webnovel

Penuh Cinta

"Rey, terima kasih sudah menyelamatkan Nicole," ucapnya masih membelakangiku. Dia seperti sedang menghapus air mata. Itu terlihat dari gerakan tangan dan suara isakan.

"Sama-sama, Kak," jawabku yang kini ada di belakang tubuhnya.

Dia berbalik menghadap ke arahku, kemudian menggenggam jemariku.

"Entah apa jadinya, kalau kamu tidak ada kamu di sana. Sebagai seorang ibu, aku merasa tidak berguna. Aku tidak pernah benar mengurus mereka, Rey."

Kak Dhiya semakin terisak. Alisnya saling bertaut. Air mata membanjiri wajahnya yang mulus. Aku memeluk tubuhnya yang menangis dan bergetar hebat.

"Kak, ketika Kakak melahirkan mereka ... itu adalah pengorbanan terbesar seorang ibu untuk anaknya. Kakak tahu, mereka beruntung masih memiliki ibu yang sehat seperti Kakak. Karena di luar sana, banyak orang yang bahkan tidak bisa lagi melihat ibunya," ucapku berusaha menenangkannya.

"Aku bukan ibu yang baik, Rey." Kak Dhiya semakin terisak.

"Enggak ada manusia yang sempurna, Kak."

"Ada, Rey, Itu kamu."

Bos koko sudah berdiri di depan pintu, kemudian mendekati kami. Aku melepas pelukan dan membantu menghapus air mata wanita di hadapanku ini.

"Jangan menangis lagi, ya, Kak."

"Makasih, Rey. Aku minta maaf, karena di pesta tadi sudah mempermalukan kamu."

Dia kembali menangis sambil memegangi tanganku.

"Tenang saja. Istriku ini bukan anak yang manja. Dia nggak akan mudah tumbang, meskipun terkena hujan dan panas," sahut Bos Koko yang sudah ada di dekat kami.

Dia menepuk pundak, kemudian mengusap puncak kepala ini.

"Pak, jangan berlebihan," jawabku tanpa menoleh ke arahnya, masih menatap wajah wanita yang sangat menyesali kesalahannya ini.

Kak Dhiya mengambil tangan bos koko, kemudian mengambil tanganku. Ternyata, dia menyatukan tangan kami berdua.

"Kalian berhak bahagia. Maafkan aku, karena sempat berpikir akan merebut Very darimu, Rey. Aku ... akan pergi dari sini besok pagi."

"Kak, bukankah Nicole izin satu minggu dari sekolah? Tinggallah lebih lama," pintaku.

"Terima kasih, Rey. Tapi Kakak harus pergi besok."

"Baiklah. Aku nggak akan memaksa, Kak. Berjanjilah, lebih sering kemari dan bermainlah dengan kami," pintaku seraya menggenggam erat tangannya. "Kakak tetap ibu kandung Zeze. Dia juga membutuhkan kasih sayang Kakak."

"Iya, Rey. Terima kasih banyak. Berbahagialah kalian berdua."

Wanita itu tersenyum dan langsung keluar dari perpustakaan menuju kamarnya. Tinggallah kami berdua di sini. Kini bos koko menatapku tajam, sedangkan aku berusaha membuang pandangan ke sembarang arah. Grogi juga rasanya berhadapan langsung dengan duda dua anak ini.

"Boleh peluk?" tanya Bos Koko masih menatap tajam kedua mataku. Tangannya melipat di depan dada.

"Perlu jawaban?" jawabku singkat.

Dia tertawa dan langsung memeluk tubuh kurusku ini dengan erat. Bos koko bahkan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi, sampai aku harus menunduk ke bawah melihat wajahnya.

"Rey," panggilnya lirih.

"Apa, Pak?" sahutku tersenyum.

Jujur saja, aku sangat bahagia. Duda keren ini begitu memanjakanku.

"Will you marry me? Jadilah istriku yang sesungguhnya," katanya sambil menurunkan tubuhku.

Aku tidak tahu harus bicara apa. Bahagia, iya. Senang, sudah pasti. Bersyukur? Jangan ditanya lagi. Mendapatkan cinta dan kasih sayang dari duda keren, cakep, kaya raya, dan baik hati satu ini!

"Pak, saya ...."

Kalimatku terhenti, karena bos koko langsung membungkam mulutku dengan tangan. Awalnya aku hanya diam, dan kami saling bertatapan, tapi makin lama wajah tampan itu semakin mendekat. Bos koko melepas tangannya pada bibir ini, lalu memangkas jarak pada wajah kami. Matanya menatap mataku sendu, lalu tersenyum tipis saat tatapannya beralih ke arah bibirku. Aku memejamkan mata saat jemarinya meremas jemariku perlahan, lalu aku merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirku.

