webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Action
Not enough ratings
112 Chs

Kita lihat saja dalam satu dua hari ini

"Tak ada waktu lagi, aku harus mengejar orang yang bernama Lontang itu sekarang juga. Aku khawatir Li Yun akan mengalami peristiwa buruk!" Suro berkata sesaat setelah tubuh Lontang menghilang dari pandangan.

Nampak sekali kalau ia sangat marah dan gelisah, bibirnya terlihat bergetar ketika mengatakan itu. Sementara, yang lain tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui apa yang akan Suro lakukan.

"Dimas," Seno berkata, "Lelaki itu nampaknya memiliki ajian Supi Angin, bagi kita akan membutuhkan waktu paling tidak satu atau dua hari untuk sampai ke perguruan Macan Hitam. Itupun belum terhitung waktu untuk mencari informasi keberadaan Perguruan Macan Hitam. Aku bersama tuan Tien Lie dan Tien Jie akan mampir dulu ke padepokan untuk memberitahukan peristiwa ini pada yang lain."

"Barangkali kita bisa mencari informasi dari rumah makan dimana kami bertemu dengan orang-orang Macan Hitam tempo hari. Sepertinya, mereka tahu," Tien Lie berkata.

Seno langsung menoleh ke arah Tien Lie, yang disampaikan Tien Lie akan memudahkannya.

"Kalau begitu, aku saja yang akan ke padepokan!" ucap Seno kemudian yang dijawab anggukan kepala Suro.

"Kakak, aku ikut!" tiba-tiba Reno muncul bersama murid lainnya.

"Aku juga!"

"Aku juga!"

Yang lain beseru penuh semangat. Rasa sayang mereka terhadap keluarga Suro, termasuk Yang Li Yun membuat hati mereka menjadi berani menghadapi resiko apapun. Padahal kemampuan mereka baru seujung jari, kecuali Reno.

Mereka baru saja muncul dari dalam rumah setelah mendengar suara ribut-ribut diluar.

"Tidak boleh!" Suro berkata sedikit membentak.

"Tapi..." Reno nampaknya bersikeras dan tak perduli jika Suro akan memarahinya. Sebelum ia melanjutkan ucapannya, tangan Huang Nan Yu langsung memegang bahunya.

Suro tahu, Reno memiliki karakter yang sama dengan isterinya, Yang Li Yun. Keras kepala!

"Reno, jika saja aku sanggup pasti aku akan ikut bersama kakakmu, apalagi kakak Li Yun ada bersama mereka. Betapa berat rasa hatiku melihat Yang Li Yun yang sudah kuanggap sebagai anak kandungku mengalami peristiwa ini, rasanya aku ingin mati saja. Tetapi, apa boleh buat, jika engkau ingin membantu, tetaplah disini dan jangan menjadi beban kakak Luo mu," Huang Nan Yu berkata menasehati Reno.

Ia tak ingin Suro yang sedang dalam keadaan kacau dan penuh emosi akan mengeluarkan kata-kata keras yang justeru akan menyakiti hati Reno.

"Apakah Reno diam saja dan pasrah tanpa berbuat apa-apa, bi?" sanggahnya.

"Bantulah dengan do'a," jawab wanita tua itu.

Reno langsung bersimpuh dan memeluk kaki Suro.

"Kakak Suro," katanya, "Aku tak ingin terjadi apa-apa pada kakak Li Yun. Hatiku tak akan bisa tenang sementara menunggu disini!"

Suro terlihat menghela nafas panjang. Ia berusaha meredam emosinya terhadap Reno yang dianggap membantah.

Ia lalu menatap Huang Nan Yu.

"Bibi, tolong jaga dan awasi Reno. Anak ini punya tabiat yang sama dengan Li Yun. Ia bisa saja kabur dan pergi menyusul kami kesana nantinya."

"Kakak!" Reno kembali berkata seperti mengiba, ia tak terkejut mendengar apa yang ada dalam hatinya bisa ditebak oleh Suro mengingat pemuda itu sudah sangat mengenal dirinya.

