webnovel

5. Penginapan Taring Busuk Goblin

Author's Note

Ditaruh di atas supaya "DIBACA".

Sekali lagi, seperti yg pernah saya katakan di awal, cerita ini adalah cerita slow-paced.

Buat kalian yg gak suka slow-paced dan kebelet lihat scene gelad-gelud, harem sana harem sini, ada event besar tiba-tiba jadi MVP, maaf ini bukan cerita anda. Silahkan angkat mata dari sini.

Cerita slow-paced ini sekitar 50-80 persennya berisi "bullshit" berbobot dan menceritakan keseharian serta kesulitan seorang sial yg terdampar di Isekai, jadi kalau kalian cari cerita seperti di atas tadi maaf saja, ini bukan cerita yg pas untuk kalian.

Ya, itu aja yg ingin saya sampaikan mengenai suatu komentar tertentu. Kalau anda tersinggung ya silahkan aja cari yg lain sih, gak perlu merusak mood menulis saya dan membuat saya menyesal telah mempublish cerita ini di tempat ini.

---

Menuruti arahan sang pedagang buah, aku melangkah menyusuri jalanan pasar kota yang ternyata lebih ramai dan bersih dari yang kuduga. Kupikir pasar di abad pertengahan akan lebih kotor dan menjijikkan, kenyataannya meleset jauh dari bayanganku.

Di sebagian besar literatur yang kubaca sebelumnya di bumi menyebutkan dibanding zaman modern, lingkungan abad pertengahan mirip seperti daerah kumuh jadi aku sempat menyangka hal itu sungguh terjadi di sini.

"Hmm, sepertinya aku memang tidak bisa terlalu mengandalkan pengetahuan abad pertengahan bumi di tempat ini," gumamku merasa menyesal telah menyamakan tempat ini dengan abad pertengahan di bumi.

Maksudku, secara teknologi dan peradaban dunia ini jelas tertinggal jauh dari zaman modern tetapi dunia ini mempunyai satu hal yang tak dimiliki oleh dunia modern, yaitu sihir.

Dunia modern mengandalkan sains dan hukum fisika untuk mengubah lingkungan sekitar agar sesuai dengan keinginan mereka menggunakan teknologi yang biasanya kurang ramah lingkungan. Ditambah, manusia bukannya merawat lingkungan tempatnya tinggal justru sering merusaknya lebih jauh.

Sedangkan dunia ini? Memang aku belum melihat sikap orang-orang terhadap lingkungannya tetapi, setidaknya mereka tak mencemari lingkungan dengan limbah plastik dan lainnya yang dapat menghancurkan seisi dunia dalam rentang waktu puluhan tahun saja.

Itu bahkan lebih mengerikan daripada ancaman Raja Iblis.

Dunia fantasi itu memang indah, ya.

"Oh, jadi ini penginapan Taring Busuk Goblin?" gumamku pelan mendapati sebuah bangunan dengan papan nama serupa.

Bangunan tersebut terlihat tidak begitu megah seperti yang kubayangkan dari pujian si pedagang buah, tetapi mungkin melihat dari sisi biaya yang katanya ramah untuk dompet pelancong, kurasa cukup adil.

Tanpa basa-basi lebih jauh aku melangkahkan kaki dan memasuki bangunan tersebut.

"Selamat datang di Taring Busuk Goblin! Jika ingin makan silahkan duduk di meja dan tunggu sebentar, jika mencari kamar untuk bermalam datangi konter di sebelah sana!" sambut seorang gadis pelayan sembari membawa sejumlah makanan dan minuman di nampan menuju meja pelanggan.

Oh, rupanya tempat ini cukup normal dari yang kubayangkan.

Kau tahu, ketika mendengar 'Taring Busuk Goblin' sebagai nama penginapan kupikir dekorasi interiornya akan terkesan seperti rumah horor atau sejenisnya, tapi setelah melihat langsung dugaan tersebut benar-benar menghilang.

Tempat ini mirip seperti bar atau restoran kecil namun sangat bersih untuk ukuran dunia berlatar abad pertengahan—tidak, kurasa aku harus membuang stigma abad pertengahan dari bumiku. Ini benar-benar dunia yang amat berbeda jadi kurasa tak baik terus membandingkan keduanya.

Aku menuruti arahan sang gadis pelayan dan pergi menuju konter yang dimaksud. Di sana aku menemukan.... Huh?! Makhluk apa itu?!

