webnovel

Kekalahan Naga Bayangan dan Kelulusan

Pagi hari tiba, dan Lina serta Katze terkejut melihat perubahan pada Rise. Tubuhnya tampak hampir pulih sepenuhnya dalam semalam setelah pertempurannya di dalam gua yang hampir merenggut nyawanya. Meskipun masih ada sedikit rasa sakit dan kelemahan, Rise terlihat lebih segar dan bersemangat.

Lina menatap Rise dengan penuh kekhawatiran. "Bagaimana kamu merasa sekarang? Apakah ada rasa sakit yang tersisa?" tanyanya sambil membantu Rise duduk.

Rise mencoba tersenyum, meskipun masih terasa sedikit lemah. "Aku baik-baik saja, Lina. Hanya butuh sedikit waktu untuk pulih sepenuhnya. Terima kasih sudah merawatku semalam," jawab Rise dengan suara lembut.

Katze mendekati mereka dan menatap Rise dengan penuh perhatian. "Kamu tampaknya sudah lebih baik dari sebelumnya. Tapi kita masih harus berhati-hati dengan Naga Bayangan. Kita tidak bisa menganggap remeh ancaman ini," kata Katze dengan suara serius.

Rise mengangguk. "Aku tahu, kita harus menemukan cara untuk menghadapinya dengan lebih baik. Mungkin kita bisa mencari informasi lebih lanjut tentang kelemahan Naga Bayangan dan memanfaatkannya dalam pertempuran berikutnya," usul Rise.

Lina mengangguk setuju. "Kita harus berhati-hati dan merencanakan strategi dengan lebih matang. Jangan terburu-buru dan mencoba menjadi pahlawan," katanya dengan suara lembut.

Lina menghela napas sambil mengomeli Rise, "Kamu tahu, Rise, seharusnya kamu tidak terlalu ceroboh dalam menghadapi Naga Bayangan kemarin. Kita perlu merencanakan serangan dengan lebih matang dan jangan langsung terjun ke dalam pertempuran dengan harapan bisa menyelesaikannya dengan satu serangan," ucapnya dengan nada tegas.

Rise hanya mengangguk, merasa sedikit malu dengan omelan Lina. "Aku tahu, Lina. Aku akan lebih berhati-hati," jawab Rise, mencoba tetap tenang.

Katze mengamati interaksi mereka dengan senyum tipis di wajahnya. "Kalian berdua memang seperti adik-kakak, selalu saling mengomeli," katanya dengan tawa ringan.

Lina melemparkan pandangan kesal pada Katze sebelum kembali menatap Rise. "Bagaimana pun, kita harus bersiap lebih baik kali ini. Kita harus mencari tahu kelemahan Naga Bayangan agar kita bisa merencanakan serangan yang lebih efektif," katanya dengan serius.

Rise hanya mengangguk lagi, menyadari pentingnya mendengarkan nasihat teman-temannya dan merencanakan serangan dengan cerdas. "Kita harus mencari informasi sebanyak mungkin dan merencanakan langkah selanjutnya dengan matang," tambahnya.

Rise terdiam sejenak, seolah-olah mencoba mengingat sesuatu. Lalu, dia memotong omelan Lina dengan suara pelan. "Lina, Katze... ingat tidak? Kita sebenarnya sedang mencari Batu Keberanian di dalam gua kemarin. Meskipun gua sudah runtuh, bukankah seharusnya mencari batu itu lebih mudah sekarang?" ujarnya, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari omelan Lina.

Lina tampak terkejut dengan saran Rise. "Hmm, kamu benar. Jika gua sudah runtuh, maka seharusnya batu itu bisa terungkap di permukaan. Kita bisa mencoba mencarinya di sekitar reruntuhan," kata Lina, mencoba mempertimbangkan rencana baru.

Katze mengangguk setuju. "Tapi kita tetap harus berhati-hati. Mungkin ada jebakan tersembunyi yang bisa membuat kita terjebak lagi," tambahnya, dengan nada serius.

Lina dan Katze mengikuti Rise saat dia teringat dengan rencana pencarian Batu Keberanian yang mereka bicarakan sebelumnya. Walaupun gua yang semalam mereka tempati sudah runtuh, mereka berpikir mungkin akan lebih mudah mencari batu itu sekarang.

