webnovel

Ujian Keberanian dan Hal tak Terduga

Pagi itu, sinar matahari menyinari reruntuhan kuil, menyoroti kehancuran yang terjadi semalam. Meskipun sebagian dari kuil hancur, semangat tim tidak surut. Mereka bangkit dari tidur mereka di bawah bintang-bintang dengan semangat baru untuk menghadapi tantangan yang lebih besar.

Master Hiro memandangi murid-muridnya dengan tatapan tajam namun penuh kebijaksanaan. "Hari ini, kalian akan menghadapi ujian keberanian dan kesetiaan. Ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang hati dan jiwa kalian," katanya dengan suara berat.

Katze, Lina, dan Rise saling bertukar pandang, merasa gugup namun antusias. Mereka tahu bahwa pelatihan ini semakin berat, tetapi juga semakin mendekatkan mereka kepada tujuan masing-masing.

"Untuk ujian ini," lanjut Master Hiro, "kalian harus memasuki Hutan Kegelapan dan menemukan Batu Keberanian. Batu ini tersembunyi di dalam gua terdalam di hutan. Namun, hati-hati, karena banyak makhluk dan jebakan yang menunggu di sana."

Katze mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kami siap, Master Hiro."

Lina meraih tangan Rise, memberikan dorongan semangat. "Kita bisa melakukannya bersama-sama," katanya dengan senyum lembut namun penuh keyakinan.

Rise mengangguk, meskipun ada sedikit kekhawatiran di dalam hatinya. Dia merasa tidak enak karena sudah membuat hati Lina hancur kemarin. Dengan suara penuh penyesalan, dia berkata, "Padahal aku sudah menyakitimu tapi kamu masih sangat baik padaku."

Lina menggenggam tangan Rise lebih erat, memberikan senyuman hangat. "Kita semua pernah membuat kesalahan, Rise. Yang penting adalah kita belajar dari itu dan terus maju bersama."

"Ayo kita selesaikan ini," jawab Rise dengan nada tegas, meskipun hatinya masih merasa bersalah.

Perjalanan ke Hutan Kegelapan dimulai dengan langkah-langkah hati-hati. Hutan itu gelap dan menakutkan, dengan pepohonan besar yang seakan-akan menghalangi cahaya matahari. Suara hewan-hewan liar dan angin yang berhembus membuat suasana semakin mencekam.

Untuk mengatasi kegelapan, Rise mengambil pedang Hikari dari pinggulnya dan menggunakannya sebagai sumber pencahayaan. Cahaya lembut dari pedang itu menerangi jalan mereka, membuat suasana sedikit lebih tenang.

Katze dan Lina menghembuskan napas lega dan tersenyum. Katze berkata, "Bagaimana bisa kamu diam memakai pedang itu untuk pencahayaan...?"

Lina menambahkan dengan tawa kecil, "Kadang aku lupa betapa praktisnya kamu, Rise."

Rise menjawab dengan santai sambil memegang pedangnya, "Hikari selalu bisa diandalkan dalam situasi seperti ini. Lagipula, aku lebih suka cahaya alami daripada membawa lentera."

Sepanjang perjalanan mereka, obrolan pun mengalir dengan alami, membantu mengurangi ketegangan dalam suasana hutan yang gelap dan menakutkan. Mereka berbicara tentang masa lalu mereka, pelatihan yang telah mereka jalani, dan harapan-harapan mereka untuk masa depan.

"Katze, sejak kapan kamu tahu bahwa kamu memiliki kutukan Nightshade?" tanya Lina dengan penasaran.

Katze menghela napas, mengenang masa lalu. "Sejak aku masih kecil. Awalnya, aku tidak tahu apa itu. Hanya merasa aneh saat berada di dekat tanaman. Semakin aku tumbuh, semakin aku memahami bahwa ada sesuatu yang berbeda. Wildes adalah orang yang pertama kali memberitahuku tentang kutukan ini dan membantu aku mengendalikannya."

Lina mengangguk, memahami. "Beruntung kamu memiliki Wildes. Dia memang guru yang baik. Bagaimana dengan kamu, Rise? Kapan kamu pertama kali menyadari kutukanmu?"

