webnovel

Semuanya Baru Saja di Mulai

Perjalanan mereka bertiga menuju Gothern Varka memakan waktu dua hari. Saat baru saja keluar dari gerbang Kerajaan Prosperam Urben, Rise mulai merasa mual. Ternyata dia mabuk perjalanan, tubuhnya terasa lemas, kepalanya pusing, dan dia berusaha keras menahan muntah.

"Ugh, kenapa sekarang, sih?" keluh Rise sambil memegangi perutnya.

Lina menepuk pundaknya dengan lembut, "Sabar, Rise. Hanya sedikit lagi, kita bisa beristirahat."

Katze, yang duduk di sebelah Lina, hanya bisa menghela napas. "Tenang, Rise. Kita akan mencari tempat untuk bermalam secepat mungkin."

Saat malam tiba, mereka memutuskan untuk mencari penginapan dan bermalam di sana untuk satu malam, sekaligus mengurangi rasa mual yang dirasakan Rise. Mereka akhirnya menemukan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan dengan lampu-lampu hangat yang menyambut para pelancong.

Setelah check-in dan mendapatkan kamar, mereka membantu Rise naik ke tempat tidur.

"Ini lebih baik, ya?" tanya Lina, menutupi Rise dengan selimut.

Rise mengangguk lemah. "Ya, terima kasih, Lina."

Katze menatap mereka dengan cemas. "Kau yakin akan baik-baik saja, Rise?"

Rise tersenyum kecil. "Aku akan baik-baik saja setelah tidur. Terima kasih, Katze."

Mereka memutuskan untuk membiarkan Rise beristirahat sementara mereka turun ke ruang makan untuk makan malam. Saat mereka makan, Lina dan Katze berdiskusi tentang perjalanan mereka.

"Kita harus memastikan Rise benar-benar pulih sebelum melanjutkan perjalanan," kata Lina sambil memandang keluar jendela.

Katze mengangguk. "Setuju. Perjalanan masih panjang dan kita harus menjaga kesehatannya."

Malam itu berlalu dengan tenang. Keesokan paginya, Rise merasa jauh lebih baik. Mereka sarapan bersama di ruang makan penginapan sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, Rise terlihat lebih segar. "Maaf merepotkan kalian," katanya dengan senyum malu-malu.

"Jangan khawatir," kata Lina dengan ceria. "Kita tim, ingat?"

Katze mengangguk. "Ya, kita hadapi semuanya bersama-sama."

Setelah selesai sarapan, mereka bertiga mulai berkemas. Rise, yang sudah merasa jauh lebih baik, membantu dengan semangat. Mereka mengemas barang-barang mereka dengan cepat dan rapi.

Lina menghampiri pemilik penginapan, seorang wanita tua yang ramah, dan mengucapkan terima kasih. "Terima kasih atas keramahannya. Kami sangat menghargai bantuannya."

Wanita tua itu tersenyum hangat. "Sama-sama, anak-anak. Semoga perjalanan kalian lancar dan selamat sampai tujuan."

Mereka berpamitan dengan pemilik penginapan dan melangkah keluar ke arah kereta kuda mereka. Katze memegang kendali, siap untuk menyetir. "Ayo, naik. Kita harus segera melanjutkan perjalanan," katanya dengan nada semangat.

Lina dan Rise naik ke dalam kereta, duduk di bangku yang nyaman. Katze duduk di depan, menggenggam tali kekang dengan kokoh. Dengan satu gerakan, kereta kuda itu mulai bergerak maju, meninggalkan penginapan kecil di belakang mereka.

Saat kereta melaju di jalanan yang berbatu, Rise menikmati pemandangan sekitar. Hutan yang lebat dan pegunungan yang menjulang tinggi membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan. 

"Katze, kau benar-benar hebat dalam mengendalikan kereta ini," kata Rise dengan kekaguman.

Katze tersenyum dari depan. "Terima kasih, Rise. Seseorang harus menguasai seni menyetir kereta kuda, bukan?"

Lina tertawa. "Kau memang serba bisa, Katze."

Namun, meskipun baru dua jam perjalanan, Rise kembali merasa mual. Wajahnya pucat, dan dia mulai berkeringat dingin. "Aku... aku pikir aku akan baik-baik saja," katanya dengan suara lemah.

Lina, yang duduk di sebelahnya, memandang dengan cemas lalu beralih ke kesal. "Rise, tadi pagi kau sehat bugar! Bagaimana bisa kau mabuk perjalanan lagi?" dia mengomel, matanya melotot tajam ke arah Rise.

Rise mencoba tersenyum, meskipun jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Aku juga tidak tahu, Lina. Mungkin tubuhku belum sepenuhnya pulih dari semua yang terjadi."

Katze, yang mendengar pembicaraan mereka dari depan, mencoba membantu dengan menjaga suasana tetap ringan. "Tenang, Lina. Kita bisa berhenti sebentar lagi untuk memberi Rise waktu beristirahat."

Lina menghela napas panjang. "Baiklah, tapi ini benar-benar menguji kesabaranku, Rise."

Rise hanya bisa mengangguk, mencoba menahan rasa mual yang semakin parah. Kereta kuda terus melaju, meskipun sedikit lebih lambat, mencari tempat yang cocok untuk berhenti sejenak. 

Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah tempat teduh di pinggir jalan. Katze menghentikan kereta, dan mereka semua turun untuk beristirahat. Rise berbaring di rerumputan, mencoba mengatasi rasa mualnya.

"Semoga ini cepat berlalu," gumam Rise, memejamkan matanya dan berusaha menenangkan perutnya yang bergolak.