"Wah wah, ada pemuda tampan datang untuk bermalam di Taring Busuk Goblin rupanya," ujar seorang—tidak, aku belum mengetahui pasti makhluk apa itu sebenarnya.

Mungkin lebih baik kusebut 'sesosok' saja. Ya, itu terdengar lebih baik.

Seososok makhluk yang berada di depanku ini, hanya terpisah oleh sebuah konter memiliki rupa seperti manusia dan berbadan besar berotot yang membuatmu mengira dia adalah laki-laki kekar nan macho namun saat kau melihat wajahnya, pikiran itu langsung hancur berkeping-keping.

Aku kurang mampu bagaimana cara mendeskripsikan wajahnya karena bisa dibilang unik. Jika dilihat secara sekilas kerangka dan otot wajahnya menunjukkan makhluk ini adalah seorang pria tapi setelah melihat riasan yang dikenakannya, kau tak bisa memastikan makhluk apa sebenarnya dia.

Yah, jika harus disingkat dan mengesampingkan penjelasan serta reaksi berlebihanku, kau bisa menyebutnya 'waria'.

Benar, makhluk di depanku saat ini adalah makhluk yang dikenal secara luas sebagai waria—makhluk yang tidak jelas gendernya. Berbeda dari karakter 'penjebak' yang sering muncul di komik atau game yang masih bisa dipastikan gendernya, waria merupakan makhluk yang sungguh berbeda.

Maksudku, secara biologis waria bisa dikatakan lelaki namun dari sisi psikologi, waria adalah perempuan. Waria menganggap diri mereka adalah perempuan meski tubuh mereka laki-laki.

Huh? Bagaimana mereka pergi ke toilet? Justru itu yang membuatku menyebut mereka makhluk tidak jelas gendernya!

Ah, pembahasan ini membuatku pusing....

"Tampan? Kau tak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat?" tanya resepsionis waria tersebut.

Aku segera mengibaskan tangan menanggapinya, "Aku tak apa-apa, hanya sedikit mual."

"Benarkah? Kalau begitu mungkin kau butuh Ale Mint? Itu membantu meredakan pusing atau mual." Resepsionis waria mengambil segelas air menawarkannya kepadaku.

Sekali lagi aku mengibaskan tangan menolak tawarannya, "Tidak perlu, aku bisa mengatasinya sendiri."

"Daripada itu aku ingin bermalam di sini. Berapa harga per malamnya?" tanyaku tanpa basa-basi, berusaha mempercepat percakapan dan tidak memandang wajahnya.

"Satu malamnya dikenakan biaya sebesar 140 Ars. Jika pemuda tampan ingin sekalian mengambil paket berserta sarapan maka totalnya 150 Ars per malam," jelas resepsionis waria, "Ah, pemuda tampan tidak bisa meminta pesanan menu jika mengambil paket berserta sarapan."

Aku sedikit terganggu saat dia memanggilku 'pemuda tampan' tapi dapat kuabaikan dan fokus pada penjelasannya.

Hmm, jika berasumsi satu Ars sama dengan seribu Rupiah maka harga menginap di tempat ini semalam adalah 150.000 Rupiah. Itu harga yang relatif murah dibanding hotel-hotel di bumi yang dilengkapi paket sarapan.

Tapi, berbeda dari hotel yang biasanya menyediakan sejenis sarapan prasmanan, aku tak bisa memilih menu makananku sendiri dan hanya bisa menyantap apa yang tersedia di dapur pada saat itu.

Aku memang belum mengetahui berapa harga standar satu porsi makanan di dunia ini, namun kedengarannya tidak terlalu buruk jika hanya menambah 10 Ars, bukan?

Yah, kualitas makanan di dunia ini juga tidak terlalu tertinggal jauh dari bumi. Kurasa tak masalah jika aku mengambil paket sarapan.

"Pertama-tama aku ingin menginap selama tiga hari disertai paket sarapan." Aku mengambil koin senilai seribu Ars dan menyerahkannya kepada sang resepsionis waria tersebut.

Dia mengambil koin-koin tersebut dan memberikan kembalian sebesar 550 Ars beserta sebuah kunci disertai sepasang angka terukir di gagangnya, "Kamarmu berada di lantai atas dan bernomor sama seperti yang tertera di kunci itu, tampan."

"Huh? Kau tak menanyakan identitasku terlebih dahulu sebelum menyerahkan kunci?" tanyaku mengangkat alis sedikit heran.

