webnovel

Terpesona

Gubrak!

Aku meringis, menahan sakit. Troli lepas dari pegangan bos koko, lalu menabrak barang-barang yang tersusun rapi di rak. Jangan ditanya jadinya, sekarang aku tertimbun berbagai macam barang di sini. Bos Koko berlari mendekat dengan wajah cemas, kemudian membantuku menjauhkan barang-barang yang menutupi tubuh ini.

"Rey, kamu enggak apa-apa?"

Bibirku mengerucut sambil melotot menatapnya. Dengan posisi masih terduduk aku memegangi pinggang dengan kedua tangan.

"Saya kan sudah bilang sama Bapak, nanti jatuh, Pak! Berulang kali malah! Masih saja didorong dengan kencang! Sekarang sudah lihat akibatnya?!" ucapku sedikit berteriak.

"I ... iya, saya salah. Maaf, Rey," katanya dengan raut penyesalan.

Bagaimana tidak kesal, baru saja jatuh dari mobil, bahkan sakit di kaki ini masih terasa. Ini malah ditambah menabrak tumpukan barang di mall. Aku berusaha berdiri dan ia membantuku.

"Ah, pinggangku rasanya sakit sekali."

"Yang mana yang sakit?"

Bos koko memegang beberapa bagian pinggangku yang membuatku marah.

"Nggak usah pegang-pegang, Pak! Sakit tau!"

"Saya cuma mau bantu kamu aja, Rey."

"Nggak usah!"

Beberapa pegawai mall langsung berdatangan. Mereka segera membereskan semuanya. Sebagai ucapan permintaan maaf, selain membayar semua barang yang rusak, Bos koko juga memberikan uang tip kepada mereka. Selesai mengurusi semuanya kami kembali ke mobil. Terseok, aku berjalan menuju ke parkiran. Bos koko menawarkan bantuan, tapi dengan ketus aku menolaknya. Masih kesal plus jengkel karena tingkahnya dan sikapnya yang tak mau mendengar apa yang aku katakan. Karena aku terus saja menolak, sedangkan ia merasa kasihan, tanpa kusangka, Bos koko mengangkat dan memikul tubuhku begitu saja tanpa persetujuan, persis seperti memikul sekarung beras di pundaknya.

"Pak, turunkan saya!" teriakku sembari memukuli punggungnya.

"Biar cepat sampai, Rey."

"Saya seperti ini karena Bapak!"

"Saya sudah minta maaf. Niatnya kan, cuma mau senang-senang saja."

Aku masih meronta. Menggerakkan kedua kaki minta diturunkan, tapi percuma karena bos koko tak mendengarkanku sama sekali. Sampai di mobil, Bos koko membuka pintunya, kemudian langsung memasukkan dan mendudukkanku di jok depan.

"Tunggu sebentar, aku ambil belanjaan, ya!" perintahnya.

Aku membiarkan pria Cina itu masuk lagi. Sementara menunggu, aku membenarkan posisi duduk dan bersandar pada kursi. Ah! Sakit sekali semua tubuh ini. Pasti aku tidak bisa tidur nyenyak malam ini. Bahkan, bisa jadi malam-malam berikutnya. Aku memijat punggung dan pinggangku sendiri secara berganti, karena rasanya memang benar-benar sakit. Tiba-tiba, terdengar suara ponsel berdering. Aku pikir milikku, tapi bukan, ternyata suara itu berasal dari ponsel bos koko yang tertinggal di atas dasbor mobil. Ragu, aku mengambilnya, kemudian memperhatikan nama yang tertera di sana. Dhiya. Sepertinya aku pernah mendengar nama ini. Aku pun memutuskan untuk mengangkatnya. Kutekan tombol hijau, lalu menempelkan benda pipih ini ke telinga.

"Halo. Assalamualaikum," ucapku sopan.

"Enggak usah banyak basa-basi! Mana Very, ayah dari anak-anakku?"

Aku diam sesaat. Sepertinya ini mantan istrinya bos koko.

"Dia sedang mengambil belanjaan di dalam mall, sedangkan HP-nya ketinggalan di mobil, Kak."

Aku masih berusaha sopan, meskipun dia ketus terhadapku.

"Jadi, kamu istri baru Very? Jangan mimpi ya, jadi istrinya. Saya yakin, dia masih mencintai saya! Saya sudah lihat wajah kamu. Kamu enggak ada apa-apanya dibanding saya!" ucapnya dengan tawa mengejek.

Aku menarik napas panjang, kemudian tersenyum samar. Setelah hening beberapa saat, aku mulai bicara dengan nada yang begitu lembut dan sopan.

"Oh, ya? Maaf, Kak, tapi kalau yang saya lihat ... meskipun saya terlihat biasa saja, tapi di mata suami saya, saya itu .... sangat luar biasa," jawabku tenang. "Entah mengapa, saya merasa semakin hari rasa cinta suami saya yang tampan, keren, dan kaya itu semakin besar buat saya. Jangankan Kakak, saya pun bingung. Kenapa, ya? Awalnya saya tidak menanggapi perasaan suami saya itu, tapi ... setelah mendengar segala sesuatu soal Kakak dan hari ini setelah bicara langsung sama Kakak, saya rasa ... mulai saat ini saya akan membalas perasaannya. Rasanya terlalu sayang, menyia-nyiakan perasaan yang tulus dari seorang Very Hendrawan."