Namun, ketika mereka memasuki gua yang telah runtuh, Rise tidak sengaja tersandung sebuah jebakan tersembunyi dan jatuh ke dalam sebuah celah kecil di dasar gua. Teriakannya bergema di dalam gua yang gelap, sebelum akhirnya suara itu perlahan-lahan memudar.

Lina dan Katze hanya bisa menghela napas dan menatap satu sama lain dengan cemas. "Sial, apa yang dia lakukan?" kata Lina dengan suara pelan.

Katze hanya menggelengkan kepalanya. "Tampaknya kita harus membantu dia keluar dari sana. Aku yakin dia baik-baik saja, hanya terjatuh, tapi kita harus memastikan," jawab Katze, dengan nada khawatir.

Mereka berdua segera berusaha mencari jalan untuk mendekati celah tempat Rise jatuh, dengan hati-hati mencari jalan untuk menurunkan diri mereka sendiri agar bisa membantu Rise keluar.

Setelah usaha mereka menemukan jalan untuk menurunkan diri ke celah di gua, Lina dan Katze akhirnya berhasil mencapai Rise. Mereka melihatnya duduk terjatuh dengan wajah sedikit kesal tapi tidak terluka parah.

Lina dengan suara kesal berkata, "Rise, kamu benar-benar membuat kami khawatir! Apa yang ada di pikiranmu sehingga kamu tidak bisa lebih berhati-hati?"

Katze ikut menambahkan, "Lina benar, Rise. Kami sudah berbicara tentang merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Jangan sampai ceroboh seperti ini lagi, bisa membahayakan nyawamu."

Rise hanya tersenyum kecut, mencoba tidak terlihat terlalu malu. "Ya, ya, aku mengerti. Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang," jawabnya dengan sedikit canggung.

Lina menghela napas dan membantu Rise berdiri. "Baiklah, kita harus keluar dari sini dan melanjutkan rencana pencarian batu itu. Jangan sampai kita kehilangan waktu karena kejadian ceroboh ini," katanya dengan serius.

Setelah berhasil keluar dari tempat Rise terjatuh, mereka melanjutkan pencarian Batu Keberanian semakin dalam ke gua. Namun, saat mereka menjelajahi gua lebih lanjut, Rise merasa tercengang saat melihat bekas pertempuran sebelumnya dengan Naga Bayangan masih jelas terlihat di dinding gua.

"Wow," ucap Rise perlahan, sambil mengamati bekas retakan besar dan bekas-bekas api yang masih tampak membekas di dinding gua. "Ternyata kekuatan Naga Bayangan begitu besar hingga menghancurkan bagian gua ini," tambahnya dengan keterkejutan.

Lina menatap dinding gua dengan cermat, merasa ngeri melihat dampak pertempuran yang dihasilkan. "Kamu benar, Rise. Kita harus lebih berhati-hati saat melanjutkan pencarian ini," katanya dengan nada khawatir.

Katze hanya mengangguk setuju, merasa sedikit cemas melihat jejak pertempuran yang terjadi. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berharap untuk menemukan Batu Keberanian tanpa terjebak dalam masalah lain.

Setelah berjalan cukup lama ke dalam gua, Lina, Katze, dan Rise terkejut ketika mereka menemukan sebuah gerbang berwarna hitam, dilapisi dengan duri mawar yang masih kokoh berdiri. Tanaman dan lumut tumbuh dengan rimbun di sekitar gerbang itu, memberikan kesan misterius dan mengancam.

"Lihat ini," kata Rise sambil menunjuk ke gerbang itu. "Ini terlihat seperti pintu ke tempat yang sangat rahasia," tambahnya dengan suara gemetar.

Lina mengamati gerbang itu dengan seksama, mencoba memahami apa yang ada di balik pintu. "Ini pasti ada hubungannya dengan Batu Keberanian. Gerbang ini tampaknya menjadi pintu menuju tempat yang memiliki energi kuat," ujarnya dengan suara serius.

Katze mengangguk, "Benar, kita harus berhati-hati. Gerbang ini mungkin merupakan pertahanan terakhir sebelum kita menemukan Batu Keberanian," katanya sambil melihat ke arah gerbang.