"Ilmu silatmu masih sangat jauh. Jika pun akan ku bawa, maka aku akan membawa bibi Nan Yu. Kamu hanya akan memecah perhatian kakak saja," jawab Suro sambil mengangkat tubuh Reno agar berdiri.

Kemudian, Huang Nan Yu merangkul tubuh Reno dan dipeluknya. Remaja itu langsung menangis sekuatnya.

"Aku ingin ikut, bi!.... Aku ingin ikut!"

Wanita tua itu mengusap-usap kepala Reno, "Dengarkan ucapan kakak Luo mu, jangan membantah!"

Reno langsung menatap tajam ke arah Suro dengan tatapan mengancam.

"Kakak harus berhasil! Jika dalam lima hari ini kakak tidak kembali, maka aku akan menyusulmu!"

Suro tersenyum, lalu ia mengangguk. Hanya itu yang ia bisa janjikan pada Reno agar remaja itu mau diam.

Pandangannya lalu berputar berkeliling dan terakhir jatuh pada Rou Yi yang sedang berdiri memandanginya tanpa berkata-kata. Isteri keduanya itu menutup mulutnya sambil menangis.

Suro mendatanginya dan memeluk Rou Yi begitu erat seolah tak akan membiarkannya lepas, membiarkannya menangis keras didadanya.

"Kakak..... Bagaimana ini?" katanya sambil terisak, ia tak sanggup memikirkan nasib yang akan dialami Yang Li Yun.

Suro terlihat bingung, ia tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memeluk Yin Rou Yi dengan pelukan yang cukup lama sambil ia berfikir. Rou Yi, kau tak boleh hilang! Batinnya.

"Tak ada waktu lagi. Kakak Luo akan pergi menyelamatkan Li Yun."

Dengan lembut, ia merenggangkan pelukannya, lalu mencium kening Rou Yi.

"Berjanjilah kakak akan membawa Li Yun kembali dengan selamat," ucap Rou Yi.

Suro terlihat memaksakan senyumannya, "Insyaallah. Do'akan kami."

***

Lontang berjalan santai sambil tangannya mencengkeram kuat lengan Li Yun, menyeretnya memasuki halaman perguruan Macan Hitam.

Wulung yang melihat kedatangan Lontang langsung berdiri dan memasang senyuman lebar. Ia tak menyangka Lontang bisa menculik salah satu wanita dari padepokan Cempaka Putih.

"Cepat sekali," katanya.

Lontang langsung menghempaskan tubuh Li Yun ke tanah, lalu memberi isyarat dengan pandangan matanya agar Wiro mengurus hasil tangkapannya.

Mendapat isyarat itu, Wiro mengangguk. Tanpa berkata lagi, ia langsung membawa Yang Li Yun ke dalam ruang lain sebagai tawanan.

"Masalah begini semudah membalikkan telapak tangan," katanya sedikit sombong.

Wulung langsung tertawa lalu mengajak Lontang ke dalam rumahnya dan menjamunya dengan hidangan.

"Aku akui kau memang hebat. Beruntung aku memiliki sahabat sepertimu!" pujinya.

Lontang kembali tertawa keras sampai tubuhnya berguncang. Segelas tuak yang terhidang dihadapannya langsung ia reguk dengan puas.

"Aku akui, kamu memang cari masalah dengan orang seperti itu. Ambisimu rupanya sudah membutakan besarnya resiko yang akan kamu terima. Apalagi perempuannya kita culik dan dijadikan umpan. Wuaah, kau harus lebih bersiap."

Wulung hanya tersenyum dengan perkataan Lontang, yang dikatakan sahabatnya itu memang benar. Ambisinya untuk menundukkan perguruan lain dibawah alirannya mengesampingkan resiko yang akan ia terima.

Tiba-tiba mata Wulung nampaknya menangkap sesuatu yang berbeda pada diri Lontang begitu matanya terarah ke dua lengan Lontang. Meskipun lelaki itu terlihat menyembunyikan tangannya yang sedikit bergetar, namun tetap saja kentara di mata Wulung.

"Ada apa dengan kedua tanganmu?"

