webnovel

Meluapkan Amarah

Brakk...

"Shit! Drama apa ini!"

Nata yang sembari tadi diam akhirnya membuka suara, tak lupa menendang gerobak es cream didepannya. Nata sangat muak dengan kelakuan Raka, entah kenapa Alisya masih bisa bertahan dengan pria seperti Raka.

"Heh Raka! Lo tu nggak punya hati apa gimana sih, di depan Alisya lo berduaan sama cewek lain? Ngotak nggak sih!" maki Nata dengan napas menggebu meluapkan semua amarahnya.

"Sayang mereka siapa sih? Ngaku-ngaku istri lagi," cibir wanita yang sedang bergelayut manja di lengan Raka.

"Lo pergi sekarang!" pekik Raka dengan rahang yang mengatup menahan emosi.

"Tapi sayang kita--"

"Diam dan pergi! Sekarang!" sentak Raka penuh penekanan pada Siska-wanita yang sedang bersamanya.

Siska mencibikkan mulutnya kesal, berbalik dan melenggang pergi sambil menghentak hentakkan kakinya. Sementara tatapan Raka tidak beralih dari kedua wanita didepannya, tatapan tajam yang bisa membuat siapa saja tunduk padanya.

Alisya sendiri hanya berani menundukkan kepalanya dalam, melihat kedua manik mata Raka saja rasanya tidak mempunyai nyali. Sedangkan Nata? Dia balik menatap Raka dengan tajam, tidak ada semburat rasa takut sedikitpun pada pria itu.

"Ikut aku!" Raka menarik pergelangan tangan Alisya, tidak ingin menciptakan keributan lagi. Karena dia sangat tau sahabat Alisya itu seperti apa jika sudah mengomel, Raka tidak mau kesabarannya habis hanya karena wanita itu.

Namun sebelum itu Nata dengan sigap menahan Alisya agar tidak pergi, enak saja menyeret Alisya pergi setelah membuatnya sakit hati. "Mau kemana ha? Urusan belum selesai wahai manusia gila!" pekiknya pada Raka.

Alisya memijit pelipisnya yang terasa pusing karena kelakuan Nata. "Nata! Udah ya, nggak usah memperpanjang masalah lagi. Gue nggak apa-apa kok," ucapnya meyakinkan Nata.

"Nggak! Enak aja. Gue nggak mau lo disakitin lagi sama tu orang, kenapa kalian nggak pisah aja sih. Lagian kayaknya Raka juga nggak cinta sama lo."

Cukup sudah Raka menahan emosinya, perkataan Nata barusan membuatnya naik pitam. Dia memang brengsek, tapi bukan berarti dia tidak mencintai istrinya seperti yang dipikirkan Nata. Tangannya yang semula mengepal kini melayang ke arah Nata, hendak menampar wanita itu.

Tetapi beruntung Alisya dengan sigap menahannya, jika tidak pasti pipi Nata akan memerah karena tamparan dari Raka. Manik mata Alisya menatap sang suami menyendu, tidak menyangka jika Raka akan berani memukul sahabatnya didepan umum seperti ini.

"Raka cukup! Nggak cukup kamu nyakitin aku ha? Cukup aku aja yang kamu sakitin. Karena aku pantes dapetin itu semua, aku nggak punya siapa-siapa didunia ini. Aku cuma punya kamu sama Nata, jadi tolong jangan sakitin Nata juga!" cerocos Alisya dengan air mata yang mulai menetes.

Mendengar perkataan Alisya kedua orang di sampingnya itu terdiam, begitu pula Raka. Hatinya ikut teriris mendengar ucapan sang istri.

"Sya--"

"Nata! Ayo pulang, aku nggak mau ada keributan lagi. Malu!" ucap Alisya mengusap sisa air matanya, memotong perkataan Raka. Alisya segera menarik Nata menjauh dari sana, meninggalkan Raka yang masih mematung ditempatnya. Entah pria itu menyesali semua perbuatannya atau hanya berfikir sejenak.

Sesampainya di mobil, tangis Alisya pecah dalam pelukan Nata. Dia tidak bisa meluapkan emosinya dengan amarah, tapi dia selalu meluapkan semuanya dengan menangis.

"Sya, maafin gue ya. Gara-gara gue lo harus nangis kayak gini," ucap Nata merasa bersalah, walaupun bukan murni kesalahannya. Jari jemarinya membelai lembut pucuk kepala Alisya dengan sayang, layaknya seorang saudara kandung.

Alisya mengurai pelukannya, menatap kedua manik mata sahabatnya dengan mata sayunya. Kemudian dia menggeleng disertai senyuman tipis yang tercetak di wajahnya. "Nggak, Na. Gue nangis bukan gara-gara lo kok, gue cuma heran aja kenapa hidup gue semenyedihkan ini." Alisya kembali menunduk dalam.

