webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Action
Not enough ratings
112 Chs

Ada Sesuatu yang Harus kuceritakan

Pagi hari.

"Tuan orang yang menyelamatkan puteriku tempo hari?"

Si pemilik warung langsung tersenyum begitu melihat dan mengenali Tien Jie dan Tien Lie yang datang ke warungnya bersama Suro. Wajah mereka yang asing langsung membuatnya ingat kalau mereka adalah orang yang pernah datang ke warungnya dan menyelamatkan keluarga terutama anak gadisnya dari perbuatan kotor orang-orang aliran Macan Hitam.

Tien Lie dan Tien Jie mengangguk bersamaan.

"Apakah bapak tahu kelompok orang-orang yang datang kemari waktu itu?" Tien Lie kembali bertanya, "Kalau tidak salah, bapak menyebut mereka itu berasala dari perguruan Macan Hitam?"

Lelaki pemilik warung langsung mengangguk tanpa berfikir. Ia tahu yang dimaksud oleh Tien Lie.

"Iya, benar! Mereka adalah orang-orang dari perguruan Macan Hitam," jawabnya, "Ada apa, ya?"

Tien Lie langsung menoleh ke arah Tien Jie sambil tersenyum sebagai ekpsresi senang kalau informasi yang ia dapat tidak salah.

Kemudian kepalanya kembali menghadap si pemilik warung.

"Isteri tuan ini telah diculik oleh mereka dan dibawa ke sana tadi malam, sekarang kami sedang berusaha mencari lokasi perguruan itu untuk menyelamatkannya. Apakah bapak tahu?" tanya Tien Lie lagi.

Yang ditanya tak menjawab, melainkan raut wajah lelaki itu langsung berubah menunjukkan rasa empatinya pada orang yang ditunjukkan oleh Tien Lie, Suro.

"Tahu!" jawabnya tegas. Ia merasa harus membantu mereka menunjukkan lokasi perguruan Macan Hitam, "Aku bisa ikut mengantarkan kalian!"

"Jangan, bapak!" Suro langsung menyanggah. Ia tak setuju jika lelaki itu ikut bersamanya untuk menunjukkan lokasi perguruan Macan Hitam, "Terlalu berbahaya!"

Suro melihat, si pemilik rumah makan itu mengangkat tangannya, "Tidak masalah. Bapak tidak ikut masuk ke sarang mereka menyelamatkan isteri ananda, setelah dekat bapak hanya akan menunjukkan tempatnya dan akan kembali pulang."

Jawaban si lelaki pemilik warung membuat mereka saling pandang satu sama lain. Mengajak orang lain yang tidak bisa bela diri sama sekali akan menjadi beban mereka. Tetapi apa yang dikatakan lelaki itu bisa ia terima, dan bahkan akan mempercepat langkah mereka dalam menemukan lokasi perguruan aliran Macan Hitam. Akhirnya mereka mengangguk.

"Pasti kalian dari padepokan Cempaka Putih?" Baru saja selesai perbincangan, satu suara terdengar keras berasal dari luar.

Sekitar 10 orang lelaki bertubuh tegap mereka dapati berdiri di luar rumah makan ketika Suro dan yang lainnya keluar. Ia sudah menduga, mereka adalah orang-orang dari perguruan Macan Hitam yang ditugaskan menghalangi perjalanan mereka.

"Aku bisa menebak, kalian pasti orang-orang dari perguruan Macan Hitam!" ucap Suro. Nada suaranya berat dan terkesan menahan amarah yang meluap-luap, "Kebetulan sekali!"

Mereka saling pandang dan lelaki yang tadi berseru langsung mendengus keras.

"Benar sekali," jawabnya, "Jangan harap bisa sampai ke perguruan kami dengan mudah!"

Tien Lie langsung maju kehadapan Suro, tak lama kemudian saudara kembarnya menyusul berdiri disampingnya. Serentak keduanya langsung menghunuskan pedang.

"Pendekar Luo, beri kami waktu sekejap. Kami akan menghadiahkannya untukmu!" ucap Tien Lie.

Keduanya terlihat serius dan menarik nafas, tanda mereka mulai mengaktifkan tenaga dalamnya untuk disalurkan ke pedang.

"Huh! Kalian terlalu menganggap remeh!" salah satu dari kelompok Macan Hitam berkata.

Tanpa basa-basi lagi, mereka melompat berhamburan menyerang Tien Lie dan Tien Jie dari berbagai arah sambil mengayunkan golok-golok mereka.

