webnovel

Cinta pertama Dariel

Malam semakin larut namun terlihat kedai semakin ramai. Makanan yang mereka pun satu per satu sudah lenyap dan hilang ke perut mereka.

"Udah malem..pulang yuk.." Ajak Farah yang dalam beberapa teguk langsung menghabiskan susu murninya yang tersisa.

"Biar gw anterin." Dariel sambil mengambil dompetnya. Dia membayar makannya.

"Ayo nya lu mau ikut juga ga?."

"Sonya biar gw yang anterin." Chandra segera menjawab padahal mulut Sonya sudah terbuka. Chandra sepertinya sengaja membuat Dariel dan Farah pergi berdua.

"Ya udah ga ada yang mau bareng lagi?Mi lu bareng Gio aja?"

"Iya kan gw udah janji Riel..." Kali ini Gio yang menjawab membuat Mia senyum-senyum sendiri dengan tingkah dua sahabatnya.

"Ya udah kita duluan ya.."Farah berpamitan begitupun Dariel. Mereka berdua kini berjalan menuju mobil.

"Kerjaan lagi banyak banget bikin pusing kepala." Farah mulai curhat untuk memecah keheningan di dalam mobil.

"Namanya juga akhir bulan pasti ditunggu tuh semua laporan."

"Belakangan sering liat lu ke lantai direksi Riel. Kenapa?"

"Oh..cuman ngasihin dokumen titipan pak Stefan. Itu aja.."

"Kirain mau naik jabatan lagi.."

"Apaan sih gw aja ini masih banyak belajar.."

"Kuliah gimana?."

"Ya gitulah, masuk semester akhir malah jadi males tapi....kalo males kasian bapak nanti bayar uang perpanjang."

"Semangat dong, inikan akhir Riel.."

"Hm...Besok, lu pergi ga?"

"Pergi?ehm..." Farah berpikir sejenak.

"Paling datang ke acara masak-masak. Kenapa?"

"Anterin gw nyari hadiah buat bapak."

"Oh...mau jam berapa?besok kan mau ada acara masak-memasak dulu."

"Gw usahain datang sambil jemput lu.."

"Ya udah oke." Farah setuju. Sesekali Farah melirik kearah Dariel yang fokus menyetir sementara Lelaki itu tak pernah menyadari tatapan dari Farah.

"Besok kalo lu ga bawa mobil siapa yang anter?"

"Gw bisa nyuruh Mia atau Onya jemput."

"Ya udah syukur deh. Jangan sampe gara-gara gw, lu jadi naik umum."

"Engga kok tenang aja. Kalo mereka ga mau jemput gw ancem ga bisa datang."

"Dasar..." Dariel tersenyum.

"Senyum lu tuh bagus tahu ga?kenapa jarang senyum sih?."

"Senyum?." Dariel melihat ke arah Farah sejenak membuat perempuan itu menyadari apa yang baru saja dia lakukan.

"Ya gitulah.."

"Senyum kesiapa juga?paling ke atasan doang. Senyum terus disangka gila. Udah senyumnya buat lu aja." Dariel membuat Farah tersipu. Kini laju Dariel semakin cepat karena jalanan tampak kosong dan tak perlu waktu lama dia sampai di depan rumah Farah.

"Makasih ya Riel."

"Iya sama-sama."

"Gw masuk, hati-hati dijalan."

"Iya..."Jawab Dariel menunggu Farah benar-benar turun dan masuk rumahnya. Setelah itu dia mulai menjalankan lagi mobilnya. Dia harus segera pulang. Kalo dipikir-pikir Farah itu cantik, menarik, dan tentu saja pintar. Pasti banyak pria yang tertarik padanya namun entah kenapa sampai sekarang dia masih sendiri. Dariel bukannya tak menyukai Farah. Bagaimanapun dia lelaki normal mungkin adalah sedikit rasa tertarik tapi dalam dirinya masih ada perasaan takut. Dia belum terbiasa dengan perasaan menyukai seseorang. Baginya hidupnya sekarang hanya untuk keluarga pak Stefan. Rasa cinta kadang bisa menyesatkan dan bahkan menyakitkan. Itu yang membuat Dariel tak mau terlalu mendalami perasaanya. Terlebih lagi jika makhluk itu adalah wanita. Dia selalu merasa wanita yang ada disekelilingnya terus berusaha menyakitinya bahkan meninggalkannya terkecuali Ibu Vani dan Rena. Dariel masih ingat bagaimana cinta pertamanya pergi begitu saja dengan pria yang sangat dikenal, kemudian ibunya pun pergi meninggalkan dia tanpa pamit.