Lontang tak langsung menjawab, ia mengangkat kedua tangannya bergantian sambil memperhatikannya dengan seksama. Dalam cahaya remang-remang, ia tak melihat bekas goresan atau sayatan pedang yang ia terima akibat menangkis serangan lawannya ketika menculik Li Yun.

Ia bisa simpulkan kalau dua orang asing itu mempunyai jurus khusus kibasan pedang jarak jauh.

"Ini akibat menangkis tebasan pedang dua orang asing itu. Aku tak menyangka dari jarak yang tak terjangkau oleh pedang, efek kibasannya melesat seperti sayatan panas dan perih. Dua orang itu rupanya mampu memadatkan energi tenaga dalam dan menyalurkannya pada pedangnya," Lontang menjelaskan, raut wajahnya menunjukkan kalau ia sedang memikirkan kejadian yang barusan ia alami.

Wulung mengangguk-angguk beberapa kali. Ingatannya langsung tertuju pada apa yang pernah dialami Wiro, dan itu membuat hatinya gelisah. Artinya, di kubu Suro mendapat tambahan dua orang pendekar yang tidak bisa dianggap remeh.

Tetapi, begitu ia melihat Lontang, hatinya kembali tenang. Ia yakin Lontang mampu membantunya menundukkan Suro dan padepokannya. Ia juga yakin, sabetan yang diterima oleh Lontang karena ketidaksiapannya menerima serangan. Persis seperti yang dialami Wiro, tangan kanannya.

"Apakah ajianmu tidak berfungsi?" Wulung bertanya.

Sebelum Lontang menjawab, lelaki itu terdengar terkekeh.

"Memang tidak ada persiapan waktu itu. Aku berniat hanya berkunjung dan sedikit menguji kemampuan Suro. Tak disangka dua orang China itu ada di situ."

"Jadi, seberapa tangguh menurutmu kekuatan Suro?"

Lontang tersenyum lebar dan nyaris tertawa. Ia menarik nafas panjang dan membuangnya dengan cepat.

"Cukup tangguh untuk ukuran anak muda seperti dia. Tetapi sepertinya kau akan kerepotan juga menghadapi orang berwajah cacat itu. Tenaga dalamnya juga tak kalah dengan Suro."

Mendengar jawaban Lontang, Wulung lagi-lagi tak menjawab. Nampaknya ia berharap dan bisa mengandalkan Lontang nantinya ketika Suro dan rekan-rekannya datang menyerang. Ia sudah siap dengan segala resiko yang akan ia terima. Barangkali, perjuangannya kali ini lebih berbahaya dibanding dengan perbuatannya terdahulu ketika secara keji membumihanguskan padepokan Cempaka Putih yang dipimpin oleh Ki Ronggo Bawu, guru Suro.

Lontang bisa mendengar Wulung mendesah dengan hembusan nafas panjang, menandakan hatinya juga gundah. Ia tahu, sudah kepalang tanggung. Bisa dikatakan, Wulung berhadapan dengan lawan yang salah, meskipun padepokan belum memiliki murid, tetapi di pimpin oleh Suro, Lontang bisa melihat kekuatan dari padepokan Cempaka Putih yang baru didukung oleh beberapa orang pendekar yang tidak bisa dianggap remeh.

"Apakah menurutmu, Suro memiliki ilmu beladiri yang lebih tangguh dari Ronggo Bawu?" tanya Wulung, dari nada suaranya terdengar gelisah.

"He.he.he.... Aku belum pernah bertarung dengan Ronggo Bawu, tetapi dari informasi yang kuperoleh, lelaki tua itu memiliki nama besar di dunia persilatan. Yang artinya, dia termasuk salah satu pendekar yang tidak bisa dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang sepertimu. Kau saja dulu juga mengalahkannya dengan cara yang licik 'kan?" Lontang berkata dan mengingatkan tentang perbuatan Wulung yang mengalahkan Ki Ronggo Bawu.

"Itu dulu," Wulung terdengar beralasan, "Sekarang, kemampuanku jauh diatas orang tua itu."

