webnovel

Pernikahan Pahit

Ketika pernikahan tidak bahagia, apakah orang ketiga menjadi solusinya? Laura menerima lamaran dari Christian, sebab merasa berhutang budi pada laki-laki yang sudah menyelamatkan nyawa ayahnya itu Namun satu tahun berlalu, pernikahan indah yang diimpikan Laura hancur karena penghianatan yang dilakukan olehnya sendiri. Laura berselingkuh dengan Aldi penyanyi yang bekerja di kafe yang diberikan Christian untuknya. Tapi penghianatan Laura bukanlah tanpa sebab. Karena selama satu tahun menikah, Christian tak pernah memperlakukannya seperti seorang istri pada umumnya.

Rita_sw10 · Urban
Not enough ratings
27 Chs

Kehidupan Yang Sulit

"Laura, kamu kah itu?"

Suara seorang pria paruh baya mengalihkan perhatian Laura.

Dan suara itu adalah suara ayahnya yang kebetulan sedang lewat di sana.

"Ayah sudah bekerja? Ayah sehat kan?" tanya Laura sembari menghampiri ayahnya.

"Iya ayah sangat sehat. Tapi apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu ke sini untuk menemui suamimu?"

"Ah, enggak. Aku cuma kebetulan mengantarkan pesanan kopi ke sini. Jadi sekalian aku buatkan untuk Chriatian," jawab Laura.

"Pak Rizal, mana properti yang ku minta?" ucap salah seorang staff produksi yang kebetulan melintas di sana.

"Ah iya, baik. Aku akan segera ambil," jawab Pak Rizal.

"Maaf Laura, ayah hari ini sedang sibuk. Jadi kita lanjutkan nanti saja ya ngobrolnya," ucap Pak Rizal kemudian berlari untuk mengambil barang yang di minta oleh tim produksi.

Bukannya pergi, Laura malah mengejar ayahnya.

"Apa yang kamu lakukan? Ayah kan sudah menyuruhmu untuk pergi," kata Pak Rizal heran melihat putrinya malah mengikutinya ke gudang.

"Aku masih ada waktu, jadi aku akan membantu ayah sebentar. Lalu apa saja yang harus kita bawa?" tanya Laura.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Kamu bisa bawakan kotak berisi bola-bola kecil yang ada di sana. Dan ayah akan membawa buku-buku ini," kata Pak Rizal.

Eliza lalu mengambil kotak yang di maksud oleh ayahnya.

Kemudian mereka keluar bersama untuk menuju ruang produksi.

"Kamu nggak keberatan kan membawanya Laura?" tanya Pak Rizal yang mengkhawatirkan putrinya.

"Nggak ayah, Laura kan masih muda jadi masih punya banyak tenaga. Justru ayah sepertinya yang merasa keberatan," jawab Laura.

Dia memandangi ayahnya yang memang nampak kesulitan.

"Nggak, ayah sudah terbiasa," jawab Pak Rizal.

"Apa pekerjaan ayah setiap hari memang sesulit ini?" tanya Laura tiba-tiba.

"Nggak ada pekerjaan yang mudah di dunia ini. Semua tergantung dari bagaimana kita menjalaninya. Dan ayah menikmatinya semua pekerjaan ayah selama ini,"

Jawaban dari ayahnya menyesakkan hati Laura.

Selama bertahun-tahun baru kali ini dia mengetahui apa pekerjaan ayahnya di perusahaan.

Dia pikir selama ini semua orang yang bekerja di sebuah kantor pasti bekerja dengan nyaman.

Tapi ternyata pikirannya selama ini salah.

Langkahnya terhenti, dia memandangi punggung ayahnya yang masih terus berjalan.

Mengapa baru kali ini dia tersadar jika ayahnya sudah semakin tua?

Bahkan sebelumnya dia masih tetap bekerja sambil menahan sakit kronisnya.

Sungguh tidak terbayangkan bagaimana kesulitannya ia selama ini.

"Kenapa kamu berhenti? Ruang produksinya masih di depan,"

Suara dari ayahnya menyadarkan lamunan Laura.

Dia bergegas menghampiri ayahnya dan kembali meneruskan perjalanannya menuju ruang produksi.

"Sampai di sini saja. Karena selain staff tidak boleh masuk," kata Pak Rizal.

Dan Laura hanya mengangguk menuruti apa perkataan ayahnya.

Namun dia tidak langsung pergi dari sana.

Dia masih ingin melihat ayahnya.

Dari depan pintu yang sedikit terbuka, Laura melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Ayahnya terus mondar-mandir mengikuti interupsi dari para staff produksi.

Mereka terus saja menyuruhnya mengambil ini dan itu.

Sungguh pemandangan yang membuatnya miris melihatnya.

"Memang keterlaluan ya Pak Christian. Lihat tuh, mertuanya masih saja jadi kacung di perusahaan menantunya," kata salah seorang staff wanita yang berdiri di depan Laura.

"Iya kamu benar. Malah lebih parah lagi, kata orang-orang tadi istrinya ke sini mengantar pesanan kopi. Padahal dia istri direktur kenapa dia masih bekerja di kedai kopi kecil. Sungguh bikin malu saja," timpal wanita satunya.

Laura sungguh terkejut mendengar percakapan mereka.

Dia tidak menyangka jika orang-orang yang bekerja di sini sibuk menggunjingkan suami dan ayahnya.

Air mata Laura memaksa ingin keluar.

Namun sekuat tenaga ia tahan.

Karena tak sanggup lagi mendengar hinaan dari mereka Laura lalu keluar dari kantor.

"Apakah sehina ini pekerjaanku dan ayah? Kenapa mereka memandang rendah pekerjaan kami? Apa salah kami?" gumam Laura.

Dia memandangi dirinya melalui kaca spion motor.

"Apa aku harus meminta Christian untuk menyuruh ayah berhenti bekerja? Aku bisa membiayai hidupnya dengan masih menjadi pekerja kafe. Tapi ayah pasti akan sedih jika tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya,"

Karena belum menemukan jawaban dari kebimbangannya akhirnya Laura putuskan untuk kembali ke kafe.

***

Christian memandangi interior kafe yang ia kunjungi.

Sejak ia bertemu dengan Laura beberapa bulan silam, ia terus saja terbayang wanita itu.

Entah apa yang ada di pikirannya, tapi saat ia tidak sengaja melihat bekas kafe yang dijual ia langsung membelinya.

Dan saat Laura menerima lamarannya, dia putuskan untuk memberikan kafe itu sebagai hadiah untuk wanita itu.

Baru hari ini kafe itu selesai di renovasi.

Kafe itu di design dengan nuansa minimalis.

Interior berwarna abu-abu dan putih serta tempat duduk berwarna merah maroon.

Dan terdapat jendela kaca besar di empat sisi sudut kafe.

Serta sebuah panggung mini untuk live musik.

Christian sangat puas dengan design kafe ini.

Dia tidak sabar ingin menunjukkannya kepada Laura.

Jadi istrinya itu tidak perlu lagi bekerja di sebuah kafe kecil.

Karena sebentar lagi dia akan memiliki kafe miliknya sendiri.

Sebelum pergi dari sana Christian mengamati papan nama kafe yang terpampang di luar gedung.

Memastikan tidak ada kesalahan dalam penulisannya.

Tempat itu Ia beri nama Lau's Cafe.

Semoga saja Laura suka dengan nama itu, pikir Christian.

Kini dia hanya tinggal menjemput Laura di tempat kerjanya.

Dia sangat tidak sabar menunggu reaksi dari istrinya saat melihat hadiah kejutan darinya.

Tepat saat ia tiba di sana, Laura langsung keluar dari kafe tempat ia bekerja.

Dia lalu masuk ke dalam mobil Christian.

Meskipun Laura belum sepenuhnya melupakan kejadian siang tadi, tapi dia tidak ingin suaminya itu khawatir padanya.

Masalah yang ia hadapi cukup ia simpan saja untuk dirinya sendiri.

"Jadi kita mau ke mana?" tanya Laura saat mobil Christian mulai berjalan.

"Tunggu saja. Nanti kamu akan tahu," jawab Christian seadanya.

Sungguh dia bukan tipe orang yang pandai merangkai kata-kata manis.

Padahal bukan keinginnya untuk mengatakan hal dingin pada Laura.

Dia sudah terkadang berlatih untuk berbicara lebih manis, tapi saat dia sudah berada di depan wanita itu mendadak semua yang ia ucapkan berbeda dengan apa yang ia pikirkan.

Entah sampai kapan ia akan menjadi orang yang dingin seperti ini.

Namun ia berharap Laura akan menunggu hingga ia siap berubah menjadi orang yang lebih baik.

Laura mengerutkan keningnya saat mobil Christian tiba di pelataran pemakaman.

"Jadi dia mau mengajakku ke sini? Hmm bukan maksudku untuk menolak ajakannya mengunjungi mendiang istrinya. Tapi karena ternyata hal ini gak sesuai dengan ekspektasi ku saja," batin Laura saat ia ikut turun dari mobil Christian.

"Karena lewat sini, jadi kita mampir ke sini sebentar," kata Christian.

Lagi-lagi dia bisa tahu apa yang Laura pikirkan tanpa harus menanyakannya.

Laura hanya memandangi suaminya yang tampak masih begitu mencintai mendiang istrinya itu.

Dia tidak tahu sampai kapan dia harus menjadi nomer dua setelah wanita itu.