webnovel

Tragedi di Mall

"Salah pula. Ah! Susah ya berhadapan sama kamu. Sisanya, kalau kamu mau belanja pakaian atau apa. Bukan berarti saya megira kamu mata duitan Rey." Wanita itu diam saja, hanya melirik sesekali ke arahku. "Eh, kebetulan, semua kebutuhan seperti sembako di rumah ini lagi habis. Aku mau ngajak kamu ke mall."

"Biasanya, Jeje, 'kan Pak yang belanja? Kenapa jadi saya? Jadi tugas saya double nih?!"

"Sekarang kamu yang belanja. Enggak usah banyak protes, dan nggak usah sama sopir."

"Jadi sama siapa? Naik taksi?"

"Ya, sama saya sajalah."

Rey hanya garuk-garuk kepalanya yang sepertinya sama sekali tidak gatal. Padahal, masih pakai mukena. Memang bisa? Aku hanya menggeleng sambil tertawa. Kulihat dia keluar kamar tanpa berkata-kata, sedangkan aku siap-siap berganti pakaian. Jeans berwarna hitam dengan kemeja putih jadi pilihan. Tidak lupa pakai parfum, biar wangi di dekat istri kontrakan. Ah, aku akan berjuang terus buat ngedapetin kamu, Rey!

Setelah yakin sudah rapi, aku keluar kamar menuju kamarnya. Aku mengetuk pintu beberapa kali sambil berteriak,

"Rey, jangan lama!"

"Sabar, Pak!" sahutnya ikut berteriak dari kamar.

Setelah cukup lama, aku merasa bosan juga menunggu wanita itu berdandan. Setelah 25 menit, akhirnya orang yang kutunggu sejak tadi keluar juga. Dia hanya memakai rok panjang dan kaus oblong dengan santai. Rambutnya di kepang dua, persis seperti gadis desa. Dia memakai tas selempang mini berwarna cokelat. Tidak lupa, sandal jepit menghiasi kakinya.

"Rey, aku dandan maksimal. Sedangkan kamu, dandannya minimal. Kamu cuma segitu doang?"

"Pak, cuma ke mall, 'kan? Enggak perlu cantik-cantik, nanti aku ditaksir orang."

"Kamu jadi kayak pembantu saya pakai itu. Masa iya, istri seorang Very Hendrawan bajunya lusuh kayak begitu? Cepat ganti pakaianmu!" perintahku.

"Ey, enggak usah nyuruh-nyuruh. Saya guru ngaji Bapak, loh, ya! Awas, besok lupa huruf Wuw. Aku pukul pakai martil, bukan lagi pakai penggaris plastik."

Aku kaget mendengarnya, terbayang dia memukul kepalaku membabi buta dengan martil sampai berdarah-darah, kemudian aku pingsan di tempat.

Waduh!

"Sadis amat kamu, Rey!"

"Makanya, Bapak jangan maksa! Nggak masalah seperti ini, yang penting kan sopan. Ayo, berangkat!"

Dengan terpaksa, aku membiarkannya memakai pakaian seadanya. Aku hanya takut, dia semakin tidak menyukaiku kalau aku terus memaksanya harus begini dan begitu. Cukup dulu tingkahku yang menyebalkan di kantor membekas di ingatannya, kalau bisa dan pokoknya harus bisa, aku akan memberikan kenangan manis selama dia menjadi istriku. Setelah pamit ke Jeje dan menitipkan Zeze yang sudah tertidur, kami berangkat. Di perjalanan, dia tertidur. Sepertinya kelelahan. Aku membiarkannya. Nanti kalau sudah sampai mall, baru akan kubangunkan.

Tanpa terasa, mobil pun berhenti di parkiran. Tanpa pikir panjang, aku langsung turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya.

Bruk!

Meringis, Rey menahan sakit. Aku lupa, dia tidur dan bersandar di pintu mobil. Sehingga ketika pintu terbuka, otomatis dia terjatuh ke lantai. Lututnya sedikit lecet, karena terkena lantai. Buru-buru, aku membantunya berdiri.

"Maaf, Rey. Saya lupa kamu ketiduran."

"Wah, Bapak. Pasti balas dendam nih ke saya, karena saya pukul pakai penggaris pas belajar baca Iqro tadi. Sakit loh, Pak, ini lutut saya!" jawabnya masih meringis.

"Enggak bermaksud begitu, Rey. Maaf, ya, maaf." Segera aku mengambil tisu dari dalam mobil dan mengambil betadine yang selalu aku bawa ke mana pun di kotak P3K. Aku menuntunnya duduk di dalam mobil, lalu perlahan mengobati lukanya. "Sakit, Rey?"

