webnovel

Tertutup untuk wanita

"Ini bagus ga ya?" Dariel mengambil sebuah jaket yang tampak kekinian.

"Yakin mau ngasih jaket?bukannya mau ngasih kursi pijat?"

"Ini buat gw..."

"Oh buat lu, bagus kok. Cocok..." Puji Farah. Dariel masih melihat dirinya didepan cermin. Mencoba memastikan apa yang dikatakan Farah itu benar.

"Ya udah gw ambil yang ini aja." Dariel setuju. Dia lalu berkeliling lagi melihat pakaian yang lain.

"Tumben banget sih shoping. Kenapa?"

"Ibu bilang gw tuh harus belanja supaya bajunya variatif gitu. Mungkin ibu udah bosen liat gw pake baju yang sama."

"Iya dong, yang lebih modis gitu."

"Lu ga mau?gw beliin nih."

"Engga. Ga usah. Lu aja deh yang belanja."

"Hadiah buat bapak udah gw urusin, barangnya besok dikirim. Pas banget sama hari ulang tahunnya."

"Terus ngapain gw kesini?"

"Ya...temenin gw jalan-jalan." Dariel dengan wajah tak berdosa tersenyum padahal Farah audha berpikir bahwa mereka akan benar-benar mencari hadiah untuk pak Stefan.

"Apa di kantor ga ada cowok yang lu incer Rah?"

"Ah siapa sih?ga ada yang menarik juga."

"Masa sih?"

"Belum Nemu yang cocok aja. Lu sendiri kenapa?"

"Ga papa. Gw ga terlalu mentingin itu sih."

"Tapi masa iya satu wanita pun ga ada yang lu deketin."

"Emang belum ada rah. Gw ga mau jatuh cinta sama orang lain. Gw lebih baik menunggu cewek yang beneran suka sama gw ketimbang gw yang ngejar-ngejar." Dariel mencari-cari lagi baju yang lain.

"Eh cowok kan perannya yang ngejar, cewek ya..yang dikejar."

"Gw udah nyobain ngejar tapi malah..."

"Udahlah Riel, itukan masa lalu." Farah langsung memotong pembicaraan Dariel. Dia dan teman-temannya sudah tahu bagaimana kisah masa kecil Dariel yang memilukan.

"Gw masih butuh waktu aja untuk menerima cewek. Udah yuk bayar." Dariel dengan tergesa-gesa menuju kasir seolah tak mau memperpanjang bahasan tadi sementara Farah berjalan kecil sambil memikirkan maksud perkataan Dariel 'menerima cewek.'

"Kenapa?jadi diem gitu?" Dariel heran saat mereka keluar dari outlet baju itu.

"Ga papa."

"Ayo, mau makan apa?" Dariel secara reflek menarik tangan Farah. Wanita itu sedikit terkejut namun senang.

"Engga ah masih kenyang, tadi udah makan di rumah Onya."

"Ya udah ngemil-ngemil aja dulu.." Dariel lalu menggandeng Farah menuju eskalator. Kepalanya melihat ke kiri dan ke kanan seakan untuk mencari tempat yang cocok untuk beristirahat. Perjalanan mereka terhenti disebuah food court. Dariel dan Farah memesan minuman dan makanan ringan setelah itu duduk dimeja kosong diarea food court.

"Riel katanya ada anak baru di Keuangan?."

"Iya, cowok Rah.."

"Siapa?"

"Sandi.."

"Oh..udah tua?"

"Belum, ya seumuranlah sama gw nanti gw kenalin."

"Ngapain?ga usah."

"Kali aja naksir." Canda Dariel.

"Engga ah, ngapain. Lain kali aja."

"Tapi kasian ga ada temen jadi ntar gw ajakin deh kumpul-kumpul sama kita."

"Nah...kalo ramean sih oke. Eh...jadi lu pindahan?"

"Jadi, rumahnya udah jadi tinggal diisi barang-barang aja."

"Kapan?"

"Minggu depan, nanti gw undang kalo udah fix."

"Gaya bener sih udah punya rumah."

"Ya..gw cobain hidup mandiri. Ga mau repotin bapak sama ibu meskipun mereka bilang tanpa gw pindah pun mereka ga keberatan gw masih tinggal bareng."

"Iyalah namanya orang tua pasti sedih pisah sama anaknya."

"Tapi kalo ga gitu gw bakalan terus bergantung sama bapak, untungnya sekarang bapak sama ibu ngerti asal gw sesekali nginep katanya dirumah."