Rise menghela napas dalam, mengingat peristiwa yang menyakitkan itu. "Aku pertama kali merasakan kutukan Mawar Hitam saat aku ditangkap oleh Raja Iblis Kegelapan Florian. Dia memasukkanku ke dalam penangkaran dan langsung memberiku kutukan itu. Sakitnya luar biasa. Lalu, kutukan Aconite... Itu terjadi saat aku pingsan. Di alam bawah sadarku, Florian menusukkan pedang yang bersinar merah ke jantungku. Pedang itu menyatu dengan tubuhku, menciptakan kutukan Aconite yang tak bisa lepas."

Rise mengangkat alisnya dan menyadari sesuatu, lalu bertanya, "Tunggu sebentar, bagaimana kamu bisa kenal dengan Wildes, Katze?"

Katze tersenyum kecil, mengingat masa lalunya dengan rinci. "Yah, ini cerita yang cukup panjang, tapi aku akan coba menceritakannya sejelas mungkin. Aku pertama kali bertemu Wildes saat aku masih sangat muda. Keluargaku memiliki peternakan ikan di desa kecil di pinggiran kota. Suatu hari, seorang pria tinggi dan tampak tangguh datang ke peternakan kami. Dia terlihat lelah dan terluka, jadi ayahku memutuskan untuk memberinya tempat beristirahat.

"Ternyata pria itu adalah Wildes, seorang petualang dan juga seorang guru pedang yang terkenal. Selama dia tinggal di peternakan kami untuk pemulihan, aku sering melihatnya berlatih dan menggunakan pedang dengan keterampilan yang luar biasa. Aku penasaran dan mulai mengikutinya ke mana-mana, bertanya banyak hal tentang pertempuran dan sihir.

"Suatu hari, dia melihatku berusaha keras untuk mengendalikan tanaman di sekitar kami tanpa tahu mengapa. Wildes menyadari bahwa aku memiliki kutukan Nightshade dan memutuskan untuk melatihku. Dia mengatakan bahwa kekuatan itu bisa menjadi aset jika aku bisa mengendalikannya dengan benar. Sejak saat itu, dia menjadi mentor dan sahabat bagiku.

"Wildes adalah orang yang sangat sabar dan bijaksana. Dia mengajarkanku banyak hal, tidak hanya tentang berperang, tapi juga tentang kehidupan dan tanggung jawab. Dia adalah orang yang membuatku percaya bahwa kutukanku bukanlah hukuman, melainkan sebuah tantangan yang harus kuatasi. Itulah bagaimana aku bisa belajar untuk mengendalikan kekuatanku dan akhirnya bertemu dengan kalian di sini."

Rise mengangguk, meskipun tampak sedikit kebingungan dengan semua detail yang diceritakan oleh Katze. "Jadi, Wildes adalah orang yang sangat berpengaruh dalam hidupmu. Itu sangat mengagumkan, Katze. Aku bisa melihat bagaimana kamu begitu terampil sekarang."

Rise berkomentar dengan senyum tipis. "Tapi aku rasa dia juga cukup menjengkelkan kadang-kadang."

Saat itu juga, Rise mulai berpikir dan berbicara dalam hati, "Kenapa Wildes bisa terluka? Apakah ada musuh yang mencarinya?"

Katze tertawa kecil mendengar komentar Rise. "Itu karena dia selalu memiliki cara yang unik untuk menguji kita, Rise. Tapi itulah yang membuat pelajaran yang dia ajarkan begitu berharga."

Rise mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski wajahnya masih terlihat ragu. "Orang itu... Kurasa lumayan, tapi kalau diingat dia agak menjengkelkan." Dia menambahkan sambil tertawa pelan.

Lina menoleh kearah Katze dengan senyum tipis di wajahnya. "Sepertinya kau punya hubungan yang cukup menarik dengan Wildes, Katze," ujarnya.

Katze tertawa kecil dan menjawab dengan senyuman, "Yah, aku rasa begitu. Wildes selalu menjadi sosok yang penuh kejutan dalam hidupku. Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah dia sengaja mencoba untuk menjengkelkan aku, tapi di balik itu semua, aku tahu dia peduli padaku."

Dengan semangat yang terangkat, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan. Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya menemukan gua yang dimaksud. Pintu masuk gua tampak menyeramkan, dengan lumut tebal yang menutupi dindingnya. Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, menggunakan pedang Hikari untuk menerangi jalan mereka.

