webnovel

Perfect (Crazy Ex-Husband)

zhaErza · Urban
Not enough ratings
6 Chs

6. Motivasi

Ketika ingin menjemput Siera, gadis kecil itu ternyata telah menghubungi ponsel Selena dengan telepon rumah yang berarti bahwa Andrew telah menjemput sang putri. Bergegas pulang, ia pun membuka pintu dan tidak mendapati kedua orang yang seharusnya berada di sini, bertanya kepada pelayan, ternyata mereka tengah berada di kamar Siera. 

Membuka pintu, Selena melihat si lelaki tengah menyisir rambut sang putri, kemudian mengucir menjadi dua bagian. Andrew dan Siera menatap terkejut kehadiran Selena yang tiba-tiba, sebelum tersenyum cerah karena kepulangan wanita yang mereka tunggu. 

Siera lantas berlari, memeluk Selena dan meceritakan sore indah bersama sang papa. Sedang lelaki itu sendiri berdiri, kemudian melangkah mendekati dengan senyuman di bibir. 

Tidak ada yang salah dari Andrew, batin Selena dengan khawatiran di dada. 

Ketika matahari telah terbenam dan langit digantikan dengan gemintang yang bertabur indah, setelah Siera tertidur, Selena pun memutuskan untuk berbicara kepada sang mantan suami. Laki-laki itu lantas mengiyakan, dan mereka menuju ke kamar Andrew sebab di sana jaraknya agak jauh dari ruangan tidur sang putri. 

Memutuskan duduk di sofa, Selena memulai pembicaraan dengan permintaan maaf, sebab semenjak bercerai dari Andrew, ia sadar sikapnya tidak terlalu bersahabat dengan lelaki itu. Terkadang ia ketus, dingin dan tidak mau peduli. Hanya di depan Siera saja lah ia bisa memperlakukan laki-laki itu dengan pantas dan layaknya orang yang mereka sayangi. 

"Sudahlah, yang terpenting sekarang kita sebisa mungkin jangan berperang dingin lagi. Aku juga meminta maaf jika selama ini membuatmu tidak nyaman, Selena." Tangan Andrew saling menggenggam satu sama lain, kemudian laki-laki itu terlihat seperti menguatkan diri sebelum mengutarakan sesuatu. "Maafkan aku, sebab aku bahkan keseringan tidak sadar melakukan hal-hal yang membuat hatimu terluka dan membenciku, Selena."

Wanita itu menggeleng, memahami Andrew yang sekarang teramat kecewa dengan diri sendiri. 

"Semua itu di luar kesengajaanmu, Andrew. Namun, kalau bisa mari kita coba untuk menyembuhkannya." Selena berkata penuh harap, ia dapat melihat sorot mata Andrew menghangat, terlihat begitu lega karena telah diterima. Walau untuk mengembalikan hubungan seperti dahulu terlalu sulit untuk dilakukan oleh mereka berdua. 

"Aku masih tahap kontrol, Selena. Sekarang mungkin bagiku hasilnya sudah cukup terlihat, aku tidak terlalu gampang membanyangkan mereka yang mengutukku." 

"Andrew," bisik Selena, wanita itu menatap sang lelaki prihatin. Mencoba menguatkan, ia mengusap punggung Andrew dengan perlahan. 

"Kalau begitu kau semakin membaik, jadi kalau ada yang membuatmu gundah, kau bisa menceritakan perasaanmu padaku." 

Menganggukkan kepala, ia yang sejak tadi tertunduk menatap jari-jari tangan yang saling menggenggam, pun menampakkan wajah dan membalas senyuman Selena dengan agak dipaksakan. 

Sebenarnya sekarang Andrew sedang agak kecewa, mungkin karena harapa yang terlalu besar. Apalagi motivasi untuk sembuh selama ini adalah Selena sendiri dan juga sang putri. Entah bagaimana nanti, jika saatnya tiba pasti ia akan bersegera pindah dari tempat ini lagi, sebab tidak mungkin tinggal terus-terusan di kediaman ini. Siera akan semakin dewasa dari hari ke hari, gadis kecil itu kemunkinan mulai bisa menerima status mereka yang bercerai ketika beranjak remaja nanti.

