webnovel

Brengsek!

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, seorang pria dengan pakaian santainya sedang duduk didepan TV. Menunggu kedatangan sang istri, mati matian Raka menahan emosinya karena Alisya belum juga pulang. Rasa khawatir campur dengan amarah sedang menguasainya.

Raka berdecak kesal, sembari tadi menatap arloji yang terlilit di tangannya. Awalnya kali ini dia akan meminta maaf pada Alisya dan menyesali perbuatannya, tapi entah itu akan menjadi penyesalan yang permanen atau hanya bualan belaka. Tetapi mengingat Alisya belum pulang tanpa mengabarinya, membuat emosi Raka kembali tersulut.

"Alisya, kenapa belum pulang juga," gumamnya dengan rahang yang mengatup rapat. Berusaha menghubungi sang istri tapi tidak kunjung mendapatkan balasan.

Ting tong...

Beberapa saat berlalu, suara bel berbunyi terdengar sampai telinga Raka. Pria ber-hoddie itu yakin pasti istrinya yang datang, maka dari itu dia beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu.

Raka melangkahkan kakinya menuju pintu utama, dengan memasang wajah datar andalannya dia membuka pintu. Benar saja, seorang wanita yang beberapa bulan yang lalu resmi menjadi istrinya berdiri dihadapannya. Tatapan tajam Raka tertuju pada Alisya.

Sedangkan Alisya terhenyak saat mengetahui Raka yang membuka pintu, nyalinya seakan menyusut saat Raka menatapnya seperti itu. Alisya sadar kesalahannya, tidak seharusnya dia pulang malam setelah menikah. Makanya wanita itu memilih diam.

"Kenapa baru pulang, hm?" tanya Raka membuka suara, menyenderkan punggungnya di daun pintu dengan pandangan masih terpusat pada Alisya.

"Maaf, tadi aku di rumah Nata."

"Setidaknya kamu bisa ngabarin aku, Alisya. Aku khawatir sama kamu," ucap Raka memelas.

"Maaf, tadi ponsel aku lobet. Ngapain kamu khawatir sama aku?" tanya Alisya tersenyum miris, masih teringat jelas kejadian di mall tadi. Membuatnya sedikit kecewa dengan sang suami.

"Kamu nanya kenapa? Kamu istri aku, Sya."

"Istri? Tapi aku nggak ngerasa kamu nganggep aku, buktinya kamu masih deket sama cewek lain didepan aku tanpa mikirin perasaan aku," balas Alisya meluapkan semua keluhan hatinya.

Raka diam, berusaha menahan emosinya. Raka tidak suka dibantah, Raka tidak suka dilarang dan Raka juga tidak suka dikekang. Hal itu berawal dari tekanan dan tuntutan yang diberikan ayahnya dulu saat dia masih kecil sampai dewasa, membuatnya tumbuh menjadi seorang yang terobsesi dengan kebebasan.

"Kamu diam? Karena itu memang kenyataannya. Aku capek, mau tidur," sambung Alisya hendak melenggang pergi.

"Aku belum selesai ngomong, Alisya." Raka menghentikan langkah istrinya dengan mencekal tangan Alisya erat.

"Apa lagi, Raka? Aku capek!" Sadar tak sadar Alisya meninggikan nada bicaranya.

Plakk...

Sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kanan Alisya, sang empu meringis ketika merasakan panas serta perih menjalar di pipinya. Cairan bening di matanya pun perlahan turun tanpa izin, dadanya sesak seperti terhimpit ribuan besi. Alisya tidak menyangka jika Raka bisa dengan mudah menamparnya, bagaimana dia bisa bertahan jika begini?

Sementara Raka yang baru saja menampar Alisya, hanya mematung ditempatnya. Menatap tangannya yang baru saja digunakan untuk menampar sang istri, seklebat penyesalan hadir di hatinya. Tapi sepertinya amarah dan keegoisannya lebih besar, membuat Raka berusaha bersikap acuh.

Raka mencondongkan tubuhnya kearah Alisya. "Sudah aku bilang berkali-kali, aku nggak suka dibantah Alisya. Aku juga nggak suka dilarang ataupun dikekang!" ucapnya dengan elusan tangan di pipi Alisya. Setelah itu Raka melangkah pergi meninggalkan sang istri begitu saja.

