webnovel

Nekat Sunat

Setelah hari itu aku dan Rey resmi pacaran setelah menikah. Aku tidak lagi merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, karena sekarang Rey sudah menyambutnya. Aku tidak pernah menyangka jika cinta yang dayung besambut itu ternyata seindah ini. Sikapnya yang jutek dan suka marah-marah, kini menjadi lebih lembut dan penuh cinta. Sayangnya hanya satu, yaitu kami belum bisa melakukan malam pertama karena aku yang belum khitan. Sampai saat ini aku masih terus memupuk keberanian untuk melakukannya. Setiap malam aku membaca artikel mengenai itu semua. Meskipun kata Wawan rasanya tidak sakit, tapi aku masih belum percaya. Masa' iya alat vital dipotong, rasanya biasa saja? Meskipun dibius, pasti ada bagian sakitnya. Entah saat disuntik atau yang lainnya dan aku masih mempersiapkan diri untuk itu.

"Bunda, kita besok ke kebun binatang, yuk!" ajak Zeze saat malam itu kami sedang menonton televisi bersama.

"Coba tanya Papa."

Zeze langsung mendekatiku.

"Papa .... "

"Kenapa?"

"Zeze mau ajak ke kebun binatang besok."

"Boleh, tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Cium dulu." Gadis kecilku tertawa. "Kok ketawa?"

"Malu Papa sama Bunda."

"Kalau begitu biar nggak malu. Zeze cium sebelah kanan papa dan bunda cium pipi yang sebelah kiri."

"Oh iya!"

Anak itu langsung mendekati Rey. Ia memaksa wanita itu mendekat ke arahku. Setelah dekat, Zeze meminta Rey untuk mencium pipi ini berbarengan saat Zeze mencium pipiku juga. Sayangnya Rey menolak dengan alasan itu hanya modusku untuk minta cium mereka berdua.

"Ih papa modus, ya! Sengaja bilang gitu biar bunda sama Zeze cium papa! Ih males!" kata anak kecil itu yang membuatku gemas.

Aku terpingkal melihat gayanya, begitu juga Rey.

"Kamu fitnah saya ya, Rey. Sini kamu!" Godaku mengejarnya.

Rey tertawa seraya berlari menjauh yang diikuti oleh Zeze. Akhirnya kami main kejar-kejaran di dalam rumah. Dan pada akhirnya Rey dan Zeze yang mengejarku. Katanya aku peraya para wanita seperti mereka berdua.

**

Dua bulan kemudian ....

Bulan ini, kami sedang sibuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan yang akan digelar bulan depan. Kami sengaja memilih bulan depan, agar semua persiapannya matang. Bahagia sekali rasanya, bisa melihat Rey memilih sendiri segala sesuatu untuk pernikahan ini. Mekipun aku sudah menjadi mualaf, tapi aku sudah berjanji tidak akan memberikan nafkah batinku untuknya sebelum mualafku sempurna.

"Sayang, jadi kapan kita bisa tidur sama-sama?" rengekku berbaring di sisinya.

Rey hanya tertawa gemas melihatku seperti ini.

"Pak, tiap malam kita tidur sama-sama, kan?" jawabnya santai.

"Iya, tapi seperti pacaran. Cuma bisa cium dan peluk-pelukan aja. Saya, 'kan pengennya yang lebih dari itu, Rey."

Aku mendengkus kesal.

"Eh ralat! Saya nggak pernah, ya, pacaran. Segel bibir saya juga Bapak yang buka," ucapnya sambil menjulurkan lidah dan melengos sinis.

"Tapi suka, 'kan saya buka segel bibirnya?"

Aku menggelitik pinggangnya.

"Aduh, Bapak apaan, sih? Geli tahu." Rey menjauhkan tanganku dari pinggangnya. "Makanya, Bapak cepetan, dong, khitannya. Jangan jadi penakut gitu!" ucapnya sambil menahan tawa.

Aku tahu dia menahan tawa untuk menggoda. Aku diam saja sambil kembali menahan hasrat yang sudah di ubun-ubun. Bukan hanya malam ini, tapi setiap malam aku meredam gejolak di dalam dada dan memang telah lama belum tersalurkan. Saat sudah punya istri, malah kembali ditunda. Baiklah, besok akan kuberanikan diri datang ke dokter untuk melakukannya. Minta temani Wawan saja. Malu kalau Rey sampai tahu rencana ini. Malam ini, akhirnya berlalu seperti biasa. Aku tidur memeluknya dari belakang. Sudah jadi kebiasaan menyembunyikan wajah ini di tengkuknya, mencium aroma tubuh, dan wangi rambutnya. Entah mengapa aku merasa, kalau aku bisa menemukan kenyamanan hati saat seperti ini, sampai mengantarkanku ke alam mimpi yang indah.

