webnovel

Pura-pura Menjadi Pasangan Bahagia di Depan Dhiya

"Kangen sama Mama, sama Kak Nicole juga. Bunda, ini mamanya Zeze," ucapnya polos memperkenalkan mamanya dan Nicole, kakaknya.

Aku berdiri, lalu berusaha tersenyum.

"Hai, Kak," sapaku sembari mengulurkan tangan dan mengedarkan pandangan ke arah lainnya.

Aku tidak yakin siap melihat ini. Aku bahkan cemburu melihat kedekatan Zeze dengan Mbak Mira, pengasuhnya sendiri. Bagaimana dengan ini? Tapi biar bagaimanapun dia adalah ibu kandung dari gadis kecil itu. Aku tidak bisa membatasi kedekatan mereka, karena aku tidak berhak. Wanita itu hanya tersenyum sinis. Dia melihatku, tanpa membalas uluran tangan ini. Aku menarik tanganku kembali, kemudian tersenyum ke arah Zeze karena dia terus menatapku. Wanita ini, dia memang terlihat begitu cantik dengan rok selutut berwarna hitam yang dipadu padankan dengan blazer berwarna biru. Kulitnya yang putih dan mulus, terlihat semakin berkilau dengan blazer biru itu. Belum lagi kakinya yang putih mulus dan jenjang, makin sempurna dengan sepatu berhak tinggi yang terlihat elegan.

"Kita shopping dulu, ya, Sayang. Mau?" tanyanya pada Zeze sembari mengajak kedua anaknya duduk di kursi taman.

Aku memilih duduk di sebuah ayunan anak-anak, sambil memperhatikan mereka.

"Zeze mau, Ma. Asal sama Bunda."

Zeze melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum membalas lambaian tangannya. Wanita itu memutar bola mata, malas. Sambil menjawab, "Baiklah, Sayang. Ini semua demi kamu, ya. Kalau bukan karena kamu, mama nggak mau ngajak orang asing ada di keluarga kita."

Aku menarik napas berat. Seharusnya aku pulang, tapi bagaimana dengan Zeze? Apakah dia akan baik-baik saja? Tidak, aku harus ikut. Bukan karena tidak ingin mereka dekat, tapi aku ingat cerita Zeze waktu itu. Bagaimana kalau ia melakukan sesuatu? Baik, aku harus ikut! Ya, demi anak itu.

Sepuluh menit berlalu. Pak Sandoro datang menjemput, wanita itu dengan cepat berdiri dan menggandeng tangan kedua anaknya, lalu mengajak masuk ke mobil. Aku masih bergeming, menatap dari sini dengan perasaan yang aku sendiri tidak mengerti.

"Bundaaa!" teriak Zeze dari kaca mobil yang terbuka.

Dia melambaikan tangan, memanggilku supaya mendekat.

Pak Sandoro menghidupkan klakson beberapa kali. Aku segera berdiri dan berlari kecil menghampiri.

"Bunda, ayo!" ajaknya dengan binar mata bahagia.

Aku memilih duduk di depan bersama Pak Sandoro. Sementara mereka ada di jok belakang. Di perjalanan, beberapa kali aku melirik Zeze yang terlihat sangat bahagia bercengkerama dengan ibu kandungnya. Sedangkan wanita itu beberapa kali melirik sinis ke arahku dari kaca spion yang ada di atas dashbord mobil ini. Belum lagi Pak Sandoro, lelaki ini terlihat sangat akrab berbicara dengan wanita itu. Bertanya kabar masing-masing, dan berbincang banyak hal. Sementara aku? Aku hanya diam, mengalihkan pandangan keluar jendela karena mulai bosan.

***

Sampailah kami di sebuah mall. Zeze beberapa kali ingin menggandeng tanganku, tapi secepat kilat ditepis oleh wanita itu, kemudian beralih menggendong tubuh mungilnya supaya menjauh dariku. Hampir tiga jam kami memutari mall. Aku hanya berjalan mengiringi mereka bertiga, sedangkan Zeze tidak diberi kesempatan oleh mamanya untuk dekat denganku. Aku menenteng belanjaan mereka di kedua tangan. Ingin menolak dan melawan, tapi bersikap seperti itu di depan anak-anak bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan? Sehingga dengan terpaksa, aku menuruti semuanya.

Perjalanan pulang, Zeze dan Nicole tertidur. Aku tidak bisa memejamkan mata. Ucapan wanita ini seolah selalu menyerangku.

"Pak Sandoro, ingat nggak, dulu waktu kamu anterin kami di ulang tahun pernikahan? Sampe sekarang, aku masih simpan loh, cincin dari papanya anak-anak."

