webnovel

BAB 03

MEREPIH

Pernikahan di atas duka. Itu yang akan selalu terekam di dalam ingatan Novia. Dia menghela nafas dan menatap semua orang yang datang ke rumah untuk mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sang papa.

Novia sendiri terus menemani sang mama yang terus menangis sejak jenasah sang papa dimasukkan ke dalam liang kubur. Novia tidak berganti baju sejak saat itu karena tidak tega meninggalkan sang mama sendiri. Untung saja semua saudara dan keluarga dari pihak mamanya dan papanya yang menangani semua. Kakaknya yang langsung pulang dari luar negeri bersama keluarga kecilnya juga yang mengatasi semuanya.

Lalu ada Raihan, pria yang sudah menjadi suaminya-lah yang mengurusnya.

Mulai dari menyediakan makan untuknya dan sang mama. Bahkan selalu berada di sampingnya tiap kali ada tamu yang mengucapkan bela sungkawa.

Kini Novia merasa sangat letih, setelah 48 jam bersikap kuat di depan mamanya.

"Tidurlah!"

Suara berat itu membuat Novia mengalihkan tatapannya ke ambang pintu kamar. Dia baru saja membaringkan tubuhnya di atas kasur saat ini.

Novia mengamati pria tegap yang kini melangkah ke arahnya. Dengan baju koko putih dan peci yang selalu ada sejak kemarin.

Raihan duduk di tepi kasur lalu menatapnya.

"Makasih karena sudah membantu."

Suaranya terdengar lirih. Dia sendiri tidak bisa menatap Raihan lebih lama. Masih sangat canggung. Sejak pernikahan itu Novia memang belum lagi berbicara dengan Raihan.

Raihan hanya menganggukkan kepala. Lalu melepas pecinya dan kini menyugar rambutnya yang hitam tebal itu.

"Aku harus kembali ke Yogya, besok. Pasienku sudah banyak yang menunggu."

Mendengar ucapan Raihan, Novia kini memberanikan diri untuk menatap suaminya itu. Mata yang mempunyai pupil mata berwarna hitam dan juga alis matanya yang tebal membingkai wajahnya yang terlihat sangat angkuh.

"Aku berterimakasih dengan..."

"Kamu harus ikut."

Ucapan Novia terpotong dengan ucapan Raihan yang membuat Novia langsung mengernyitkan kening. Matanya terasa sangat berat karena terus menerus menangis. Kepalanya berdenyut karena tidak cukup istirahat sejak kemarin. Dan sekarang mendengar sebuah perintah yang tidak mungkin diturutinya makin membuat kepalanya terasa sakit.

"Maaf?"

Novia mengatakan itu. Hanya saja Raihan masih menatapnya datar. Tidak ada ekspresi yang berarti di sana. Wajah suaminya itu dingin.

"Kamu istriku. Dan aku wajib mengurusmu."

Tentu saja Novia menggelengkan kepalanya. Dia baru saja akan merasa simpati dengan Raihan hanya saja sekarang perasaan itu menguap sudah. Pria di depannya ini terlalu egois.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Jawabannya membuat Raihan hanya menatapnya dalam diam. Rasa kesal Novia makin menjadi. Tapi tubuhnya benar-benar sudah tidak bisa diajak berkompromi. Kepalanya berdenyut makin kencang. Tatapannya kabur dan sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, kegelapan sudah memeluknya.

******

"Paaapaa..."

Nafasnya terengah saat meneriakan nama itu. Keringat dingin membasahi tengkuh dan pelipisnya. Semuanya terlihat gelap. Nafas Novia memburu saat membuka mata. Tapi kemudian dia merasakan tubuhnya di dekap. Membawanya masuk ke dalam kehangatan.

"Husstt...istighfar."

Suara itu menyadarkan Novia kalau dia bersama orang lain. Lalu cahaya remang-remang terlihat.

"Tidurlah lagi. Kamu perlu beristirahat."

Suara itu lagi. Membuat Novia mengerjapkan matanya. Dada bidang yang ada di depannya kini terbalut sweater warna burgundy. Lalu dia menengadah ke atas. Mata mereka bertemu dan Novia paham apa yang telah terjadi.

"Aku...di mana?"

Suaranya terdengar sangat lirih. Tubuhnya masih terasa begitu lemah saat ini.

"Tidurlah. Kamu perlu istirahat."

Raihan memeluknya erat. Lalu mengusap rambutnya. Saat itu juga Novia tersadar kalau dia sudah tidak berhijab. Dengan panik Novia mencoba melepaskan diri dari pelukan Raihan. Lalu menatap pakaian yang kini dikenakannya. Sebuah piyama satin birunya sudah melekat di tubuhnya. Lalu dia menatap Raihan yang masih menatapnya dengan tenang.

"Kamu.... mengganti semuanya?"

Tapi bukan jawaban yang di dapatnya. Raihan mengulurkan tangan kembali untuk merengkuhnya kembali. Kali ini membawa Novia merapat sampai ke tubuh pria itu yang terasa begitu liat. Dalam temaramnya lampu kamar, mereka berdua berpelukan.

"Istirahatlah."

Perintah lagi. Hanya saja perlahan mata Novia mulai menutup. Entah karena efek obat atau memang keadaannya sedang sangat lemah. Saat ini Novia tidak bisa melawan apapun perintah dari pria di sampingnya ini. Entah sampai kapan.