webnovel

Ancaman dari Masa Lalu

Rise terbangun dengan tubuh yang masih terasa sakit, namun ada semangat baru dalam dirinya. Matanya yang kini hitam pekat memberikan pandangan yang lebih tajam dan mendalam. Di kediaman keluarga Lili, dia mendapatkan perawatan yang baik. Hari demi hari, kekuatannya perlahan kembali.

Matahari pagi masuk melalui jendela kamarnya, memberikan kehangatan yang menyegarkan. Dia merasakan tubuhnya lebih ringan, dan kelelahan dari kutukan sebelumnya mulai memudar.

Rise beranjak dari tempat tidur dan merapikan kamarnya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istana untuk menikmati udara segar dan melihat-lihat tempat yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Sambil berjalan, dia menikmati pemandangan taman-taman indah di sekitar istana, di mana bunga-bunga mekar dengan warna-warna cerah.

Di salah satu sudut taman, Rise melihat seorang anak kecil sedang duduk di atas batu, memandang ke arah air yang mengalir di sungai kecil. Anak kecil itu tampak begitu tenang dan fokus pada permainan air di tangannya. Rise merasa penasaran dan menghampirinya.

Anak kecil itu menoleh ke arah Rise dengan senyuman malu-malu. Rise bertanya padanya, "Apa yang kamu mainkan di sini?"

Anak kecil itu menjawab dengan suara kecil, "Hanya bermain dengan air, Kak. Aku suka melihat alirannya, rasanya begitu menenangkan."

Rise merasa kagum dengan cara anak kecil itu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Dia duduk di samping anak kecil itu dan ikut menikmati keindahan alam di sekitarnya.

Sementara itu, Lili mencari Rise di taman. Ketika dia menemukan Rise duduk bersama anak kecil itu, Lili tersenyum dan bergabung dengan mereka. Mereka berbincang sejenak tentang alam dan bagaimana Rise merasa beruntung bisa berada di tempat yang begitu indah.

Lili berkata dengan suara lembut, "Rise, kadang-kadang kita perlu mengambil waktu untuk menikmati hidup dengan cara yang sederhana. Hidup tidak melulu memikirkan tentang kutukan dan perjuangan. Kadang, kita perlu berhenti sejenak dan menghargai keindahan yang ada di sekitar kita."

Rise merasa tenang mendengar kata-kata Lili. Dia tahu bahwa perjalanan yang dia hadapi masih panjang, tetapi ada hal-hal kecil yang bisa memberikan kedamaian dalam hidupnya.

Setelah beberapa saat berbincang dengan anak kecil itu, Lili menunjukkan ekspresi serius. Dia tersenyum lembut kepada anak kecil itu dan berkata, "Terima kasih sudah menemani kami. Kamu sangat baik. Sekarang, Kakak dan Rise perlu bicara sedikit. Sampai jumpa lagi, ya."

Anak kecil itu mengangguk, tersenyum malu-malu, dan bangkit dari duduknya. "Sampai jumpa, Kakak-kakak," katanya sebelum berlari kecil meninggalkan mereka.

Setelah anak kecil itu pergi, Lili menoleh kepada Rise dan berkata dengan nada serius, "Mari kita pergi ke tempat lain. Aku perlu membicarakan sesuatu yang penting denganmu."

Rise mengangguk dan mengikuti Lili meninggalkan sungai kecil itu. Mereka berjalan beriringan melintasi taman istana yang indah, di mana bunga-bunga bermekaran dan pepohonan hijau memberikan naungan. Udara segar dan wangi bunga membuat suasana terasa damai, meskipun ada ketegangan yang dirasakan oleh Rise dari nada suara Lili.

Mereka tiba di sebuah kursi taman yang terletak di bawah pohon besar yang rindang. Lili duduk terlebih dahulu, dan Rise mengikuti, duduk di sebelahnya. Suasana di sekitar mereka sepi, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara dedaunan.

Lili menarik napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan. "Rise, ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu. Aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar peduli padamu, dan aku ingin membantumu mengatasi kutukan yang kau alami."

Rise menatap Lili dengan penuh perhatian, merasakan ketulusan dalam kata-kata sahabatnya. "Terima kasih, Lili. Aku sangat menghargai perhatianmu. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan lembut.

Lili menatap ke arah taman yang luas, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Aku tahu kau sedang berjuang keras untuk mengatasi rasa sakit dari kutukan Mawar Hitam. Aku bisa melihat betapa menderitanya dirimu, dan itu membuat hatiku terasa berat. Aku ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian dalam menghadapi ini."

Rise merasa terharu mendengar kata-kata Lili. "Aku tahu, Lili. Kehadiranmu sangat berarti bagiku. Tapi aku merasa begitu terbatas. Kadang aku merasa tidak ada jalan keluar dari penderitaan ini," katanya dengan suara yang sedikit bergetar.

Lili menggenggam tangan Rise dengan lembut. "Rise, kau adalah orang yang kuat. Aku yakin ada cara untuk mengatasi kutukan ini. Aku telah berbicara dengan beberapa penyihir di istana, dan mereka sedang mencari cara untuk membantumu. Kita harus tetap optimis dan terus berusaha."

Rise merasa sedikit lega mendengar bahwa ada usaha untuk membantunya. "Aku berterima kasih, Lili. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi mengetahui bahwa ada orang yang peduli padaku membuatku merasa lebih kuat."

Lili tersenyum, memandang langsung ke mata Rise. "Ingatlah, kita akan melewati ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian. Apa pun yang terjadi, kita akan mencari jalan keluarnya."

Mata Rise berkaca-kaca, merasa terharu oleh ketulusan dan dukungan dari sahabatnya. "Terima kasih, Lili. Aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sepertimu," katanya dengan suara penuh emosi.

Lili memeluk Rise dengan erat. "Kita adalah keluarga sekarang, Rise. Dan keluarga selalu ada untuk satu sama lain," bisiknya.

Setelah beberapa saat memeluk Rise dengan erat, Lili menarik diri dan menatap sahabatnya dengan penuh semangat. "Oleh sebab itu! Kau akan latihan," katanya dengan nada yang penuh semangat. "Aku telah berbicara dengan Wildes Schwert, ahli pedang terhebat di kerajaan ini. Dia setuju untuk melatihmu."

Rise mendengarkan kata-kata Lili dengan ekspresi yang awalnya penuh harapan, tetapi segera berubah menjadi suram. Pikirannya terbayang tentang latihan keras yang akan datang, dan rasa lelah yang dirasakannya semakin bertambah.

Melihat ekspresi suram Rise, Lili segera merasa bersalah. "Oh, maafkan aku, Rise," katanya sambil tersenyum canggung. "Aku tahu kau masih lelah. Tapi percayalah, ini akan sangat membantu. Latihan akan dimulai sebentar lagi, jadi bersiap-siaplah."

Lili mencoba mengangkat suasana dengan nada bercanda. "Jangan khawatir, Wildes Schwert mungkin ahli pedang terhebat, tapi dia juga punya selera humor yang bagus. Mungkin kau akan tertawa lebih banyak daripada berkeringat."

Rise tersenyum tipis mendengar candaan Lili, meskipun rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. "Baiklah, aku akan bersiap-siap," jawabnya dengan nada pasrah tapi sedikit lega.

Lili menepuk bahu Rise dengan lembut. "Kau bisa melakukannya, Rise. Aku yakin padamu. Ayo, kita hadapi ini bersama."

Rise berdiri dari kursi dan langsung berjalan sendirian menuju tempat latihan meninggalkan Lili di taman sendirian, langkahnya berat dan pikirannya penuh dengan keluhan. Sepanjang jalan, dia terus menggerutu, merasa jengkel dengan situasi yang dihadapinya.

"Lili bodoh, padahal aku baru saja mendingan tapi sudah seperti ini! Memang bagus aku dianggap keluarga oleh Lili walaupun aku tak tahu alasannya... tapi yang benar saja!" gumamnya dengan nada kesal.

Rasa frustrasinya semakin memuncak hingga dia tidak bisa menahan diri lagi. Dengan suara penuh amarah, Rise berteriak keras, "LILI BODOH!!"

Teriakan itu menggema di sekitarnya. Dari kejauhan, Lili mendengar teriakan Rise dan hanya tertawa kecil, menyadari betapa keras kepala sahabatnya itu.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Rise sampai di tempat latihan. Tempat itu merupakan area terbuka yang luas dengan berbagai peralatan latihan yang terletak di sekelilingnya. Di tengah lapangan, seorang pria dengan postur tegap dan aura yang mengintimidasi berdiri sambil mengamati kedatangan Rise.

Rise berhenti sejenak, mengamati sekelilingnya. Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meski masih merasa jengkel. Dengan langkah berat, dia maju menuju tengah lapangan.

Rise pun berhenti dan berhadapan dengan Wildes Schwert di tengah lapangan. Wildes adalah pria yang tinggi dan berotot dengan rambut abu-abu yang panjang. Tatapannya tajam, menunjukkan pengalaman bertahun-tahun sebagai seorang pendekar.

"Rise, aku dengar dari Putri Lili kamu ingin belajar mengendalikan kekuatanmu" kata Wildes dengan suara dalam.

Rise mengangguk. "Ya, aku ingin belajar bagaimana menggunakan kekuatanku dan mengendalikan kutukan ini."

"Sejak kapan aku menginginkan ini!? Lili bodoh!" Gumam Rise penuh kesal.

Wildes menatapnya dengan serius. "Latihan ini tidak akan mudah. Kamu harus siap menghadapi rasa sakit dan tantangan. Tapi jika kamu bertekad, aku akan membantumu."

Latihan dimulai dengan dasar-dasar teknik pedang. Wildes mengajarkan gerakan dasar, cara memegang pedang, dan posisi tubuh yang benar. Meskipun rasa sakit dari kutukan masih terasa, Rise bertekad untuk tidak menyerah.

Hari demi hari, latihan semakin intensif. Wildes menantang Rise untuk mengatasi batasannya. Setiap kali rasa sakit dari kutukan muncul, Wildes mengajarkan teknik meditasi dan pengendalian diri untuk mengatasinya. Perlahan tapi pasti, Rise mulai merasa lebih kuat dan lebih terkendali.

Suatu hari, saat mereka berlatih di halaman istana, Wildes tiba-tiba berhenti dan menatap Rise dengan heran. "Padahal tubuhmu kecil dan mungil, tapi kamu bisa sangat kuat," katanya sambil menggaruk kepala dengan bingung.

Rise terkekeh, "Terima kasih... kurasa?"

Wildes menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku serius. Kamu benar-benar mengesankan."

Setelah beberapa minggu, Rise merasa sudah waktunya mencari tempat tinggal sendiri di sekitar kerajaan Gothern Varka. Dengan bantuan Lili, dia menemukan sebuah pondok kecil yang nyaman di pinggiran kerajaan. Meskipun sederhana, tempat itu memberi Rise kedamaian dan ruang untuk berlatih.

Di pondok kecilnya, kehidupan Rise sederhana namun penuh makna. Setiap pagi, dia bangun dengan semangat baru, memulai hari dengan meditasi untuk mengendalikan rasa sakit dari kutukan Mawar Hitam. Dia kemudian berlatih pedang, mengulang gerakan-gerakan yang diajarkan oleh Wildes. Kadang-kadang, dia berjalan-jalan di sekitar hutan untuk mencari ketenangan dan inspirasi.

Sore hari, Rise biasanya duduk di teras pondoknya, menikmati secangkir teh sambil memandangi matahari terbenam. Di saat-saat seperti itu, dia sering merenungkan perjalanan hidupnya dan bagaimana dia harus melangkah ke depan.

Setiap hari, Rise pergi ke istana untuk berlatih dengan Wildes. Mereka melatih berbagai teknik bertarung, strategi, dan penggunaan kekuatan kutukan secara bijak. Wildes mengajarkan Rise untuk mengubah rasa sakit menjadi kekuatan, untuk menghadapi ketakutan dan mengatasinya.

Selain berlatih, Rise juga sering bertemu dengan Lili di istana. Mereka menjadi sangat dekat sekarang, berbagi cerita dan saling mendukung. Lili selalu ada untuk memberikan semangat dan membantu Rise dalam proses pemulihan.

Suatu malam, Lili mengundang Rise untuk makan malam di kediaman keluarganya. Di meja makan yang megah, Ayah Lili, Raja Kerajaan Gothern Varka, duduk di ujung meja dengan senyum ramah.

"Rise, senang sekali kamu bisa bergabung dengan kami malam ini," kata Raja dengan suara yang hangat.

"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Rise sopan.

Saat makanan disajikan, Raja memperhatikan Rise dan berkata dengan nada bercanda, "Minumlah susu ini, ini akan membuatmu semakin tinggi."

Rise tersenyum terpaksa sambil menerima gelas susu. Dalam hati, dia bergumam, "Raja ini... rasanya mau kupukul." Namun, dia tetap menjaga sopan santun dan meneguk susu itu dengan senyuman terpaksa.

Lili tertawa kecil. "Ayah, jangan menggoda Rise seperti itu."

Raja tertawa. "Aku hanya bercanda, Rise. Tapi sungguh, kami senang kamu ada di sini."

Rise masih tersenyum terpaksa. "Terima kasih, sudah mengajakku makan malam, Yang Mulia." Jawab Rise sopan dengan senyuman terpaksa diwajahnya.

Malam itu dipenuhi dengan tawa dan cerita, membuat Rise merasa lebih diterima dan di rumah.

Setelah makan malam yang hangat dan penuh canda di istana, Rise berpamitan dengan keluarga Lili. "Terima kasih banyak atas makan malamnya, Yang Mulia, Nona Lili. Saya sangat menghargainya," kata Rise dengan penuh hormat.

Raja tersenyum. "Jaga dirimu, Rise. Kamu selalu diterima di sini."

Lili mengangguk. "Hati-hati di jalan, Rise. Sampai jumpa besok untuk latihan."

Rise melangkah keluar dari istana, menikmati sejuknya udara malam di Kerajaan Gothern Varka. Cahaya bulan menerangi jalan setapak yang mengarah ke pondok kecilnya di pinggiran kerajaan. Suasana malam begitu tenang, namun tiba-tiba, dia merasakan kehadiran seseorang yang familiar.

Saat melangkah lebih jauh, dia melihat sosok bayangan berdiri di tengah jalan, menatapnya dengan mata yang bersinar di bawah sinar bulan. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang, dengan kap yang menutupi sebagian wajahnya. Jantung Rise berdetak kencang. Ada sesuatu tentang sosok ini yang mengingatkannya pada masa lalu yang kelam.

"Siapa kamu?" tanya Rise, suaranya tegang.

Sosok itu tertawa kecil. "Sudah lama sekali, Hanazono Rise. Apakah kamu tidak ingat aku?" suara itu dingin dan menggetarkan hati.

Rise mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Aku... aku tidak tahu siapa kamu. Apa yang kamu inginkan?"

Orang itu menyingkap kapnya, menampilkan wajah yang penuh dengan luka dan bekas perang. "Namaku adalah Kael. Kita pernah bertemu di masa lalu, sebelum kutukan Mawar Hitam menghancurkan hidupmu. Aku punya rencana besar, dan kamu akan menjadi bagian dari itu, suka atau tidak."

Rise mundur selangkah, merasa ketegangan semakin meningkat. "Apa yang kamu bicarakan?"

Kael tersenyum licik. "Aku berencana untuk menghancurkan Kerajaan Gothern Varka. Dengan memanggil makhluk iblis dari Abyssus Mortis, aku akan membawa kehancuran total ke tempat ini."

Hati Rise berdebar keras. "Kenapa kamu melakukan ini? Apa yang kerajaan ini lakukan padamu?"

Kael mendekat, matanya penuh dengan kebencian. "Mereka mengambil segalanya dariku. Keluargaku, kehormatanku, dan hidupku yang damai. Sekarang, aku akan membalas dendam. Dan kamu, dengan kutukanmu, akan menjadi alat yang sempurna untuk mewujudkan rencanaku."

Rise merasa marah dan takut sekaligus. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini. Aku akan menghentikanmu!"

Kael tertawa keras. "Kita lihat saja, Rise. Kamu bahkan tidak bisa mengendalikan kutukanmu. Bagaimana kamu bisa menghentikanku?"

Rise menghunuskan pedangnya, tatapannya penuh determinasi. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti orang-orang di sini."

Kael mengangkat alis, kemudian tersenyum dingin. "Baiklah, mari kita lihat seberapa kuat kamu sekarang."

Pertarungan pun dimulai. Kael menyerang dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa, tetapi Rise mampu mengimbanginya, berkat latihan kerasnya bersama Wildes Schwert. Pedang mereka berbenturan, menciptakan percikan api di udara malam yang gelap.

Kael tertawa sinis. "Padahal tubuhmu kecil dan mungil, tapi kamu bisa sangat kuat. Menarik."

Tanpa sadar, Rise telah mengaktifkan kekuatan kutukannya. Pedangnya mulai mengeluarkan aura hitam dan api membara berwarna hitam melapisi bilahnya. Kael menyipitkan matanya, terlihat sedikit terkejut. "Jadi ini kekuatan kutukanmu? Cukup mengesankan," katanya sambil mundur selangkah.

Rise merasakan kekuatan besar mengalir melalui dirinya, tetapi juga kesakitan yang luar biasa. "Aku tidak peduli apa yang kau rencanakan, Kael. Aku akan menghentikanmu di sini dan sekarang!"

Dengan serangan yang lebih ganas dan cepat, Rise menyerang Kael, membuatnya terdesak untuk pertama kalinya. Pedang yang dilapisi api hitam itu menghantam pedang Kael dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun, Kael berhasil mempertahankan diri, meskipun dengan kesulitan.

Kael akhirnya melompat mundur, menciptakan jarak antara mereka. "Cukup untuk malam ini, Rise. Aku akan kembali, dan kita akan menyelesaikan ini nanti." Dengan kata-kata itu, Kael menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Rise yang terengah-engah di tanah.

Pedang Rise kembali normal saat kekuatan kutukannya mereda. Dia meraih pedangnya kembali, berdiri dengan susah payah dan menyeka keringat dari dahinya.

"Aku tidak akan menyerah," bisik Rise pada dirinya sendiri. "Aku harus menjadi lebih kuat."

Dengan semangat yang menyala, Rise kembali ke pondoknya. Malam itu dia tidak bisa tidur, pikirannya terus memikirkan pertemuan dengan Kael dan ancaman yang dia bawa. Rise tahu bahwa dia harus meningkatkan latihannya dan mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan datang.

Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, Rise menuju istana lebih awal dari biasanya. Dia harus berbicara dengan Wildes dan Lili, dan memperingatkan mereka tentang ancaman yang akan datang. Di dalam hatinya, Rise bertekad untuk melindungi kerajaan dan orang-orang yang dia sayangi, tidak peduli seberapa besar bahaya yang ia hadapi saat ini.