webnovel

BAB 06 ISTRIMU

BAB 06 ISTRIMU

"Aku bisa Kak..."

"Hati-hati, Nov."

Novia tersenyum ke arah kakaknya. Hari ini mendung menggantung. Padahal dia ingin ada di taman dan menghirup udara pagi ini.

"Aku bukan anak kecil Kak. Udah dewasa. Bukan lagi Raya dan Lala."

Novia menyebutkan kedua putri kakaknya. Tatapan kakaknya membuat Novia menggelengkan kepala. Dia tidak mau dikasihani.

"Kamu tetep adik kecilku."

Itulah jawaban Bagus, kakaknya yang memang sejak dia berada di London selalu berkomunikasi dengannya.

"Pakai kurk ini kalau kamu sudah bisa menahan dengan kuat Nov. Sementara pakai kursi roda dulu ya?"

Tangan kakaknya menahan sebelah tangannya. Sedangkan tangan Novia kini menahan kurk di sisi sebelah kanannya. Tepat di kaki kanannya yang tidak bisa digerakkan sedikitpun.

"Novi pingin belajar jalan Kak. Udah terlalu lama di kursi roda."

"Iya, kakak tahu. Tapi jangan dipaksakan."

Novia tersenyum dan kini menurut saat kakaknya menuntunnya kembali untuk duduk kursi roda.

"Udah sana berangkat kerja. Ada Kak Nadia kan yang jagain Novi. Lagipula Novi bisa kok. Di London juga Novi bisa mandiri."

Ucapannya membuat sang kakak kini mengusap rambutnya lalu menunduk untuk mengecup keningnya

"Baiklah. Kakak tinggal ya."

Novia menganggukkan kepala saat sang kakak melangkah masuk ke dalam rumah. Novia menghela nafas dan menatap rumput hijau yang terbentang luas di taman belakang ini.

Ada kolam ikan yang ada di tengah taman. Dinaungi pohon akasia. Novia mendorong kursi rodanya dengan tangan menuju kolam ikan itu.

Dia merasa bersyukur bisa menghirup udara segar di Indonesia lagi. Sudah terlalu lama dia hidup di London. Rasa sakit itu kembali mendera ulu hatinya. Dia teringat kenangan yang telah lampau.

"Maksud kamu aku bisa meneruskan pendidikanku?"

Novia menatap Raihan tak percaya. Suaminya yang baru saja dinikahinya itu mendorongnya untuk melanjutkan cita-citanya.

Ada senyum di wajah angkuh itu. Lalu tatapannya melembut.

"Kita seorang dokter, Novia. Aku yakin keinginanmu itu untuk menolong orang banyak. Kepentingan kita di atas kepentingan orang banyak. Jadi aku tidak boleh egois. Pergilah, selesaikan pendidikanmu. Dan kembalilah jadi dokter yang hebat."

Tengggorokannya tercekat. Suami yang baru beberapa jam menikahinya ini sangat membuat hatinya tersentuh. Dan malam ini dia jatuh cinta kepada suaminya.

Air mata lolos dari pelupuk matanya. Bagaimana dia sangat terharu. Almarhum papanya saja tidak menerima dia meneruskan pendidikan. Tapi ini, Raihan yang memiliki kekuasaan penuh kepadanya sungguh sangat baik.

"Aku...aku.."

Novia terisak pelan. Dia merasakan tangan itu melingkar di bahunya. Mengusapnya lembut dan membuatnya tenang. Raihan beringsut mendekat ke arahnya lalu meraihnya untuk masuk ke dalam pelukan. Nyaman.

"Pergilah, Nov. Aku ikhlas. Aku memberimu doa. Bukankah ini mulia? Kamu ingin menyembuhkan orang banyak Novi."

Novia mulai menangis lirih. Ingin rasanya dia mengatakan tidak. Tapi bagaimanapun juga inilah kesempatannya.

"Rai, tapi kamu tidak mengusirku kan?"

Dia mendongak dan melihat pria itu tersenyum.

"Aku memberi istriku kesempatan untuk menjadi lebih baik. Asal kamu tahu, aku suamimu sampai kapanpun. Aku memberimu restu."

Novia terkejut merasakan tetes air hujan mengenai wajahnya. Lamunannya buyar. Dia mendongak dan menatap langit. Hujan sudah turun. Tapi Novia tetap bergeming di tempatnya. Tidak ingin masuk ke dalam rumah. Dia ingin hujan membasuh semua rasa yang kini mendera hatinya. Membersihkan dosa-dosanya.

Novia memejamkan mata saat tetes air hujan itu makin deras. Rambutnya basah, bajunya juga basah. Tapi kakinya tidak merasakan apa-apa. Kaki yang harusnya masih bisa digunakan sebelum kecelakaan itu.

"Novia.."

Sayup-sayup terdengar orang memanggil namanya. Tapi bukan suara kakak iparnya, Nadia. Dengan pandangan buram karena air hujan Novia mencoba menoleh ke arah belakang.