Lina mendekat, menatap Rise dengan penuh perhatian. "Aku hanya khawatir, Rise. Kita butuhmu dalam kondisi terbaik."

Rise membuka matanya dan tersenyum lemah. "Aku tahu, Lina. Aku akan berusaha sebaik mungkin."

Setelah beberapa saat beristirahat, Rise mulai merasa sedikit lebih baik. Mereka kembali ke kereta kuda, siap melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati, berharap tidak ada lagi hambatan yang menghalangi mereka mencapai Kerajaan Gothern Varka.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, Lina mencari solusi untuk mencegah Rise mabuk perjalanan lagi. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan botol kecil berisi cairan berwarna gelap.

"Aku punya obat untukmu, Rise," kata Lina dengan nada tegas. "Minumlah ini, ini akan membantumu tidak mabuk lagi."

Rise memandang botol itu dengan ragu-ragu. "Apa ini? Kenapa warnanya begitu gelap?"

Lina mengangguk. "Memang tidak terlihat menarik, tapi ini sangat efektif. Sekarang, minumlah."

Dengan ekspresi terpaksa, Rise mengambil botol itu dan membuka tutupnya. Dia mengendus cairan itu dan meringis. "Bau dan warnanya tidak meyakinkan," katanya.

"Minum saja, Rise. Ini untuk kebaikanmu," kata Katze dari depan, sambil memegang kendali kereta kuda.

Rise menghela napas dan menutup matanya. Dia meminum obat itu dalam sekali tegukan. Namun, begitu cairan itu menyentuh lidahnya, dia merasakan rasa pahit yang luar biasa. Wajahnya langsung berubah, dan dia berteriak, "Astaga, pahit sekali!"

Lina tertawa kecil, mencoba menahan tawanya. "Aku sudah bilang, rasanya memang tidak enak. Tapi lihat saja nanti, kau tidak akan mabuk lagi."

Rise masih meringis, mencoba menyingkirkan rasa pahit yang tertinggal di mulutnya. "Aku harap begitu. Rasanya seperti minum ramuan dari neraka."

Katze ikut tertawa, meskipun masih fokus mengemudi. "Kau bisa mengatasinya, Rise. Sedikit rasa pahit lebih baik daripada mabuk perjalanan sepanjang waktu."

Perlahan-lahan, perjalanan berlanjut, dan mereka berharap obat yang diberikan Lina akan membantu Rise menikmati sisa perjalanan tanpa masalah.

Ternyata benar saja, seharian ini di kereta kuda, Rise tidak merasa mual sedikit pun. Obat pahit buatan Lina bekerja dengan sangat baik. Rise duduk di dalam kereta, asyik memolesi kedua pedangnya—Hikari dan Kage—sambil tersenyum puas.

Katze melirik ke belakang dari kursi pengemudi kereta dan tersenyum. "Bagaimana rasanya tidak mabuk perjalanan, Rise?"

Rise mengangguk dengan semangat. "Rasanya luar biasa! Terima kasih, Lina. Obatmu benar-benar manjur, meskipun rasanya sangat pahit."

Lina tersenyum puas. "Aku senang itu berhasil. Jangan lupa, rasa pahit itu untuk kebaikanmu."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang lebih santai. Rise terus memoles pedangnya, menikmati pemandangan dari jendela kereta. Matahari mulai terbenam, memberikan pemandangan yang indah sepanjang jalan.

"Kita hampir sampai di Gothern Varka," kata Katze. "Jika kita beruntung, kita bisa tiba di sana sebelum malam tiba."

Rise memandang pedangnya yang berkilauan dalam cahaya senja. "Aku tidak sabar untuk kembali ke kerajaan. Ada banyak hal yang harus kita lakukan dan banyak orang yang harus kita temui."

Lina mengangguk. "Betul. Petualangan kita baru saja dimulai. Ada banyak hal yang menanti kita di Gothern Varka."

Rise menatap Lina dengan rasa ingin tahu. "Lina, aku ingin tahu sesuatu. Kenapa kau sangat ingin bertemu dengan Putri Lili?"

Lina tersenyum lembut, matanya memancarkan kenangan masa lalu. "Karena, Rise, Lili adalah adik kembarku."

Rise terkejut, mulutnya terbuka lebar. "Adik kembar? Pantas saja aku merasa bingung sejak pertama kali bertemu denganmu. Kalian berdua sangat mirip!"

Lina tertawa kecil. "Ya, kami memang mirip. Tapi, ada banyak hal yang membedakan kami juga. Lili selalu lebih tenang dan anggun, sementara aku lebih suka petualangan dan kebebasan."

Katze yang duduk di kursi pengemudi juga tersenyum mendengar percakapan itu. "Jadi, kita akan bertemu dengan dua putri yang mirip tetapi memiliki kepribadian yang berbeda? Ini akan menarik."

Rise masih mencoba mencerna informasi itu. "Aku tidak menyangka. Jadi, bagaimana bisa kalian terpisah?"

Lina menghela napas panjang. "Cerita panjang, tapi singkatnya, kami terpisah sejak kecil karena beberapa alasan politik dan keluarga. Sejak itu, aku selalu mencari cara untuk bertemu kembali dengannya. Dan sekarang, berkat kalian, aku akhirnya bisa melakukannya."

Rise tersenyum penuh semangat. "Baiklah, Lina. Kita akan memastikan kau bertemu dengan adikmu. Aku tidak sabar untuk melihat ekspresi Lili saat melihatmu."

Lina mengangguk, matanya bersinar dengan harapan. "Terima kasih, Rise. Ini berarti banyak bagiku."