Sepeninggalan Raka, tangis Alisya semakin pecah dengan disertai isakan tangis parau. Tangannya terus memegang bagian pipi yang memerah, wanita itu tidak menangis karena kesakitan. Melainkan menangisi takdirnya sendiri, bisa-bisanya dia memilih bertahan dengan Raka yang jelas bisa membuat hatinya semakin hancur seeiring berjalannya waktu.

Alisya menutup pintu rumah, meringsut bersender di pintu. "Kapan kamu berubah, Raka," gumamnya menatap kosong depan.

"Nggak, aku harus kuat. Aku cuma punya Raka dan aku nggak mau kehilangan dia." Alisya menghapus sisa air matanya kasar, berusaha menguatkan dirinya sendiri. Kemudian beranjak pergi ke kamarnya.

Sesampainya dikamar, Alisya kembali melihat seseorang yang beberapa menit yang lalu menamparnya. Tanpa menghiraukan Raka sedikitpun, Alisya langsung melenggang ke kamar mandi setelah mengambil pakaian di lemari.

Sementara Raka yang sedang berhadapan dengan leptopnya, sesekali melirik sang istri yang sedang mondar-mandir mengambil barang. Bohong jika tidak memikirkan Alisya, sejak melihat pipi wanita itu memerah tadi. Raka merasa sangat bersalah.

'Apa pipinya baik-baik saja?' tanya Raka dalam hatinya, pasalnya tamparan yang dia layangkan tadi bukanlah tamparan biasa. Tapi itu sangat keras seperti ada tenaga dalam, Raka sering melakukan itu pada karyawannya jika melakukan kesalan dan pasti mereka akan berakhir dengan mimisan.

Beberapa menit kemudian Alisya keluar dari kamar mandi, sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Netranya melihat Raka sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah nampan berisi makanan, Alisya berusaha tidak peduli. Melangkah melewati Raka begitu saja menuju meja riasnya.

"Sya!" panggil Raka.

"Hm."

"Marah?"

Apa ini? Apakah harus Raka menanyakan hal yang sudah pasti dia tahu jawabannya? Alisya hanya mendengus kesal, lalu menggelengkan kepalanya. Melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambut.

Sementara Raka menghela napasnya kasar, meletakkan nampan ditangannya ke atas nakas. Kemudian dia turun dari ranjang, melangkahkan kaki menghampiri Alisya. Tanpa izin tangannya melingkar di tubuh Alisya, memeluknya dari belakang dengan erat.

"Ka, kamu apaan sih. Sana tidur duluan aja, aku masih mau ngeringin rambut," gerutu Alisya berusaha menjauhkan kepala Raka yang bertengger di pundaknya.

Bukannya menjauh Raka justru menenggelamkan kepalanya diceruk leher Alisya. "Jangan marah, aku minta maaf ya," bisiknya tepat disamping telinga Alisya.

Alisya diam, enggan menanggapinya. Saat ini hati dan pikirannya tidak sejalur, dimana hatinya mengatakan iya tapi pikirannya mengatakan tidak.

"Sya, sakit ya. Aku minta maaf ya." Raka kembali membuka suaranya, membelai lembut pipi Alisya yang memerah karena ulahnya.

Alisya tetap diam seraya menundukkan kepala.

Lama tidak mendapatkan jawaban, Raka pun bangkit dari posisinya. Menghela napasnya pasrah, lalu tersenyum tipis menatap Alisya dari pantulan cermin. "Aku tau, Sya. Aku memang nggak layak dapetin maaf dari kamu, aku udah sering nyakitin kamu. Tapi kamu harus tau satu hal, aku cuma cinta sama kamu," ucapnya sambil mengecup pucuk kepala Alisya dari belakang, lalu berbalik hendak pergi dari sana.

Grep...

Langkah Raka terhenti saat dia merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya, memeluknya dari belakang dengan hangat. Tak terasa sudut bibirnya terangkat sempurna membentuk senyuman lebar diwajahnya.

"Iya, aku maafin. Jangan kasar lagi, aku takut." Alisya lemah, dia tidak bisa berlama lama marah pada Raka. Hanya ada satu alasan kenapa dia melakukan hal bodoh itu berkali kali, Alisya tidak mau kehilangan lagi.

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Raka."

Raka berbalik menangkup kedua pipi Alisya, sangat jelas pipi kanan Alisya memerah membuat Raka meringis melihatnya. "Aku obatin ya, dan maaf," ucapnya tulus, menarik Alisya kembali kedalam pelukannya. Mendekap sang istri dengan erat.

'Maafin aku, Sya. Maaf.'