Mereka bertiga dengan hati-hati mendekati gerbang itu, merasa cemas dan penasaran dengan apa yang mungkin ada di balik pintu itu.

Setelah memasuki gerbang itu, Rise merasakan sensasi aneh di tubuhnya. Tiba-tiba, jantungnya yang memiliki kutukan Aconite bereaksi. Aura hitam yang sangat tipis melingkupi tubuhnya, memberikan nuansa yang gelap dan misterius.

"Lihat itu," kata Lina, melihat perubahan pada Rise dengan cemas. "Apa yang sedang terjadi?"

Rise mengerutkan kening, mencoba memahami perasaan yang aneh ini. "Aku tidak tahu," jawabnya dengan suara bergetar. "Tapi aku merasa... berbeda. Seperti ada energi yang keluar dari dalam diriku."

Katze mendekat, mengamati aura hitam yang muncul dari Rise. "Apa ini? Apakah ini ada hubungannya dengan kutukanmu?" tanyanya dengan suara rendah.

Rise menggelengkan kepalanya, merasa kebingungan. "Entah bagaimana, sepertinya kutukan Aconite ini memiliki ikatan dengan tempat ini. Sepertinya ada sesuatu yang mempengaruhinya," ujarnya dengan nada cemas.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, penasaran dan cemas tentang apa yang menanti mereka di dalam gua ini.

Setelah menyusuri gua lebih dalam, mereka bertiga mulai menjelajahi area berbeda-beda untuk mencari Batu Keberanian. Lina menemukan armor berkarat yang tampaknya sudah tidak lagi berfungsi. Katze menemukan sebuah artefak aneh yang tidak tampak berguna dalam pencariannya.

Lina menggelengkan kepalanya dengan kesal, "Hanya armor berkarat ini yang bisa kudapatkan di tempat seperti ini," katanya sambil menyentuh besi tua itu dengan jari-jari ragu-ragu.

Katze, yang sedang memeriksa artefak aneh yang dia temukan, mengerutkan kening. "Dan ini hanya benda tak berguna lainnya. Aku bahkan tidak tahu apa gunanya ini," gumamnya dengan sedikit kecewa.

Sementara itu, Rise terus melanjutkan pencariannya dengan penuh harap. Dia mencari-cari di antara batu-batu besar dan tumpukan debu hingga matanya tertuju pada sesuatu yang mencolok. Di langit-langit gua, tergantung sebuah pedang yang tampaknya terbuat dari besi, dililit oleh rantai ungu dan akar berduri.

Rise terperanjat saat melihat pemandangan itu dan segera berteriak, "Lina! Katze! Cepat ke sini!" serunya, suaranya bergema di dinding gua yang kosong.

Lina dan Katze mendengar panggilannya dan segera bergegas ke arah Rise. Mereka melihat apa yang dia temukan, dan mata Lina tampak terbelalak. "Apa itu?" tanyanya, suaranya hampir terengah-engah.

Katze mengerutkan kening, melihat pedang itu dengan penuh perhatian. "Entah apa yang sedang terjadi, tapi ini berbeda dari yang lain," katanya sambil memeriksa dengan cermat rantai dan akar berduri yang melilit pedang itu.

Rise tanpa pikir panjang langsung melompat dan menggunakan pedang Hikari untuk memotong rantai dan akar berduri yang melilit pedang itu. Pedang itu terlepas dengan gesit dan terjatuh ke tanah, langsung tertancap kuat di bebatuan.

Lina dan Katze melihat Rise dengan pandangan terkejut. "Rise, apa yang kamu lakukan?" tanya Lina dengan sedikit kebingungan.

Rise memandang pedang itu dengan ekspresi yang tegas. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu di sini yang perlu kutemukan," jawabnya sambil meraih pedang itu dari tanah dan memeriksanya dengan cermat.

Katze mendekat dan melihat pedang itu dengan minat yang sama. "Itu berbeda dari yang lain. Sepertinya pedang ini memiliki ikatan khusus denganmu," komentarnya sambil mengamati perbedaan pada hiasan di pedang tersebut.

Lina menggelengkan kepalanya dengan rasa ingin tahu. "Apakah ini hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?" tanyanya dengan cemas.

