webnovel

BAB 04 TERPAKSA

BAB 04 TERPAKSA

Novia tetap diam sejak Raihan mengajaknya terbang ke Yogya. Membawanya ke kota yang asing untuknya. Akhirnya Raihan memang mengalah, menunggu sampai satu minggu setelah meninggalnya sang papa dan memboyongnya ke kota ini.

Novia mengamati hamparan rumput hijau di depannya. Rumah ini sangat luas. Novia sendiri tidak memungkiri kalau sempat terpukau saat Raihan membawanya ke sini. Rumah yang sangat megah dan melebihi dari bayangan Novia.

"Hai.."

Sapaan itu membuat Novia kini menoleh ke sampingnya. Dia memang sedang duduk di kursi yang ada di teras depan rumah Raihan. Tubuhnya lelah karena beberapa jam yang lalu mereka baru saja sampai.

"Hemmm.."

Novia masih tidak mau menanggapi Raihan. Dia tidak suka dipaksa seperti ini sebenarnya.

"Kamu marah sama aku?"

Pertanyaan itu membuat Novia kini menatap sosok pria yang tampak tegap di sampingnya. Sore ini Raihan mengenakan kaos polo warna hitam dan terlihat sangat kasual.

"Buat apa aku marah kalau aku belum mengenalmu?"

Kali ini jawabannya membuat Raihan menghela nafas. Pria itu tidak tersenyum. Memang sepertinya pria yang sulit untuk mengumbar senyumnya.

"Kamu bisa tidak menganggapku ada. Tapi aku tetap suamimu. Aku pamit untuk ke klinik. Ada Bik Sumi kalau kamu perlu apapun."

Setelah mengatakan itu Raihan beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkannya. Kepala Novia terasa berdenyut. Dia belum terbiasa dengan temperamen Raihan yang seperti itu. Tapi biar saja, dia juga tidak butuh orang yang menganggapnya hanya sebuah benda yang bisa dibawa kemanapun. Hidupnya sudah hancur sejak sang papa meninggal.

******

Lantunan ayat-ayat suci Alquran membangunkannya. Setelah Raihan pergi, Novia memang ditemani oleh Bik Sumi. Asisten rumah tangga di rumah Raihan ini. Wanita paruh baya itu sangat baik dan mengajak Novia untuk berkeliling ke seluruh rumah. Raihan memang hidup sendiri di sini.

Setelahnya Novia kelelahan dan beranjak tidur. Dia akhirnya kini terjaga dan langsung terduduk. Tapi kemudian menoleh ke arah kirinya. Raihan bersimpuh di ataz sajadah dan khusyuk membaca Alquran.

Untuk sesaat Novia terhenyak. Malam sudah larut saat ini. Dia bahkan tidak tahu Raihan pulang pukul berapa. Karena setelah shalat isya tadi Novia memang sudah masuk ke alam mimpi.

Raihan menyelesaikan lantunan itu. Novia masih menatap Raihan yang beranjak berdiri dan meletakkan Alquran di tempatnya lalu pria itu melepas sarung yang dipakainya dan melipatnya. Saat itulah pandangan mereka bertemu.

"Maaf kalau mengganggu tidurmu," ucap Raihan dengan datar. Pria itu kini beranjak naik ke atas kasur. Mereka memang sudah tidur satu kasur sejak di Jakarta. Tapi hanya itu. Karena Novia ada di sisi kanan ranjang dan Raihan di kiri. Saling memunggungi.

Raihan kini membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata. Bahkan menutupi matanya dengan tangannya. Pria itu tampak lelah. Novia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Mereka memang masih orang asing.

Hanya saja setelah terbangun Novia tidak bisa tidur lagi. Dia menyandarkan tubuhnya di bantal yang sudah di susunnya. Lalu menghela nafas. Hidupnya 100 persen berubah.

"Rai.."

Akhirnya dia menoleh ke arah Raihan. Pria itu masih memejamkan matanya. Tapi Novia tahu kalau dia juga tidak tidur.

Perlahan Raihan menurunkan tangannya lalu mata itu terbuka. Pria di sampingnya itu menoleh ke arahnya.

"Kamu tidak nyaman di sini?"

Novia menggelengkan kepala. Itu memang jawabannya.

Raihan kini beranjak dan ikut duduk. Pria itu terlihat sangat lelah. Novia merasa iba.

"Baiklah."

Tiba-tiba Raihan membuka laci nakas yang ada di sebelah ranjang. Lalu mengambil sesuatu dan menyerahkan kepada Novia.

Novia sendiri menerimanya dengan ragu. Tapi matanya kemudian membelalak saat melihat apa itu.

"Tiket pesawat?"

Dia menatap Raihan yang kini menganggukkan kepala.

"Aku membebaskanmu. Kembalilah menuntut ilmu. Kalau itu memang keinginanmu. Pergilah Nov kalau itu bisa membuat kamu tersenyum. Tapi aku tetap suami kamu meski hanya dalam goresan tinta saja."