"Sya, jangan gitu. Nanti gue ikut sedih, tenang aja pokoknya selama gue masih hidup. Gue bakalan selalu ada buat lo, apapun yang terjadi," tutur Nata dengan mantap.

Siapa sangka ucapan itu membuat sudut bibir Alisya tertarik sebelah. "Makasih ya, Na. Tapi btw, lo tadi udah kayak orang kesetanan tau. Marah-marah nggak jelas," sahut Alisya mengalihkan topik pembicaraan diakhiri dengan kekehan kecil.

"Iya gue kesurupan kuda lumping, puas lo!" sewot Nata.

Alisya semakin tertawa lebar, tak lama Nata pun ikut tertawa. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah Nata, sesekali saling melempar candaan dan obrolan ringan. Melupakan kejadian tadi, walaupun Alisya tentu masih kepikiran dengan suaminya.

***

Dilain tempat, Raka sedang berkumpul dengan kedua sahabatnya disebuah cafe. Setelah berdebat dandan Nata dan Alisya tadi, susana hati Raka menjadi kacau. Dia memilih bersantai dengan kedua sahabatnya di cafe.

"Rel, gimana kerjaan lo? Aman?" celetuk Daniel sambil menghisap batang rokok.

"Menurut lo? Sejak kapan pekerjaan gue aman?" jawab Farel dengan santai. Yap memang benar pekerjaan Farel bukanlah dikategorikan aman, karena dia adalah seorang anggota mafia yang cukup berbahaya. Setiap hari membawa senjata untuk jaga-jaga, tapi karena kecerdasan dan ketangkasanannya dia selalu berhasil menjalankan misi.

Daniel berdecak kesal. "Ya kalo itu gue tau, maksud gue itu lancar kagak?" sahutnya geram, merutuki sahabatnya yang sangat menguji kesabaran.

"Hm." Lebih menyebalkan lagi jika Farel hanya berdehem seperti itu, rasanya Daniel ingin memenggal kepalanya sekarang juga.

"Salah gue apa sih, nasib banget punya dua temen kayak kutub semua. Mana hobi bikin naik pitam, sekali kali naik haji kek," gerutu Daniel mendengus.

Farel beralih menatap Raka yang hanya diam saja sembari tadi, tidak biasanya Raka seperti itu. Hal itu membuat Farel menaruh curiga, sudah bisa dia pastikan jika Raka sedang ada masalah.

"Kenapa?" tanya Farel, bukan langsung pada Raka melainkan pada Daniel.

Daniel menaikkan alisnya sebelah, tidak mengerti dengan maksud Farel. "Ha? Kenapa apanya? Gue nggak ngomong apa-apa perasaan," balasnya masih bingung.

"Hm." Lagi-lagi Farel hanya berdehem sambil menunjuk Raka dengan dagunya.

Daniel semakin tidak mengerti dengan Farel, entah kapasitas otaknya yang memang kecil atau dia memang bodoh dalam memahami Farel. "Apaan sih, bangke!" tukasnya tak santai.

Farel memutar bola mata malas lalu berkata, "Raka kenapa?" tanyanya dengan jelas.

"Ohh..." Daniel menganggukkan kepalanya paham.

Kemudian mengedikkan bahunya. "Mana gue tau," sambungnya seolah tak peduli.

Farel memejamkan matanya menahan emosi, sekarang siapa yang menyebalkan?

Tanpa berniat menanggapi Daniel, Farel lebih memilih langsung menanyakan pada Raka. Tangannya tergerak menoyor kepala Raka secara tiba-tiba, Farel memang beda.

Lamunan Raka seketika buyar, manik mata tajamnya menatap Farel dengan tatapan membunuh. "Lo mau mati ha?" pekiknya geram.

Farel masih santai di tempatnya, mengedikkan bahunya acuh lalu berkata, "Makanya jangan keseringan selingkuh, sekuat apapun batu kalau di timpa air terus menerus akan rapuh juga. Sama halnya dengan Alisya. Sekuat apapun dia, kalau lo terus nyakitin dia nggak menutup kemungkinan dia bakalan rapuh dan ninggalin lo," cerocosnya sambil menyeruput kopi hitam. Setelah itu dia melenggang pergi dari sana begitu saja.

Daniel mengaga tidak percaya, seorang Farel menerocos panjang seperti itu. Sebuah keajaiban dimatanya. "Wahh gila.. Itu Farel? Bisa ngomong juga tu anak, biasanya kayak nisa sabyan. Hm hm doang," gerutu Daniel sambil terkekeh geli.

Sementara Raka terlihat berfikir keras atas perkataan Farel barusan. "Apa aku keterlaluan?" gumamnya lirih.