webnovel

Pertemuan Pertama Rey dan Dhiya

Aku mencebik dan dia tertawa. Selanjutnya kembali hening, hingga kurasakan detak di jantungku semakin berkejaran. Aku sengaja menyandarkan kepala ke dadanya, dan aku merasa detak jantungnya tidak kalah cepat berirama seperti milikku. Kini, pandangan bos koko lurus ke depan. Sedangkan aku terus menatapnya dengan perasaan yang, Entah.

Pria ini, mengapa dia mau terlibat dalam pernikahan palsu denganku? Bahkan rugi materi dan waktu. Apa yang ada di pikiran pria ini? Apakah ia benar-benar menyukaiku? Meskipun terlihat seperti itu, siapa yang bisa menjamin kalau bos koko tidak memiliki wanita lain. Terlebih, tampang dan materinya yang memenuhi.

"Rey," panggilnya.

Sialnya, aku terlalu terpukau dengan wajahnya. Aku terus menatap wajah itu, hingga tidak sadar kalau kami sudah sampai sejak tadi.

"Rey, kamu nggak mau turun? Kita sudah sampai di kamar kamu, loh."

"Sudah sampai, Pak?" tanyaku dengan wajah datar.

Tololnya aku masih saja belum menyadari, kalau sekarang kami sudah ada di kamarku sendiri. Ya, saking asyiknya menatap makhluk Allah yang begitu memesona ini.

"Iya, sudah sampai. Atau ... kamu mau tidur di kamar saya saja?"

Mataku langsung membulat dan kesadaranku langsung on ke otak. Refleks aku melompat, dan ....

"Aw!"

Aku meringis menahan sakit. Kaki, wajah, sudah pasti memerah seperti udang rebus kali ini. Selain malu, pinggang dan kaki juga terasa ngilu!

"Kamu enggak apa-apa, Rey?"

Bos Koko tampak khawatir. Kemudian hendak menuntunku ke ranjang.

"Nggak apa-apa, Pak. Makasih, makasih!" Aku menepisnya, selanjutnya mencoba jalan sendiri ke arah pembaringan.

"Aw, aduh!"

Kembali aku meringis. Ngilu dan sakit sekali rasanya.

"Kamu bandel banget sih, Rey." Bos koko dengan sangat hati-hati mengangkat tubuhku ke atas kasur. "Ya sudah, kamu istirahat, ya! Pasti capek," katanya seraya menarik selimuti untuk menyelimuti tubuhku setelah aku berbaring.

Aku diam saja, lalu berbalik membelakanginya. Selanjutnya, terdengar langkah kaki menjauh dan menutup pintu. Kemudian rasanya tulangku berbunyi saat aku hendak berbalik.

"Ah, sakit!" Aku memejamkan mata sambil meringis. Setelah cukup tenang, aku tersenyum tipis 'Terimakasih, suami kontrakku. Good Night.'

***

Keesokan harinya, Bos koko mengajak tukang urut ke rumah. Kemudian beberapa hari berikutnya juga demikian. Aku hanya duduk di kamar. Setiap hari, Zeze main ke kamarku. Kami bermain dan belajar juga di dalam kamar, karena cukup sulit naik turun tangga dengan kaki dan pinggang yang seperti ini. Setiap hari, bos koko meminta Jeje mengantar makanan ke kamar untukku: pagi, siang, dan malam hari. Dia melarangku ke mana-mana. Entah bagaimana ceritanya, setiap malam, dosenku datang. Mereka memberikan keringanan dengan memperbolehkan aku untuk ujian di rumah, tapi tetap menungguku mengerjakan soal sampai selesai.

Dari salah satu dosen, aku mengetahui, kalau Bos Koko datang ke kampus dan menceritakan keadaanku, kemudian meminta keringanan ini. Bersyukur dosenku mengerti, sehingga memberi jalan keluar seperti ini, agar aku tidak ketinggalan semesteran. Seminggu berlalu. Aku lega bisa mengikuti jalannya ujian semesteran dengan baik. Tinggal menunggu hasilnya. Tiba-tiba, teringat mereka. Apa kabar para temanku, ya? Heny, Teno, Rehan, dan ... Sony. Terbayang kebersamaan kami dulu: tertawa, ngamen, dan menolong sesama dengan penuh suka cita. Andai semua itu bisa diulang. Sayangnya, waktu yang pernah kami lalui itu tidak akan mungkin bisa terulang kembali. Mungkin karena hal itulah, dulu Ibu selalu berpesan supaya aku bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Agar tidak terjadi penyesalan di waktu yang akan datang. Aku bahagia pernah mengenal mereka. Sehat-sehat ya kalian ....