Di dalam gua, suasana semakin gelap dan lembab. Mereka harus melalui berbagai rintangan, termasuk lorong-lorong sempit dan genangan air yang dalam. Setiap langkah terasa semakin berat, tetapi mereka tetap berjuang.

Rise menggerutu sambil melangkah, "Kenapa harus gua yang lembab ini, sih? Tempat ini membuatku merasa seperti masuk ke dalam mimpi buruk yang basah dan bau!" Dia menggaruk rambutnya yang terikat menjadi kuncir, merasa semakin tidak nyaman. "Luar biasa, benar-benar seperti berkeliling di bawah selimut basah sepanjang waktu. Aku bahkan lebih suka melawan monster daripada lewat sini!"

Katze menahan senyum dan Lina hanya tertawa pelan. Mereka berdua merasa lebih baik mendengarkan keluhan Rise daripada merasakan suasana gua yang sesungguhnya.

Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar di belakang mereka. Makhluk-makhluk bayangan mulai muncul dari kegelapan, mengintai mereka dengan mata merah yang menyala.

Lina dan Katze segera bersiap menghadapi ancaman tersebut, tetapi Rise masih melangkah dengan kesal, mengomel tentang keadaan gua yang lembab dan bau. Namun, tiba-tiba, makhluk-makhluk bayangan itu menyerang dengan cepat. Salah satu makhluk bayangan meluncur mendekati Rise dan menyerang kepalanya dengan cakar tajam.

"Rise, hati-hati!" teriak Katze saat melihat serangan itu.

Tapi, terlalu terlambat. Cakar makhluk bayangan menghantam kepala Rise, membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dengan terkejut. Darah mengalir dari luka di kepala Rise, bercampur dengan keringat dan debu.

Namun, dengan senyum sinis dan tatapan dingin, Rise mengangkat pedang Hikari-nya yang masih bercahaya. "Begitu saja? Jangan terlalu berharap banyak, makhluk-makhluk rendah," ucapnya dengan nada meremehkan. Dia bersiap menghadapi makhluk-makhluk bayangan tersebut dengan penuh keyakinan.

Tepat pada saat itu juga, Lina langsung merapalkan mantra perlindungan untuk Rise, tetapi tidak ada perubahan. Tubuh Rise tetap menolaknya.

"Lina, berikan mantra perlindunganmu pada Katze saja," perintah Rise dengan nada tajam.

Lina terkejut, tetapi dengan cepat mematuhi perintah Rise. Dia melafalkan mantra perlindungan dengan gerakan halus dan cepat, melingkupi Katze dengan cahaya perlindungan yang lembut.

Di tengah pertarungan sengit melawan sekumpulan makhluk bayangan, Rise merasakan tubuhnya bergetar karena banyaknya luka yang dideritanya. Darah menetes dari beberapa luka di tubuhnya, dan dia semakin terengah-engah.

"Akan kuhabisi kalian," kata Rise dengan nada yang dingin, suaranya terdengar tajam di tengah suara pertempuran yang hiruk-pikuk.

Namun, makhluk-makhluk itu tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Mereka terus menyerang dengan gerakan lincah dan serangan yang mematikan.

Rise berdiri tegak di depan mereka, memegang pedang Hikari dengan erat. Dia melirik Lina dan Katze yang berkumpul di satu tempat, dan kemudian dia berujar dengan nada tegas, "Bergabunglah dan tetaplah berdekatan."

Saat mereka dengan cepat berkumpul di satu tempat, Rise melambaikan pedang Hikari-nya, dan dengan nada yang sama dinginnya, dia mengucapkan, "Floral Shield."

Energi berbentuk kelopak mawar hitam memancar dari pedang Hikari, melingkari dan membungkus Lina dan Katze dengan perisai energi yang kuat. Perisai ini berkilauan, menciptakan penghalang yang akan melindungi mereka dari serangan musuh. Sementara itu, Rise tetap berada di depan, bersiap menghadapi makhluk-makhluk bayangan yang mengintai mereka dari kegelapan.

Tanpa membuang banyak waktu, Rise mengarahkan pedang Hikari ke arah monster-monster bayangan. Dengan mata yang bersinar penuh determinasi, ia mengucapkan dengan suara lantang, "Solar Cataclysm!"