"Oh, iya, Nyonya. Saya ingat. Saat itu di hotel berbintang, ya?"

"Iya, Pak. Papanya anak-anak itu selalu tahu apa yang aku suka. Aku yakin, kalau hubungan kami masih bisa diperbaiki."

Dadaku mulai sesak. Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara perlahan.

"Iya, Nyonya. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi kalian."

"Makasih. Tapi semua itu bisa diperbaiki, kalau saja diantara kami tidak ada orang ketiga. Sayangnya sekarang ..."

Kata-katanya menggantung di udara. Wanita itu menatapku dengan tajam dari kaca spion yang ada di depan beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan dengan wajah sinis. Pak Sandoro hanya tersenyum menanggapi kalimat terakhir wanita ini. Sementara aku mulai berpikir, benarkah kalau aku orang ketiga dalam keluarga ini? Kini gantian aku yang menatap wanita itu dari kaca spion. Dia memangku kepala Zeze di kedua pahanya sembari membelai lembut rambut anak itu. Sadar aku memperhatikannya, dia balas menatapku dengan bibir yang melengkung sebelah. Segera aku mengalihkan pandangan ke arah yang lainnya. Sebenarnya sedekat apa hubungan Pak Sandoro dan wanita ini? Mengapa mereka terlihat begitu akrab?

Aku mulai penasaran. Sepertinya, aku harus mencari tahu semuanya!

***

Sampai di halaman rumah, Mbak Mira dan Jeje sudah menunggu. Terlihat juga bos koko menatap dengan pandangan kesal. Dia memperhatikanku membawa banyak papper bag di tangan. Sebelumnya, dia meminta Mbak Mira dan Pak Sandoro membawa Zeze dan Nicole ke kamar. Setelah itu, tinggallah kami bertiga. Bos Koko mengambil papper bag dari tanganku, kemudian meletakkannya ke lantai.

"Aku yakin, ini bukan milikmu, Sayang. Lain kali, jangan mau dijadikan pembantu oleh wanita itu dan aktifkan hapemu supaya saya bisa meneleponmu," ketus bos koko menatap wanita itu tajam. "Kamu itu nyonya di rumah ini. Enggak ada yang berhak memerintah kamu selain aku, suamimu!" katanya menatap ke dalam bola mataku, lalu menyelipkan rambut ini ke belakang telinga.

Dia juga mencium kening dan melingkarkan kedua tangan di pinggang, tepat di hadapan mantan istrinya.

Apa-apaan? Aku menatap curiga.

Bos Koko memberi aba-aba, supaya aku diam saja. Senyumnya aneh dan sangat terlihat dipaksakan. Aku hanya diam, saat tangannya menggenggam kedua tangan ini, lalu mencium salah satunya. Terdengar wanita itu berdecak beberapa kali. Matanya menatap penuh emosi.

"Very! Kamu keterlaluan!" bentaknya sengit.

Bos koko tampak santai. Dia tidak mengacuhkan ucapan mantan istrinya.

"Panggil saja perempuan itu Dhiya. Dia hanya bagian dari masa lalu saya. Masa depan saya itu adalah kamu, Sayang."

Lagi, aku menatapnya penuh curiga. Ada apa ini sebenarnya? Tiba-tiba wajah bos koko mendekat. Dia berbisik di telinga, "Perkenalkan diri kamu." Lalu memberi jarak pada wajah kami sambil tersenyum. Aku menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah wanita itu. Saat ini, aku memasang wajah sok ramah dan bahagia.

"Halo, Kak. Saya, Rey, istrinya Bapak Very Hendrawan," ucapku, lalu menoleh ke arah suami kontrakku. "Sayang, terima kasih sudah memberikan kasih sayang seluas samudera untukku."

Aku tersenyum manis padanya. Bos Koko diam saja. Kini wajahnya tampak kaget dengan sikapku barusan.

"Muach! Love you," kataku seraya mengulum senyum, setelah mencium pipinya.

"Eh. Love, love you too, Sayangku," sahut bos koko agak kaku.

Tampak wajah sang mantan istri merah padam, bak kepiting rebus. Setelah aku mencium pipinya bos koko jadi salah tingkah dan bingung.

Lha, kan dia yang awalnya ngajak bersandiwara. Kok malah bingung sendiri, sih?

rutukku kesal, aku sampai menyikut lengannya dan menatap memberi aba-aba supaya akting ini dilanjutkan. Bos koko mengangguk, lalu sekilas menoleh ke arah ibu dari anak-anaknya sambil berkata, "Kalau mau menginap? Silakan tidur di kamar tamu," kemudian mengamit tanganku mengajak masuk.