Rise masih memandang Lina dengan rasa ingin tahu. "Jadi, apa yang membedakan kalian berdua? Selain kepribadian, maksudku. Apa ada perbedaan fisik atau ciri khas lainnya?"

Lina tersenyum sambil mengingat-ingat. "Secara fisik, kami memang sangat mirip. Tapi ada beberapa perbedaan kecil yang mungkin sulit dilihat oleh orang yang tidak terlalu mengenal kami. Misalnya, Lili memiliki tanda lahir kecil di pergelangan tangan kirinya, sementara aku tidak. Selain itu, rambut Lili sedikit lebih panjang dan lebih halus daripada rambutku."

Rise mengangguk, mencoba membayangkan perbedaannya. "Apakah ada perbedaan lain yang lebih mencolok?"

Lina berpikir sejenak sebelum menjawab. "Lili selalu mengenakan pakaian yang lebih formal dan anggun, mencerminkan posisinya sebagai putri kerajaan. Dia suka memakai warna-warna lembut seperti biru muda dan putih. Sedangkan aku lebih suka pakaian yang praktis untuk petualangan dan lebih sering memakai warna-warna gelap."

Katze, yang sedang mengemudikan kereta, ikut menimpali. "Bagaimana dengan cara berbicara atau gestur? Apakah ada perbedaan di situ?"

Lina tersenyum. "Ya, Lili selalu berbicara dengan tenang dan penuh pertimbangan. Gerakannya anggun dan penuh kehormatan. Aku, di sisi lain, lebih spontan dan tidak terlalu memikirkan kata-kataku sebelum mengucapkannya. Aku juga cenderung lebih aktif dan lincah dalam bergerak."

Rise tersenyum lebar. "Jadi, meskipun kalian mirip secara fisik, ada banyak hal yang membedakan kalian. Ini akan sangat membantu saat aku bertemu Lili lagi."

Lina tertawa. "Ya, semoga begitu. Aku yakin kalian tidak akan kesulitan membedakan kami setelah beberapa waktu."

Rise membayangkan kembali saat pertama kali bertemu Lili. Semua yang dikatakan Lina memang benar. Ia mengingat bagaimana Lili tampil anggun dan berbicara dengan penuh kehormatan. Namun, kenangan yang paling lucu adalah saat Lili menyuruhnya berlatih berpedang dengan Wildes ketika kondisinya sedikit membaik.

"Benar juga, Lina," kata Rise sambil tersenyum. "Lili memang sangat anggun dan tenang. Tapi aku tidak akan pernah lupa saat dia menyuruhku berlatih berpedang dengan Wildes. Kondisiku belum sepenuhnya pulih, tapi dia bersikeras aku harus latihan. Aku hampir tidak bisa mengikuti gerakan Wildes saat itu."

Lina tertawa mendengar cerita Rise. "Lili memang selalu bersemangat tentang latihan fisik dan keterampilan berpedang. Dia ingin semua orang di sekitarnya menjadi yang terbaik."

Katze, yang masih mengemudikan kereta, ikut tersenyum. "Sepertinya kalian punya banyak cerita lucu tentang latihan berpedang. Wildes memang terkenal keras dalam melatih, tapi itu demi kebaikan kita semua."

Rise mengangguk. "Ya, itu benar. Aku banyak belajar dari Wildes, meskipun kadang rasanya seperti akan pingsan di tengah latihan. Tapi melihat Lili dan sekarang Lina, aku tahu mereka benar-benar ingin yang terbaik untuk kita semua."

Rise pun bertanya lagi, "Apakah Lili juga memiliki sihir seperti kamu, Lina? Atau justru dia memiliki kutukan?"

Lina tersenyum lembut, lalu menjawab, "Lili memang memiliki kutukan, tapi bukan kutukan yang jahat seperti punyamu, Rise. Kutukannya disebut 'Kutukan Lily'. Nama kutukannya memang mirip dengan namanya, tapi itu kutukan yang baik."

Rise mengangkat alis, penasaran. "Kutukan yang baik? Bagaimana bisa?"

Lina tertawa kecil. "Kutukan Lily membuatnya selalu dikelilingi oleh bunga lili yang memancarkan aroma menenangkan. Bunga-bunga itu juga bisa memberikan penyembuhan ringan kepada siapa saja yang berada di dekatnya. Sungguh kontras dengan kutukanmu yang penuh dengan kesakitan dan kegelapan."

Rise mendengarkan penjelasan itu sambil memasang wajah suram. "Tentu saja. Dia mendapatkan kutukan yang menenangkan dan penyembuhan, sementara aku harus berurusan dengan rasa sakit."

Katze, yang masih mengemudikan kereta, mencoba menghibur Rise. "Setiap kutukan pasti ada hikmahnya, Rise. Mungkin kutukanmu membuatmu lebih kuat dan tangguh. Lagipula, kita sudah melihat bagaimana kamu berhasil mengatasi banyak rintangan."

Rise hanya mengangguk pelan, mencoba menerima fakta itu. "Ya, mungkin kamu benar, Katze. Aku hanya harus terus berusaha dan mencari cara untuk mengubah kutukan ini menjadi sesuatu yang berguna."

Lina menepuk pundak Rise dengan lembut. "Kamu pasti bisa, Rise. Kita semua ada di sini untuk mendukungmu."

Rise berbicara lagi, "Kutukan Lily itu termasuk salah satu kutukan kuat, tapi fokus utamanya adalah pada penyembuhan yang sangat cepat dan buff-buff yang kuat. Jadi, sangat cocok untuk menjadi Healer karena buff yang diberikan dan penyembuhannya."