Tiba-tiba, pedang Hikari memancarkan cahaya yang sangat terang, mengumpulkan kekuatan matahari dalam bilahnya. Dalam sekejap, ledakan cahaya yang sangat kuat tercipta, menyapu seluruh area gua.

Cahaya tersebut begitu terang dan panas, menghanguskan segala sesuatu di jalannya, termasuk makhluk-makhluk bayangan yang menyerang mereka.

Seketika, gua itu berubah menjadi lautan api yang membara, medan pertempuran kini dipenuhi dengan kobaran api yang mengerikan. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, Katze dan Lina tetap aman dan selamat, dilindungi oleh perisai energi berbentuk kelopak mawar hitam yang kuat dari Rise.

Lina dan Katze memandang sekitar dengan terkejut namun lega, sementara Rise tetap berdiri di depan mereka, matanya masih bersinar tajam, siap menghadapi apa pun yang mungkin datang selanjutnya.

Namun, napas Rise mulai terengah-engah, sulit baginya mengatur nafas setelah menggunakan teknik pamungkasnya. Tiba-tiba, suara mengerikan yang menggema di seluruh gua membuat mereka semua terdiam. Gua itu bergetar hebat, dan dari kegelapan, muncul sosok besar dengan sayap yang sangat besar, menggetarkan udara di sekitarnya.

Mata Lina melebar saat dia mengenali makhluk itu. Dengan suara penuh ketakutan, dia berteriak kepada Rise, "Itu adalah Naga Bayangan!"

Naga Bayangan mengepakkan sayapnya yang besar, menciptakan angin kencang yang membuat api dari serangan Rise berkobar semakin hebat. Mata merahnya menyala tajam, memancarkan aura kejahatan yang kuat. Rise, masih berusaha mengatur nafasnya, menatap makhluk itu dengan determinasi.

Dalam hatinya, Rise bergumam penuh frustrasi, "Serius? Harus naga? Tidak adakah yang lain selain naga brengsek ini?" Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi kemarahan dan rasa kesalnya terus menguasai pikirannya.

"Sialan, kenapa harus sekarang? Kenapa harus naga? Aku bahkan belum sempat sarapan yang layak pagi ini!" pikirnya, semakin kesal dengan situasi yang semakin tidak stabil.

Dia mengepalkan tangannya, menatap naga itu dengan kemarahan yang membara. "Dasar naga sialan! Kenapa tidak ada musuh yang lebih mudah, seperti serangga raksasa atau sesuatu yang lebih masuk akal? Ini benar-benar tidak adil!" Rise terus menerus mengutuk dan berkata kasar dalam hatinya, mencoba menemukan sedikit pelampiasan dalam kekesalannya yang mendidih.

Dengan tekad yang semakin kuat, Rise berbalik menghadap Katze dan Lina. "Kalian berdua, dengar!" serunya dengan suara tegas. "Pergi dari sini sekarang juga. Aku akan mengalahkan naga ini sekaligus menghancurkan gua ini. Kalian harus berlari sejauh mungkin dari sini."

Katze dan Lina saling memandang dengan ragu, tetapi melihat tekad di mata Rise, mereka tahu bahwa dia serius. "Tapi, Rise—" kata Katze, namun Rise memotongnya.

"Tidak ada tapi. Ini bukan waktu untuk berdebat. Cepat pergi sekarang! Aku akan mengurus ini," perintah Rise dengan tegas.

Lina menggenggam tangan Katze, dan mereka berdua mulai berlari menuju pintu keluar gua. "Hati-hati, Rise!" teriak Lina sebelum mereka menghilang ke dalam kegelapan hutan.

Rise menarik napas dalam-dalam, matanya kembali menatap Naga Bayangan dengan determinasi yang tak tergoyahkan. "Baiklah, naga brengsek. Mari kita akhiri ini."

Dengan tekad yang membara, Rise menggenggam pedang Hikari dengan erat. "Hikari, Sunburst!" teriaknya. Pedang itu memancarkan semburan cahaya matahari yang menyilaukan, menyebabkan ledakan energi yang menghancurkan musuh di sekitarnya. Cahaya yang sangat terang memenuhi gua, memaksa Naga Bayangan mundur sejenak karena silau.