Setelah Rise meraih pedang itu, tubuhnya mulai mengalami getaran yang hebat. Matanya yang awalnya hitam pekat mulai berubah kembali menjadi mata awalnya, yaitu biru muda. Sedangkan pedang yang diraih Rise mulai berubah, bilahnya menjadi hitam pekat.

Tapi, Rise merasakan sakit di dadanya, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Dia menggigit bibirnya mencoba menahan rasa sakit itu. "Agh," desis Rise perlahan.

Katze dan Lina bergegas mendekat. "Rise, apa yang terjadi?" tanya Katze dengan cemas.

Lina melihat perubahan pada pedang dan Rise dengan cermat. "Apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya, suara khawatir di balik suaranya.

Rise mencoba menarik nafas panjang, menyesuaikan diri dengan perubahan di tubuhnya. "Aku merasa… berbeda. Pedang ini mengubah bentuknya, dan sekarang aku merasakan sesuatu bergerak di dalam diriku," jawabnya sambil merasakan sakit di dadanya mereda perlahan.

Dan beberapa saat kemudian, rasa sakit itu mulai mereda dan akhirnya menghilang. Pedang itu perlahan bergerak ke belakang punggung Rise dan ikut menghilang. Rise terkejut dan mengangkat tangan ke belakang punggungnya, merasa kosong.

Katze dan Lina saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut dan bingung. "Apa yang terjadi?" tanya Lina, suaranya terdengar gemetar.

Rise menggelengkan kepalanya, masih merasa bingung. "Aku tidak tahu. Rasanya seperti… ada sesuatu yang menyatu dengan tubuhku," jawab Rise pelan.

Katze mengamati Rise dengan penuh perhatian. "Mungkin pedang itu memiliki ikatan khusus denganmu," katanya sambil mengerutkan kening.

Lina mengangguk. "Sepertinya begitu. Mungkin kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang pedang ini dan mengapa bisa terjadi seperti ini," kata Lina dengan penuh semangat.

Rise akhirnya menggerutu lagi dan berteriak, "Serius? Kutukan lagi? Aku sudah lelah memiliki dua kutukan sekarang ini!"

Lina mendengus, "Tapi mungkin pedang ini ada hubungannya dengan kutukan Aconite yang ada di dirimu. Seperti ada semacam ikatan yang membantumu mengendalikan kekuatan pedang ini," jawab Lina sambil mengamati pedang yang telah menghilang tadi.

Katze mengangguk. "Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam terkait dengan pedang ini dan kekuatanmu. Mungkin kita perlu mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah pedang ini dan mengapa ia bereaksi denganmu," tambah Katze.

Rise menghela napas berat. "Aku benci merasa seperti mencoba memecahkan teka-teki tanpa akhir ini," katanya sambil menggelengkan kepalanya.

Akhirnya, mereka bertiga memutuskan untuk melupakan kejadian pedang dan fokus pada pencarian Batu Keberanian. Dengan tekad yang kuat, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke dalam gerbang yang ada di gua ini, mencari petunjuk atau tanda-tanda keberadaan batu itu.

Mereka melewati koridor-koridor gua yang gelap dan berliku, menelusuri setiap sudut dan celah yang memungkinkan mereka menemukan batu berharga itu. Setelah beberapa jam mencari, mereka sampai di ruang besar dengan stalaktit dan stalagmit yang menjulang tinggi. Di tengah ruang itu, ada jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Batu Keberanian mungkin tersembunyi di sana.

"Ini harus menjadi tempatnya," kata Lina sambil memeriksa sekeliling.

Katze mengangguk. "Mari kita cari lebih dalam lagi. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan," sarannya.

Rise ikut bergabung, mencari jejak-jejak yang mungkin mengarah ke Batu Keberanian. Mereka memeriksa setiap sudut, setiap celah, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut.

Dan ternyata benar saja, di salah satu sudut ruang besar itu, ada peti besar yang tampak mencolok di antara stalaktit dan stalagmit. Dengan hati-hati, Katze membuka peti itu, dan di dalamnya, terletak Batu Keberanian yang mereka cari-cari. Batu itu bersinar lembut dalam sorotan cahaya dari pedang Hikari milik Rise, memancarkan kilauan kebiruan yang memikat.

"Lihat, kita menemukannya!" teriak Katze dengan wajah berbinar.