Lina mengangguk sambil tersenyum. "Ya, itulah kelebihan dari kutukan itu. Lili bisa membantu orang-orang dengan cara yang berbeda. Sementara aku sendiri lebih condong ke sihir pemanggilan dan sedikit serangan jarak jauh."

Rise mengernyitkan dahi, sedikit penasaran. "Lalu, apa kutukanmu sebenarnya, Lina? Selain membawa keberuntungan yang luar biasa."

Lina tertawa. "Kutukanku lebih kepada kemampuan komunikasi dengan makhluk-makhluk alam, semacam perantara antara dunia manusia dan dunia alam. Aku bisa berbicara dengan tumbuhan, hewan, dan semacamnya. Jadi, sebenarnya kutukanku lebih ke arah mendukung dan memahami alam secara mendalam."

Rise mengangguk dengan penuh minat. "Kurasa kutukanmu juga sangat kuat. Mungkin aku juga harus belajar lebih banyak tentang kekuatan kutukan kita masing-masing agar bisa memanfaatkannya dengan lebih baik."

Lina tersenyum dan mengangguk. "Itulah yang harus kita lakukan, Rise. Kita semua memiliki kekuatan unik yang bisa saling melengkapi. Dan kita hanya perlu memahami cara menggunakannya dengan bijaksana."

Lina tertawa. "Kutukanku lebih kepada kemampuan komunikasi dengan makhluk-makhluk alam, semacam perantara antara dunia manusia dan dunia alam. Aku bisa berbicara dengan tumbuhan, hewan, dan semacamnya. Jadi, sebenarnya kutukanku lebih ke arah mendukung dan memahami alam secara mendalam."

Lina menambahkan hal lain dari kutukannya. "Kutukanku sebenarnya bernama Lonceng Biru. Sama seperti Lili, walaupun penyembuhan dan buff-nya agak lemah, kutukan ini juga bisa digunakan untuk menyerang. Aku bisa memanipulasi energi alam dan menggunakannya sebagai senjata atau perisai jika diperlukan."

Rise mengangguk dengan penuh minat. "Jadi, kutukan Lonceng Biru ini memberi kemampuan serba bisa, ya? Ini sungguh menarik." 

Lina tersenyum. "Ya, aku bersyukur memiliki kutukan ini. Meski kadang-kadang ada tantangannya, aku selalu berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin."

Rise menghela nafas dan bertanya, "kenapa kamu tidak menggunakan kutukanmu saat melawan Naga Bayangan di gua? Dan kamu malah memberiku buff padahal kamu sudah tahu kalau tubuhku akan menolak dengan mentah-mentah"

Lina tersenyum kecil mendengar pertanyaan Rise. "Kutukanku memang bisa memberikan buff, tapi aku takut ini hanya akan memperburuk keadaanmu. Sejujurnya, aku lebih suka membantu dalam bentuk lain seperti memberikan penjelasan tentang taktik atau memberikan dukungan moril," jelasnya.

Katze yang sedang memimpin perjalanan mengangguk setuju. "Ya, Lina memang lebih memilih pendekatan mendukung. Dia selalu tahu kapan harus memberikan bantuan dari belakang layar tanpa terlibat langsung dalam pertempuran."

Rise merenung sejenak. "Kalian memang teman yang baik," ucap Rise dengan senyum kecil.

Lina tertawa, "Kita semua saling membantu, Rise. Bukankah begitu?"

Rise mengangguk setuju. Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang lebih ringan, menikmati percakapan yang mendalam di antara petualangan mereka.

Setelah empat jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di gerbang Kerajaan Gothern Varka sebelum malam tiba. Katze, yang menjadi pengemudi kereta sepanjang perjalanan, berhenti di sebuah penginapan yang nyaman di dekat pintu masuk kota. Mereka turun dari kereta, merasakan segarnya udara malam yang beraroma khas pedesaan.

Sebelum menuju kamar mereka, Rise dan Katze memasuki area penginapan untuk bertanya tentang tempat makan yang terdekat. Lina memilih untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar penginapan untuk meresapi suasana baru. 

Setelah mendapat petunjuk tentang tempat makan yang nyaman, mereka menuju ke sana dan menikmati hidangan yang lezat. Suasana ceria tercipta di meja makan mereka, di tengah obrolan ringan dan tawa. 

Setelah makan, mereka pun kembali ke penginapan dan bersiap untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang tenang, mereka segera tidur dengan nyenyak, mempersiapkan diri untuk menjelajahi Kerajaan Gothern Varka pada keesokan harinya.

Ketika Rise terlelap dalam tidurnya, tiba-tiba dia merasa dirinya duduk di sebuah kursi kayu tua yang kasar. Tubuhnya terasa berat, dan ketika dia mencoba bergerak, dia merasakan sesuatu yang membelenggunya. Kaki dan tangannya diikat dengan rantai yang terasa panas dan membara, membatasi gerakannya.

Di hadapannya, muncul Florian, sosok yang selama ini menjadi mimpi buruk dalam alam bawah sadarnya. Wajah Florian tampak lebih kusam dan penuh kebencian, sorot matanya dingin dan tajam seperti pisau. Suaranya terdengar dalam dan serak, seakan-akan berasal dari kegelapan terdalam.

"Rise," Florian berkata dengan suara rendah dan sengit, "lama tak bertemu. Kau semakin kuat, namun juga semakin terluka. Kau bahkan belum bisa mengendalikan kutukanmu dengan baik."

