webnovel

Program 30 Hari Menulis NAD

Sebuah program rangkaian menulis selama 30 hari di bulan Juni 2020

Frisca_6869 · Urban
Not enough ratings
30 Chs

Hutan Monster

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_21

#NomorAbsen_144

Jumlah kata : 840 kata

Judul : Hutan Monster

Isi :

"Sial!" teriakku marah. Ingin kumaki dan menyalahkan diri. Rasanya emosi telah memuncak hingga ke ubun-ubun. Namun kusadar semua itu hanyalah membuang energi. Aku tersesat karena kebodohanku sendiri. Kini hanya tersisa lelah dan lapar.

Sekali lagi aku memeriksa tas ransel yang baru kuletakkan. Habis. Kini tidak ada lagi makanan dan minuman yang tersisa. Apa yang harus dilakukan kini padahal rasa lapar datang menyiksa?

Bergegas aku bangun dan memeriksa sekeliling. Jika ingin bertahan hidup, setidaknya aku harus mencari makan. Sayangnya, pada tempat di sekitarku tersebut hanya ada pohon-pohon rimbun yang tinggi menjulang.

Aku menggeleng dan kembali memeriksa sinyal di ponselku yang masih melompong seperti sebelumnya. Mungkin orang-orang akan mencariku setelah menghilang beberapa hari, tetapi untuk menunggu mereka datang setidaknya aku harus bertahan hidup.

***

Kuputuskan kembali melanjutkan langkah. Kulihat sekali lagi tempat yang kujelajahi, entah mengapa aku merasa hanya berputar-putar di tempat yang sama.

Lalu aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. Di pohon yang tidak terlalu tinggi, terdapat buah yang berwarna merah mencolok sungguh menarik perhatian. Kutelan liurku saat membayangkan kesegaran buah yang tidak kuketahui namanya tersebut. Tanpa ragu, segera kuulurkan tangan untuk mengambil buah tersebut. Saat itulah, aku mendengar suara berdesis tidak jauh dariku.

Aku segera menoleh dan melihat para makhluk yang menyerupai tikus. Akan tetapi, mereka memiliki bulu berwarna biru muda. Mereka tengah menatapku. Semula aku mengira beruntung karena melihat hewan tersebut. Bayangan akan menjadi kaya-raya sempat terlintas di benakku. Namun semua pudar saat mata binatang tersebut berubah merah. Mereka kembali mendesis dan menggeram, kemudian memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka dan bersama-sama hendak menyerangku.

Aku menghindar dengan cepat dan segera berlari dari sana. Sempat kumenoleh sekilas ke belakang dan melihat hewan-hewan tersebut masih terus mengejarku dengan cepat sambil mendesis.

***

Aku menghela napas lega saat tiba di tempat yang kurasa cukup aman. Kurasa para tikus aneh itu sudah berhenti mengejarku. Mungkin mereka menemukan mangsa lain yang lebih menarik.

Kuputuskan untuk beristirahat sejenak. Tubuhku terasa lelah dan kakiku pegal karena berlari. Namun, saat baru aku hendak duduk di salah satu pohon, sesuatu membelit kakiku dan menarikku dengan cepat.

Segera kuraih pisau yang terselip di sol sepatuku dan berniat memotong benda licin berlendir yang berwarna merah tersebut. Akan tetapi, karena liat, jadi tidak bisa terpotong dengan mudah. Aku panik dan ketakutan, berusaha semakin keras untuk memotong benda aneh tersebut. Kemudian aku melihat tanaman dengan bunga berukuran besar. Rupanya benda aneh yang membelit kakiku keluar darinya. Saat semakin dekat, kulihat sesuatu menyerupai gigi yang runcing. Aku semakin panik karena tanaman aneh hendak menyantapku hidup-hidup.

Sesuatu berwarna kuning menyembur saat akhirnya aku berhasil memotong pembelit kakiku yang menurutku lidah dari tanaman aneh tersebut.

Aku segera kembali berlari. Napasku terengah dan air mataku berlinang. Hutan yang kujelajahi ini seperti sarang monster. Bagaimana aku bisa keluar dengan selamat dari tempat ini?

***

Hari sudah beranjak gelap. Akan tetapi, aku tidak berhenti berjalan sama sekali. Kupaksa kakiku yang sakit karena terus berjalan untuk tetap melangkah. Perutku juga melilit perih, tetapi tetap kutahan. Keinginanku hanya secepatnya bisa keluar dari hutan aneh tersebut. Penerangan remang-remang dari purnama membantuku untuk terus melangkah.

Suara lolongan yang terdengar nyaring membuat bulu kudukku kembali berdiri. Aku berjalan semakin cepat saat mendengar suara langkah di belakangku. Tidak lama sesuatu melompat dan berdiri dengan empat kaki di hadapanku. Makhluk tersebut menyerupai serigala dengan ukuran besar dan berbulu hitam tebal. Tatapan mata merahnya tajam menatapku seolah hendak melumat mangsa. Segera aku melangkah mundur. Suara lolongan makhluk tersebut terdengar nyaring. Tidak lama, muncul hewan-hewan yang serupa makhluk di depanku tersebut. Mereka bergerak mengepungku. Aku semakin ketakutan. Tidak tahu lagi cara meloloskan diri dari binatang buas yang kini meneteskan air liur tersebut.

"Pergi. Pergi kalian!" teriak sebuah suara mengejutkanku. Tidak lama kulihat seorang wanita tua tengah mengayunkan obor pada para serigala besar tersebut. Hewan-hewan tersebut menatapnya. Mereka kemudian melangkah mundur dan serempak pergi dari tempat itu.

"Terima kasih," ucapku. Wanita tersebut menganggukkan kepala. Beliau kemudian mengajakku pergi ke tempatnya. Kurasa itu pilihan terbaik daripada berada di hutan monster.

***

"Kamu pasti tersesat. Sebaiknya memang tidak pergi ke hutan ini. Terlalu berbahaya. Lagipula untuk apa kamu ke sana?" tanyanya saat aku berada di rumah gubuknya yang sempit dan terbuat dari kayu.

Aku lalu menceritakan semua padanya. Awalnya semua hanya karena rasa penasaran ingin menjelajah hutan misterius yang banyak diberitakan. Akan tetapi, siapa sangka justru aku tidak bisa keluar.

"Sebaiknya kamu memang tidak ke hutan ini," ucap wanita tua berambut kelabu itu seraya menghidangkan makanan yang tanpa sungkan lagi kulahap karena rasa lapar teramat sangat.

"Terima kasih," ucapku. Beliau mengangguk sambil tersenyum.

"Kau sudah makan, tapi aku juga lapar. Bagaimana jika kuiris sedikit dagingmu?" tanyanya beberapa saat kemudian.

"Tentu saja," jawabku tanpa ragu. Apa yang terjadi? Mengapa aku tidak bisa menolak saat dia hendak memakanku? Pikiranku memaksa untuk memberontak, tetapi aku tidak berdaya. Bahkan tubuhku saja tidak bisa kugerakkan. Wajahku tetap membentuk seulas senyum saat berkata,

"Kalau Anda lapar, ambil saja sebanyak mungkin. Silakan memakan semua yang Anda mau."

"Kalau begitu, aku tidak akan sungkan lagi," ujarnya sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tidak beraturan tetapi runcing.

Aku hanya bisa diam dan tetap tersenyum saat mata pisau yang tajam mulai mengiris kulitku.

Tamat