Suara denting logam beradu saling memapas langsung terdengar, mencegahnya mendarat mengiris daging.

Tien Jie dan Tien Lie berkelit diantara gerakan-gerakan tubuh lawannya, pedangnya masuk mengiris tubuh-tubuh para penyerang dengan lincah dan tanpa hambatan.

Set! Set! Set!

Dalam hitungan detik, sepuluh orang penyerang langsung berjatuhan dalam keadaan meregang nyawa. Orang-orang yang dikirimkan untuk menghadang perjalanan Suro merupakan petarung dengan kemampuan rendah. Bahkan jika salah satu dari pendekar kembar itu yang turun tangan, sama mudahnya seperti membalikkan telapak tangan.

Suro yang menyaksikan gerombolan Macan Hitam yang tewas di tangan pendekar kembar itu hanya mengulum senyum meringis dengan sudut bibir sedikit menaik. Ingatannya langsung muncul di saat pertama kali ia melakukan pembunuhan. Waktu itu hatinya dibutakan oleh amarah yang meluap tak terbendung. Tak ada rasa kasihan seperti biasa membantai korbannya.

Saat ini, hal itu ia rasakan kembali. Jika tidak demikan, ia akan kehilangan banyak waktu untuk menyelamatkan Yang Li Yun, isterinya. Sesuatu yang lebih buruk akan terjadi jika ia terlambat. Lagi pula, mereka yang diutus menyerangnya memang pantas untuk mendapatkan kematian.

"Bapak tahu sekarang," tiba-tiba bapak si pemilik rumah makan berkata di samping Suro, sembari melihat Tien Jie dan Tien Lie membersihkan pedangnya dari noda darah, "Ananda ini pasti Suro, murid Ki Ronggo Bawu."

Suro menoleh dan sedikit tersenyum pada lelaki tua disampingnya. Ia berfikir kalau lelaki itu berubah fikiran.

"Benar, pak. Saya adalah Suro. Jikalau bapak mengurungkan niat untuk ikut bersama kami karena takut, kami tidak akan memaksa bapak."

Buru-buru lelaki itu mengangkat tangan, "Tidak! Justeru niat bapak semakin kuat. Bapak juga ingin membantu ananda. Mereka sudah membuat resah masyarakat, dan selalu bersembunyi dibalik aparat jika ada pengawasan. Apalagi, jasa padepokan Cempaka Putih sejak zaman Ki Ronggo sangat besar bagi kami orang-orang desa ini. Beliau adalah orang yang selalu menolong kami jika terjadi masalah. Sekarang, meskipun bapak ini belum pernah lagi ke Padepokan yang baru, gaungnya sebagai balai pengobatan sudah terdengar kemana-mana dan bapak yakin, pewaris padepokan yang baru ini juga akan membawa kebaikan bagi warga desa."

Pemuda itu kembali tersenyum dan menarik nafas lega. Ternyata apa yang ia pikirkan barusan keliru dan membuatnya merasa sedikit bersalah pada si pemilik rumah makan.

***

"Pergi kau bajingan terkutuk! Jangan ganggu aku!" Yang Li Yun berteriak mengusir Wiro yang datang ke tempat dimana ia ditawan. Dengan kondisi tangan dan kaki terikat, ia tak bisa melakukan banyak pembelaan apa-apa selain memaki Wiro.

Wiro berkali-kali berusaha menyentuh tubuh Yang Li Yun, namun dengan gerakan tubuhnya, ia bisa menutupinya berkali-kali pula. Meskipun ia tidak tahu sampai kapan, tetapi ia berharap pada saat tidak memungkinkan lagi baginya untuk melakukan perlawanan, Suro sudah datang dan menyelamatkannya dari tangan-tangan kotor gerombolan Macan Hitam.

Wiro tertawa nakal, matanya sudah menggambarkan kesan kotor dan jorok dari isi kepalanya. Meskipun gerakan tangannya tak berhasil menyentuh bagian tubuh Li Yun, nampaknya ia tak pernah putus asa.

Yang Li Yun selain memiliki paras wajah yang keras dan teguh, wajahnya juga cantik, ditambah dengan tubuhnya yang ideal dan nyaris sempurna membuat siapapun yang memandangnya bakalan jatuh hati dan ingin memilikinya.

Apalagi dalam pandangan Wiro, Yang Li Yun secara utuh seperti daging segar yang dihidangkan di hadapan singa lapar. Ditambah lagi hati Wiro yang kotor, tentu saja membuatnya semakin berhasrat terhadap gadis itu.