Rise mencoba berbicara, tapi mulutnya terasa kering dan berat. "Apa yang kau inginkan, Florian?" tanyanya dengan suara lemah.

Florian tertawa, suara yang terdengar mirip derak kayu terbakar. "Aku ingin melihat bagaimana kau menangani hidupmu yang semakin rumit ini. Apakah kau benar-benar bisa bertahan dari semua ini?"

Rise mencoba melepaskan diri dari rantai panas itu, tapi sia-sia. Dia hanya bisa merasakan panas yang menyengat di kulitnya. Florian kemudian mulai berbicara tentang masa depan yang gelap dan berbahaya, tentang bagaimana Rise tidak akan mampu mencapai tujuannya.

Dengan suara yang lebih dalam lagi, Florian berujar, "Kau hanya akan menjadi mainan dalam dunia yang lebih besar, Rise. Jangan bermimpi untuk berubah. Kutukanmu akan terus menjadi beban, dan kau takkan pernah bisa lepas dari bayangan gelap yang menantimu."

Ketika Rise merasa putus asa dalam alam bawah sadar yang terbatas itu, dia merasakan energi aneh yang berkumpul di dalam dirinya. Secara tiba-tiba, pedang yang ditemukan di gua muncul dari belakang punggungnya, terulur dengan cahaya memancar dari bilahnya. Pedang itu berkilauan dengan aura gelap namun misterius, seperti simbol dari kutukan yang melekat pada dirinya.

Florian terkejut saat melihat pedang itu muncul dan menyadari bahwa Rise telah menemukan cara untuk memanfaatkan kutukannya dengan lebih dalam. Ada kegelisahan dalam tatapan Florian saat dia melihat senjata itu, dan dia berusaha mundur, tampaknya merasa takut dengan perubahan ini.

Rise merasakan kekuatan baru yang muncul dari pedang tersebut, dan dengan tekad kuat, dia berusaha mengumpulkan energinya untuk melepaskan diri dari rantai panas yang membelenggunya. Dalam beberapa saat, rantai itu meleleh dan hancur, jatuh ke tanah seperti cairan yang terbakar.

Florian segera menyadari bahwa dia tidak bisa lagi menguasai Rise di alam bawah sadar ini. Dia menghembuskan napas dengan berat, dan perlahan-lahan menghilang dari pandangan Rise, meninggalkan Rise dengan perasaan bersemangat yang baru.

Rise menghela napas lega, merasa sedikit lebih kuat dalam menghadapi masa depannya. Dia tahu bahwa pertempuran dengan Florian belum sepenuhnya berakhir, tapi kali ini, dia telah menemukan cara untuk mengimbangi kekuatannya.

Dengan pedang di tangannya, Rise tertidur dengan lebih tenang, memutuskan untuk bangun keesokan harinya dengan tekad yang lebih kuat untuk menghadapi dunia nyata dan mencari jalan untuk mengatasi kutukannya.

Ketika Lina membuka pintu kamar Rise di pagi hari, dia melihat Rise dengan mata yang masih tertutup tetapi berwarna hitam. Tentu saja, terkejut dengan penampakan itu, Lina langsung mulai memarahi Rise dengan nada prihatin.

"Lihat kamu, Rise! Kenapa begadang semalaman? Apa yang kamu lakukan?" Lina berkata dengan suara sedikit cemas. Rise mencoba memberi alasan yang samar-samar, tapi dia tahu Lina pasti akan khawatir jika dia tahu betul apa yang terjadi semalam di alam bawah sadar.

Rise akhirnya hanya menjawab, "Ah, hanya memikirkan beberapa hal. Mungkin aku sedikit sulit tidur, itu saja." Lina jelas tidak puas dengan jawaban singkat itu, tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa Rise untuk menjelaskan lebih lanjut. Dia tahu terkadang ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan sendiri untuk sementara waktu.

Sementara itu, Katze yang sudah terbiasa dengan kejadian-kejadian aneh ini, hanya mengangkat bahunya dan berkata, "Entah apa yang sedang dia pikirkan semalam. Yang penting kita sudah sampai di sini dan hari baru sudah dimulai."

Rise hanya tersenyum kecil dan mengangguk, merasa lega bahwa teman-temannya memberikan dukungan tanpa terlalu banyak pertanyaan. Mereka bergegas bersiap dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Setelah berkemas dan berpamitan dengan pemilik penginapan, mereka keluar dengan senyum lebar di wajah masing-masing. Rise mengambil pedang Kage dan Hikari-nya, merasa bahwa mereka adalah teman-teman setianya dalam petualangan ini. 

Namun, di dalam hatinya, Rise masih merindukan pedang yang muncul di punggungnya semalam. Ada perasaan misterius yang mengusik pikirannya, seperti pedang itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang ia tahu. Tapi, untuk saat ini, dia memilih untuk menunggu dan melihat apa yang waktu bawa.

Ketika mereka memasuki gerbang Kerajaan Gothern Varka, Rise merasakan perasaan campur aduk. Dia merasa senang bisa kembali ke tempat asalnya, tapi juga sedikit khawatir akan petualangan yang menunggu mereka di depan. Tapi dengan teman-temannya di sampingnya, Rise yakin mereka akan menghadapi segala sesuatu dengan semangat dan kekompakan.

Lina dan Katze memberi semangat kepada Rise, memberi dorongan untuk menghadapi petualangan baru ini dengan kepala tegak. Mereka bertiga melangkah maju, siap untuk menyelami lebih dalam ke dalam kerajaan yang indah ini dan menemukan apa yang menanti di ujung jalan.

