webnovel

BAB 16 PERASAAN

BAB 16 PERASAAN

Novia merasa malu karena telah menanyakan hal itu. Raihan tidak memberikan jawaban. Pria itu hanya tersenyum tipis lalu menyuruhnya untuk beristirahat. Dan setelah itu Novia tidak mau menyinggung lagi. Dia akhirnya mencoba untuk bersikap kalau pertanyaan itu tidak diucapkannya.

"Dek..aku mau ke rumah sakit. Hari ini cuti aku sudah habis."

Ucapan Raihan pagi ini langsung membuat Novia yang baru saja terbangun langsung menatap sosok pria yang kini baru saja keluar dari dalam kamar mandi.

Hari masih begitu pagi, mereka baru saja shalat subuh. Tapi Novia tertidur lagi karena kantuk masih menderanya.

"Mau ke rumah sakit?"

Novia mengerjap dan membuat Raihan langsung menganggukkan kepala. Pria itu kini melangkah ke arah lemari pakaian dan mengambil kemeja dan celananya. Novia hanya bisa mengamati sosok Raihan yang tampak dengan sigap mengurus dirinya sendiri.

Hatinya trenyuh karena Raihan seperti tidak mempunyai istri yang membantunya.

"Iya. Kamu aku antar ke rumahnya Mas Aslan ya? Ada Mbak Sofia yang bisa menemani kamu."

Tapi Novia langsung menggelengkan kepala.

"Nggak usah Mas. Aku bisa di rumah."

Raihan langsung menghentikan kegiatannya yang baru saja mengancingkan kemejanya. Pria itu kini melangkah ke arah kasur dan terduduk di sebelahnya.

"Aku nggak mau kamu sendirian."

Novia mencoba untuk tersenyum. Dia tidak suka dianggap lemah.

"Mas, aku selama ini juga bisa kok. Di London aku mandiri, lagipula aku udah dewasa bukan anak kecil lagi."

Raihan mengernyit mendengar ucapannya. Tapi kemudian ponsel milik Raihan berbunyi. Suaminya itu segera merogoh saku celananya dan menjawab tapi dengan tatapan masih mengarah ke wajahnya.

"Ya, Dokter Bowo. Baik saya 20 menit lagi sampai di rumah sakit."

Novia mendengar itu. Dia mengerjap dan menatap kancing kemeja Raihan yang belum dikancingkan. Dengan cepat dia mengulurkan tangan dan mengancingkan sisanya. Raihan menunduk untuk menatap gerakan tangannya meski pria itu masih menelepon. Setelah selesai Novia menarik tangannya dan tatapan mereka bertemu.

Raihan memasukkan ponsel kembali ke celana.

"Kamu aku antar ke Mas Aslan."

****

"Jadi itu udah nggak sakit lagi?"

Novia menggelengkan kepala dan tersenyum kepada lusi. Anak bungsu Aslan dan Sofia itu sejak dia datang ke rumah memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.

Novia memang akhirnya setuju dengan perintah Raihan. Pria itu juga tidak banyak bicara tadi saat mengantarkannya ke rumah Aslan.

"Lusi, jangan tanya macam-macam lagi. Kasian Tante Novianya."

Teguran Sofia membuat putri bungsunya itu kini hanya menyeringai.

"Kan Lusi pingin tahu, Mamapia."

"Nggak apa-apa Mbak. Saya sudah biasa kok."

Sofia kini duduk di dekat anaknya dan mencoba meminta maaf atas sikap putrinya itu.

"Mamapia, Tante Novia cantik ya? Pantas Om Rai selalu bilang istrinya itu cantik kayak bidadari."

Jantung Novia berdegup kencang mendengar ucapan Lusi. Dia mengerjap saat Sofia langsung tertawa.

"Ih nggak boleh bocorin rahasia. Udah sana minta Papapia nganterin untuk mengaji. Udah sore juga."

Lusi langsung menganggukkan kepala dan beranjak dari tempatnya duduk lalu berlari masuk ke ruangan tengah.

"Udah gak usah dipikirin ucapan Lusi ya? Dia emang bawel."

Sofia menatapnya untuk meminta pengertian. Novia hanya menganggukkan kepala dan tersenyum.