Tanpa membuang waktu, Rise melesat maju ke arah Naga itu. Dengan gerakan yang cepat dan lincah, dia menyerang dan menghindari serangan balik dari Naga yang memberontak dengan ganas. Setiap kali Naga Bayangan mencoba menyerang dengan cakar atau ekornya, Rise berhasil menghindar dengan lompatan dan putaran yang cekatan.

"Seranganku harus lebih cepat," pikir Rise, terus berusaha mencari celah untuk menyerang. Naga itu mengeluarkan raungan marah dan melepaskan semburan api, tetapi Rise melompat ke samping, menghindari api tersebut dengan gesit.

"Dasar naga brengsek!" seru Rise, mengayunkan pedangnya lagi, menghasilkan semburan cahaya yang melukai Naga Bayangan. Naga itu mengibaskan ekornya dengan marah, tetapi Rise kembali menghindar dengan gesit.

Pertarungan terus berlanjut, dengan Rise terus melancarkan serangan sambil menghindari serangan balik dari Naga Bayangan. Setiap gerakan Rise dipenuhi dengan tekad dan keberanian, meskipun rasa kesal dan frustrasi masih menyelimuti pikirannya.

"Demi keselamatan mereka," pikir Rise, mengingat Katze dan Lina yang kini berlari menjauh dari gua. "Aku harus menghancurkan naga ini." Dengan semangat yang tak tergoyahkan, dia melanjutkan pertempuran sengit itu, berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan Naga Bayangan dan menghancurkan gua tempat makhluk itu bersembunyi.

Namun, saat dia sibuk berpikir untuk mengalahkan naga, fokusnya sedikit terganggu. Naga Bayangan melihat kesempatan ini dan dengan cepat menyerang dengan ekornya. Rise, yang terlalu sibuk dengan pikirannya, terlambat menghindar dan terkena pukulan keras dari ekor naga. Tubuhnya terlempar ke dinding gua, menyebabkan rasa sakit yang hebat.

Sebelum sempat bangkit, naga itu melancarkan serangan api ke arah Rise. Api menyembur, menutupi tubuhnya. Namun, berkat kutukan Aconite yang ada di jantungnya, tubuhnya tidak terbakar. Meskipun begitu, panasnya masih terasa dan dia merasakan nyeri yang menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Ugh... sialan," gumam Rise, bangkit dengan susah payah. Luka-luka yang ia terima memang parah, tetapi api itu tidak meninggalkan bekas luka bakar di kulitnya. Dia tahu ini karena kutukan Aconite yang memberi efek perlindungan terhadap api, namun rasa sakitnya tetap nyata.

Dengan nafas yang terengah-engah, Rise kembali berdiri tegak. "Tidak semudah itu, naga brengsek," katanya dengan determinasi yang kuat. Meskipun terluka, dia tidak akan menyerah. Dengan pedang Hikari di tangan, dia siap melanjutkan pertempuran melawan Naga Bayangan, bertekad untuk mengalahkannya demi keselamatan teman-temannya.

Rise akhirnya tidak memiliki pilihan lain lagi selain menghancurkan semuanya. Sekali lagi dia mengangkat pedang Hikari tinggi-tinggi, memanggil kekuatan cahaya yang terkandung di dalamnya. "Hikari, Sunburst!" teriaknya lagi. Semburan cahaya matahari yang menyilaukan kembali memenuhi gua, menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.

Namun, dia tahu bahwa ini belum cukup. Dengan tekad yang semakin kuat, Rise menggenggam pedangnya lebih erat. "Divine Judgement!" teriaknya dengan suara yang menggema di seluruh gua. Pedang Hikari mulai bergetar dan berubah, memancarkan cahaya ilahi yang lebih terang dari sebelumnya. Rise menggabungkan kekuatan cahaya dari Hikari dengan tekad dan kemurnian hatinya, mengubah pedang itu menjadi pedang suci yang memancarkan cahaya ilahi.

Dengan satu tebasan yang penuh kekuatan, Rise memanggil petir ilahi yang menghantam Naga Bayangan dengan kekuatan dahsyat. Ledakan besar terjadi, mengguncang seluruh gua. Cahaya terang dan kilat petir menghancurkan segalanya di sekitarnya, menciptakan kehancuran besar.