Lina dan Rise mendekat dengan senyum lega. "Sungguh, kita berhasil," kata Lina, bernafas lega.

Katze mengangguk, tersenyum. "Terima kasih kalian berdua sudah membantu mencari," katanya dengan senyum tulus.

Mereka bertiga merasa lega dan puas dengan pencapaian ini. Dengan Batu Keberanian di tangan, mereka bersiap untuk keluar dari gua ini dan membawa pulang harta yang berharga ini. Namun, sebelum meninggalkan gua, Rise berteriak, "Kami berhasil menemukannya!" sebelum akhirnya terhenti karena nyeri pada tubuh Rise.

Lina dan Katze tertawa melihat kelucuan Rise, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari gua dengan membawa Batu Keberanian dan pengalaman berharga dari petualangan mereka.

Lina dan Katze keluar terlebih dahulu dari gua runtuh itu dengan senyuman di wajah mereka, merasa lega dan puas. Namun, begitu mereka melangkah ke luar, ekspresi mereka berubah ketika mereka melihat naga bayangan yang sedang menunggu di depan pintu keluar.

Rise, yang keluar terakhir dari gua, terkejut melihat mereka tiba-tiba berhenti. "Kenapa kalian berhenti?" tanyanya, tapi dia juga terdiam ketika melihat naga bayangan itu.

Naga bayangan mengepakkan sayapnya, memancarkan aura gelap yang terasa menindas. "Kalian pikir kalian bisa melarikan diri begitu saja setelah mencoba mengganggu wilayahku?" dengus naga itu dengan suara mendesis.

Rise mengerutkan kening dengan bingung, mencoba menahan senyumnya. "Oh, ternyata naga ini juga bisa bicara seperti ular raksasa dan anak naga api yang pernah aku kalahkan," cibirnya sambil menyeringai. 

Naga bayangan itu mendengus keras, seakan tidak terkesan dengan sikap Rise. "Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi, manusia kecil," kata naga itu dengan nada angkuh. "Kalian telah melanggar wilayahku dan harus mempertanggungjawabkannya."

Rise mengedarkan pandangannya pada Lina dan Katze, memberi isyarat kepada mereka untuk mundur sebentar. "Pergilah, atur rencana kalian sendiri," ujarnya dengan suara tegas.

Lina dan Katze saling berpandangan, lalu mengangguk. Mereka tahu betul bahwa Rise ingin mencoba menyelesaikan situasi ini dengan caranya sendiri sebelum pertarungan dimulai.

Setelah mereka mundur beberapa langkah, Rise berbalik menghadap naga bayangan itu. "Baiklah, naga sombong. Mari kita berbicara sebelum kita berurusan lebih jauh," katanya dengan suara penuh keyakinan.

Rise memandang naga bayangan itu dengan cermat, mengamati kilau merah dalam mata naga itu. "Aku harus mengakui, naga sombong," katanya dengan senyum tipis. "Kau berhasil bertahan dari serangan pamungkasku kemarin. Bahkan regenerasimu cukup cepat."

Naga itu meliriknya sekilas dengan tatapan tajam. "Terima kasih, manusia lemah," sahut naga itu dengan nada meremehkan. "Tapi pertarungan ini masih jauh dari selesai. Apakah kau yakin bisa menghadapiku lagi dengan kekuatan yang sama?"

Naga itu melirik Rise dengan sinis. "Rencana apa yang bisa kau lakukan, manusia yang terluka?" tanyanya dengan nada merendahkan. "Kau pikir bisa mengalahkanku dengan keadaanmu sekarang?"

Rise tersenyum lebih lebar, meski terasa gemetar. "Oh, aku punya trik lain dalam sakuku," katanya sambil memegang pedang Hikari dengan erat. "Kau mungkin telah bertahan dari serangan pamungkasku kemarin, tapi aku belum menunjukkan segalanya. Kita lihat siapa yang bisa bertahan lebih lama."

Rise tertawa dalam hati saat menyadari bahwa melawan naga tidak akan membantu jika dia berharap menemukan senjata rahasia di saku celananya. Dengan cemas, dia menyeringai dan berkata, "Oke, jadi mungkin aku tidak punya trik rahasia di saku celana. Tapi aku punya tekad dan semangat yang lebih besar untuk menantang naga sepertimu!"