Sosok itu masih seperti dulu. Tinggi, tegap. Novia terkesiap melihat Raihan berlari ke arahnya. Jaket jinsnya ikut basah kuyup. Dia tahu saat ini akan tiba, tapi bukan sekarang. Saat dia terlihat jelek dan tak berdaya di bawah guyuran air hujan.

"Hai.."

Sapaan itu terasa ganjil saat ini. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Raihan basah kuyup dan kini berdiri tegak di depannya. Tapi tidak ada tatapan iba dari mata Raihan dan Novia merasa lega.

"Hai juga."

Jawaban Novia membuat Raihan segera melangkah ke arah kursi rodanya. Lalu perlahan mendorong kursi itu untuk berada di teras belakang. Berlindung dari guyuran hujan.

"Ya Allah kalian."

Kakak iparnya langsung melangkah mendekatinya dan memberikan handuk kepadanya.

"Kakak bantu ganti baju ya?" Lalu Nadia menatap ke arah belakangnya.

"Kamu bawa baju ganti?"

"Ada, Kak, di dalam koper."

Nadia menganggukkan kepala dan menatap Novia lagi.

"Kita ke kamar ya?"

Tapi Novia menggelengkan kepala.

"Biar Raihan saja yang membantuku, Kak."

Nadia menatap Novia dan terkejut. Tapi kemudian kakak iparnya itu menganggukkan kepala penuh pemahaman.

"Baiklah. Kakak buatkan teh hangat buat kalian ya."

Lalu tersenyum ke arah Raihan.

"Tolong ya, Rai.."

"Baik Kak."

Jantung Novia berdegup kencang saat mendengar jawaban Raihan. Kakaknya meninggalkan mereka berdua lagi. Novia tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat ini. Sudah satu tahun dia memang memutus kontak dari Raihan. Dia tidak sanggup...

"Kamar sebelah mana?"

Suara berat itu mengembalikan kebimbangan Novia. Kursi rodanya mulai di dorong.

"Di balik tirai itu."

Novia menunjuk tirai berwarna kuning yang menjadi batas antara ruang keluarga dan kamar.

Raihan mematuhi perintahnya. Lalu membuka pintu kamarnya.

Lalu dengan tiba-tiba suaminya itu menghentikan kursi roda setelah sampai di depan ranjang tempat Novia tidur. Langkah kaki Raihan membuat Novia gentar. Pria itu tiba-tiba ada di depannya dan membungkuk.

"Hai Bu dokter."

Sapaan itu membuat Novia terkejut. Ada senyum di wajah Raihan. Wajah yang sekian tahun selalu dirindukannya.

Air menetes dari rambut Raihan. Pria yang sudah sabar

menyayanginya.

"Aku bukan dokter dan..."

Tapi Raihan menggelengkan kepala.

"Kamu tetap dokter untuk hatiku."

Jawaban Raihan itu membuat Novia tersenyum masam. Dia tidak bisa menerima rayuan Raihan lagi. Dia sudah cacat dan tidak pantas untuk Raihan.

"Aku bantu ganti baju?"

Pertanyaan Raihan itu membuat Novia menggelengkan kepala.

"Kamu juga basah."

Novia menunjuk tubuh Raihan. Tapi pria itu menggelengkan kepala.

"Aku bisa nanti. Sekarang aku ambilkan baju dan kamu bisa ganti bajumu."

Novia kembali menggelengkan kepala.

"Aku bisa, Rai. Aku memintamu untuk mengantarku ke dalam kamar hanya untuk melihat."

Novia mendorong kursi rodanya untuk mendekati lemari pakaian yang dekat dengannya. Membuka kuncinya dan mengambil bajunya. Raihan kini hanya menatapnya dalam diam.

Novia mengeringkan rambutnya dengan handuk yang diberikan Nadia tadi. Lalu dia membuka kaosnya. Dia sebenarnya merasa sangat malu. Tapi ini perlu, agar Raihan tahu dia bisa sendiri.

Angin dingin langsung menerpa kulit tubuhnya begitu kaos basahnya dilepas. Tapi satu menit kemudian dia sudah dibalut selimut tebal. Matanya membelalak saat Raihan melingkarkan selimut di tubuhnya yang telanjang itu.

"Jangan begini Novia. Aku tahu kamu bisa sendiri. Tapi jangan begini. Kamu bisa sakit."

Raihan kini kembali membungkuk di depannya. Pandangan Pria itu membuatnya sakit.

"Rai.. ceraikan aku, Rai. Aku tidak pantas...aku...aku..."

Raihan langsung merengkuhnya masuk ke dalam tubuhnya. Rasa hangat itu. Rasa nyaman itu kembali melingkupinya. Bertahun-tahun dia merindukan pelukan ini.

"Kamu tetap istriku, Novia. Sampai kapanpun. Tidak ada yang akan membuat kita berpisah."