Wiro cuma tersenyum. Ia tak perduli terhadap caci maki yang keluar dari mulut Yang Li Yun terhadap dirinya. Baginya, suara teriakan dengan kalimat menyakitkan itu merupakan kidung merdu ditelinganya. Maka, dengan senyum menjijikkan, selagi ia bisa, waktu yang ada saat ini akan ia manfaatkan untuk berpuas-puas menjamah tubuh Li Yun, bahkan bisa lebih dari itu!

"Berteriaklah lebih kencang. Tak ada yang akan mendengarkan teriakanmu dari ruangan ini. Ayo," Wiro berkata menantang Li Yun agar berteriak lebih keras.

Li Yun sadar, percuma saja ia berteriak, justru yang datang adalah orang-orang seperti Wiro. Makanya, ketimbang membuang energi ia hanya menatap Wiro dengan tatapan tajam seperti Srigala yang mengancam lawannya.

Tangan Wiro kembali bergerak, kali ini membuka kedua lutut Yang Li Yun yang melindungi bagian-bagian sensitif tubuhnya dan berusaha menerobos masuk. Namun usaha lelaki itu gagal, Li Yun masih memiliki tenaga untuk melindungi bagian tubuh yang akan dijamah oleh Wiro.

"Cuh!"

Yang Li Yun meludah dan tepat mengenai wajah Wiro.

Hanya sesaat Wiro memalingkan kepalanya tetapi kemudian ia kembali tersenyum sambil mengusap cairan ludah Li Yun yang mengenai wajahnya.

"He.he,he... Ludahmu sangat harum. Aku menyukainya..... Ayolah, lakukan lagi," tantangnya.

"Wiro!"

Satu bentakan nyaring terdengar begitu pintu ruangan itu terbuka tiba-tiba.

Sosok Lontang muncul dan melangkah dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

Tentu saja kedatangannya membuat Wiro terperanjat. Apa maksud orang tua itu? Harusnya, ia membiarkan apa pun yang akan ia lakukan pada Yang Li Yun, bukankah mereka berada dalam kubu yang sama? Wiro membatin.

"Oh, kakang Lontang," sapanya dan mencoba tersenyum menyambut Lontang yang sudah berdiri dihadapannya, "Ada apa, kakang?"

Lontang menatap Wiro dengan tatapan marah. Ia merasa tidak menyukai orang yang menjadi tangan kanan sahabatnya itu.

"Pergilah dari sini!" bentaknya.

"Tapi..." Wiro mencoba berkata, tetapi langsung menutup mulutnya ketika tangan Lontang terangkat seperti hendak menamparnya.

"Meskipun gadis ini adalah tawanan, tak perlu kau berlaku buruk padanya!" Lontang berkata dengan suara keras.

Tanpa basa-basi lagi, Wiro sedikit membungkuk lalu pergi meninggalkan Lontang di ruangan itu dengan langkah cepat. Hatinya sangat dongkol.

"Lontang sudah tidak waras! Bukankah dia juga orang sesat? Sejak kapan dia berubah? Dasar munafik!" Wiro membatin dalam hatinya.

Lelaki tua itu kemudian duduk bersila dihadapan Li Yun dan meletakkan nampan berisi makanan di lantai. Tangannya kemudian bergerak membuka tali yang mengikat tangan dan kaki gadis itu.

"Makanlah," katanya, suaranya terdengar ramah sebagai orang tua.

Yang Li Yun memandang ke arah orang tua itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Tidak salah? Mengapa ia berlaku ramah padanya? Atau dalam makanan itu sudah dibubuhi racun?

Gadis itu tak bergerak. Ia sudah bertekad untuk tidak menyentuh makanan yang disuguhkan padanya, meskipun saat ini ia merasa lapar. Pasti ada sesuatu dalam makanan itu. Batinnya.

Lontang tersenyum, sepertinya ia bisa membaca pikiran Yang Li Yun.

"Jangan khawatir. Aku sendiri yang membuat makanan ini. Tak ada racun didalamnya," Lontang berkata.

Gadis itu tetap tak bergeming. Biar bagaimanapun, lelaki paruh baya didepannya adalah orang yang telah menculiknya. Buat apa disuguhkan jika tidak ada sesuatu didalamnya? Batin Li Yun.

"Tuan, untuk apa menyuguhkanku makanan. Bukankah aku ini adalah tawanan?" tanya Yang Li Yun.

Lontang menarik nafas panjang, disusul senyuman ramahnya tertuju pada Yang Li Yun. Lama ia tak menjawab sebelum pandangannya berputar berkeliling mengamati kondisi ruangan yang menjadi tempat penahanan Yang Li Yun.

