webnovel

BAB 17 SANG PENGGODA

BAB 17 SANG PENGGODA

Raihan mengusap wajahnya. Hari yang panjang untuknya. Di rumah sakit masih banyak yang terkena demam tinggi dan butuh penanganan dengan intensif. Makanya dia tadi berangkat sangt pagi dan meninggalkn Novia di rumahnya Aslan.

"Dokter..kebetulan ketemu di sini."

Raihan menoleh ke sampingnya saat dia melangkah keluar dari poli anak. Sosok wanita yang selama ini akrab dengannya menampakkan senyum manisnya.

"Rania."

Raihan menganggukkan kepala. Wanita yang disebut namanya itu kini tersenyum lagi.

"Makan siang? Udah lama kita nggak makan bareng."

Raihan mengernyitkan kening saat mendengar ucapan wanita yang selama ini telah menjadi temannya.

Wanita itu bekerja sebagai salah satu staf di rumah sakit ini. Raihan sebenarnya awalnya merasa nyaman mengobrol dengan Rania. Wanita ini cerdas. Jadi bisa diajak berbicara tentang apapun. Tapi itu dulu, saat Raihan merasa sangat kesepian. Di awal-awal dia ditinggal Novia ke London.

Hanya saja selama hampir satu tahun ini Raihan memang menarik diri dari keakraban dengan Rania. Dia tahu itu salah, meski mereka hanya sebatas teman kerja yang sesekali makan siang bersama. Raihan tahu itu melanggar aturan untuknya karena sebagai pria beristri itu tidak baik dilakukan.

"Ehmm aku sibuk."

Raihan kini menghentikan langkahnya dan mengusap tengkuknya. Dia tidak mau menyakiti wanita.

Tatapan Rania tampak kecewa.

"Biasanya juga masih bisa meluangkan waktu. Bagaimana kabar istri dokter?"

Raihan tahu, dia sudah berbicara banyak kepada Rania. Di hari-hari saat Raihan merindukan Novia, dia memang sering bercerita tentang istrinya itu kepada Rania.

"Ehmm dia sudah pulang ke sini."

Jawabannya itu membuat Rania sedikit mengernyit.

"Dokter menerima?"

Pertanyaan itu membuat Raihan langsung menganggukkan kepala.

"Buat apa saya menolak? Dia istri saya dan saya mencintainya."

Raihan mulai tak nyaman dengan Rania. Dia tahu, waktu itu pernah curhat tentang perasaannya kepada Rania. Dan itu salah.

"Saya tahu Dok. Tapi jangan sampai dia membuat anda terpuruk lagi. Saya sakit melihat anda begitu."

Raihan langsung melangkah mundur dan menatap jam yang melingkar di tangannya.

"Maaf. Saya harus pulang."

Wajah Rania makin terlihat kecewa. Tapi Raihan sudah berbalik dan melangkah menjauh. Dia tidak mau berlarut-larut berada di samping Rania. Meski wanita itu pernah membuatnya nyaman.

*****

"Assalamualaikum."

Raihan mengucapkan salam saat menapakkan kaki di teras depan rumah Aslan. Hari sudah sore saat dia sampai di rumah.

"Waalaikumsalam. Om Raiii.."

Lusi langsung menghambur ke arahnya dan mencium tangan Raihan yang langsung membuat Raihan mencubit pipi gembil Lusi.

"Apa kabar ponakan om yang paling cantik?"

Lusi langsung tersenyum senang.

"Baik dong. Dijagain Tante Novia. Mamapia sama Papapia lagi jengukin Kak Serkan dan Atma di pesantren."

Raihan tersenyum mendengar ucapan Lusi.

"Jadi sekarang Tantenya mana?"

Lusi langsung menarik Raihan untuk membungkuk dan gadis itu berbisik di telinganya.

"Jangan gangguin. Tante Novia lagi bobok. Kasihan."

Raihan langsung menganggukkan kepala dan mengeluarkan uang 10 ribu dari saku celananya.

"Anak baik. Nih buat beli permen."

Lusi langsung mengangguk..

"Yeaaaii aseekk. Makasih Omku sayang."

Lusi langsung mengecup pipi Raihan dan berlari meninggalkannya. Raihan tersenyum saat melihat tingkah putri bungsunya Aslan itu.

Saat dia melangkah masuk ke dalam kamar dia terkejut mendapati Novia sedang duduk di kursi rodanya dan baru belajar untuk berdiri. Hal itu membuat Raihan panik lalu langsung menghambur ke arah Novia.

"Adek."

Raihan dengan sigap melingkarkan tangannya di pinggang Novia.

"Owh Mas..."

Novia terkejut lalu mengerjap saat menatapnya.

"Kamu mau apa? Kata Lusi kamu sedang tidur?"

Raihan menahan Novia yang masih setengah berdiri itu. Tapi istrinya itu tampak kesakitan. Refleks Raihan langsung menggendong Novia. Yang membuat Novia memekik terkejut.

"Mas aku..."

Tapi Raihan sudah menggendong Novia dan duduk di atas kasur. Alih-alih membaringkan Novia, dia malah kini memangku Novia.

"Kamu mau belajar berdiri?"

Novia menganggukkan kepala tapi dia bisa melihat rona merah di wajah istrinya itu.

"Bilang sama aku kalau mau belajar, aku bawa kamu ke dokter untuk terapi."

Novia kini menatapnya lagi. Mengerjap dengan tersipu hal itu membuat jantung Raihan berdegup kencang. Wanita ini pantas untuk ditunggunya.

"Aku nggak mau merepotkan, Mas. Dari kemarin Mas sibuk. Sekarang saja Mas tampak lelah."

Novia tiba-tiba mengulurkan tangan untuk menyibak helai rambut raihan yang jatuh mengenai kening. Sentuhan itu begitu lembut.

"Aku masih kuat."

Ucapannya itu malah kini membuat Novia tersenyum. Dan hanya dengan begitu Raihan tahu kalau istrinya itu memang pantas untuk dicintainya. Dia merasa sangat menyesal, saat-saat tahun lalu mencoba menepis kesepiannya dengan kehadiran wanita lain. Meski itu sebatas teman berbicara.

"Percaya Mas Raihan kuat. Percaya."

Novia kini menjawab hal itu. Tapi kemudian tangannya melingkar di leher Raihan yang membuatnya terkesiap.

"Apa yang bisa aku lakukan Mas. Untuk menebus semua yang telah kutinggalkan di belakang?"

Raihan mengerjap. Dia menggelengkan kepala dan sadar kalau tidak ada yang bisa mengalihkannya lagi dari seorang Novia. Karena wanita ini adalah tulang rusuknya. Sesuatu yang berharga itu layak dinanti.