***

Pagi-pagi sekali, aku berangkat ke kantor. Gelisah menunggu Wawan datang. Jam di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku terlalu bersemangat untuk disunat hari ini. Padahal, aslinya aku takut dan gemetar juga membayangkannya. Namun, demi kesempurnaan mualafku dan supaya bisa menggauli istriku dengan baik, maka aku nekat akan khitan hari ini.

"Assalamualaikum, Pak."

Wawan memasuki ruangan. Mumpung Karina belum datang, aku memanggilnya mendekat.

"Wa'alaikumsalam. Wan, sini!" perintahku yang membuatnya mengurungkan niat untuk duduk di kursi kerja. Ia langsung mendekatiku. "Wan, boleh minta tolong?"

"Boleh, Pak. Ada apa?"

Aku menoleh ke kanan dan kiri, lalu kembali berbisik.

"Temani saya ke suatu tempat ya hari ini."

"Ke mana, Pak?" tanyanya dengan alis terangkat.

Lagi aku menoleh ke kanan dan kiri, untuk memastikan tidak ada orang yang mendengarkan kami.

"Saya ... mau khitan, Wan," ucapku lirih.

"Benarkah, Pak? Wah, dengan senang hati," jawabnya dengan wajah berseri-seri.

"Kamu senang banget, nggak mikirin perasaan takut saya?"

Aku melihat sinis ke arahnya.

"Pak, sebagai umat muslim yang baik, saya akan mendukung apa pun yang akan Bapak lakukan. Apalagi untuk menyempurnakan agama ini."

Wawan tersenyum.

"Ya sudah, makasih. Sekarang kerja dulu sana!"

"Oke, Pak!" Kemudian dia kembali ke kursi kerjanya.

***

Kami sudah menunggu selama 10 menit di sebuah klinik. Dahiku penuh dengan keringat. Berulang kali kuusap wajah dengan tisu, tapi tetap saja keringat sebesar jagung muncul. Aku membayangkan, milikku dipotong dengan keras dan kasar, lalu ditarik-tarik karena mereka kesusahan. Ibarat sayur, yang mudah dipotong itu yang masih muda. Kalau sudah tua, alot tentunya. Jujur, aku nervous dan gugup sekali menghadapi semua ini. Jantungku berdegup tidak keruan.

Bismillah. Permudahlah, ya Allah, ucapku dalam hati yang sudah lebih dari 100 kali doa itu terlontar dari bibir ini.

"Very Hendrawan ," panggil seorang perawat tiba-tiba.

Aku berdiri dan berjalan masuk ke ruangan.

"Maaf, apa Anda yang namanya Very?" tanya perawat itu, saat aku sudah berdiri di depan pintu masuk.

"Iya, saya," jawabku.

Refleks dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Oke, baik. Aku ditertawakan. Aku memutar bola mata, malas.

"Maaf, Pak. Apa Anda yang mau dikhitan?" tanyanya lagi.

"Iya, Sus. Kenapa? Ada masalah?" tanyaku ketus.

"Tidak apa-apa, Pak. Maaf, silakan masuk!" perintahnya menahan senyum.

Aku duduk di hadapan seorang dokter yang kini kuketahui bernama Rayan. Sementara perawat itu terus saja menahan senyum di ujung ruangan sana.

"Pak Very, umur berapa?" tanya Dokter Rayan.

"Tiga puluh satu tahun, Dok."

"Mualaf, ya?"

"Iya, Dok."

"Iya. Biasanya kalau sudah dewasa baru sunat, maka bisa diambil kesimpulan kalau orangnya mualaf. Terus, kalau sunatnya sudah dewasa seperti ini, biasanya agak alot Pak."

"Apa? Ma ... maksud Dokter, punya saya susah dipotongnya? Jadi gimana, Dok. Motongnya pake gunting atau ...?"

Astaghfirullah, otakku membayangkan gergaji yang membuatku langsung menelan ludah, takut.