"Alamak, si tampan bisa saja menggoda." Resepsionis waria tersebut mengibaskan tangannya sembari tersipu malu sebelum mendekatkan wajahnya kepadaku, "Jangan terburu-buru begitu. Kita bisa saling mengenal pelan-pelan."

Amit-amit! Jangankan mengenalmu, menemuimu saja aku tak mau jika tidak terpaksa! Tanganku bahkan hampir menamparmu secara refleks jika tak kutahan!

"Tidak, bukan itu maksudku, tapi.... Lupakan saja." Aku segera menutup mulut tak ingin berbicara lebih jauh dan menyebabkan kesalahpahaman lain.

Aku melangkahkan kaki beranjak menuju kamarku, membuka kunci pintu dan masuk ke dalam dengan cepat.

Sesampainya di dalam kamar aku menghela nafas berat, "Haah, kupikir kesialanku akan menghilang berkat [Master of Misfortune] mengingat dapat membalikkan rasio keberuntungan dan kesialanku... ternyata aku terlalu naif."

Benar, aku terlalu naif sampai-sampai melupakan kekuatan kesialanku yang bahkan mampu menembus dunia. Aku meremehkan betapa kuatnya kesialanku setelah sebulan terakhir tidak ada kejadian tertentu yang menimpaku.

Ah, aku butuh istirahat. Mentalku terasa lelah setelah berhadapan dengan resepsionis waria itu.

Aku melihat kasur yang tersedia di sudut kamar, meletakkan kantong dimensi yang kugendong di punggung, lalu merebahkan tubuhku ke dalam buaian kapas kasur. Kesadaranku dengan cepat menghilang.

***

Setelah beristirahat beberapa jam aku terbangun akibat bunyi gong di perutku yang berdentang keras. Hari sudah gelap dan aku merasa lapar....

Kalau diingat lagi seharian ini aku hanya memakan sebuah apel yang kubeli dari pedagang buah tadi siang—tidak, apel di dunia ini namanya aps. Aku harus mengingat nama-nama baru seperti ini agar identitas atau asalku tidak terlalu dipertanyakan.

Itu bisa menjadi hal yang merepotkan.

Omong-omong tentang identitas, kelihatannya penduduk kerajaan ini tidak terlalu mempermasalahkan identitas seseorang. Itu terlihat dari bagaimana si resepsionis waria sebelumnya tak menanyakan atau menulis namaku di buku tamu.

Oh, mungkinkah karena aku berada di Ibukota Gregoria? Secara umum ibukota sebuah kerajaan pastinya adalah pusat dari suatu kerajaan sehingga orang-orang mengira keamanan mereka lebih terjaga mengingat Istana Kerajaan juga berada di sini.

Maksudku, aku bisa saja seorang pencuri atau pembunuh yang sedang dalam pelarian dan memutuskan untuk bersembunyi di suatu penginapan selayaknya warga biasa dan tak ada yang mengetahuinya. Itu bisa mengancam nyawa seisi penginapan dan seluruh warga tak bersalah sekaligus jika sungguh terjadi.

Yah, mau dipikirkan bagaimanapun aku tak dapat mengetahui jawaban pastinya. Aku bukan orang cerdas yang bisa segera mengambil kesimpulan dengan berbekal beberapa petunjuk kecil saja. Apalagi dalam keadaan perut keroncongan seperti ini....

Dengarlah bagaimana perutku mulai bernyanyi, tidak ada suara merdunya sama sekali. Aku perlu mengisi bahan bakar secepatnya.

Aku pun turun ke lantai bawah yang nampaknya merupakan restoran.

Sesampainya aku di lantai bawah aku menemukan sejumlah besar pelanggan memenuhi meja dan kursi dilengkapi hidangan-hidangan yang terlihat lezat dan menggoda.

Hei, hentikan itu, Chandra. Tidak sopan mempelototi piring orang asing seolah-olah ingin menelannya kapan saja.

"Ah, tampan ingin makan malam?" tanya resepsionis waria yang tanpa sadar berada di belakangku.

Aku spontan melompat dan mengambil jarak sejauh tiga langkah darinya membentuk kuda-kuda tangan kosong seadanya demi mempertahankan kesucianku, "Jangan tiba-tiba muncul di belakangku! Kau hampir membuatku spontan menendang!"

"Ahaha, reaksimu lucu." Dia tertawa kecil sembari menutup mulut, "Tapi, memang faktanya begitu, bukan?"

Si resepsionis waria menunjuk perutku yang kini bersuara seperti monster yang kelaparan setengah mati, membuat wajahku memerah karena malu. Ini memalukan....