****

Flashback

"Sore pak, Astridnya ada?" Dariel menepi tepat di depan pagar rumah Astrid yang megah. Bajunya sudah basah kuyup akibat hujan yang turun begitu deras.

"Non Astridnya lagi pergi."

"Oh....tolong kasihin ini ya. Saya titip." Dariel memberikan sebuah bungkusan warna hitam pada satpam rumahnya.

"Iya, Dari siapa?"

"Bilangin dari Dariel.."

"Iya.."

"Makasih pak.." Dariel segera pergi lagi dengan sepeda yang dia dapatkan karena hadiah. Meskipun hujan deras Dariel tetap mengayuh sepedanya menuju rumah. Bisa bahaya jika bapak mencarinya dan dia gak ada dirumahnya. Tadi itu Dariel memberikan kado karena Astrid berulang tahun. Dari hasil kerjanya disebuah toko beras dia menyisihkan uangnya untuk membeli jam tangan perempuan ya...meskipun harganya tak seberapa tapi dia senang bisa memberikan kado di hari spesial untuk wanita yang disukainya. Bukan tanpa alasan Dariel menyukai Astrid. Di sekolah hanya Astrid yang masih bersedia menyapanya, mengajaknya mengobrol bahkan satu kelompok belajar dengannya. Disaat semua orang meledeknya Astrid justru menerimanya padahal dia kan anak konglomerat. Sesampainya dirumah Dariel segera mandi dan mengganti semua baju basahnya. Masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan. Dia mandi secepat kilat.

"Riel....Dariel..." Teriak Jian dengan tergesa-gesa Dariel memakai bajunya dan keluar menemui Jian. Alangkah terkejutnya dia melihat Astrid disana. Dia tengah duduk manis.

"Bawain minum sana. Kamu mau minum apa sayang?" Tanya Jian. Panggilan mesra itu membuat Dariel tambah terkejut. Sayang?apa itu artinya Astrid dan Jian memiliki hubungan yang sangat dekat?mereka berpacaran?.

"A..aku pingin teh hangat aja." Astrid terbata. Dia bahkan tak berani menatap wajah Dariel.

"Bikin teh anget sana dua."

"I..ya.." Dariel menurut. Dia mengambil gelas dan teko kecil yang diisi dengan air hangat. Dariel juga tak lupa mencelupkan kantong tehnya. Setelah semua dirasa siap. Dia membawakan ke depan. Matanya masih disuguhi dengan kemesraan Astrid dan Jian. Ah...kalo dipikir-pikir harusnya Dariel sadar. Kenapa juga dia harus suka dengan orang lain padahal jelas dia tak bisa memberikan apa-apa. Saat ini bahkan Dariel menyaksikan Jian membelikan sepatu yang cukup bagus untuk hadiah ulang tahun Astrid. Itu pasti tak murah.

"Heh kenapa lu bengong disini?sana masuk." Jian menyadarkan Dariel. Anak itu kembali bangkit dan masuk ke arah dapur. Dia duduk dibawah lantainya. Memikirkan tentang rasa sukanya. Sepertinya mulai sekarang dia tak boleh menyukai Astrid lagi. Dia sudah punya pacar yang jauh lebih baik dirinya. Pacar yang bisa mewujudkan keinginannya, pacar yang sepadan tentunya. Dariel tersenyum kecil. Rasanya dia menjadi orang bodoh. Kenapa dia memberikan jam tangan segala?mungkin kelihatannya itu adalah rongsokan dimata Astrid. Beda jauh dengan sepatu yang dibelikan Jian. Astrid juga tadi tampak berbeda. Dia seperti tak mengenalnya.

"Oke Ga papa." Dariel berbicara sendiri dan tersenyum kecil lagi. Dia seperti orang gila sekarang. Dia segera berdiri saat Nayla datang.

"Mau apa?" Tanya Dariel.

"Aku pingin bikin sirop jeruk."

"Biar aku aja." Dariel segera mengambil gelas yang akan diraih Nayla. Dengan sigap membuka kulkas.

"Ga papa aku aja."

"Ini mau segimana sirupnya?" Dariel tak menggubris perkataan Nayla. Dia terus melayani anak orang tuanya itu atau lebih tepatnya majikan.

"Stop.." Ucap Nayla. Dariel kini mengambil es batu dan menjatuhkan perlahan kedalam gelas. Nayla bisa melihat ada kesedihan diwajah Dariel tapi dia tak berani menanyakan kenapa. Jelas saja dia tahu hidup dengan Keluarganya pun sudah merupakan salah satu kesedihan Dariel.

***To be continue