webnovel

4. Perkembangan Tak Normal yang Normal

Sebulan telah berlalu semenjak kami berlima—aku, Charles, Olivia, Bernard, dan Nanda—dipanggil ke dunia ini melalui Ritual Pemanggil Pahlawan. Lalu, selama sebulan pula kami telah berlatih demi mengembangkan status dan kemampuan dasar sebagai pahlawan.

Perkembangan pahlawan sangatlah pesat sesuai kekuatan masing-masing berkat kelas serta gelar yang mereka miliki, tentu saja jika mengecualikan diriku yang tidak begitu berkembang dibanding keempat pahlawan yang sebenarnya.

Ingat statusku yang lalu? Ini statusku sekarang.

---

Chandra Pratama

Gender : Male / Age : 16

Class : Citizen / Title : Master of Misfortune

Str : 7, Int : 10, Vit : 18, Agi : 13

---

Mungkin perkembanganku bisa dibilang bagus mengingat sebelumnya aku hanya mempunyai dua status bernilai di atas sepuluh, tapi jika dibandingkan dengan perkembangan Charles dan lainnya.... Ini membuatku frustasi.

---

Charles Archlight

Gender : Male / Age : 16

Class : Hero / Title : The Formidable Hero

Str : 180, Int : 120, Vit : 150, Agi : 130

---

Olivia Savita Putri

Gender : Female / Age : 16

Class : Mage Hero / Title : The All-Knowing-Magic Witch

Str : 13, Int : 210, Vit : 50, Agi : 22

---

Bernard Hendrawan

Gender : Male / Age : 16

Class : Knight Hero / Title : The Dauntless Knight

Str : 110, Int : 25, Vit : 200, Agi : 60

---

Nanda Puspita Mawar

Gender : Female / Age : 16

Class : Sword Hero / Title : The Graceful Fencer

Str : 180, Int : 50, Vit : 80, Agi : 150

---

Lihat? Kau lihat angka-angka yang mencapai tiga digit itu? Sungguh perbedaan bagai langit dan bumi, bukan?

Aku memang tak begitu mempermasalahkan mengenai kesenjangan status kami mengingat kelas dan gelar kami saja sudah jauh berbeda, tapi semakin lama waktu berlalu semakin aku merasa kecil dibanding mereka.

Memang benar sejak di bumi aku bukanlah apa-apa jika disandingkan dengan mereka, namun semenjak memiliki [Master of Misfortune] harapanku mendapatkan nasib yang lebih bagus kian meninggi.

Jika dilihat dari keberuntunganku sejauh ini salah satu statusku dapat meningkat hingga hampir mencapai kepalan dua puluh dalam sebulan saja sudah cukup bagus dan itu lumayan normal untuk ukuran kelas Citizen sepertiku.

Hanya saja perkembangan kelompok Charles yang memang terlalu mengerikan. Menurut Alestio perkembangan abnormal mereka disebabkan oleh kemampuan kelas dan gelar yang mereka miliki.

Yah, aku tidak akan heran jika gelar mereka mempunyai kemampuan menggandakan status hasil latihan atau sejenisnya. Toh, gelar [Master of Misfortune]-ku sendiri bahkan bisa membalikkan rasio kemalangan dan keberuntunganku, jadi perkembangan mengerikan mereka tidaklah aneh.

Lalu, karena perkembangan tak normal mereka kami berlima dipanggil menghadap Alestio.

"Selamat atas latihan kalian selama sebulan ini! Kalian luar biasa! Aku belum pernah melihat perkembangan status sepesat ini seumur hidupku!" seru Alestio begitu gembira disertai kagum melihat status Charles dan kawan-kawan yang berkembang begitu pesat, "Kalian memang pantas disebut sebagai pahlawan!"

Alestio memuji keempatnya lebih banyak lagi dan ditanggapi secara positif oleh kelompok Charles. Biarpun awalnya mereka menolak mengambil bagian dalam menyelamatkan dunia ini, pada akhirnya berkat perlakukan ala VIP dan berbagai macam lainnya yang disediakan Alestio yang tak pernah mereka dapatkan di bumi sebelumnya hati kukuh mereka luluh sedikit demi sedikit.

Yah, diperlakukan secara istimewa selayaknya orang penting seperti itu—mereka berempat memang penting—siapa yang menolak? Aku juga tidak ingin kehilangan perlakukan ala VIP yang selama ini kuterima, tapi kelihatannya hal itu tak mungkin terjadi.