Sang naga mengepakkan sayapnya dengan gerakan cepat, menciptakan gelombang bayangan yang melesat ke arah Rise. Dia hanya bisa berkelit dengan gesit, berusaha menghindari serangan-serangan itu sambil merasakan setiap lekukan tubuhnya yang masih sakit akibat pertempuran sebelumnya. Meski begitu, tekad Rise untuk melawan masih kuat.

Naga Bayangan mengepakkan lagi sayap besarnya, menciptakan arus bayangan yang menyapu ke arah Rise. Dia berusaha mengelak, tapi masih merasakan sengatan luka dari pertempuran sebelumnya. Sang naga tampaknya semakin bersemangat, dengan cerdik menyesuaikan serangannya, mencoba mengejar Rise dengan bayangannya yang terus melesat.

Rise dengan cepat melompat ke samping, menghindari serangan pedang bayangan yang tajam. Dia meraih pedang Hikari dengan tangan yang gemetar, mencoba memanfaatkannya untuk melawan sang naga. Cahaya pedang itu memancarkan kekuatan aneh yang membantu Rise mengusir sebagian bayangan naga, tapi dia tahu ini tidak cukup.

Dengan penuh ketegangan, Rise mencoba mencari kelemahan sang naga. Dia melompat lagi ketika naga itu mencoba melilitkan bayangan tajamnya ke tubuh Rise, dan mendekat dengan gesit, mencoba menghantam pedangnya ke sayap sang naga. Namun naga itu segera menghindar, bergerak lebih cepat dari yang Rise perkirakan.

Pertarungan itu berlangsung seperti tarian maut, dengan Rise berusaha keras menghindar dan naga itu selalu mencari celah untuk menghantam. Rise merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, tubuhnya semakin lelah, tapi dia tetap teguh dalam tekadnya untuk melawan.

Dengan pertempuran yang berlangsung sengit, Rise berjuang untuk mengalahkan Naga Bayangan. Dia tahu ini adalah momen yang krusial. Dalam upaya terakhir, Rise mengaktifkan jurus pamungkasnya, "Divine Judgement," kali ini dengan bantuan dari Lina dan Katze yang memberikan buff pada Rise. Sebelumnya, tubuh Rise menolak kekuatan tambahan ini, tapi kali ini, untuk pertama kalinya, tubuhnya merespon positif. Cahaya dari pedang Hikari menyinari hampir kesemua hutan kegelapan, dan Rise merasakan energi yang mengalir melalui tubuhnya.

Meskipun begitu, Rise hanya mampu merasakan efek dari buff itu sejenak. Tubuhnya masih terasa lelah dan terbebani oleh luka-luka dari pertempuran sebelumnya. Namun, dengan dorongan ini, Rise berhasil memanfaatkan kekuatan jurus pamungkasnya untuk melancarkan serangan yang jauh lebih kuat dan presisi.

Dengan tekad kuat, Rise melesat maju, pedang Hikari mengeluarkan kilauan cemerlang saat dia menghantam naga itu. Bersamaan dengan serangannya, Lina dan Katze membantu dengan memberikan kekuatan tambahan untuk meningkatkan serangan Rise. Dengan gerakan cepat dan tepat, Rise berhasil memisahkan kepala Naga Bayangan dari tubuhnya dengan serangan pamungkasnya.

Naga itu roboh, terkapar di tanah, kepalanya jatuh terpisah dari tubuh. Pertarungan sengit itu akhirnya berakhir, dan Rise merasakan kepuasan dalam dirinya meskipun tubuhnya terasa hancur.

Lina dan Katze mendekat, dengan senyuman lega. Mereka memberikan tepuk tangan pada Rise yang baru saja memenangkan pertempuran. Rise hanya terengah-engah, mencoba meredakan rasa sakit dan kelelahan yang menghampirinya.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya," ujar Rise sambil berusaha bernapas dengan teratur.

Katze dan Lina hanya tersenyum, mengerti perjuangan yang baru saja dilewati Rise. Mereka membantu Rise berdiri dan membimbingnya keluar dari gua yang telah runtuh itu.

"Terima kasih telah membantuku," kata Rise dengan suara lemah.