Namun, di tengah kilatan cahaya dan ledakan, Rise melihat sesuatu yang tak terduga. Naga Bayangan, meskipun terluka parah dan sekarat, berhasil selamat dari serangan tersebut. Dengan kekuatan terakhirnya, naga itu menggunakan bayang-bayang di dalam gua untuk kabur.

Rise tertegun, matanya terbuka lebar melihat naga yang seharusnya sudah terkalahkan berhasil melarikan diri. "Apa...? Tidak mungkin..." gumamnya dengan suara penuh kekagetan. Dia merasakan campuran antara kelelahan dan kekecewaan, menyadari bahwa musuhnya belum benar-benar terkalahkan.

Dengan nafas yang terengah-engah, Rise menurunkan pedangnya perlahan. Gua di sekelilingnya mulai runtuh akibat ledakan besar yang ia ciptakan. Meskipun Naga Bayangan berhasil melarikan diri, Rise tahu bahwa dia telah memberikan luka yang parah pada makhluk itu. 

"Demi keselamatan semua orang, aku harus mengejarnya dan memastikan bahwa naga itu tidak akan kembali lagi," pikir Rise dengan tekad baru. Dia berbalik dan mulai berjalan keluar dari gua yang runtuh, siap untuk melanjutkan perjuangannya melawan Naga Bayangan yang sekarang terluka dan dalam pelarian.

Rise bersiap untuk mengejar Naga Bayangan yang kabur, namun tiba-tiba Lina muncul di hadapannya, menjegat langkahnya. "Rise, tunggu! Kamu tidak bisa mengejarnya sekarang. Naga itu bersembunyi di balik bayangan dan kita tidak tahu di mana dia sekarang," kata Lina dengan nada cemas.

Rise, yang penuh tekad dan kelelahan, menggelengkan kepalanya. "Tapi aku harus memastikan dia tidak kembali...," katanya dengan suara yang mulai melemah. Rasa sakit dan kelelahan dari pertarungan membuat tubuhnya goyah.

Lina menatap Rise dengan penuh kekhawatiran. "Kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Kamu terluka parah dan perlu istirahat. Kita akan menemukan cara lain untuk mengalahkan naga itu," katanya dengan suara tegas.

Saat itu juga, rasa sakit yang luar biasa menyerang tubuh Rise. Matahnya mulai kabur dan kekuatannya menghilang. Dia merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar, lalu tubuhnya jatuh ke tanah. "Lina... Katze...," bisiknya sebelum akhirnya pingsan.

Katze yang melihat kejadian itu langsung bergerak cepat. "Lina, kita harus membawanya ke tempat aman sekarang juga," katanya dengan nada serius. Mereka berdua segera membawa tubuh Rise yang tak sadarkan diri, mencari tempat yang aman di luar gua yang hampir runtuh.

Dengan hati-hati, mereka membawa Rise menjauh dari gua, memastikan dia mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Katze dan Lina tahu bahwa mereka harus menjaga Rise dan merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. 

Malam telah tiba ketika Katze dan Lina akhirnya menemukan tempat yang aman untuk beristirahat di luar gua yang hampir runtuh. Mereka membangun api unggun kecil di antara reruntuhan gua, memberi mereka sedikit kehangatan di tengah malam yang dingin.

Rise akhirnya tersadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemah dan perih, namun dia merasakan panasnya api unggun di sekelilingnya. Dia melihat kedua pedangnya, Hikari dan Kage, tergeletak di dekat api. Hikari masih memancarkan cahaya lembut, sementara Kage tampaknya dalam keadaan tenang tanpa nyala apapun.

Ketika Rise mencoba bangkit, dia mendapati Lina dan Katze sedang sibuk memasak. Lina terlihat terkejut dan langsung menghampiri Rise dengan raut wajah yang kesal. "Kamu benar-benar membuatku khawatir, Rise! Kenapa kamu tidak dengar kata-kataku dan tetap tinggal di gua?! Apa yang ada di pikiranmu sampai mau mati konyol di sana?" omel Lina sambil memukul lembut punggung Rise.

Rise hanya mengangguk ketakutan dan merintih lembut. "Maaf, Lina. Aku hanya... aku harus memastikan Naga itu tidak kembali. Aku tidak ingin ada yang terluka lagi," katanya pelan, suaranya lemah.