***

"Bunda," sapa Zeze pagi itu.

Dia sudah bersiap memakai seragam sekolah dengan Mbak Mira. Zeze memeluk dan langsung mencium kedua pipiku.

"Sudah mau berangkat, ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Mira, kemudian membalas ciuman Zeze dengan gemas.

Mereka sedang ada di kamarku untuk berpamitan.

"Iya, Non."

Aku segera turun dari ranjang dan berniat berganti pakaian. Wanita bermata besar itu terlihat sangat dekat dengan Zeze. Semenjak aku sakit, putri kecilku hampir setiap saat dengannya, tapi aku yakin, hari ini pinggang dan kakiku sudah pulih. Aku akan ikut menjemput Zeze nanti siang. Aku cemburu juga melihat kedekatan mereka. Seiring berjalannya waktu, kasih sayangku untuk anak ini semakin menggunung. Aku bahkan lupa kalau gadis kecil itu bukanlah anakku.

"Mbak, apakah Tuan sudah berangkat kerja?" tanyaku pada Mbak Mira.

"Sepertinya sudah, Non. Kenapa?"

"Eh, Mbak, aku saja ya yang nganter Zeze sekolah? Mbak Mira bantuin Jeje di rumah saja."

"Tapi, Non. Nanti Tuan marah sama saya," sahutnya terlihat ketakutan.

"Mbak, dia enggak akan tahu. Sebelum dia pulang, kan kami sudah sampai di rumah. Udah, Mbak tenang saja, ya!" Aku berusaha menenangkan, lalu menoleh ke arah si gadis kecil. "Sekolah sama Bunda, ya, Sayang?" tanyaku pada Zeze sambil sibuk memakai jaket, kemudian merapikan bagian karet pada pinggang di rok panjang yang aku kenakan.

"Wah, asyik! Ditemenin Bunda sekolahnya," jawabnya dengan mata berbinar yang membuat senyumku semakin melebar.

"Kalau Tuan marah, biar saya yang hadepin, Mbak."

"Ya sudah, deh kalau begitu, Non. Saya langsung ke bawah, ya, Non. Bantuin Jeje."

"Oke, Mbak. Makasih, ya."

"Sama-sama, Non."

Mbak Mira pun pergi. Setelah siap dan rapi. Aku dan putri kecilku dengan langkah gembira menuruni anak tangga. Sudah lama sekali aku terkurung dalam kamar. Rasanya, sudah tidak sabar ingin melihat dunia luar.

***

"Sayang, Bunda tunggu di luar enggak apa-apa, ya?" ucapku ketika selesai menemaninya menyantap bekal di jam istirahat di sekolah.

"Baik, Bunda."

Aku mengecup puncak kepalanya, kemudian keluar kelas. Duduk di taman sambil memperhatikan sekeliling. Di antara banyak ibu-ibu yang duduk di sini, sepertinya usiaku yang paling muda. Mungkin, mereka mengira kalau Zeze adalah adikku. Tidak berapa lama, terlihat beberapa anak sudah keluar kelas. Aku langsung berdiri memperhatikan, kemudian mengirim SMS ke Pak Sandoro supaya segera menjemput kami di sekolah. Setelah kembali memasukkan ponsel ke tas selempang, aku kembali fokus ke arah kelas guna menunggu putri kecilku keluar dari sana. Ternyata dia ada di belakang tubuh gembul anak laki-laki yang baru saja keluar kelas. Aku langsung tersenyum, dan melambaikan tangan.

Zeze membalas senyum dan lambaian tangan ini. Aku duduk berjongkok seraya merentangkan kedua tangan, berharap dia menghambur memeluk. Benar saja, dia berlari ke arahku. Ya Allah, rasanya bahagia sekali melihatnya seperti ini. Namun, hal yang tidak kumengerti terjadi, Zeze berlari melewati tubuhku. Aku menoleh ke belakang. Ternyata dia melompat kepelukan seorang wanita berbaju biru tepat di belakangku.

"Mama!"

Zeze terlihat begitu bahagia. Ada yang sesak, tenggorokan pun rasanya serak. Apa dia ibu kandung bidadari kecilku? Di sampingnya, berdiri seorang anak laki-laki berjaket merah. Anak itu menatapku sinis, penuh kebencian.

"Hai, Sayang. Kangen sama Mama?" tanya wanita itu sembari menciumi pipinya.