Menghela napas, Andrew mengatakan agar sebaiknya mereka beristirahat sebab malam pun kian melarut. 

Setelah wanita itu keluar dari kamar, Andrew lantas berdiri, melangkah menuju jendela dan menatap rembulan yang bersinar setengah. 

"Yang terpenting adalah sembuh dan tidak mengecewakan mereka, tetapi apakah mungkin...." 

***

Pagi hari ini adalah saat yang tak terduga bagi Selena, pasalnya tiba-tiba saja sang sahabat yang selalu di luar negeri tanpa mengabari terlebih dahulu berkunjung ke kediaman Selena. 

Marcus, laki-laki itu sudah terlalu lama berada di belahan negera lain, berada di Jepang di pusat kota Tokyo tepatnya, nyaris lima tahun lebih fokus kepada perusahaan yang dikembangkan di sana, hingga hanya sempat bertukar kabar melalu email saja. 

Laki-laki itu memencet bel beberapa kali, dan mendapati sosok lelaki yang cukup tinggi melebihnya membukakan pintu dan menatap kehadiran tak terduga ini dengan alis berkerut. Ia mengenal mengingat sosok itu, walau sekarang terlihat lebih dewasa tentu saja. Dengan senyum ramah, Marcus langsung menebak bahwa dia adalah Andrew yang dia ingat merupakan suami Selena. 

"Ah, apa kabar? Lama sekali tidak berjumpa Tuan Clay." Marcus mengulurkan tangannya, dan mereka berjabat tangan.

"Aku baik-baik saja, terima kasih, Tuan Wintze." 

Terdiam sejenak, kemudian Andrew menyuruh sang lelaki masuk. Ia pun meminta pelayan agar memanggilkan Selena yang sedang berada di kamar putrinya. Beberapa saat setelah menyuruh Marcus duduk di sofa, wanita itu datang dengan membawa anak mereka. 

Terkejud bukan main, Selena langsung menyebutkan nama Marcus sambil berteriak, laki-laki itu lantas tertawa kecil dan berdiri untuk memeluk sahabat karib yang sudah lima tahun lebih tidak berjumpa. 

"Berani sekali kau tidak mengabari?" 

"Maaf, kalau memberi tahu, itu namanya bukan kejutan. Dan hei, siapa gadis manis ini." Menundukkan tubuh, Marcus tersenyum. "Lihatlah, dia mirip sekali dengan Tuan Clay, sangat indah dengan matamu yang emerald. Namun, aku juga bisa menemukan wajah Selena di pipi kemerahan ini. Kau benar-benar anak papa dan mamamu, Manis." 

Siera tersenyum malu, tidak seperti Jhonatan yang pernah didengar bahwa laki-laki itu ingin menikahi mamanya. Marcus terlihat biasa saja kepada Selena, malahan mendukung kedekatan orang tuanya dengan mengatakan bahwa wajahnya mirip mereka berdua. 

"Terima kasih, Paman." 

"Siapa namamu?" Marcus telah berjongkok, menjulurkan tangannya dan bersalaman dengan tangan yang lebih kecil milik Siera. 

"Siera Clay, Paman Marcus." 

Berdiri, kemudian ia menatap Selena dan Andrew bergantian, juga Siera. 

"Ah, kalian ingin berangkat bekerja sepertinya, begitu juga dengan Siera. Kalau begitu, aku akan ke galeri. Kau juga, Selena. Setelah mengantarkan putri kalian, sebaiknya segera ke sana, ada yang ingin kubahas tentang pekerjaan." Berjalan bersama keluar rumah, kemudian Marcus berbicara lagi. "Oh, ya. Aku bawa oleh-oleh dari Tokyo, tapi sepertinya kurir belum sampai juga." Laki-laki itu menatap jam tangannya. 

"Memangnya apa yang ingin kau berikan, Marcus?" 

Tertawa kecil, Marcus hanya mengendikkan bahu dan berkata itu adalah kejutan. 

***

Bersambung