Pada akhirnya aku duduk di meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan dan memilih makanan pada papan menu yang diberikan oleh si resepsionis waria yang belakangan kuketahui bernama Antonio Valeria—tunggu, bukankah nama itu cukup ambigu? Dia memiliki nama laki-laki dan perempuan sekaligus.

Jadi, mungkinkah ini alasan mengapa dia menjadi waria? Karena namanya yang terdengar macho dan feminim bersamaan, dia diejek banci? Jika benar maka kasihan sekali orang ini.

Mungkin aku harus bersikap lebih lembut kepadanya kalau hal tersebut sungguh terjadi.

Gruuu....

Baik, mari kita abaikan dulu hal tak penting seperti dan fokus makan saja.

Oh, nilai Ars dan harga makanan di sini sedikit banyak serupa dengan nilai rupiah dan harga standar makanan di bumi. Satu porsi makanan hanya sekitar 10 sampai 20 Ars.

Itu harga makanan di sini jika tidak ada tambahan menu lain dan tanpa nasi. Benar, satu porsi semua makanan ini dihidangkan tanpa nasi yang berarti seporsinya cukup mahal.

Yah, aku tak heran mengenai ketiadaan nasi di menu ini mengingat nasi dianggap makanan mewah di Kerajaan Gregoria ini. Aku sempat merasakan nasi ketika di istana tetapi hanya beberapa kali, itupun dalam porsi kecil saking mewahnya.

Menurut buku yang pernah kubaca di istana nasi merupakan salah satu bahan pangan yang diimpor langsung dari Benua Zeon. Hal ini disebabkan oleh perbedaan iklim Benua Zeon dan Algalith.

Benua Algalith terletak di sebelah utara dunia ini, sedangkan Benua Zeon berada di dekat garis khatulistiwa sehingga suhu di benua tersebut lebih hangat dan memungkinkan untuk menanam padi dibanding Algalith.

Sedangkan Algalith? Karena iklim dingin negara-negara di benua ini lebih banyak menanam gandum daripada padi. Tidak perlu heran jika kau bisa dengan mudah menemukan toko atau menu roti di manapun.

"Valeria, aku ingin memesan ini dan ini. Lalu, minumnya...." Aku bergantian menyebut dan menunjuk beberapa nama di papan menu.

Valeria mengangguk sembari mencatat pesananku di papan catatannya, "Oke, totalnya 48 Ars, tampan. Bayar di muka, ya."

Aku mengambil uang senilai yang disebutkan dan menyerahkannya kepada Valeria, sesudah itu pria berpenampilan dan bersikap selayaknya wanita jadi-jadian tersebut pergi dan menyampaikan pesananku pada sang koki di belakang.

Apa? Aku terlalu boros dengan uang makan sampai hampir menghabiskan 50 Ars? Tidak masalah, aku ingin merasakan dan menilai rasa dan harga masakan rakyat jelata di kerajaan ini.

Maksudku, selama ini aku hidup di istana dengan kualitas hidup terjamin layaknya bangsawan. Kebutuhanku selalu tersedia dalam kualitas tinggi, baik itu sandang maupun pangan. Untuk kebutuhan papan tidak perlu dipertanyakan lagi.

Aku yakin terdapat beberapa perbedaan antara masakan bangsawan maupun rakyat biasa meski secara fisik sama-sama terlihat menggoda lidah.

Butuh beberapa waktu sampai pesananku datang dan siap kusantap namun aku tak begitu bosan menunggu. Aku sedang memikirkan berbagai hal seperti menghitung pengeluaranku setiap harinya mulai sekarang.

Aku tahu uang pemberian Alestio masih jauh dari kata habis tapi, bukan berarti angka tersebut tidak akan turun. Cepat atau lambat aku perlu mencari pekerjaan sebelum semua uangku habis.

Oh, omong-omong mengenai pekerjaan bukankah di dunia fantasi pedang dan sihir seperti ini harusnya ada organisasi bernama 'Serikat Petualang' atau sejenisnya? Mungkin aku bisa mencari dan mendaftar di sana besok.

Ada kemungkinan juga aku terlibat suatu masalah klise seperti tokoh utama kisah-kisah fantasi seperti ini di Serikat Petualang, tapi mengingat gelar [Master of Misfortune] yang membalikkan rasio keberuntungan dan ketidakberuntunganku kurasa tak masalah.

Ya, tidak masalah.

Benar, saat kupikir semua akan baik-baik saja ketidakberuntunganku langsung memberontak terhadap kemampuan [Master of Misfortune].