Alestio telah menyelesaikan basa-basinya dengan kelompok Charles dan mengalihkan perhatian menuju diriku. Tampangnya terlihat sedikit kecut dan enggan berbicara kepadaku, mungkin juga menyesal telah ikut memanggilku, 'Pahlawan Terlemah' ini.

Dari raut wajah itu aku bisa menebak apa yang ingin dikatakan Alestio.

"Pahlawan Chandra, ada yang ingin kubicarakan denga—"

"Tidak perlu, Yang Mulia. Aku kurang lebih sudah menyadari ketidakmampuanku sendiri," kataku memotong ucapan Alestio, "Anda ingin aku pergi dari istana, bukan?"

"Ah...." Alestio membuka mulutnya ingin membantah pernyataanku tetapi sepertinya tidak menemukan kata-kata yang baik untuk mengucapkannya, namun pernyataanku nampaknya memang tidak salah.

Aku tersenyum tipis melihat wajah Alestio yang terlihat serba salah, "Tidak perlu merasa bersalah, Yang Mulia. Bukan keinginan anda juga memanggil orang lemah sepertiku melalui Ritual Pemanggil Pahlawan."

"Chandra...." Alestio ingin sekali menolak perkataanku tetapi tidak bisa melakukannya karena semua itu tidak salah. Dia lalu menghela nafas pelan dan menganggukkan dagu, "Maafkan aku, tapi semua yang kau katakan tidaklah salah."

Alestio kemudian menjelaskan para mentri dan pengurus kerajaan tidak memperbolehkanku, seseorang yang biasa-biasa saja terus menerus tinggal di istana. Hal ini bisa menjadi contoh buruk dan menurunkan nama baik Alestio di antara bangsawan lain.

Ditambah, keuangan kerajaan tidak bisa memberikan perlengkapan terbaik negara kepada seorang yang bukan pahlawan sepertiku.

"Maafkan aku atas segalanya." Alestio ingin menundukkan kepalanya lebih dalam tetapi martabat dan posisi rajanya tidak memperbolehkan, namun aku paham bahwa orang ini bukanlah raja yang buruk.

Dia benar-benar merasa bersalah telah menempatkan orang biasa sepertiku dalam situasi ini.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Aku mengerti situasinya." Aku mengangguk pelan tak ingin memperumit keadaan.

Sejak awal aku juga tidak ingin bertarung bersama Charles dan lainnya melawan Iblis dan menyelamatkan dunia, jadi situasi sekarang bisa dibilang menguntungkanku.

Alestio tersenyum lembut memandangku sebelum mengangkat tangan dan menjetikkan jari, memanggil seorang pelayan yang segera datang membawakan sebuah tas kantong.

"Aku tidak bisa memberikan sesuatu seperti keempat pahlawan atau memulangkanmu kembali ke dunia asalmu tapi setidaknya terimalah pemberianku ini sebagai bekal atas kehidupan barumu di dunia ini," ucap Alestio sembari memberi arahan pada sang pelayang agar menyerahkan tas kantong tersebut kepadaku.

Aku menerima tas tersebut dengan tanda tanya besar melayang di kepalaku, "Tas kantong?"

"Itu bukan sekedar tas kantong, Chandra. Itu adalah Kantong Dimensi yang memungkinkanmu membawa banyak barang tanpa memakan banyak tempat," jelas Alestio menunjuk tas kantong di tanganku.

Oh, jadi tas ini mempunyai kemiripan seperti kantong ajaib Dor**mon? Sungguh pemberian luar biasa! Apakah gelar [Master of Misfortune]-ku sedang bekerja?!

"Di dalam kantong itu terdapat beberapa barang yang dapat kau gunakan sebagai memulai kehidupan barumu di sini," tambah Alestio tersenyum kecil melihat reaksiku yang terlihat jelas amat gembira.

"Terima kasih banyak, Yang Mulia!" Aku berseru keras tak bisa menahan perasaan gembiraku.

Alestio menggeleng pelan menanggapi kalimatku, "Tidak perlu, justru harusnya aku yang beterima kasih atas pengertian dan toleransimu atas kesalahan kami yang telah memanggilmu kemari. Sungguh sayang orang seperti dirimu pergi dari istana ini."

Dia melemparkan senyum diisi kepedihan setelah berkata demikian, membuat hati kecilku merasa terharu atas kebaikan dan kepeduliannya terhadapku. Oh sial, aku bisa menangis terharu karena kata-katanya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan segera pergi," ucapku sembari berbalik melangkah pergi setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi terhadap Alestio. Sebelum mengambil langkah kedua, aku berbalik dan memandang keempat pahlawan yang terpanggil bersamaku lalu melambai, "Kalian jangan sampai mati di luar sana!"

