webnovel

Belajar Baca Iqro

Di perjalanan, aku menghidupkan musik yang keras. Bernyanyi, bahkan nyaris berteriak. Entahlah, aku merasakan bahagia sedang memenuhi rongga hati ini.

Tunggu saja. Aku akan menjadikanmu istriku yang sesungguhnya, Rey. Ketika saat itu tiba, akan kugelar resepsi yang sangat meriah di hotel berbintang untuk pernikahan kita berdua.

Di kantor.

Ponsel bergetar. Pandanganku beralih ke ponsel yang tergeletak di atas meja. Ah, Mami. Mau ngapain lagi, sih? gerutuku dalam hati. Aku melihat Wawan dan Karina di mejanya masing-masing. Mereka terlihat sibuk. Dengan terpaksa, aku mengangkatnya. "Iya, Mi?"

"Very. Dengar baik-baik, minggu depan Dhiya dan Nicole akan datang. Biarkan mereka menginap di rumahmu! Nicole merindukan Papanya sama Zeze, adiknya."

"Mi, ayolah. Aku enggak masalah dengan Nicole, aku bahkan ingin dia bersamaku selamanya, tapi Dhiya? Enggak enak dilihat tetangga. Kami cuma mantan suami istri, Mi."

"Mami enggak mau tahu! Awas saja, kalau kamu berani usir Dhiya. Mantan istrimu itu sudah berubah, Ver. Percayalah. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menginap di rumahmu, karena dia juga merindukan Zeze putrinya. Atau kamu mau Zeze dibawa olehnya untuk menghabiskan akhir pekan?"

"Mami, cukup! Aku sudah dewasa, Mi! Sampai kapan, Mami mau terus mengatur kehidupan pribadiku?" Aku sedikit berteriak, membuat Wawan dan Karina menatap. Aku beranjak dan melangkah keluar ruangan. "Mami harusnya ingat dong bagaimana hubungan Dhiya dan Zeze. Dia bahkan pernah memukul dan membentak cucu Mami itu, apa Mami lupa? Bagaimana bisa aku membiarkannya?"

"Mami kan sudah bilang, dia sudah berubah. Dia tidak mungkin tega menyiksa anaknya. Ya sudah kalau kamu tidak mau Zeze dibawa pergi olehnya, maka perbolehkan dia menginap di rumahmu. TITIK! Jadi Mami tidak mau lagi dengar alasan apapun kamu menolak mereka, pokoknya harus .... "

Mami terus saja memaksa. Belum selesai Mami bicara, aku mematikan ponsel. Tidak sopan memang, tapi aku tidak sanggup mendengar kalimatnya yang terus saja memojokkan wanita yang kini telah sah menjadi istriku itu. Ya, aku sadar pernikahan ini hanya kontrak bagi kami berdua, tapi inshaAllah sah di mata hukum dan agama, mengingat semua syarat nikah sudah terpenuhi dengan sempurna.

***

Setelah memarkir mobil di garasi, aku langsung masuk rumah. Terlihat Rey sedang mengajak bermain Zeze di kamarnya. Aku menatap dari pintu. Mereka tidak menyadari kehadiranku.

"Papa!" teriak Zeze yang langsung berlari memelukku.

"Hai, Sayang. Bagaimana sekolahnya?"

"Zeze sudah punya banyak teman, Pa!" celotehnya.

"Benarkah? Ada berapa temannya?"

"Banyak, Pa. Mereka baik-baik semua."

Aku menggendongnya, lalu berjalan ke arah pembaringan, sampai di sana mendudukkannya di sisi ranjang. Sambil mendengarkan Zeze bercerita, sesekali aku menatap wajah Rey yang terlihat sebal dengan kedatanganku.

"Oh begitu, ya, Sayang?"

"Iya, Pa."

"Ya sudah, Papa ke atas dulu, ya. Mau mandi, gerah banget," pamitku pada Zeze.

"Oke, Papa," jawabnya dengan manis.

Aku mencium pucuk kepala Zeze, kemudian sengaja mau mencium pucuk kepala Rey juga. Tetapi, dengan cepat wanita bermata indah itu menghindar.

"Pak, apa-apaan?" katanya sedikit berteriak dan memaksakan diri untuk tersenyum.

Mendengar Rey berteriak dan menolak, Zeze terheran-heran.

"Bunda kan sekarang bundanya Zeze. Jadi enggak apa-apa, kalau Papa mau cium Bunda juga. Kata Papa, cium itu tandanya kasih sayang," ucap putriku yang pintar ini dengan polosnya.

"Iya, Sayang. Tapi enggak boleh sama sembarang orang,"

Rey membela diri.

Mereka terus membahas masalah ciuman yang boleh dan tidak boleh. Rey menjelaskan orang-orang yang boleh menyentuh, memeluk dan mencium. Kalau orang asing, yang tidak kenal dan tidak terlalu dekat tidak boleh katanya, apalagi yang tidak memiliki hubungan keluarga. Nasihat Rey ada benarnya juga, apalagi di zaman sekarang, pedofil di mana-mana. Lagi-lagi, aku hanya bisa mengalah dan membenarkan apa yang dikatakannya.

"Dengerin kata Bunda, Sayang."