Lontang tak menjawab dengan kalimat, tetapi tersenyum mengejek. Sejujurnya, ia pun tak tahu apakah kemampuan bela diri Wulung saat ini sudah meningkat jauh. Ia sudah pernah bertarung dengan Wulung, dan kalah. Tetapi saat ini, belum tentu!

Dan ia berpikiran, jika kemampuan Wulung memang tidak lebih tinggi darinya.

Meskipun secara singkat menyerang Suro dan Seno, ia sudah bisa mengukur kemampuan dua pemuda itu juga tinggi dan tidak bisa dianggap remeh. Bisa saja kemampuannya juga di atas gurunya, Ki Ronggo Bawu!

"Jujur saja," Lontang berkata, "Waktu itu aku belum mengeluarkan secara penuh tenaga dalam untuk menyerang Suro dan pemuda berwajah cacat itu. Meskipun demikian, jika orang yang berkemampuan biasa terkena seranganku, pastilah sudah terluka parah dan muntah darah. Tetapi dari hasil pengujianku terhadap keduanya, mereka hanya terlempar biasa tanpa luka. Artinya, ilmu kesaktian mereka tidak main-main. Bisa saja mereka tekun berlatih dan saat ini kemampuannya lebih jauh dari gurunya. Bisa saja'kan?"

Kali ini Wulung tersenyum kecut, wajahnya berubah masam. Ia tahu kalau Lontang sedang mengingatkannya agar berhati-hati.

"Aku yakin, dalam waktu satu dua hari, Suro akan datang mengambil miliknya. Saat itu, nasib aliran Macan Hitam akan bisa terlihat. Apakah berjaya? Atau justeru hancur seperti engkau menghancurkan padepokan Cempaka Putih terdahulu?"

Wulung meraih segelas air tuak, lalu meneguknya beberapa teguk. Di perguruannya, ia memiliki banyak anggota, dari tingkat satu sampai tingkat lima.

Dari informasi yang ia peroleh beberapa waktu ini dari orang-orang yang diutusnya, kubu Suro hanya terdiri dari beberapa orang. Dan itu tak akan berpengaruh apa-apa terhadap aliran Macan Hitam. Bukannya jika mereka masuk menyerbu ke aliran Macan Hitam sama saja mengantar nyawa?

Bibirnya langsung menyungging senyum, hatinya kembali menjadi tenang.

"Ya," katanya, "Kita lihat saja dalam satu dua hari ini. Tapi sebelum mereka sampai, aku akan kirimkan hadiah menarik buat mereka."

Diluar, malam semakin larut, sementara di dalam sebuah ruangan yang dijaga oleh beberapa orang anak buah Wulung, Yang Li Yun hanya bisa pasrah dengan kondisi tangan dan kaki terikat, duduk bersimpuh di sudut ruangan yang hanya diterangi sebatang lentera.

Tubuhnya terlihat lemah dan lelah, wajahnya yang cantik masih terlihat jelas meskipun dibalut aura tertekan, pakaian dan rambutnya terurai tak beraturan akibat pemberontakannya untuk melepaskan diri dari cengkraman Lontang dan orang-orang yang menyeretnya. Tetapi satu hal, ia punya keyakinan yang tinggi bahwa ia selalu dilindungi, dan Suro –suaminya- akan datang menyelamatkannya, makanya ia masih nampak tegar.

Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara senandung lirih dengan tatapan mata penuh harapan dalam bahasa leluhurnya, menyuarakan apa yang ada dalam hatinya.

"Jutaan mill dari gunung Thay San dibawah selimut langit yang tetap sama,

Aku yakin kau berikanku kebebasan dari penantian yang misterius ini.

Bintang-bintang telah menjadi saksi, bahwa hatiku telah terbuka untukmu malam itu.

Angin malam yang berhembus menghantarkan senyummu yang menenangkan jiwaku.

Akhirnya aku dapat memelukmu dalam kalbu setelah dua jantung berdetak bersama.

Percayalah padaku, hatiku tak akan pernah berubah.

Kalimat-kalimatmu meneguhkanku, meski menunggu selama ribuan tahun pun, kau bisa pegang janjiku.

Meski telah banyak musim dingin yang membekukan tulangku, aku tak akan meninggalkanmu."