lillio," jawabku pelan. Aku menarik ujung dari tudungku yang sedikit terangkat oleh angin. Telinga panjangku tidak boleh sampai terlihat di tengah kerumunan orang sebanyak ini.

Kedua mataku tidak lepas dari tengah alun-alun. Menatap penuh kagum ke arah penari Dewa Matahari. Ia menari sambil berpose meninju-ninju tangannya ke udara. Para penari monster itu habis satu per satu olehnya. Sebuah aksi yang sangat bagus sekali.

"Kok, kau bisa tahu?"

"Saat mengumpulkan informasi di perpustakaan, aku tidak sengaja membaca buku tentang mitos-mitos. Dari situ aku tahu tentang asal-muasal Dewa-Dewi di dunia ini."

"Hoo." Ia kembali menunjukan wajah tidak tertariknya.

Aku memang pernah membaca informasi tentang sejarah masa lampau. Ada legenda kuno yang mengiringi terbentuknya negeri ini ribuan tahun lalu. Disebutkan bahwa pada zaman dahulu, permukaan dunia ini masih didominasi oleh monster dan hewan-hewan berukuran raksasa. Jumlah manusia masih sangat sedikit. Setiap harinya, manusia selalu diselimuti ketakutan akan dimangsa. Meskipun mereka sudah menguasai ilmu bertarung dan bertahan hidup. Semua itu tidak ada apa-apanya di hadapan monster-monster buas.

Hingga pada akhirnya, Dewa-Dewi memutuskan turun dari kahyangan. Menumpas sebagian besar para monster di dunia dengan kekuatan dan berkat-Nya. Hingga monster-monster itu tak berani lagi keluar dari bayang-bayang dunia. Dewa Matahari, Lillio beserta adiknya Lunaris, Dewi Rubiel yang turun ke permukaan, memutuskan menetap di negeri ini dan melindungi manusia dari ancaman para monster. Oleh karena itulah mereka dikultuskan sebagai Dewa dan Dewi pelindung negeri.

Festival Matahari memang didedikasikan untuk Dewa Lillio, tapi bukan berarti mereka tidak menghormati adik-Nya. Ada festival tersendiri yang dikhususkan untuk Dewi Lunaris, Festival Rubiel, yang menurut buku akan diadakan tepat bulan depan. Jika Festival Matahari menceritakan tentang kegagahan Dewa Lillio yang bertarung melawan monster. Festival Rubiel lebih menceritakan kepada Dewi Lunaris yang baik hati dan menolong banyak orang. Tentu saja festival itu akan kumasukkan ke dalam agendaku bulan depan. Karena sepertinya akan menarik, sama seperti festival ini.

Setengah jam berlalu. Pergelaran tarian tadi mengawali ritual ini. Festival Matahari dilanjutkan dengan pembakaran dupa oleh beberapa Sayjev, pemuka agama bagi para pemuja Dewa Matahari dan Dewi Lunaris. Kemudian mereka menempatkan kedua tangan di atas dada dan menunduk hikmat, diikuti oleh sebagian besar penonton di alun-alun. Itulah cara mereka berdoa. Kemudian salah satu Sayjev memimpin para penonton untuk menyanyikan pujian-pujian. Sepertinya ini akan berlangsung lama.

"Hei, ayo kita cari makanan! Aku lapar." Dimas tiba-tiba memberi inisiatif. Lelaki itu cepat sekali merasa bosan dengan sesuatu.

Aku dan Kak Shella saling berpandangan, kemudian mengangguk. Berjalan mengikuti Dimas yang sudah meninggalkan alun-alun. Perutku juga sepertinya sudah mulai keroncongan. Kalau boleh jujur, aku merasa tidak nyaman saat mereka berdoa. Karena aku bukanlah pemuja dewa-dewi mereka. Sepertinya Dimas dan Kak Shella merasakan hal yang sama.

Kami bertiga pergi ke salah satu jalan kecil dekat alun-alun. Di sepanjang jalan, ada banyak penjaja makanan di sini. Mulai dari makanan ringan seperti keripik singkong, hingga ke makanan berat seperti roti lapis lima tingkat. Aroma sosis sapi bakar yang manis ketika berhadapan dengan bara api, masuk ke dalam hidungku. Begitu pula telingaku yang mendengar desisan minyak goreng yang seakan menyatu dengan tempat ini. Entah mengapa rasanya setiap makanan di tempat ini menggodaku untuk membelinya, tapi sayang aku tak punya uang banyak. Jadi aku harus membeli apa yang benar-benar kuperlukan saja.

Jadi aku harus membeli apa yang benar-benar kuperlukan saja

(Ilustrasi)

"Terima kasih, Nona Bertudung! Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menemukan gerobakku di tempat yang luas ini," ujar seorang pria yang memberiku kembalian dua keping perunggu. Ia adalah penjual gurita bakar yang menjadi favoritku di dekat pusat kota. Beruntung sekali aku menemukannya di sini.

"Itu karena gurita daganganmu memiliki aroma yang khas, Paman! Jadinya aku tahu kau ada di sini."

Aku melambaikan tangan saat pergi. Lalu menuju bangku panjang dekat lampu jalanan. Dimas dan Kak Shella sedang membeli makanan mereka. Jadi, aku menunggu di sini dan menyantap guritaku. Sebenarnya aku ingin sekali berwisata kuliner dan mencoba setiap makanan yang ada. Namun saat ini aku hanya memiliki sisa tujuh keping perunggu lagi, yang akan kugunakan untuk membeli penutup kepala.

Sistem transaksi yang berjalan di negeri ini sedikit unik. Alih-alih memakai satuan mata uang yang baku, mereka lebih memilih menggunakan kepingan logam. Satu keping perak setara dengan seratus keping perunggu. Begitu pula satu keping emas yang berharga seratus keping perak. Rasanya benar-benar mirip game RPG yang pernah kumainkan.

Beberapa menit berlalu, aku sudah menghabiskan gurita bakarku. Tapi kedua orang yang saat ini kutunggu, tak kunjung datang sedari tadi. Mungkin mereka sedang berbelanja bersama hingga melupakanku. Atau bisa jadi mereka memang meninggalkanku. Sialan! Seharusnya aku tahu ini yang akan terjadi saat mengundang dua orang yang sedang kasmaran. Aku menghela napas. Merentangkan kedua tanganku di atas sandaran bangku, kemudian mencoba memejamkan kelopak mata.

Di kali berikutnya aku membuka mata, seorang wanita tinggi tiba-tiba berada di depan bangku. Aku yang terkejut, nyaris terjungkang ke belakang. Wanita itu tersenyum padaku dengan ramah.

"Halo!" serunya.

"Y-Ya? Ada apa, ya?" balasku yang terbata-bata. Masih terkejut dengan kemunculannya.

Perempuan itu menunduk, lalu membisikkan sesuatu di sampingku. "Kau ini ... bukan manusia, kan?"