"Hei hei hei, bukankah restoran ini terlalu ramai? Kami tidak bisa makan di sini kalau seramai ini."

Sebuah kelompok preman berperlengkapan seperti petualang datang memasuki penginapan sambil berseru dan segera menarik perhatian para pelanggan, tak terkecuali diriku. Aku memandang mereka dari jauh.

"Maaf, pelanggan terhormat. Tempat kami memang sering penuh namun jika tak keberatan, maukah kalian berbagi dengan pelanggan lain di sebelah sana?" Seorang pelayan menghampiri rombongan preman tersebut dan menunjuk ke arahku selagi menjelaskan.

"Hah? Kau tidak tahu siapa kami?" Orang paling banyak bicara di antara rombongan tersebut melotot kepada sang pelayan lalu menunjuk dirinya sendiri, "Kami ini kelompok petualang peringkat B! Mana mungkin kami mau duduk dan makan berdesak-desakan dengan sampah-sampah ini!"

Dia menunjukku dari kejauhan setelah mengatakan 'sampah' padaku.

Hei, maaf, ya kalau aku sampah. Begini-begini aku juga berlatih sekeras yang kubisa di istana, meski hasilnya tidak cukup memuaskan.

Saat aku hanya tersenyum kering menanggapi perkataannya dari kejauhan, tiba-tiba semua kebisingan yang sejak tadi memenuhi suasana penginapan menghilang digantikan oleh keheningan nan mencengkam.

Apa ini? Perubahan ini terlalu mendadak sampai keringat dingin mengalir melalui pipiku, begitu pula kelompok preman yang mengaku petualang peringkat B di pintu masuk tersebut.

Ketika suasana penginapan terasa makin mencengkam, Valeria melangkah keluar dari konter dan mendekati mereka sembari tersenyum kecil, "Apakah ada masalah, tuan pelanggan?"

"Ya, kami tak ingin makan sambil berdesak-desakan dengan mereka!"

Dia menunjuk aku, kami para pelanggan jelata tanpa takut pada keheningan yang menyeramkan barusan dan belum sempat dia ingin melanjutkan kata-katanya, Valeria sudah mencengkeram kepala si preman tersebut dan memberikan senyuman mengerikan sekaligus menjijikkan.

"Jika tidak bersedia maka silahkan keluar dan cari kedai makan lain."

Valeria memutar kepala sekaligus badan preman itu dan memberikan gestur tangan mengusir, "Cepat pergi dari tempat ini."

Sang preman mengerutkan dahi dan bisa kulihat urat keungunan muncul di pelipisnya. Dia berbalik menghadap Valeria dan mendorong lengannya berniat melancarkan sebuah pukulan, "Kau pikir kau siapa berani mengusirku seenaknya?!"

Aku hampir menutup mata secara refleks tak ingin menyaksikan Valeria dihajar oleh preman itu namun apa yang kupikirkan tidak terjadi, justru sebaliknya preman itulah yang terlempar keluar dari pintu akibat tinju Valeria.

"Aku Antonio Valeria, pemilik Penginapan Taring Busuk Goblin ini," ujarnya mengeratkan kepalan tinju sembari menatap rekan kelompok si preman satu per satu, "Mungkin kalian lebih mengenalku sebagai 'Valeria si Cakar Besi'."

"'Valeria si Cakar Besi'?!" Mereka menjerit sejenak kemudian kabur terbirit-birit, tentu setelah membawa si preman yang menjadi korban tinju Valeria bersama mereka.

Ehm, apa yang baru saja terjadi? Tidak, aku tahu apa yang terjadi barusan tapi bagaimana aku harus menanggapinya? Apa aku harus terkejut atau senang?

Sejujurnya, aku lebih ke bingung daripada kedua itu.

Bagaimana tidak? Aku tidak pernah mengira Valeria dapat menghajar sekaligus mengusir kelompok petualang yang mengaku berperingkat B itu dengan sekali pukul, hal yang tak pernah kuduga.

Aku tahu tubuh Valeria terlihat amat besar dan kekar untuk ukuran manusia normal tetapi aku tak pernah membayangkan kekuatannya juga sebesar itu.

Omong-omong, kelompok petualang preman itu lari setelah mendengar 'Valeria si Cakar Besi'. Apa mungkin Valeria adalah mantan petualang berperingkat tinggi sebelum bekerja—memiliki tempat ini?

Tunggu, huh? Dia pemilik Taring Busuk Goblin? Si waria ini?