Kiss itu terjadi cukup lama, hingga aku merasakan tangannya terlepas dari tanganku, lalu sibuk melepas ikat pinggang yang melingkar di celananya. Dengan cepat aku melepas ciuman, lalu mencoba mengingatkan.

"Maaf, Pak. Anda belum sunat. Jadi, belum bisa tidur dengan saya. Ingat, dengan janji Anda yang ingin menjadi muallaf yang sempurna, yaitu dengan cara khitan?"

Bos koko langsung lemas, ia menarikku ambruk ke sofa, sehingga kami berbaring bersebelahan di sana.

"Argh, Reiii!" katanya kesal, dan aku tertawa.

Setelahnya, kami hanya tidur berdua di sofa. Suamiku menyembunyikan wajahnya di tengkukku, sementara kedua tangannya memeluk tubuhku dari belakang. Kami bercerita banyak hal. Ini pertama kalinya aku merasa kami sangat dekat. Sesekali, hangat embusan napasnya menyapu leherku. Sesekali juga dia pun mengecupnya lembut. Kami bercanda dan tertawa lepas. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi kawin kontrak. Bagiku, kini dia benar-benar suamiku, bukan suami kontrak. Dengannya, rasa nyaman kurasakan, dengannya rasa cinta kudapatkan, dengannya rasa rindu itu ada. Setelah berbincang banyak hal aku berbalik menghadap ke arahnya. Kami saling bertatapan. Kupandangi wajah yang dulu sangat menjengkelkan ini dengan saksama.

"Pak, kita pindah ke kamar, yuk!" ajakku.

"Di sini saja, Rey."

"Enakan di kamar, luas."

"Enak di sini, sempit. Jadi, kamu nggak bisa jauh-jauh dari saya," katanya seraya mengelus wajah.

Aku hanya tersenyum.

"Kamu belum ngantuk?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Saya akan memberanikan diri untuk khitan. Kamu masih setia menunggu, 'kan?" tanyanya yang membuatku tertawa lepas seketika. "Kok, ketawa?" tanyanya bingung.

"Enggak apa-apa, Pak."

Aku mengulum senyum. Kini wajah itu menatap serius padaku.

"Coba ketawa lagi."

Aku mengulum kedua bibir, supaya tidak kelepasan tertawa.

Cup!

Dia mencium pipi ini sekilas. "Ayo, ketawa lagi!"

Aku masih diam. Bahkan, kini mencebik ke arahnya menahan tawa. Suamiku tertawa dan kembali mendaratkan satu kecupan di pipi satunya.

"Ketawa sekali lagi, aku bakal cium kamu sampai enggak bisa bernapas lagi."

"Yah, mati, dong," sahutku enteng.

Kini Bos Koko yang tertawa. Dia langsung menyembunyikan wajahku dalam dadanya. "Jangan, dong. Kamu harus temani aku selamanya, Rey," bisiknya lirih, sambil terus memelukku erat.

"Pak ... "

"Ya?"

"Bukankah perkawinan kita hanya kontrak?"

"Kata siapa? Kamu tahu, saat saya menjabat tangan Bapak waktu itu, tak ada niat di hati saya sedikitpun untuk menikahi kamu secara kontrak. Saya niatkan dari dalam hati saya yang paling dalam untuk menjadikan kamu istri yang sesungguhnya. Kawin kontrak hanya cara saya untuk mengikat kamu supaya tidak pergi dan tidak jauh-jauh dari saya, Rey."

"Benarkah?"

"Ya."

"Apa Bapak mencintai saya?"

Bos koko menatap lama, lalu memegang kedua telapak tanganku dan mengecupnya dengan penuh penghayatan.

"Saya yakin kamu bisa merasakan perasaan saya ini. Saya ... sangat mencintai kamu, karena Allah. Saya jatuh cinta dengan kamu sejak pertama kali melihat kamu menggendong Zeze. Karena kamu saya tertarik dengan Islam, lalu mendalaminya. Karena kamu saya mengenal berbagi dengan sesama. Karena kamu saya kembali percaya dengan cinta dan karena kamu .... "

Kami masih saling bertatapan.

"Apa?" tanyaku lirih.

Bos koko tersenyum, lalu mencium hangat bibir ini.

"Karena kamu, saya jadi tahu rasanya memperjuangkan sesuatu. I Love you Reynata ... "