Lina mendesah dan menarik Rise ke dalam pelukannya. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Rise. Kita tahu kamu hanya mencoba melindungi kita semua. Tapi kali ini, biarkan kami merawatmu dan jangan coba-coba lagi untuk melakukan hal gila seperti itu," ujar Lina dengan lembut.

Lina masih Rise dengan lembut, namun omelannya tak berhenti. "Kamu benar-benar sangat ceroboh, Rise! Harusnya kamu lebih peduli dengan keselamatan dirimu sendiri daripada terus menerus mencoba menjadi pahlawan," omelnya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang terselip dalam nada marah.

Rise hanya mengangguk, mendengarkan setiap kata dari Lina dengan penuh penyesalan. Dia tahu bahwa tindakannya telah membuat teman-temannya cemas dan khawatir. Sambil menahan sedikit rasa sakit, dia merasa bersyukur masih memiliki mereka di sampingnya.

Sementara Lina terus berkomentar tentang tindakan gegabah Rise, Katze hanya memandang mereka dengan ekspresi prihatin. Dia sibuk menyiapkan makanan yang sudah matang, menyajikannya di piring-piring untuk mereka makan bersama. Setelah selesai menyiapkan, dia duduk di dekat api unggun sambil memandangi Rise yang terus diomeli oleh Lina.

"Sudahlah, Lina. Kita semua tahu Rise hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk melindungi kita semua," kata Katze dengan suara lembut. "Tapi kamu benar, Rise. Jangan terlalu memaksakan diri. Kami akan merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati," tambahnya.

Rise hanya tersenyum kecil, merasa lega karena ada yang memahami. Dia melihat piring makanan yang sudah disiapkan oleh Katze dan Lina, merasa bersyukur bisa bersama teman-temannya di tengah malam yang gelap dan dingin ini.

Rise mendesah lembut, mencoba untuk mendorong dirinya lebih kuat. "Lina... aku janji, aku tidak akan melakukannya lagi," katanya pelan, suaranya lembut dan sedikit merengek.

Lina menghentikan omelannya sejenak dan menatap Rise dengan ekspresi lembut namun masih penuh kekhawatiran. "Kamu benar-benar harus berhati-hati, Rise. Kami semua peduli padamu," jawabnya, kali ini nada suaranya lebih lembut.

Katze tersenyum kecil, mencoba untuk membantu meredakan suasana. "Mari kita makan dan istirahat dulu. Kita bisa merencanakan langkah selanjutnya besok dengan kepala dingin," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Pada akhirnya, mereka mulai menikmati makan malam dengan suasana yang lebih tenang setelah Lina berhenti mengomel. Katze, dengan keterampilannya, menyajikan makanan yang lezat di antara mereka. Rise memakan makanan itu dengan pelan dan menikmati setiap gigitan, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang telah lama tidak dirasakannya.

Setelah makan malam, mereka berbaring di dekat api unggun untuk beristirahat. Rise merasa tubuhnya sangat lelah, tapi pikirannya terus berputar tentang rencana selanjutnya dan bagaimana mereka bisa mengalahkan Naga Bayangan.

Namun, malam yang seharusnya tenang itu berakhir dengan suara teriakan kesakitan dari Rise saat dia tidur. Lina dan Katze mendengar jeritan Rise dan segera bangkit untuk memeriksa keadaan. Lina menatap Rise dengan khawatir, merasa cemas dengan keadaan Rise yang tidak sepenuhnya pulih.

Katze menghela napas dan menatap Lina. "Aku akan berjaga di sini, Lina. Kamu coba tidur sebentar," katanya lembut, mencoba menenangkan Lina.

Lina mengangguk, walau dengan ragu-ragu, dan mencoba tidur sejenak. Sementara itu, Katze tetap berjaga di dekat api unggun, memastikan Rise tetap aman dan terkendali.

Setelah beberapa saat berjaga-jaga, akhirnya Rise tampak tenang dalam tidurnya. Lina menghela napas lega melihat kondisi Rise yang mulai membaik. Katze, yang sudah lelah setelah berjaga semalaman, akhirnya merasa tenang dan memutuskan untuk tidur sejenak.

Dengan Rise yang akhirnya bisa tidur dengan tenang, suasana di sekitar api unggun menjadi lebih tenang. Keduanya terlelap dalam tidur, beristirahat sejenak dari hari yang panjang dan penuh perjuangan.