"Mbak, selama 2 setengah tahun Mas Rai pernah bilang kalau dia bosan menunggu saya?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Karena setelah membaca buku milik Raihan yang hanya berisi ungkapan-ungkapan kesepian selama 2 tahun ini, Novia tidak tahu apa yang dirasakan Raihan sebenarnya. Karena dari curahan hatinya itu, Raihan tampak terlihat tersiksa dengan penantiannya.

Sofia menatapnya lekat, saudara ipar Raihan itu kini menghela nafas.

"Selama hampir 3 tahun ini Rai memang sering ke sini, bahkan menginap di sini setelah tidak ada kabar dari kamu selama satu tahun. Kalau aku bilang ehmmm apa ya..."

Sofia tampak mengerutkan kening lalu menatap Novia. Wanita itu tersenyum.

"Kamu wanita yang beruntung. Rai itu pria yang sangat setia. Bahkan ehm maaf, aku dan Mas Aslan pernah menjodohkannya dengan kenalan Mas Aslan. Aku kasihan sama Rai yang tampak kesepian."

Novia tercekat mendengar ucapan Sofia itu. Tapi kemudian tersenyum sedih.

"Saya juga berpikir Mas Rai akan menyerah. Saya sudah pasrah dengan semuanya."

Sofia kini mendekat dan mengulurkan tangan untuk menggenggam jemarinya

"Dia bertahan demi kamu. Meski cobaan banyak sekali datang. Percayalah, dia cinta sama kamu."

Hati Novia makin merepih mendengar hal itu. Dia tidak pantas dicintai seperti ini.

****

Tidurnya resah. Bahkan kini intuk bernafas saja terasa begitu menyakitkan. Kilasan balik saat dia menahan sakit ketika berada di rumah sakit kini seperti roda yang kembali menggelinding. Lalu dia berteriak lagi untuk meminta pertolongan.

"Adek..."

Suara itu mengembalikan kesadaran Novia. Dia terengah dan membuka matanya saat di depannya raut khawatir Raihan terlihat. Pria itu kini langsung merengkuhnya masuk ke dalam pelukan.

"Kamu mimpi buruk lagi."

Novia kini menggelengkan kepala tapi dia tidak bisa bersuara. Masih begitu terasa menyakitkan. Kakinya yang lumpuh bahkan kini terasa begitu nyeri.

"Mau minum?"

Novia kembali menggeleng saat Raihan menyugar rambutnya yang basah karena keringat dingin.

"Ini di mana?"

Novia mengamati sekitar dan dia tahu ini berada di dalam kamar tamu keluarga Aslan. Sudah terlalu malam saat dia menunggu Raihan menjemputnya dan Sofia menyarankan untuk menginap saja.

"Di rumah Mas Aslan. Maaf. Di rumah sakit sedang banyak yang terkena racun makanan. Anak-anak kebanyakan. Jadi aku baru bisa pulang."

Raihan masih meminta maaf kepadanya?

Novia kini merintih kesakitan lagi. Dia mencoba meredakan rasa sakit itu tapi Raihan sudah melihatnya.

"Kamu kesakitan."

Novia menganggukkan kepala dan melihat Raihan khawatir.

"Kita periksa."

Tapi Novia sudah menggelengkan kepalanya.

"Peluk aku aja Mas. Please.."

Raihan tampak ragu-ragu. Tapi kemudian merengkuhnya masuk ke dalam pelukannya. Novia kembali merintih. Rasa sakit itu begitu hebat. Dia mencengkeram kemeja Raihan.

"Husstt.. aku di sini."

Bisikan itu ternyata menenangkannya.

Raihan membuainya beberapa saat sampai akhirnya rasa sakit itu mereda.

"Mas..."

"Ya..."

"Maaf."

Raihan kini melepaskan pelukannya dan menatap Novia.

"Kenapa minta maaf?"

Novia menelan ludahnya untuk menghilangkan rasa ingin menangis.

"Karena mau bertahan selama ini."

Mata Raihan tampak mengerjap tapi pria itu akhirnya menganggukkan kepala.

"Aku tidak ingin kamu menghitung waktu yang telah lalu. Bagiku, cinta itu tanpa perhitungan. Karena aku..."

Raihan kini menatapnya lekat. Membuat jantung Novia berdegup makin kencang.

"Cinta sama kamu tanpa alasan."