webnovel

Kita itu pacaran

Jangankan pacaran, gue minta hotspot ke temen aja sering diputusin.

.

.

.

.

"Trriiiaaaa... " Gean menekan suaranya, tidak keras memang tapi sangat-sangat penuh kekesalan.

"Apalagi sih Pak?" Tria yang tak tahu penyebab kesalnya Gean justru bersikap tenang-tenang saja, "Nggak mau makan empal? Katanya mau lunch makanan khas indonesia."

"Tapi ini empalnya keras banget," tunjuk Gean pada piring makannya.

"Saya ragu ini daging sapi atau karet."

"Masa sih Pak?" seingat Tria tadi kata Mang Dadang empal yang dia beli itu di rumah makan padang rekomended. Tria sendiri memesan nasi padang dengan rendang, kikil dan usus. Belum sempat ia makan, karena menyiapkan makanan milik Gean lebih dulu.

"Cobain sini," Gean sudah menyubit empalnya dan bersiap menyuapkannya ke Tria.

"Iya Pak." Tria masih berusaha keras mengunyah daging di mulutnya, kalau neneknya yang makan empal ini mungkin giginya yang tinggal dua bisa tereliminasi. "Empal memang agak keras, yang lembek itu bubur."

Mungkin Gean lebih baik memakan nasi padang miliknya, Tria melangkah mengambil bungkusan nasi padang miliknya.

"Kamu ngapain?" tanya Gean saat Tria sedang mencoba membuka bungkusan nasi miliknya.

"Unboxing Nasi Padang,"

Tawa Tria hanya membuat Gean menggeleng, cuman Tria yang bilang buka bungkus nasi padang Unboxing.

"Makan rendang saya aja," Tria menyodorkan lauk miliknya, "Empal Pak Gean buat saya."

Gean menerimanya tanpa protes, membiarkan Tria memindahkan lauk kepiringnya.

"Kamu sudah ketemu Aruna berapa kali?" di sela-sela acara makan siang bersama Gean mencoba menginterogasi Tria.

Berapa kali ya? Rasanya lebih dari dua kali, hanya saja Tria tak terlalu memusingkan pertemuannya dengan Aruna setelah apa yang Mila ucapkan saat itu.

"Mungkin dua atau tiga kali, saya nggak yakin. Kenapa memangnya Pak?"

"Saya diundang keacara nikahan temen saya," kata Gean.

"Hubungannya sama Aruna dimana?"

"Temen saya itu saudaranya Aruna."

Tria mengerti sekarang, sudah bisa dipastikan Aruna akan datang ke resepsi pernikahan itu. "Pak Gean takut?"

"Nggak lah, saya mau ajak kamu."

"Kok ajak saya?"

"Kamu lupa? Kamu itu pacar saya sekarang."

Untung Tria tidak kelepasan menyemburkan nasi dimulutnya, "Kapan acaranya?"

"Minggu depan."

"Pak Gean nggak ada niat buat beneran cari istri gitu? Bahagia itu perlu lho Pak." bisa-bisanya Tria mengomentari status Gean sementara dia sendiri saja masih single.

"Kamu?"

"Saya lagi ikhtiar, Pak." Tria bukan diam saja menerima nasib. "Jodoh nggak ada yang tahu kalau nggak ada usahanya."

"Memang type kamu seperti apa?" Gean mengunyah pelan nasi di mulutnya, Tria bisa melihat kerlingan rasa penasaran yang terpancar dari mata Gean.

"Yah yang match aja sama saya, nggak muluk-muluk. Gak harus punya mobil atau rumah mewah," Tria memang bukan cewek matre, tapi cukup realistis membedakan mana lelaki yang hidup dengan rasa tanggung jawab dan mana yang tidak.

"Yang penting cowok gitu?" dengkus Gean.

"Ya enggak juga Pak." susah memang bicara dengan Gean, Tria akan tetap saja seperti remahan debu.

"Kamu udah berapa kali pacaran?"

Tria menghitung menggerakkan jari jemarinya ke udara. "Belum pernah."

Cengiran Tria sukses membuat Gean terbatuk, "Serius? Kamu nggak bohong kan?"

"Sejak saya lulus kuliah, saya sibuk jadi pembantu Pak Gean." Kenyataannya memang begitu, Tria sudah dimonopoli sejak ia masih berusia 23 tahun. "Setelah lima tahun bersama, Pak Gean baru tau kan?"

Gean tampak takjub, ternyata masih ada orang seperti Tria. "Waktu kuliah? kamu nggak pacaran, masa-masa remaja kan masa indah katanya."

"Itukan katanya. Kenyataannya saya harus banyak belajar biar beasiswa saya nggak dicabut." Tria juga pernah punya Crush di masa kuliahnya, namun hanya sebatas mengagumi tanpa berniat memiliki.

"Katanya memang lebih indah dari realitanya," kata Tria, satu tangannya menyendokkan kikil untuk dibagi pada Gean.

"Terus kamu ikhtiar cari pacar gimana caranya?"

"Nyari di Bukalapak, kali aja ada pacar yang tak terpakai."

Omongan Tria yang ngawur malah mengundang delikan tajam dari Gean, "Itu pacar atau barang bekas."

"Udah sih pak, biasanya juga Pak Gean nggak peduli dengan kehidupan saya." Selama lima tahun bekerja, Gean sangat terbatas bertanya mengenai hal-hal pribadi menyangkut Tria. Paling percakapan mereka tak lebih dari Tiket pesawat, harga saham, Aggrement, janji temu dan segala macam yang berhubungan dengan pekerjaan.

"Kamu nggak ada perasaan sama saya gimana gitu?" Gean tiba-tiba saja memfokuskan netranya pada Tria, "Bukannya saya sombong yah. Hampir semua perempuan di kantor ini mengagumi saya, kamu nggak deg-degan kalau deket saya?"

"Sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen wanita lajang di kantor ini memang menyukai Pak Gean," Tria akui kebenaran itu, sosok seperti Gean memang jadi idaman wanita masa kini. "Tapi sayangnya, saya masuk kedalam golongan 0.01% itu."

"Yakin?"

"Gimana saya bisa suka sama Pak Gean, kalau tiap hari Pak Gean kerjanya cuman buat saya kesal dengan permintaan Bapak." ingatkan Tria agar tak keceplosan lebih jauh, kalau dia hilang kendali hilang juga bonusnya.

"Cinta itu bisa hadir dari tawa bersama, perhatian-perhatian kecil yang tanpa sadar membuat haru," jelas Tria.

"Yah Bapak," kata Tria lemah, "Perhatian nggak, marah-marah iya."

"Kalau saya perhatian, kamu mau sama saya?"

"Nggak juga sih," tolak Tria ringan. Karena ia tahu itu adalah ketidakmungkinan yang sulit terwujud.

"Kok gitu, saya ini salah satu pria most wanted lho." ujar Gean dengan sombongnya. "Tapi, kamu juga bukan type saya kok. Jadi jangan geer."

Yang mulai pembahasan dari tadi siapa, yang jadi geer siapa.

"Udah ah saya capek ngomong sama Pak Gean, mending saya liat Bukalapak lagi aja," Tria merapikan piring makannya.

"Ngapain? cari pacar?"

"Bukan," Tria mendelik pada Gean, menghunuskan tatapan tak bersahabat pada bosnya.

"Saya punya bos tak terpakai, barangkali laku di Bukalapak."

****

27-Jan-2019

Ternyata rata-rata Votenya sudah 200 Gracias 💕