"Tapi enak kalo nikah istri lu tinggal dibawa jadi ga tinggal bareng mertua atau orang tua."

"Nikah?gw ga mikirin itu."

"Eh kenapa?emang lu ga mau punya keturunan apa?"

"Siapa yang mau sama gw?kalo modal tampang doang ga cukup. Dari Astrid gw belajar kalo pacaran aja butuh modal apalagi nikah, kayanya gw masih berat."

"Lu tuh mikirnya selalu gitu. Riel...lu yang dulu sama yang sekarang kan udah berkembang jadi bedalah Riel keadaanya. Kalo...lu masih sayang sama Astrid kenapa ga dikejar aja?"

"Engga ah, dia terlalu kaya lagian gw yakin dia ga ada perasaan apapun sama gw. Dia cuman kasian aja waktu itu."

"Ya makannya cari cewek lain. Buka hati gitu." Farah memberi saran membuat Dariel tersenyum lagi. Bahasan ini rasanya tidak ada habisnya.

***

Sejak Dariel mengajaknya pergi berdua hari Minggu itu, sejak itu pula Farah menaruh perasaan pada Dariel. Meskipun perasannya masih samar-samar Farah selalu senang setiap kali Dariel berada didekatnya. Dia berharap jika Dariel akan membuka hati pada wanita tepatnya dirinya. Farah bahkan rela menjomblo untuk menunggu Dariel mendekatinya namun apa daya lelaki itu rupanya hanya menganggap Farah teman dan tak memiliki perasaan spesial apapun. Dia benar-benar belum siap untuk mengejar apa yang disebut cinta. Bagi Dariel cintanya tak ada. Dia hanya menyayangi keluarganya saja. Keluarga yang telah menerimanya dengan ikhlas meskipun Dariel bukan anak kandung mereka. Rupanya ketidakaktifan Dariel mengejar seorang wanita membuat Pak Stefan sedikit khawatir. Dia yang semula mendorong Dariel mendekati wanita mulai curiga jika...mungkin saja Dariel punya sedikit masalah dengan orientasi seksualnya. Pak Stefan bingung untuk menanyakan hal itu pada anaknya. Dia takut jika Dariel akan tersinggung nanti tapi...jika dia tidak menanyakannya, dia dibuat tak bisa tidur setiap kali melihat Dariel dekat-dekat dengan seorang pria.

"Akhirnya pindahan juga.." Seseorang berkomentar saat Dariel membuka pagar rumahnya.

"Iya, ganggu ya suaranya?.."

"Engga kok, cuman penasaran aja ada apa malem-malem gini."

"Biasa, sisa-sisa barang. Udah selesai kok. Maaf No.."

"Nih..tadi mama bikin puding katanya suruh dikasih ke tetangga baru."

"Makasih." Dariel menerima sebuah plastik warna putih dari tangan Nino. Dia adalah tetangga baru Dariel di rumahnya. Pak Stefan yang malam itu menginap dirumah anaknya semakin menduga-duga dengan gelagat Dariel. Dia mengintip dibalik jendela ruang tamu. Dia melihat Dariel dan tetangganya itu mengobrol cukup akrab bahkan sesekali Nino mengusap lengan Dariel. Senyuman juga terlukis jelas dalam bibir masing-masing seakan menujukkan bahwa mereka sedang menceritakan sesuatu yang menyenangkan.

"Ini ga bener." Pak Stefan langsung membuka pintu dan menghampiri mereka.

"Siapa Riel?"

"Eh pak, kenalin ini tetangga Dariel."

"Nino om.."

"Stefan..."

"Nino tadi ngasih puding pak.."

"Wah ngerepotin malem-malem gini.."

"Engga kok, kebetulan mama tadi bikin."

"Rumahnya yang mana?" Tanya pak Stefan.

"Itu pak.." Nino menunjukkan rumahnya yang terletak diseberang meskipun tak langsung berhadapan dengan rumah Dariel. Pak Stefan jadi berpikir padahal tetangga kiri kanannya saja tak seperhatian ini kenapa Nino datang dan menyadari kepindahan Dariel?.

"Kalo gitu ajak masuk Riel ga enak ngobril diluar, kasih minum gitu."

"Ga usah pak. Saya cuman sebentar, ngasihin puding aja."

"Padahal masuk aja dulu, sekalian liat rumah gw.."

"Besok aja besok, room tour. Gw pamit ya, om..Nino pamit."

"Iya, bilangin makasih ke mama buat pudingnya."

"Iya om.." Nino yang tak lama berjalan menuju rumahnya. Pak Stefan memandangnya tajam.

***To Be Continue