"Masa iya enggak sakit? Orang biru, plus memar begini," gerutunya kesal.

"Ya sudah, kita pulang saja. Lain kali saja belanjanya, ya."

"Jangan, jangan! Sekarang saja. Mau ditunda besok juga tetap belanja, 'kan? Sekarang sudah telanjur sampai sini, Pak."

"Ya, sudah. Kamu kuat?"

"Kuat, Pak. Lecet dikit doang."

Akhirnya kami turun dari mobil dan berjalan beriringan. Sesekali, aku memperhatikan cara jalannya yang agak pincang. Jujur, aku jadi merasa bersalah.

"Kamu enggak apa-apa, Rey? Pulang dari sini kita ke dokter, ya," tanyaku setelah sampai di dalam.

"Pak, biasa saja. Saya bukan ketabrak kereta. Cuma jatuh dari mobil yang berhenti di parkiran!" ketusnya, setelah kami di dalam.

Aku hanya bisa diam menanggapi kekesalannya. Semua memang keteledoranku. Rey mengambil troli belanjaan untuk membawa barang. Tiba-tiba, aku memiliki ide brilian. Aku mengambil troli dari tangannya, kemudian mengangkat tubuh kurus itu dan menaikkannya ke dalam troli. Rei tampak sangat terkejut dan memaksa turun.

"Pak, saya bukan bayi! Turunkan saya!" bentaknya.

"Tapi kamu sakit, Rey. Saya nggak tega, lihat kamu jalan tertatih menyusuri tempat ini. Kamu diam saja ya. Biar saya dorong pelan-pelan!"

"Ah, Bapak aneh-aneh saja, sih! Janji, ya pelan-pelan. Awas macem-macem!" katanya yang akhirnya pasrah dengan apa yang aku lakukan.

Aku pun hanya tersenyum, kemudian mulai mendorong keranjang ke beberapa lorong untuk membeli barang.

"Ambil saja yang kita butuhkan di rumah!" perintahku.

"Baiklah," jawabnya mulai tersenyum ramah.

Kelihatannya Rey tidak marah lagi padaku. Syukurlah. Aku terus mendorong troli dengan santai, tugas wanita dalam troli ini mengambil barang dan memasukkannya ke keranjang. Bercampur dengan tubuhnya. Sedangkan aku mendorong sembari mengajaknya bercerita. Setelah troli nyaris terisi penuh, aku bertanya sesuatu padanya. Aku pernah beberapa kali melihat adegan di sebuah film yang menurutku lucu juga romantis. Aku jadi ingin mencobanya sendiri bersama Rey di sini.

"Rey, kamu takut enggak, kalau aku dorong kenceng trolinya?"

"Wah, Pak, jangan main-main. Nanti kalau jatuh lagi, bagaimana? Lutut saya saja masih sakit, loh, Pak!" protesnya langsung pegangan kuat-kuat.

Sayangnya, protes itu tidak kudengarkan. Langsung saja aku mendorong troli yang berisi tubuhnya dan barang-barang belanjaan kami dengan sedikit berlari, hingga Rey memekik ketakutan. Namun, orang-orang yang melihat kami tertawa geli.

"Dia istri saya. Tenang saja, kami cuma bermain, kok!" teriakku ke orang-orang.

"Cie cie!!" teriak beberapa orang yang membuat Rey menutup mukanya dengan kedua tangan.

Mereka hanya tersenyum dan tertawa. Bahkan, beberapa dari mereka sampai ada yang merekam. Rey semakin malu dibuatnya. Padahal menurutku ini bukanlah hal yang memalukan. Banyak juga kok pasangan anak muda yang sering meletakkan pacarnya dalam troli belanjaan. Ya ... meskipun Rey bukan pacar, sih, karena posisinya dia saat ini sudah sebagai istri.

"Pak! Malu, Pak!" kata istri kontrakku sembari memegang besi troli dengan sebelah tangan di sekitar tubuhnya semakin erat.

Sementara tangan yang lainnya masih menutup muka.

Aku semakin cepat berlari mengitari setiap lorong yang ada di sini sambari tertawa bahagia.

"Kenapa mesti malu? Mereka itu bahagia lihat kita, Reyy!"Wanita itu tidak menjawab, dia masih sibuk berpegang dan menutup wajahnya dengan masing-masing telapak tangan. "Kamu pegangan kuat-kuat, ya. Kita tambah kecepatan! Siap-siap Rey, satu, dua, tigaa!" kataku sedikit berteriak sembari berlari lebih kencang, yang membuat Rey kembali menjerit histeris seketika.

"Pakkk! Berhenti, Pak! Awas, Pak Nabrak. Pakkk!!"

Gubrak!