"Kami tak ingin mendengar itu darimu." Charles memalingkan wajah sembari mendengus selagi berkata demikian, diikuti oleh ketiga orang lainnya yang kurang lebih bersikap serupa.

Oh, ayolah, ini mungkin adalah saat terakhirku melihat kalian. Mau itu kalian atau aku yang mati di luar sana, setidaknya anggaplah aku sebagai teman senasib sekali saja.

Tapi, yah, aku juga tidak berharap terlalu tinggi atas keinginan itu. Aku sudah lama menyerah menjalin hubungan baik dengan orang lain di bumi, jadi tidak perlu heran jika mereka menolak mentah-mentah.

Setelah itu aku melangkah pergi keluar dari istana bersama senyuman kecut dan gembira, perasaan lega dan khawatir bercampur aduk dalam hatiku.

Seperti apa kehidupanku di dunia ini ke depannya? Pertanyaan itu memenuhi pikiranku.

***

Hal pertama yang kulakuan begitu keluar dari istana adalah memeriksa pemberian Alestio di dalam kantong dimensi. Aku memang belum pernah menggunakan tas gaib seperti ini, tapi aku telah membaca cara mengaktifkan benda ini di buku.

Aku menyentuh Kantong Dimensi dan berkata, "Oh, Mana yang bersemayam di dalam diriku. Aku memerintahkanmu, berikan berkahmu kepada yang kutuju ; [Mana Transfer]."

Saat kalimatku terselesaikan, aku dapat merasakan sensasi sesuatu yang hangat mengalir di dalam tangan dan keluar menuju kantong dimensi. Di saat yang sama sebuah bayangan berisi beberapa barang tertentu muncul di dalam pikiranku.

Oh, jadi ini barang-barang yang dimaksud Yang Mulia Alestio? Tidak ada yang istimewa tapi setidaknya cukup sebagai bekal awalku.

Alestio memberikanku sebuah pedang sebagai alat pertahanan diri, beberapa pil penyembuhan mujarab yang dapat kugunakan di saat darurat, sekantong uang untuk biaya hidup, dan selembar kartu identitas supaya aku tak dicegat oleh penjaga sebagai orang mencurigakan.

Perlengkapan standar, bukan? Sudah kubilang tidak ada yang istimewa kecuali kantong dimensi ini.

Ah, kau bertanya tentang cara kerja kantong dimensi dan mantra sebelumnya? Biar kujelaskan sedikit.

Aku pernah membaca buku di perpustakaan bahwa kantong dimensi merupakan barang gaib langka karena dapat menyimpan banyak barang sekaligus tanpa perlu terlalu khawatir terhadap berat bawaan.

Kantong ini biasanya memiliki batasan meski aku kurang tahu berapa banyak barang yang bisa dimuat ke dalamnya namun jika kantong dimensi telah mencapai batas, maka benda yang dimasukkan akan terlempar keluar.

Cara menggunakan kantong ini sederhana, kau hanya perlu mengalirkan Mana ke dalamnya dan isi kantong akan terbayang di benakmu. Jika kau ingin mengambil sebuah barang maka kau hanya perlu mengalirkan Mana dan membayangkan barang yang ingin kau ambil.

Mudah, kan?

Lalu, mantra sihir yang kugunakan untuk memeriksa isi kantong dimensi, bukan? Itu mantra dasar yang dapat memberikan atau membagikan Mana Internal pada suatu benda atau seseorang.

Selama di istana aku sering menghabiskan waktu di perpustakaan mencari pengetahuan dasar tentang dunia ini, salah satunya adalah sihir.

Aku bukan orang berbakat dalam sihir seperti Olivia yang merupakan Mage Hero dan bergelar [The All-Knowing-Magic Witch], jadi aku tidak menguasai banyak sihir. Aku hanya dapat menggunakan beberapa sihir dasar seperti [Mana Transfer] dan status Int-ku tidak begitu tinggi sehingga seharusnya tak terlalu berdampak jika digunakan untuk menyerang.

Sihir adalah fenomena gaib yang didasari oleh Mana namun memerlukan rapalan mantra agar dapat diaktifkan seperti [Mana Transfer] barusan. Aku pernah mencoba [Mana Transfer] tanpa merapal mantra, membayangkan dan memerintah Mana-ku secara mandiri itu cukup sulit.