"Hahaha. Jangan mimpi kamu, Upik Abu! Kamu pikir, saya percaya? Dia hanya memanfaatkan kamu. Kamu enggak lebih sebagai pembantu di rumah itu. Mengurus rumah dan putri kecil kami."

Aku tertawa sinis. Semenjak mendengar cerita Zeze, aku jadi merasa perlu melawan wanita ini. Apa ini rupa dari nenek sihir dalam dunia nyata?

"Saya enggak memaksa Kakak percaya, kok. Apa pengaruhnya buat saya? Kakak percaya, saya bahagia. Enggak percaya juga, masih bahagia."

Aku tertawa.

"Awas kamu, tunggu saja!" bentaknya.

Sambungan telepon terputus. Aku mengangkat kedua bahu, kemudian kembali meletakkan ponsel di tempat semula. Bibirku menyungging sinis, ingat kata-katanya barusan. Sombong sekali wanita ini. Saat kulempar pandangan ke depan, terlihat dari kejauhan Bos Koko kepayahan membawa tiga kantung belanjaan berukuran besar sendirian. Aku hanya tersenyum melihatnya. Lalu menggaruk kepala, bingung. Harus kusampaikan atau tidak ya, nenek sihir itu tadi menelepon? Aku hendak membenahi dudukku, tapi nyeri kembali terasa yang membuatku meng-aduh kesakitan.

Setelah meletakkan semua barang di bagasi mobil, bos koko segera masuk dan menyetir. Sementara aku masih menimbang, harus memberi tahunya atau tidak. Hingga perlahan mobil berjalan meninggalkan parkiran, tapi mulutku tetap diam. Kuputuskan tidak memberi tahunya. Bukan apa-apa, perempuan itu juga tidak menitip pesan apa pun untuk disampaikan pada mantan suaminya. Menanyakan keadaan putrinya pun tidak. Jadi, buat apa kuinfokan kalau baru saja dia menelepon?

***

Di perjalanan pulang, Bos Koko terlihat fokus menatap jalanan.

"Pak."

"Ya. Kenapa, Rey?"

"Kalau seandainya istri Bapak kembali lagi, terus ngajak rujuk. Apa Bapak mau?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

Kenapa dengan hatiku? Aku merasa ada yang sesak, saat menanyakan hal ini. Sialnya, Bos Koko tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, dengan mata masih fokus menatap jalanan. Sementara aku, sudah tidak sabar ingin mengetahui semuanya. Apakah suatu saat suami kontrakku ini akan kembali lagi pada istrinya dan meninggalkanku pergi begitu saja? Atau malah ... ah, mengapa aku jadi mengira-ngira?

"Kok, tiba-tiba tanya begitu?"

'Ah, kenapa, sih, enggak to the point saja jawabnya?' batinku berkata.

"Enggak apa-apa, Pak. Karena pernikahan kita kan hanya kontrak, jadi bisa berakhir kapan saja."

Hatiku mencelus mengatakan kalimat itu. Rasanya, aku ingin menangis saja. Entah mengapa, aku tidak rela jika harus berpisah dari pria ini. Apa mungkin, aku mulai menyukainya? Tidak! Ini bukan rasa suka. Aku hanya terbiasa ada di dekatnya, dan aku hanya merasa nyaman. Itu saja!

Bos Koko tampak mengatur napasnya, lalu berkata, "Dia cuma bagian dari masa lalu saya, Rey."

Aku diam. Jujur, ada kelegaan di hati ini mendengar jawaban itu. Selanjutnya, terbentuk keheningan di antara kami. Aku hanya menatap lurus ke depan, begitu juga bos koko. Mungkin, kami sibuk dengan perasaan masing-masing.

***

Sampai di rumah, tepat pukul sepuluh malam. bos koko memanggil Pak Sandoro untuk membereskan semuanya, kemudian mengulurkan kedua tangan.

"Saya bisa sendiri, Pak," jawabku kembali ketus.

"Rey, jangan bandel. Daripada saya pikul kayak tadi? Selain enggak romantis, nanti perut kamu juga sakit tertekan di pundak saya."

Aku keluar sambil memegangi pinggang yang rasanya remuk dan kaki yang masih sakit.

"Ya sudah, tapi ini karena saya sakit, ya! Jadi mau dibopong sama Bapak, bukan karena apa-apa."

"Iya, Rey, iya."

Aku tersenyum mendengar jawabannya yang tampak pasrah dan mengalah. Bos koko mengangkat tubuh kurusku, sedangkan aku melingkarkan kedua tangan di lehernya. Jadi ingat film Korea yang sering aku tonton di kantor dulu. Adegannya persis seperti ini. Bedanya yang mengangkat cowok Korea, kalau ini cowok Cina.

"Kamu serius banget lihatin saya."

Aku langsung mengalihkan pandangan.

"Ngaku saja, Rey, nggak usah gugup begitu. Kamu baru sadar, 'kan kalau suamimu ini tampan?"

Idih!