Lina dan Katze hanya mengangguk, memberikan dukungan pada Rise, sebelum mereka semua kembali ke Prosperum Urben untuk bertermu Master Hiro dengan Batu Keberanian di tangan dan kemenangan yang sulit diraih di hati.

Setelah kemenangan mereka atas Naga Bayangan, Rise yang masih lemas karena kelelahan dan luka-luka, digendong oleh Katze saat mereka kembali menuju Master Hiro. Langkah mereka terasa lambat, tapi tekad mereka untuk menyelesaikan misi ini tetap kuat.

Ketika mereka tiba di bawah pohon di depan kuil yang telah dihancurkan Rise saat berlatih dengan Boneka Pedang, Master Hiro masih duduk di tempat yang sama, membaca scroll nya dengan tenang. Melihat kedatangan mereka, Master Hiro menutup scroll itu dan tersenyum saat mereka mendekat.

Katze menurunkan Rise di depan Master Hiro, dan Rise mencoba berdiri dengan bantuan teman-temannya. Master Hiro mengamati mereka dengan tatapan penuh kasih dan pengetahuan, seolah-olah tahu betul apa yang telah mereka lalui.

"Selamat atas kemenangan kalian," kata Master Hiro, suaranya tenang namun penuh makna.

Rise mengangguk, masih mencoba bernapas dengan teratur. "Terima kasih, Master Hiro," jawabnya, suaranya masih lemah.

Master Hiro menatap Batu Keberanian yang mereka bawa. "Sekarang tugas kalian telah selesai, kalian telah membuktikan diri sebagai petarung yang tangguh," kata Master Hiro dengan lembut. "Namun, perjalanan kalian belum berakhir. Batu Keberanian ini hanyalah awal dari langkah besar dalam perjalanan kalian."

Lina dan Katze mendengarkan dengan seksama, sementara Rise mencoba merangkai kembali tenaga yang tersisa di dalam tubuhnya.

Master Hiro melanjutkan, "Ada banyak lagi yang harus kalian pelajari dan banyak lagi yang harus kalian hadapi. Pertempuran melawan kejahatan tidak akan pernah selesai, dan kalian harus tetap waspada."

Dengan peringatan itu, Master Hiro memberikan Batu Keberanian pada mereka. "Sekarang, kalian dapat membawa Batu Keberanian ini sebagai simbol keberanian dalam hati kalian. Dan ingatlah, kalian selalu dapat kembali kepada kami untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan."

Rise, Lina, dan Katze mengangguk, memahami berat tanggung jawab yang mereka emban. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan kini mereka bersiap untuk melanjutkan petualangan mereka dengan tekad yang lebih kuat dan hati yang penuh semangat.

Malam itu, setelah mereka beristirahat, Master Hiro memanggil mereka untuk berkumpul di bawah pohon besar di depan kuil. Matahari telah tenggelam, dan langit dipenuhi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip, memberikan suasana yang tenang dan penuh refleksi.

Master Hiro duduk dengan anggun di bawah pohon, sementara Rise, Lina, dan Katze berkumpul di depannya. Mereka semua merasa lelah tapi puas setelah pertarungan yang panjang dengan Naga Bayangan.

"Anak-anak muda," kata Master Hiro dengan suara lembut. "Saya ingin mengumumkan keberhasilan kalian dalam misi ini dan kelulusan kalian."

Katze dan Lina saling berpandangan dengan keterkejutan yang jelas di wajah mereka. Mereka merasa bahwa latihan mereka masih jauh dari kata sempurna dan waktu yang mereka habiskan bersama Master Hiro masih sangat singkat. Tapi Master Hiro melihat ke dalam diri mereka dan memahami potensi yang mereka miliki.

"Kelulusan ini bukan tentang waktu yang telah kalian habiskan, melainkan tentang semangat dan tekad yang telah kalian tunjukkan," lanjut Master Hiro. "Kalian telah menghadapai bahaya dan keluar sebagai pemenang, itulah yang menentukan kelulusan ini."

Rise mencoba untuk duduk tegak, meskipun masih terasa sakit di tubuhnya. Lina dan Katze menerima kabar ini dengan penuh rasa syukur, tapi tetap merasa sedikit ragu.

