webnovel

Perfect (Crazy Ex-Husband)

zhaErza · Urban
Not enough ratings
6 Chs

5. Kesempatan

Keluarga yang utuh, itulah yang diinginkan Siera, dan karena telah mendapatkan hari-hari yang diinginkan, si gadis kecil pun merasa teramat bahagia sekarang. Beberapa waktu lalu, Selena melihat anaknya sering murung dan dirundung duka, terkadang kesal dan begitu marah di saat Jhonatan datang ke rumah mereka. Apalagi ketika Siera melihat cincin di jari manis sang mama, anak perempuan berusia sepuluh tahun itu histeris bukan main, beranggapan bahwa Selena mau mencarikan papa baru untuk menggantikan Andrew. 

Hingga Siera pun jatuh sakit, suhu tubuh meninggi dan gadis kecil itu tidak mau menyentuh makanan yang telah Selena buatkan. Di rumah sakit pun, Siera selalu menangis, apalagi ketika masih menemukan sebuah cincin di jari manis sang mama, tetapi semua ketakutan itu sirna ketika Andrew datang dan memeluk tubuh putri kecil mereka. 

Selena pun berpikir, cincin ini lebih baik ia simpan saja, toh ia hanya menerima cincin tersebut dan bukan perasaan Jhonatan. 

Sekarang kalung berbandul cosmos ada di leher Selena, ia tahu maksud Andrew memberikan hal ini, bunga cosmos yang berarti semesta. Andrew menganggap Selena sebagai semesta lelaki itu, walau ia tidak tahu bagaimana kelakuan sang mantan suami di luar sana sekarang, ia masih merasakan betapa sang pria amat menginginkannya. 

Di rumah yang besar ini, mereka kembali tinggal bersama, dan sampai sampai sekarang telah bersama-sama selama dua minggu lebih, Andrew memang masih belum menunjukkan perlakuan yang membuatnya akan bertindak untuk menyuruh lelaki itu pergi. Karena hal itu, Selena mensyukuri di dalam hati kecilnya.

"Kau melamun lagi," si lelaki yang sempat ia pikirkan berbicara. 

Malam telah menjelang, Selena telah siap untuk tidur, tetapi beban ini membuatnya ingin menikmati angin malam sejenak dari balik jendela. 

Berada di depan jendela yang terbuka lebar, Selena menoleh saat mendengar suara Andrew begitu dekat dengan di telinga, bahkan mungkin hanya terpisah beberapa senti meter saja. 

"Kau masuk tanpa izin lagi, dan aku mulai tak nyaman." Selena berbisik, mata mreka saling menatap dalam.

Mengembuskan napas sejenak, Andrew yang awalnya di belakang tubuh sang wanita, berpindah ke samping, ia kini memakai sweeter biru gelap, kemudian menaruh kedua tangan di jendela untuk menyangga tubuh. 

"Aku telah mengetuk, tetapi kau terpenjara dalam khayalmu, Selena. Memang apa yang tengah kau pikirkan? Kutebak, itu adalah diriku?" 

Menyeringai kecil, Andrew bergumam maaf karena membuat Selena tak suka dengan perkataannya.

"Kau mengira siapa yang menjadi biang dari semua ini, Andrew." 

Menoleh, Andrew melihat mata Selena berkaca-kaca, sebelum wanita itu menahan dan mengendalikan emosi agar tak tertampakkan lagi. Tatapannya berpindah, memandangi langit yang gelap dan berawan, seperti akan hujan di musim semi yang hangat ini. 

Telapak tangan Andrew mengepal, kemudian ia bergerak perlahan untuk menggenggam punggung tangan Selena. Wanita itu lantas terkejut bukan main, tidak menyangka dirinya akan melakukan hal semacam ini setelah sekian lama tidak membuat sesuatu yang memancing Selena untuk marah atau ingin menghardik. 

Tangan Selana langsung ditarik, tak menginginkan Andrew menyentuh lebih jauh lagi dan lantas membuat pupil mata emerald milik sang lelaki membesar sekejab, sebelum kembali seperti semula.

"Apakah aku memang tidak memiliki kesempatan lagi?" tanya Andrew, tepatnya lebih kepada diri sendiri dengan bisikan, tetapi tentu saja Selena bisa mendengar hal itu. 

Wanita itu menghela napas, kemudian mengatakan kepada Andrew agar sebaiknya mereka beristirahat karena telah larut. Berbalik dan memutuskan meninggalkan jendela, Selena malah merasakan lengan atas ditahan oleh sosok di belakangnya. Ia menoleh dan melihat tatapan emerald yang menyimpan rasa sakit dan kecewa, lagi-lagi membuat Selena merasa bersalah. 

"Andrew, lepaskan. Kau terlihat lelah." 

Bukan mengindahkan, lelaki itu malah menarik Selena ke dalam dekapan. Punggungnya lantas terkaku karena menyentuh dada Andrew yang hangat, laki-laki itu memeluknya begitu erat seolah takut kehilangan sosok Selena. 

"Apa tidak ada cara lain, Selena?

Laki-laki itu terlihat putus asa, menjatuhkan kepala di pundak Selena dan menghirup wanginya sesaat. Dapat ia dengarkan detak jantung Andrew yang bertalu, tubuh laki-laki itu pun sedikit gemetaran entah karena sedang merasa tertekan atau bagaimana. Apalagi ketika menyadari Selena mencoba melepaskan diri, Andrew semakin terlihat ketakutan dan mengeratkan pelukan. 

"Lepaskan," bisik Selena. 

"Jawab pertanyaanku, apakah tidak ada kesempatan bagiku, Selena?" 

Memejamkan mata sejenak, Selena pun mengatakan bahwa ia tidak ingin membahas hal ini lagi. Apalagi sudah lima tahun status perceraian di antara mereka berdua, harapan apa lagi yang ingin digapai oleh Andrew karena mereka telah selesai sejak dahulu. 

Dengan perlahan, sang pria melepas tubuhnya, tangan Andrew terlihat mengepal dan laki-laki itu menghindari tatapan Selena. Tidak banyak berbicara, dia lantas pergi menginggalkan si wanita seorang diri di kamar ini. Tidak memedulikan jikalau Selena memandangi punggung tegap itu dengan tatapan khawatir.  

Memijat kepala, Selena mendudukkan diri di atas ranjang. Kenapa Andrew selalu tidak mau mengerti dan mengharapkan sesuatu yang jelas sangat tidak mungkin untuk diperbaiki? 

Selena tak ingin Andrew terjebak terus menerus bersamanya dan kembali seperti dahulu, sebab laki-laki itu pasti akan berulah ketika terlalu dekat dengan Selena ataupun Siera. 

Ya, lebih baik seperti ini. Baik Selena maupun Andrew, mereka sudah tidak ditakdirkan untuk bersama lagi.

***

Esok harinya Andrew tidak terlihat sama sekali di tempat ini, Selena sebenaranya khawatir, tetapi ia mencoba menepis bahwa mungkin saja memang sang mantan suami sengaja menghindari. Jadi, kali ini ia hanya makan berdua bersama Siera, tentu gadis kecilnya bertanya kehadiran sang papa, dan Selena hanya menjelaskan bahwa lelaki itu telah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. 

Siera agak kecewa, padahal dia ingin makan bersama Andrew dan pergi sekolah diantar oleh kedua orang tua. 

"Tidak apa, Sayang. Kau harus memaklumi pekerjaan papamu, ok." 

Menganggukkan kepala, Siera pun tersenyum kembali dan menerima ciuman Selena di dahi, sebelum gadis kecil itu melambaikan tangan dan melihat mamanya menghilang di ujung koridor. 

Seperti yang Selena harapkan, di tempat bekerja, pagi-pagi telah duduk Karin yang datang karena permintaannya sendiri. Ia begitu berterimakasih karena wanita itu mau mengabulkan keinginan Selena untuk berjumpa. Masuk ke ruangan, ia memilih untuk mendudukkan diri di sofa. 

Wanita itu tidak mau dibuatkan teh atau minuman hangat lain, dirinya malah meminta air mineral saja. Mungkin tidak ingin membuat adik dari sang kekasih kerepotan. 

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Selena. Kau bisa menceritakan apa yang kau mau dan kau anggap mengganjal di hatimu. Mungkin walau aku tidak banyak membantu, setidaknya kau akan merasa lega karena telah mengutarakan beban hatimu." 

Karin dengan santai meneguk langsung air mineral dari botol, menatap wanita yang berusia tiga puluh dua tahun yang terlihat tengah mengembuskan napas dan memijat batang hidung. 

"Aku benar-benar bingung dengan diriku sendiri, Karin. Di satu sisi aku benar-benar mengkhawatirkannya, tetapi di satu sisi yang lain aku harus tegas kepada dirinya dan juga diriku."

Ia terdiam sejenak, Karin sama sekali tidak menjawab pernyataan itu. 

"Siera menginginkan keberadaan Andrew, tetapi aku takut di suatu waktu anakku akan melihat papanya melakukan hal yang mengerikan. Mungkin, saat ini Andrew masih bisa mengendalikan dirinya, tetapi rasa waswas membuatku benar-benar tertekan."

Tubuh Selena terasa bergetar hingga air mata lantas menggenang. Bagaimanapun ia sedang dihadapkan dalam kondisi yang begitu sulit untuk dipilih, semua pilihan yang ada di dalam kepala Selena sangat berisiko. 

Mengambil napas sejenak, Selena melanjutkan ungkapan hati tersebut, mengutarakan apa yang menjadi beban dan merongrong diri selama ini. Karin terus mendengarkan, mata yang cokelat terang kini menatap fokus sang wanita yang mencoba menegarkan diri. Setelah dirasa selasai, Karin menuangkan teh hangat yang ada di teko, dan memberikan kepada Selena. Ia menyuruh agar adik kekasihnya itu menenangkan diri sejenak sembari menyesab teh hangat agar pikiran menjadi rileks. 

Setelah tampak lebih baik, Karin mulai menanyai bagaimana persaan Selena setelah menceritakan curahan hati tersebut. 

"Aku merasa bebanku agak berkurang." 

"Yang kau butuhkan saat ini memanglah seorang pendengar yang baik, Selena. Aku tidak bisa banyak berkomentar, sebab aku tidak mengenal baik bagaimana Andrew itu. Kau tahu aku hanyalah orang baru di kisah ini. Namun, aku menyarankan agar kau memikirkan masak-masak untuk mengambil keputusan dan merencanakan ke depannya harus bagaimana."

Wanita itu mengerutkan alis dan terus mendengera nasihat dari Karin. 

"Selama ini aku mendengar sesuatu yang kurang mengenakkan tentang Andrew—maaf, kutahu yang lebih tahu adalah kau, Selena. Jadi, kalau memang kau ingin kembali bersama Andrew demi Siera, kau harus tahu konsekuensinya. Bahwa mantan suamimu belum sembuh dari gangguan yang diderita, dan pasti ada kemungkinan-kemungkinan seperti yang kau ceritakan. Namun, jika kau memutuskan untuk berpisah, maka jangan biarkan Andrew terlalu dekat denganmu atau Siera lagi." 

Ya, Selena memahami kenapa Karin mengatakan hal demikian. Sebab, Andrew memang tidak berbahaya jika bersama mereka, laki-laki itu akan cenderung menjauh ketika merasa ada yang tak beres terjadi pada diri sendiri. Namun, Andrew bisa berubah bengis jika melihat orang lain tiba-tiba menyakiti Selena atau Siera, baik sengaja atau pun tidak. Bahkan di suatu waktu, Andrew bisa tidak membiarkan Selena untuk tidak menatap yang lain. 

Mungkin akan tiba saatnya, di mana Andrew memilih siapa yang lebih penting antara dirinya dan Siera. Ketakutan tiba-tiba datang, tubuh Selena kembali bergetar hebat, sebelum tiba-tiba saja dirinya disadarkan oleh Karin. 

"Selena, apa yang kau pikirkan hingga seperti ini?" 

"Aku... aku takut, bahwa Andrew akan memilih salah satu di antara kami, Karin." 

Bola mata cokelat terang itu membelalak, kemudian wanita itu mengertukan alis dalam. 

Sekarang semua menjadi rumit, mereka tidak akan tahu jika tidak membawa Andrew ke rumah sakit khusus kejiwaan atau jika laki-laki itu tidak mau, bisa saja ke sebuah rumah praktek psikiatris. 

"Andrew bilang dia telah melakukannya dan masih mencoba agar bisa sembuh, tetapi yang aku dapati dia selalu mengambil kesempatan dengan melibatkan Seira."

Karin tidak bisa mengatakan apa-apa, dia takut mengatakan sesuatu yang tidak semestinya dan malah berakibat fatal. 

"Dengar, tentang Andrew, kau lah yang paling tahu tentang dirinya, Selena. Maka dari itu, mungkin kau harus memberinya waktu, seperti katamu mungkin saja memang ia telah berubah, kita jelas belum bisa memutuskan sesuatu kalau belum menemukan sesuatu pula, bukan? Untuk dirimu, dengarkan isi hatimu, Selena. Mungkin, yang paling tepat untuk memberimu nasihat tentang masalah ini adalah seorang ahli, psikologi maksudku." 

Tersenyum kecil, Selena mengangguk. 

"Terima kasih, Karin. Dengan begini saja kau sudah cukup membantu. Benar, mungkin aku memang harus berkonsultasi, begitu juga dengan Andrew." 

Benar, Andrew sedang berjuang untuk sembuh, bukan. Kenapa dia tidak mendukung, tetapi malah menghakimi bahwa tindakan yang laki-laki itu lakukan menunjukkan bahwa dia tidak berubah. Seharusnya dia bersabar, mungkin saja Andrew yang dulu akan kembali. 

Senyuman lelah tergambar di wajah Selena, kembali bertanya-tanya, benarkan Andrew akan kembali seperti dahulu? Mata emerald yang bersinar menunjukkan kehangatan, bukan rasa sakit, kecewa, begitu dingin, kelam dan terluka. 

.

.

.

Bersambung