Ketika mereka tiba di halaman istana, Rise melihat Wildes sedang berdiri di kejauhan. Emosi langsung meluap dalam diri Rise. Kenangan tentang perjalanan ke Prosperam Urben dan Wildes yang tidak memberi petunjuk jelas tentang kuil Master Hiro membuat amarah Rise berkobar.

Dengan gerakan cepat, Rise berlari menuju Wildes, ekspresinya menunjukkan ketegangan dan kemarahan. Wildes, yang melihat Rise mendekat dengan aura kemarahan yang jelas, segera berusaha berlari dan meminta maaf sambil berteriak, "Rise! Tunggu! Aku minta maaf! Aku tidak bermaksud seperti itu!"

Namun, Rise tak bisa menahan diri lagi. "Kenapa kamu tidak memberi tahu lokasi kuilnya, huh?!" teriak Rise dengan nada emosi dan jengkel. "Aku hampir menjadi korban pemerkosaan di perjalanan itu! Kau tahu betapa berbahayanya itu?!"

Wildes terhenti sejenak, pandangannya penuh penyesalan. "Rise, aku benar-benar minta maaf. Aku hanya tidak ingin memberimu informasi yang terlalu detil supaya kau bisa memulai perjalananmu dengan lebih mandiri," jawab Wildes, suara bergetar. "Aku tidak pernah berpikir itu akan menjadi masalah seperti ini."

Lina dan Katze hanya bisa menyaksikan dengan perasaan campur aduk, merasa lega bahwa Rise baik-baik saja namun juga prihatin dengan ketegangan antara Rise dan Wildes.

Rise yang masih marah, menyundul perut Wildes dengan sangat kuat, membuat Wildes terkapar ke tanah. Dengan nafas terengah-engah, Rise melampiaskan amarahnya. Namun, Wildes hanya terbaring di tanah, memandang Rise dengan wajah penuh penyesalan.

"Rise, aku benar-benar minta maaf," kata Wildes dengan suara yang gemetar. "Aku tidak tahu sampai sejauh ini akibatnya. Aku berjanji, aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi."

Lina dan Katze mencoba menenangkan Rise, berusaha untuk meredakan amarahnya. Mereka tahu bahwa Wildes merasa sangat menyesal, dan ini saat yang tepat untuk memberi kesempatan bagi Rise untuk mengatasi emosinya.

Wildes mencoba berdiri, merasa lemas setelah menerima sundulan dari Rise. Matanya tertuju pada Katze, dan Wildes tampak terkejut. "Tunggu… apakah ini Katze?" tanyanya dengan suara gemetar.

Katze mengangguk pelan. "Ya, aku Katze. Teman Rise," jawab Katze dengan nada tenang, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.

Wildes tampak sedikit terkejut dan menghela nafas. "Aku kenal kamu… dari dulu," ujarnya dengan nada ragu. "Kita pernah bertemu sebelum aku pergi ke Prosperam Urben. Aku tidak menyangka kamu berada di sini, dan… dalam perjalanan ini."

Katze hanya mengangguk, berusaha menjaga ketenangan. "Ya, ini perjalanan yang panjang dan penuh kejutan," katanya.

Lili datang dengan tergesa-gesa setelah mendengar keributan dan teriakan Wildes. Ketika tiba di tempat kejadian, Lili terkejut melihat Lina berdiri di dekat Katze, mengenali wajah kakak kembarnya. Matanya melebar dan dia menatap Lina dengan bingung.

"Kakak?" tanyanya ragu, melihat Lina dengan ekspresi tak percaya. Lina tersenyum lembut dan mengangguk.

"Lili, ini Lina, kakak kembar yang selama ini kamu cari," jawab Lina sambil melangkah maju. Mereka berdua saling memeluk dengan hangat.

Rise dan Katze mengamati dari samping, terkesan dengan momen pertemuan ini. Wildes, yang masih merasa kikuk, ikut tersenyum kecil melihat pertemuan emosional antara saudara kembar itu.

Rise mengerutkan dahi, mencoba memahami perbedaan antara Lili dan Lina. Setelah melihat-lihat lebih cermat, Rise merasa sedikit bingung.

"Jadi, Lili… um, mana yang lebih mudah dibedakan dari Lina?" tanyanya ragu.

Lili tertawa kecil. "Aku lebih tinggi beberapa senti dari Lina, dan rambutku agak lebih panjang. Oh, dan aku cenderung lebih senang mengenakan gaun daripada celana," jawabnya dengan senyum lebar.

"Jadi, kamu lebih feminin daripada Lina?" kata Wildes sambil tersenyum mengejek.

Katze ikut tertawa, menimpali, "Kamu seharusnya lebih mudah membedakannya sekarang, Rise."

Rise memutar matanya dengan gerutuan kecil. "Aku masih merasa bingung, tapi aku akan berusaha. Setidaknya aku tidak akan menabrak dinding berikutnya!" jawabnya dengan suara cemberut.

Lili memperhatikan dengan seksama, "Hey, matamu sudah kembali normal."

Rise mengangguk, "Iya, tadi malam aku sempat bermimpi tentang pedang misterius yang kutemukan di gua. Rasanya seperti… ada koneksi antara aku, pedang itu, dan kutukan Aconite-ku."

Katze tampak penasaran, "Jadi pedang itu memberi efek penyembuhan?" 

Rise mengangguk lagi. "Entah bagaimana, itu membuatku merasa lebih baik, dan kutukan itu tidak lagi menguasai pikiranku. Entah apa artinya ini, tapi setidaknya sekarang aku bisa merasakan perbedaannya."

Lili tersenyum, "Mungkin pedang itu adalah bagian dari kutukanmu yang sebenarnya. Bisa jadi ini pertanda baik."

Wildes hanya mengangguk-angguk, "Pedang dengan koneksi kutukan? Ada cerita menarik di balik itu, pasti."

Rise menoleh kearah Wildes dengan wajah jengkel, "Lebih baik kau diam saja, Pak tua." Ucapnya dengan nada dingin.

Wildes mendengar perintah Rise dan mengangguk dengan wajah yang sedikit merajuk. "Baiklah, baiklah. Aku pergi dulu untuk urusanku. Kalau ada yang perlu dibicarakan, jangan ragu untuk memanggilku," jawab Wildes, sambil memberikan senyum yang agak masam.

Wildes mendengar perintah Rise dan mengangguk dengan wajah yang sedikit merajuk. "Baiklah, baiklah. Aku pergi dulu untuk urusanku. Kalau ada yang perlu dibicarakan, jangan ragu untuk memanggilku," jawab Wildes, sambil memberikan senyum yang agak masam.

Lina dan Lili hanya tertawa saja melihat reaksi Rise, sementara Katze mengikuti Wildes keluar dari halaman istana untuk berbicara berdua di tempat yang lebih sepi.

"Ya, aku juga merindukan tempat ini," ujar Rise, suaranya terdengar lembut. Dia memandang istana dengan tatapan penuh kenangan, seolah-olah mencoba mengembalikan ingatan masa lalu ke dalam dirinya.

Raja Edvard tiba-tiba datang dan ikut menimbrung. Lalu mengelus kepala Lina dan Lili dengan senyum hangat. "Kalian selalu menjadi putri-putriku yang berharga," ujarnya, matanya berkilau dengan kasih sayang. Kemudian, pandangannya beralih ke Rise. "Ah, Rise. Senang melihatmu kembali di sini. Aku dengar kau telah melakukan perjalanan panjang, dan aku yakin Lili sangat merindukanmu."

Lina dan Lili tersenyum lebar mendengar pernyataan Raja Edvard, dan Rise merasa sedikit canggung dengan perhatian itu. Tapi dia merasa hangat dan senang bisa kembali ke istana.

Lina dan Lili tersenyum lebar mendengar pernyataan Raja Edvard, dan Rise merasa sedikit canggung dengan perhatian itu. Namun, ada kehangatan yang mengisi hatinya, senang bisa kembali ke istana yang penuh dengan kenangan indah. Dia mengangguk pelan dan mengatakan seadanya, "Terima kasih, Yang Mulia."

Lili, yang melihat kecanggungan Rise, mendekatinya dengan senyum penuh keceriaan. "Ayo, Rise. Mari kita berkeliling ke kota. Banyak yang berubah sejak terakhir kali kita ke sini," katanya sambil menarik tangan Rise dengan antusias.

Rise tersenyum, mengangguk, dan mengikuti Lili. Mereka berdua keluar dari istana, diikuti oleh Lina yang berjalan di belakang mereka dengan senyum lembut di wajahnya. Mereka menjelajahi jalan-jalan kota yang ramai, menikmati pemandangan dan suara-suara yang akrab namun terasa baru.

Penduduk kota menyapa mereka dengan ramah, dan beberapa dari mereka mengenali Rise, Lina, dan Lili. Mereka mengunjungi pasar yang penuh warna, mencicipi makanan khas, dan melihat pertunjukan jalanan yang menghibur.

Selama perjalanan, Rise merasa semakin nyaman dan bahagia. Kebersamaan dengan Lili dan Lina membuatnya merasa utuh kembali. Mereka berbagi cerita, tawa, dan kenangan, memperkuat ikatan yang telah terjalin sejak lama.

Selama perjalanan, Rise merasa semakin nyaman dan bahagia. Kebersamaan dengan Lili dan Lina membuatnya merasa utuh kembali. Mereka berbagi cerita, tawa, dan kenangan, memperkuat ikatan yang telah terjalin sejak lama.

Di tengah percakapan mereka, Rise tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya kepada Lina, "Oh iya, Lina. Aku baru ingat, kedai teh yang ada di Prosperam Urben itu milik siapa?"

Lina tersenyum, mengangkat alisnya sedikit, lalu menjawab dengan santai, "Oh, kedai teh itu? Sebenarnya, itu milik Raja Edvard. Ayah memintaku untuk mengelolanya sebagai latihan dalam mengurus bisnis. Makanya, aku sering bolak-balik antara Prosperam Urben dan Gothern Varka."

Rise terkejut mendengar jawaban Lina. "Jadi, itu alasan kamu bisa bolak-balik dengan mudah. Wah, aku tidak menyangka. Kedai itu memang tempat yang nyaman. Kamu benar-benar hebat dalam mengelolanya," katanya sambil tersenyum kagum.

Lina mengangguk dengan bangga. "Terima kasih, Rise. Itu memang salah satu tempat favoritku. Selain itu, aku bisa belajar banyak tentang cara berinteraksi dengan berbagai macam orang. Pengalaman yang sangat berharga."

Lili ikut menambahkan, "Lina memang berbakat dalam hal itu. Dia selalu bisa membuat tempat itu ramai dengan pengunjung yang puas."

Rise, masih penasaran, bertanya lagi, "Tapi Lina, kenapa kamu ikut pelatihan dengan Master Hiro? Kamu kan sudah sibuk dengan kedai teh dan urusan lainnya."