"Namun, perjalanan kalian baru dimulai," lanjut Master Hiro. "Kelulusan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Masih banyak yang harus kalian pelajari, masih banyak rintangan yang akan kalian hadapi. Tetapi saya percaya bahwa kalian akan menghadapi setiap tantangan dengan semangat dan tekad yang sama."

Lina dan Katze mengangguk, merasa bahwa mereka masih harus banyak berjuang dan belajar. Namun, mendengar kata-kata Master Hiro memberi mereka motivasi dan semangat untuk terus melangkah maju.

"Sekarang, istirahatlah," kata Master Hiro. "Besok, kalian akan melanjutkan perjalanan kalian. Bersiaplah untuk petualangan berikutnya."

Dengan itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat mereka untuk beristirahat. Meski masih merasa ragu, semangat dan keyakinan mereka tumbuh lebih kuat dengan kelulusan yang diberikan oleh Master Hiro.

Pada keesokan harinya, Master Hiro memanggil Rise, Lina, dan Katze untuk menjelaskan petualangan berikutnya. "Setelah pencapaian kalian, saya rasa sudah saatnya kalian melanjutkan perjalanan," kata Master Hiro dengan senyum lembut. "Rise, aku akan mengizinkanmu kembali ke Kerajaan Gothern Varka. Keluarga dan tanah airmu pasti menantikan kepulanganmu."

Rise tersenyum lebar, tak bisa menutupi kebahagiaannya akhirnya bisa kembali ke rumah. "Terima kasih, Master Hiro," jawab Rise, suaranya penuh kegembiraan. "Aku pasti akan membawa Lili ke sini suatu hari nanti."

Lina yang mendengarkan tersenyum kecil. Dia ingat janjinya kepada Rise untuk membawanya menemui Putri Lili di Kerajaan Gothern Varka. "Dan aku juga ingin ikut," katanya. "Aku ingin menemui Putri Lili dan juga ingin belajar banyak hal di Kerajaan Gothern Varka."

Katze mendengus kecil mendengar rencana mereka. "Aku juga ingin ikut," katanya. "Aku ingin bertemu dengan Wildes."

Master Hiro mengangguk. "Maka perjalanan ke Kerajaan Gothern Varka ini akan menjadi petualangan yang menyenangkan bagi kalian," ujarnya. "Jangan lupakan tujuan kalian dan tetap jaga semangat kalian. Setelah itu, kalian dapat melanjutkan perjalanan lain yang lebih besar."

Mereka bertiga mengangguk, merasa antusias dengan petualangan yang menanti di depan mereka. Master Hiro memberikan restunya dan mereka mulai mempersiapkan diri untuk perjalanan mereka ke Kerajaan Gothern Varka. Dengan hati yang penuh harap dan semangat yang berkobar, mereka berencana untuk memulai perjalanan mereka dalam waktu dekat.

Pada saat itu juga, Master Hiro membantu mengemas barang-barang mereka ke dalam kereta yang sudah dipesan oleh Master Hiro. Setelah semuanya siap, Master Hiro memberikan salam perpisahan kepada Rise, Lina, dan Katze. "Semoga perjalanan kalian berjalan lancar dan penuh kebahagiaan," ucapnya dengan senyum tulus di wajahnya.

Mereka bertiga membalas salam itu dengan senyuman penuh rasa terima kasih. Lina melambaikan tangannya dengan ceria, sementara Rise mengangguk dengan penuh keyakinan. Katze hanya tersenyum tipis, menunjukkan rasa bangganya kepada kedua sahabatnya.

"Jaga diri kalian," kata Master Hiro sambil menepuk pundak masing-masing dari mereka. "Dan sampai jumpa lagi di masa depan yang cerah."

Setelah itu, kereta pun mulai bergerak. Mereka bertiga melambaikan tangan dengan semangat sebelum akhirnya kereta melesat keluar dari area kuil dan menuju perjalanan mereka ke Kerajaan Gothern Varka.

Di kejauhan, Master Hiro berdiri sambil tersenyum, merasa bangga dengan anak-anak muridnya yang telah tumbuh dan siap menghadapi dunia. Dengan perasaan tenang dan optimis, ia menyaksikan mereka pergi, berharap petualangan mereka akan menjadi jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan.