webnovel

Program 30 Hari Menulis NAD

Sebuah program rangkaian menulis selama 30 hari di bulan Juni 2020

Frisca_6869 · Urban
Not enough ratings
30 Chs

Tanaman Monster

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_20

#NomorAbsen_144

Jumlah kata : 865 kata

Judul : Tanaman Pencipta Monster

Isi :

Tanaman berwarna ungu terang tersebut terlihat aneh di mataku. Tidak biasa sebuah tanaman, mulai dari daun, batang, dan akarnya berwarna ungu.

"Namanya mutiara ungu," jelas pria paruh baya di hadapanku. Beliau adalah sahabat ayahku yang baru saja meninggal.

Aku dan ayah bukanlah orang yang dekat. Aku nyaris tidak pernah merasakan kehangatan dan kasih sayang darinya karena sebagai peneliti, beliau selalu pergi ke berbagai tempat berbulan-bulan lamanya hanya untuk menemukan hal baru. Kurasa ayah tidak pernah betul-betul menganggap kami sebagai keluarga. Seluruh perhatian dan kasih sayangnya hanya untuk penelitian yang menurutku tidak berguna.

"Dia menitipkan ini padaku untuk diberikan padamu. Pesan dia adalah kau harus menggunakan tanaman ini secara bijak," ujar lelaki berambut kelabu itu lagi.

"Dia benar-benar menyayangimu."

Aku hanya mengangguk saja. Meski dia berkata seperti itu, tetap saja perasaanku pada ayahku hampa. Tidak ada duka yang kurasa setelah kepergian beliau untuk selamanya. Mungkin karena kami memang tidak pernah dekat. Kuamati tanaman peninggalan ayahku tersebut sekali lagi. Dia bahkan hanya meninggalkan tanaman aneh ini untukku, keluhku dalam hati.

***

Surat wasiat ayahku kubaca berulangkali. Meski teman beliau telah mengatakan dia hanya meninggalkan tanaman untukku, aku tetap tidak percaya. Ayah macam apa yang hanya memberikan tanaman pada putrinya? Sebagai peneliti, ayahku lumayan sukses dan disegani. Kini yang diwariskan untukku hanyalah tanaman aneh berwarna ungu.

Aku menggeleng sembari melempar surat tersebut ke meja. Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahku.

Suara ketukan di pintu rumah menyadarkanku. Segera kubuka pintu dan melihat Andi, kekasihku, berdiri di halaman. Segera kusuruh dia masuk.

"Bukankah ini luar biasa, Nin? Tanaman ini bisa menyembuhkan orang sakit separah apa pun. Bisa meracuni orang hingga mati, bahkan bisa membangkitkan orang mati. Wah, kau bisa menjadi Tuhan, Nin," ucapnya saat kutunjukkan surat ayahku yang menjelaskan tentang tanaman itu.

"Aku tidak tertarik menjadi Tuhan, An," ucapku pelan.

"Tapi, Nin, bisa mengendalikan kehidupan dan kematian seseorang, bukankah itu yang diinginkan banyak orang?"

Aku hanya menggeleng. Kehidupan dan kematian. Lalu jika tanaman ini bisa melakukannya, kenapa ayahku tidak memakainya sendiri saat dia sakit? Kenapa justru memberikan padaku?

"Karena dia ingin memberikan miliknya yang paling berharga padamu," jawab rekan ayahku saat kutanyakan itu padanya. Paling berharga? Lalu apakah aku sebagai anak sama sekali tidak berarti untuknya?

"Dia yakin kau bisa memanfaatkannya dengan bijak. Ini juga untuk menebus rasa bersalahnya padamu, karena telah menyia-nyiakan waktu untuk bisa bersama," lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk meski dalam hatiku masih merasa kecewa.

***

"Halo, Sayang," sapa Andi. Dia kemudian mengecup keningku mesra. Aku beruntung memiliki dia. Setidaknya kehadiran dia menambal rasa haus akan cinta yang sejak kecil kurasakan. Aku tidak memiliki saudara dan ibuku sudah meninggal sejak aku kecil. Dengan sosok ayah yang begitu asing karena selalu bepergian, bisa dikatakan hidupku terasa begitu kosong. Akan tetapi, semenjak ada Andi semua berubah, hidupku seolah kembali bermakna.

Lagi-lagi Andi membahas soal tanaman itu. Kelihatannya ia begitu penasaran. Aku tentu dengan senang hati memberitahu semua padanya.

***

"Aku mohon padamu. Berikan tanaman itu padaku. Aku hanya menggunakannya untuk menyelamatkan Lusi," pinta Andi padaku.

"Aku tidak mau!" tolakku tegas. Sejak dulu, aku tidak pernah menyukai Lusi. Andi selalu berkata gadis itu adalah teman masa kecilnya, tetapi kurasa hubungan mereka lebih dari itu. Kini Lusi tengah sakit parah dan Andi terus mendesakku untuk memberikan tanaman itu.

***

Hari berlalu. Andi masih terus mendesakku. Ia bilang kondisi Lusi semakin gawat. Aku menatap tanaman berwarna ungu di hadapanku. Kini aku tahu keputusan yang harus diambil.

Akan tetapi, semua ternyata sudah terlambat. Saat akan kuberikan tanaman tersebut, Lusi ternyata sudah tiada.

Andi begitu marah padaku. Aku benar-benar merasa bersalah.

"Berikan tanaman itu padaku!" gertaknya.

"Tapi, An, apa yang akan kaulakukan?"

"Apa pun yang kulakukan bukan urusanmu. Aku tidak menyangka bisa mencintai gadis keji sepertimu. Kau pasti sengaja mengulur waktu agar terlambat menyelamatkan Lusi, tapi tidak apa. Aku akan membangkitkan dia dari kematian."

"Tidak. Tidak. Kau tidak boleh melakukannya. Akibatnya mungkin sangat buruk. Aku baru menemukan buku harian ayahku dan dia menulis mereka yang dibangkitkan dari kematian akan berubah menjadi monster."

"Aku tidak mau lagi mendengar ocehanmu. Berikan tanaman ini sekarang!" teriaknya sambil merebut tanaman yang kubawa. Aku bahkan sampai terjatuh karena mempertahankan tanaman tersebut. Akan tetapi, Andi tidak peduli. Dia langsung pergi begitu saja membawa tanaman wasiat ayahku itu.

***

Polisi memberitahu dan memintaku datang ke rumah Andi. Kekasihku itu telah dilaporkan mencuri jenazah Lusi di rumah sakit. Sebelumnya mereka telah meminta keterangan dariku, tetapi saat itu kukatakan aku tidak tahu apa-apa. Entah apa yang mereka temukan di rumah Andi. Mungkin hal yang buruk karena Lusi telah berubah menjadi monster. Seharusnya aku lebih keras berusaha mencegah Andi, sesalku.

Pita pembatas berwarna kuning itu menghalangiku untuk masuk ke rumah Andi. Seorang petugas menghampiriku dan menanyakan banyak hal sebelum akhirnya memberitahu bahwa Andi telah tewas dengan tubuh yang tercerai-berai.

"Apa dia punya musuh?" tanya petugas itu akhirnya. Aku hanya menggeleng dengan air mata mengalir deras. Kulihat bercak berwarna ungu terang di dinding luar rumah dan kutahu yang kutakutkan telah terjadi.

Aku melihat sekeliling sembari menghela napas. Pikiran melayang membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi. Mungkin semua sudah takdir dan aku tidak bisa mencegah malapetaka terjadi. Kini aku hanya bisa pasrah dan berharap semua akan baik-baik saja meski itu tidak mungkin. Karena aku tahu monster tersebut tengah berburu mangsa di luar sana.

Tamat