"He.he.he....Kau ini adalah umpan. Setelah ambisi Wulung melenyapkan suamimu terwujud, nanti kau akan kubebaskan," katanya.

Yang Li Yun langsung menatap tajam ke arah Lontang.

"Tuan jangan berdusta! Orang jahat seperti tuan ini tak akan pernah tanggung-tanggung untuk membunuh dan melepaskan buruannya. Apalagi, aku terkait langsung dengan orang yang menjadi target tuan!"

Mendengar kata-kata Li Yun membuat Lontang tertawa terkekeh panjang hingga tubuhnya ikut berguncang-guncang. Sementara gadis itu hanya menatapnya penuh keheranan. Ia merasakan perbedaan perlakuan antara Lontang dengan orang-orang aliran Macan Hitam.

"Aku ini masih orang jahat, dan mungkin selamanya akan selalu begitu. Wulung adalah sahabatku dan orang yang sealiran denganku. Sama-sama jahat. Tetapi entah mengapa, aku tak bisa sekejam dan sebengis dia, meskipun aku akui aku suka memberontak dan berlaku layaknya penjahat. Tetapi begitu melihatmu, aku seperti melemah."

Yang Li Yun cukup ragu dengan orang tua dihadapannya, apakah Lontang berkata jujur? Apakah dia orang jahat? Tetapi mengapa ia membantu Wulung menculik dirinya?

Dari pandangan mata Yang Li Yun, sosok Lontang ketika berhadapan dengannya tidak bisa dikatakan jahat. Yang ia lihat justeru sebaliknya. Senyum dan perkataannya ramah tak seperti tindakan yang dilakukan padanya malam itu. Tetapi, ia tetap waspada. Wajah bisa saja menipu.

Lagi-lagi ia membatin.

Sesaat ia melirik ke arah makanan yang memang sengaja dihidangkan untuknya, dan itu diketahui Lontang.

Dengan perlahan, nampan berisi makanan disorongnya lebih dekat ke hadapan Yang Li Yun.

"Makanlah," katanya seraya tersenyum.

"Aku tidak mau!" Li Yun berkata tegas sambil meyorongkan makanan itu kembali.

Lontang terdiam sesaat, tetapi senyumnya tak berubah.

Sesaat ia menarik nafas panjang sebelum mengeluarkan kalimat, "Aku tahu apa yang kulakukan adalah salah. Waktu aku menculikmu, tak ada fikiran berdosa dalam hatiku. Niatku hanya membantu Wulung untuk menekan suamimu."

Lagi-lagi, sesuatu yang membuat bingung dikatakan oleh Lontang. Memang, Lontang adalah orang yang menculiknya, tetapi Li Yun tak merasakan sesuatu yang mengancam pada diri lelaki itu.

"Mengapa Wulung tidak datang sendiri dan berhadapan langsung dengan suamiku?" tanya Li Yun.

"Karena...." Lontang tak melanjutkan kalimatnya, lagi-lagi ia menarik nafas panjang dan membuang pandangannya nampak menerawang ke sisi lain. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipendamnya yang tak sanggup ia katakan.

"Karena?"

"Wulung takut terhadap suamimu. Bayangan kekuatan guru dari suamimu menghantui kepercayaan dirinya. Ia masih kurang percaya kalau dia sebenarnya bisa mengalahkan suamimu dengan kemampuan silatnya saat ini," jawabnya.

"Jadi? Tujuan dia menculikku agar suamiku takluk pada Wulung, begitu?" Yang Li Yun balik bertanya meyakinkan apa yang dia fikirkan.

Lontang mengangguk.

"Pengecut!" Li Yun mengatakannya dengan suara pelan, tapi tegas. Dan Lontang masih bisa mendengar kata itu.

Tiba-tiba Lontang tertawa keras, bahkan cukup keras hingga membuat Yang Li Yun terkejut.

Selesainya, tak ada percakapan. Untuk beberapa lama, mereka saling diam seolah-olah dalam ruangan itu mereka berdua adalah patung.

Yang Li Yun tiba-tiba saja melihat Lontang menundukkan kepalanya memandang lantai setelah sebelumnya menarik nafas dan mengeluarkannya dengan desahan panjang. Raut wajahnya juga berubah, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal yang ingin ia katakan.

"Ada sesuatu yang nampaknya harus kuceritakan, dan barangkali itu akan membuatmu tak suka," katanya.