Lina tertawa kecil sebelum menjawab, "Sebenarnya, alasan aku ikut pelatihan dengan Master Hiro bukan hanya karena kedai teh. Ayah ingin aku belajar lebih banyak tentang seni bela diri dan sihir, agar aku bisa melindungi diri sendiri dan orang-orang yang aku sayangi. Selain itu, aku juga ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan lebih dari sekadar mengurus bisnis. Aku ingin menjadi lebih kuat, seperti kamu dan Lili."

Lili mengangguk setuju. "Lina selalu ingin menantang dirinya sendiri. Dan pelatihan dengan Master Hiro adalah kesempatan sempurna untuk itu."

Rise tersenyum, merasa terkesan dengan tekad Lina. "Kamu benar-benar hebat, Lina. Aku tidak pernah menyangka kamu bisa mengurus begitu banyak hal sekaligus."

Lina menggelengkan kepala dengan senyuman. "Tidak sehebat itu, Rise. Tapi terima kasih. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik."

Percakapan mereka berlanjut dengan penuh kehangatan, memperkuat hubungan persahabatan mereka. Mereka menikmati sore yang indah, berbagi cerita dan tertawa bersama.

Ketika akhirnya mereka kembali ke istana, hari telah beranjak malam. Setelah makan malam bersama Raja Edvard, Rise memutuskan untuk pergi ke atap istana. Dia duduk sendirian di sana, menatap bintang-bintang di langit yang jernih.

Beberapa saat kemudian, Lili datang dan duduk di sebelahnya. "Apa yang kamu pikirkan, Rise?" tanyanya lembut.

Rise tersenyum kecil. "Hanya menikmati momen ini. Setelah semua yang kita lalui, rasanya menyenangkan bisa kembali ke sini dan merasakan kedamaian."

Lili mengangguk, menatap bintang-bintang bersama Rise. "Iya, aku juga merasa begitu. Kita sudah melalui banyak hal, dan perjalanan kita masih panjang. Tapi aku yakin, selama kita bersama, kita bisa menghadapi apapun."

Rise merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Lili. "Terima kasih, Lili. Aku sangat beruntung memiliki teman seperti kamu dan Lina."

Di momen yang indah itu, Lili merasa ngantuk. Dia menguap kecil dan berkata, "Aku sangat lelah, Rise. Aku akan kembali ke kamarku dan tidur. Selamat malam."

Rise tersenyum dan mengangguk. "Selamat malam, Lili. Tidur yang nyenyak."

Lili berjalan pergi, meninggalkan Rise sendirian di atap istana. Rise memandang sekeliling, menikmati ketenangan malam yang hanya ditemani oleh cahaya bintang-bintang yang berkelip di langit. Ia merenung tentang perjalanan panjang yang telah mereka tempuh, serta tantangan yang telah dihadapi dan berhasil diatasi bersama teman-temannya.

Meski merasa lelah, Rise juga merasakan kedamaian yang dalam. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara malam yang sejuk, dan membiarkan pikirannya mengembara. Di balik semua pertempuran, kutukan, dan tantangan yang dihadapi, dia merasa bersyukur memiliki teman-teman yang selalu mendukungnya.

Tiba-tiba, bayangan sosok Florian muncul kembali di benaknya. Wajahnya berubah serius, mengingat ancaman yang masih harus dihadapi. "Aku tidak akan membiarkan apapun menghancurkan kebahagiaan ini," bisiknya pada dirinya sendiri.

Rise berdiri dan mengambil Pedang Kage dan Hikari yang tergantung di pinggulnya. Kedua pedang itu mulai mengeluarkan aura hitam, dan bilahnya dilapisi api hitam yang berkobar dengan intens. Dia menatap kedua pedang itu dengan tekad yang membara.

"Florian," kata Rise dengan suara rendah namun penuh determinasi, "Aku akan mengalahkanmu dan menghancurkanmu."

Tiba-tiba, Rise merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dia segera menoleh dan melihat Katze mendekat dengan ekspresi tenang. "Rise, sudah malam. Kau harus istirahat," kata Katze sambil menyentuh bahu Rise dengan lembut.

Rise terkejut, lalu mengangguk. Dengan cepat, dia mengembalikan pedangnya seperti semula, aura dan api hitam menghilang. "Baiklah, kau benar," katanya sambil tersenyum sedikit. Mereka berdua turun dari tempat itu, berjalan menuju kamar masing-masing.

Saat mereka berjalan, Katze bertanya dengan suara lembut, "Apakah kau memikirkan sesuatu yang serius tadi?"

Rise hanya tersenyum lelah dan menjawab, "Hanya memikirkan langkah selanjutnya. Tapi terima kasih telah mengingatkanku untuk istirahat."

Setelah tiba di kamarnya, Rise berbaring di tempat tidur dan perlahan-lahan terlelap. Namun, saat malam semakin larut, dia mendengar bisikan yang sangat familiar di telinganya. "Kau pikir kau bisa mengalahkanku, Rise? Kita akan bertemu lagi, lebih cepat dari yang kau kira."

Rise terbangun dengan keringat dingin, matanya membelalak. Dia merasakan aura Florian sangat dekat, seolah-olah dia ada di dalam istana.

Saat dia mencoba menenangkan diri, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Pintu kamarnya perlahan terbuka, dan sosok yang tak terduga muncul di ambang pintu.

"Florian?" bisik Rise dengan ketakutan dan ketidakpercayaan.

Tapi saat cahaya bulan menyorot, dia melihat bahwa itu bukan Florian. Melainkan Wildes, dengan ekspresi serius di wajahnya.

"Rise, kita punya masalah besar," kata Wildes dengan suara tegang. "Kita harus segera bersiap."