webnovel

Fluttering

Kurang fokus? Bukan karena butuh refreshing Tapi butuh pendamping

****

Jakarta di hari senin entah kenapa lebih terasa crowded, kadang Gean bisa mengirimi Tria pesan untuk pergi ke kantor bareng. Sayangnya itu terjadi hanya beberapa kali dalam setahun, menunggu Gean mengajaknya pergi ke kantor bersama itu sama seperti nunggu purnama.

"Naik ojek lo?" sapa Mila, lobby gedung sudah terlihat ramai.

"Mau naik apa lagi emang?"

"Kali bareng Gean, kadangkan lo bareng Gean." jelas Mila, mereka melangkah menunggu antrian lift.

"Kadang, lebih menjurus ke langka gue bareng Gean."

"Pucuk dicinta, ulam pun tiba," Mila tertawa tak jelas begitu melihat kedatangan Gean. Tak ada lift khusus untuk para eksekutif yang biasanya disediakan gedung pencakar langit, sejak awal manajemen menjunjung kesetaraan di level karyawan mana pun. "Nggak bareng ke sini, seenggaknya bareng di lift."

Beberapa orang menundukkan kepala lalu tersenyum menyapa Gean, Tria salah satunya.

Di saat seperti ini Gean akan besar kepala ketika hampir semua wanita di dalam lift menatapnya penuh pujaan.

"Saya ganteng kan, Tria?" bisik Gean sengaja. Ia tahu Tria sangat tidak suka dengan sifat jumawanya. "Kamu beneran nggak naksir saya?"

"Nggak," meski sebenarnya kadang Tria juga deg-degan kalau jaraknya dan Gean cukup dekat. Hanya karena mereka sudah menghabiskan waktu lima tahun sebagai atasan dan sekretaris lantas lupa jika getaran bisa timbul antara laki-laki dan perempuan yang terbiasa bersama.

"Pak, jangan mepet dong," Tria merasa terusik saat lift menjadi lebih sesak. Terlebih lantai yang ia tuju adalah lantai empat puluh dua. "Udah kayak bajaj."

"Siapa yang mepet," Gean merasa tak terima dengan tuduhan Tria. Karena ruang yang menipis di dalam lift ini karena beban yang bertambah, "Liftnya memang penuh, mepet kamu nggak bikin saya tegang. Tenang aja."

Tria sukses menginjak kaki Gean, mengundang gernyitan dalam wajah Gean.

"Dasar bar-bar."

"Diam kau Ferguso!" Tria membentengi bagian depan tubuhnya dengan melipat ke dua tangannya, ia memicing tajam tak terima dengan kata-kata Gean.

*

"Pembangunan gerai di Semarang gimana? Kontraktornya nggak handal ya? Masa udah dua minggu belum selesai."

Tria membalikkan halaman dari kontrak yang tengah ia pelajari. Di tengah-tengah kesibukannya meninjau kontrak dan agreement yang harus diapprove Gean. Tria masih harus siap mendengar gerutuan Gean.

"Faktor alam Pak, di sana lagi musim hujan. Cuaca kurang mendukung jadi agak sedikit ngaret dari waktu yang sudah ditentukan," jelas Tria, ia memindahkan setumpuk dokumen yang sudah ia cek ke meja Gean. "Jangan lupa diperiksa ulang. Saya sudah tandai beberapa bagian yang menurut saya cukup crusial Pak."

"Kamu jadi cuti?" tanya Gean, mengingat waktu kemarin Tria membahas jatah cutinya.

"Jadi, ada baiknya pas Pak Gean juga cuti." usulan Tria ini lebih masuk akal. Tria tak yakin Gean akan baik-baik saja tanpa sekretaris di sampingnya. "Kalau saya cuti pas Pak Gean masuk kerja. Nanti Pak Gean repot sendiri."

"Kata siapa?" ucap Gean, lagi-lagi dengan nada jumawanya. "Saya bisa kok tanpa kamu, inget nggak yang waktu kamu kena tipes satu minggu lebih. Saya bisa mengatasi semuanya."

"Oh ya?" Tria melipatkan kedua tangannya di depan dada, mengingat kejadian dua tahun lalu. "Bisa mengatasi? Kalau Pak Gean bisa mengatasi kenapa harus nelpon saya dua belas kali sehari, udah kayak call center aja saya."

"Itu saya kan nanya kabar kamu, takut kamu butuh bantuan." elak Gean.

"Yang saya butuhkan itu istirahat, bukan ditelponin. Awalnya nanya kabar, belakangannya nanya dokumen ini dan itu." wajah ketus Tria sama sekali tak mengganggu Gean.

"Yang penting saya tanya kabar kamu, walaupun belakangan nanya dokumen," bela Gean.

Gean memang selalu benar, Kalau Gean salah ingat pasal pertama.

"Pak Gean belum cukuran ya?" Tria sedikit risih melihat rambut halus yang tumbuh di sekitar rahang besar Gean. Biasanya Gean tak lupa mencukur.

"Kenapa memangnya? Tambah ganteng ya?"

Apa di otak Gean cuman ganteng aja gitu?

"Aneh aja, biasanya juga cukuran!"

"Itukan biasanya, saya kan luar biasa." Gean memang selalu sepercaya diri itu soal wajah tampannya.

"Tria, saya mau ngomong serius. Sini deh," Gean memberi kode agar Tria lebih mendekat ke arahnya. Jarak antara mereka menipis saat Tria menuruti perintah Gean.

"Kenapa?"

"Kalau kamu senyum gulanya berapa sendok sih? Kok manis banget?"

Jantung Tria sempat berdebar, namun ia tak mau jatuh ke dalam jebakan batman yang diciptakan Gean.

"Apa Pak? saya nggak denger. Soalnya mata saya ketutup."

See ya next chap!

****

29-Jan-2019.

Tria belajar dari Kafka yang suka nggak mau denger ocehan orang dewasa.