Tidak mustahil, tapi sulit karena sensasi mengeluarkan Mana adalah hal asing nan baru bagiku meski telah berlatih selama sebulan di istana. Aku perlu membiasakan diri dalam menggunakan sihir ke depannya.

"Omong-omong, berapa uang yang diberikan Alestio kepadaku sebagai bekal awal?" tanyaku pada diriku sendiri.

Tanpa basa-basi aku segera mengambil kantong uang dari kantong dimensi dan memeriksanya, "Sepuluh... seratus... seribu... sepuluh ribu... Ars?!" Aku menjerit sebelum cepat-cepat membungkam mulut.

Apa yang membuatku menjerit? Tentu saja jumlah uang yang diberikan Yang Mulia Alestio, memangnya apa lagi?

Ars adalah mata uang universal di dunia ini, bentuknya berupa koin dari logam mulia seperti perunggu, perak, dan emas yang memiliki ukiran angka yang menunjukkan nilainya. Tidak jauh berbeda dari uang kertas di bumi.

Untuk nilainya sendiri aku belum tahu pasti karena belum pernah berbelanja di dunia ini, tapi satu hal yang kutahu sepuluh ribu Ars adalah jumlah yang cukup besar.

Oh, kebetulan sekali ada pedagang buah di sini. Kurasa aku akan membeli sesuatu agar mengetahui nilai Ars.

"Paman, berapa harga satu apel ini?" tanyaku mendekati pedangang tersebut.

"Apel? Maksudmu aps ini? Empat Ars untuk satu buah, kalau beli lima cukup 18 Ars," jawab sang pedagang buah.

Hmm, jadi aps adalah nama untuk apel di dunia ini, ya? Menarik.

Apa? Di perpustakaan istana tidak ada sesuatu seperti 'Ensiklopedia Seratus Nama Buah'. Aku tak tahu hal remeh sejenis ini.

Aku mengambil dua koin senilai 20 Ars dari kantong uang, "Aku beli lima buah."

"Oke." Pedagang tersebut hendak mengambil tas belanja dan membungkuskan apelku, tapi aku menghentikannya.

"Aku punya tas sendiri, paman. Tidak perlu repot-repot," ujarku menunjuk kantong dimensi yang kugantung di pundak.

"Ah, kalau begitu silahkan saja dipilih lima buah." Pedagang tersebut tersenyum mempersilahkanku mengambil buah manapun.

Jadi, nilai Ars ternyata tidak begitu jauh dari rupiah. Jika diasumsikan satu Ars sama dengan seribu rupiah, berarti uang pemberian Alestio adalah sepuluh juta rupiah. Itu jumlah yang teramat banyak untuk kupegang seorang diri.

Aku mengambil lima buah aps pilihanku dan memasukkan empat di antaranya ke dalam kantong dimensi sementara satu sisanya langsung kugigit, "Oh, aps ini cukup enak. Berair dan manis namun lebih mudah digigit, tidak terlalu jauh berbeda dari apel yang kukenal."

"Aku tidak tahu buah apel yang kau maksud, tapi aps ini adalah produk unggulan. Tentu saja enak." Pedagang buah menanggapi reaksiku yang tanpa sadar keluar dari bibirku.

Aku tersenyum kecil sedikit malu membiarkan isi nuraniku keluar, "Omong-omong, paman. Apa kau tahu penginapan bagus tapi murah di sini? Aku baru datang dari tempat jauh, jadi kurang mengetahui tata letak kota ini."

"Oh, jika kau mencari penginapan maka Taring Busuk Goblin adalah yang terbaik dari segi pelayanan dan biaya!"

Hah? Taring Busuk Goblin? Itu nama penginapan?

"Biarpun namanya terdengar nyeleneh penginapan itu adalah yang terbaik untuk petualang dan pengelana sepertimu. Aman bagi dompet." Si pedagang terkekeh pelan membaca pikiranku dengan tepat dan memberikan arahan menuju Penginapan Taring Busuk Goblin yang dimaksud.

Aku tersenyum kering menanggapinya sebelum berterima kasih dan melangkah sesuai petunjuknya.

Tapi, sungguh, kenapa dari sekian banyak nama malah 'Taring Busuk Goblin' yang dipilih sebagai nama penginapan? Aku tidak mengerti selera pemiliknya—tidak, mungkin aku akan mengerti saat sampai di sana.

Semoga saja bukan seperti yang ada di bayanganku.