"Em ... iya, Papa. Jadi, Papa enggak boleh cium Bunda, ya?"

Kami saling bertatapan.

"Boleh, kok. Kan Papa suaminya Bunda, bukan orang asing."

Kami masih bertatapan. Mata Rey semakin tajam menatap, sementara aku mengulum senyum melihatnya.

"Kalau begitu, sebelum ke atas ... ayo, dong, cium Bunda juga."

Aku mendekat. Rey memang diam saja, tapi kulihat raut wajah itu sedikit menegang. Hingga bibirku menempel di pipinya, wanita itu masih menahan diri supaya tidak marah. Meskipun aku tahu dia kesal, tapi aku bahagia dengan sikap putriku barusan. Dia memang putri yang pintar, persis seperti papanya.

"Ya sudah, Papa naik dulu, ya. Kamu dengerin apa pun yang Bunda bilang," ucapku setelah berhasil menciumnya.

"Siap, Papa!"

Aku beringsut turun dari ranjang, dan langsung naik ke atas. Tidak kuhiraukan wajah istri kontrakku yang tampak kesal. Sampai di sini aku semakin yakin, kalau Rey ibu yang tepat untuk putri kecilku. Tidak salah aku memilih menikahinya, meskipun sekarang masih di atas kertas dengan perjanjian yang saling menguntungkan bagi kami berdua, tapi tunggu saja, perlahan ... aku akan membuat Rey menjadi istriku yang sesungguhnya. Tunggu saja, aku berjanji!

***

Plak!

"Aduh! Sakit, Rey. Jangan kenceng-kenceng mukulnya!" teriakku melotot ke arahnya.

"Bapak salah terus! Ini yang bentuknya kayak ini 'wuw' namanya."

Rey memukul telapak tanganku menggunakan penggaris plastik. Sehabis salat Isya tadi, dia datang ke kamarku dan mengajak belajar membaca Iqro. Katanya, tahapan awal agar bisa membaca ayat suci Al-Qur'an. Aku selalu lupa di huruf 'wuw', sedangkan yang lainnya lancar sampai ke 'Ya'.

"Namanya juga baru belajar. Kamu jangan galak-galak, dong. Aku kan muallaf, mana bisa langsung bisa dan lidahku pun belum terbiasa, Rey!" pintaku.

Dia menatap tajam. Kami bahkan menggelar ambal di bawah ranjang. Duduk lesehan dengan bantal di hadapan untuk alas Iqro yang saat ini aku baca. Rey duduk di depanku, persis seperti guru. Mata melotot, memperhatikan setiap ucapan dan bacaanku.

"Biar Bapak ingat! Dulu, waktu aku mengaji di TPA di desa, ustaznya juga ngajarin aku seperti ini. Lebih galak malah. Kalau ada yang melakukan kesalahan, dipukul pakai bambu. Bapak mending, cuma mistar. Plastik pula," jawabnya sinis.

"Beda, lah. Dulu kalian masih anak-anak. Kalau saya, kan sudah dewasa."

"Sama saja. Malah kami yang masih anak-anak saat itu tahan banting, loh, Pak. Sedangkan Bapak? Tubuh kekar dan tinggi, masa takut kena pukul pakai penggaris?"

"Ralat, saya enggak takut! Cuma pedas saja rasanya dipukul pakai itu."

"Pokoknya, enggak boleh protes! Saya sekarang guru Bapak, dan Anda murid saya. Coba saya tanya, kalau Bapak lihat wanita yang seksi berjalan di hadapan. Bapak, bilang apa?"

"Waw!" jawabku sambil membayangkan wanita cantik lewat di depan mata.

Plak!

Satu sabetan lagi di telapak tangan, membuatku meringis menahan sakit. "Rey, sakittt!" teriakku tertahan.

"Kalau soal begituan, Bapak hafal, ya! Ini cuma nyebutin huruf Arab Wuw saja, Bapak mikirnya lama! Jangan-jangan, Bapak dulu buaya darat?"

"Setiap laki-laki pasti bilang waw, kalau lihat yang seperti itu. Bukan cuma saya, Rey ...."

"Ish. Dasar, semua laki-laki sama! Mata keranjang, buaya darat!" ucapnya mencebik kesal.

"Ya sudah, kita lanjutin besok saja belajarnya. Saya bahkan menyelesaikan Iqro satu dalam waktu tiga puluh menit."

"Iya, tapi Bapak selalu lupa di huruf 'Wuw'."

"Kali ini saya ingat. Ini Wuw, 'kan?" tanyaku sembari menunjuk huruf wuw di Iqro.

Aku berdiri dan berjalan mengambil amplop yang sudah kupersiapkan di lemari, kemudian kuberikan padanya. Rey bingung. Dengan dahi mengerut, dia menatapku penuh tanda tanya.

"Itu uang belanja bulanan. Kamu sudah janji mau mengaturnya." Aku menutup Iqro, melipat sajadah, dan meletakkannya di atas nakas. "Dua puluh juta, untuk uang sayur dan gaji pekerja di rumah ini. Kalau kurang, bilang saja. Karena biasanya sepuluh juta sudah cukup."

"Lalu, kenapa Bapak memberikan saya 20 juta, Bapak pikir saya mata duitan?"