webnovel

Damai dengan Mami

Aku masih bisa mendengar Nicole berteriak, meskipun lirih. Suara itu semakin lama semakin mengecil, dan kini tidak terdengar lagi. Aku melayang, lalu tenggelam ke dasar kolam. Aku masih terus membuka mata, meskipun tidak bisa mendengar suara apa pun. Kemudian samar-samar aku melihat seorang pria berenang ke arahku. Setelah dekat aku baru menyadari, kalau itu adalah wajah suamiku, Very Hendrawan. Pria yang baru-baru ini mengusik pikiran, membuatku mengerti arti dari cinta yang sesungguhnya. Tanpa sadar, aku tersenyum melihatnya semakin mendekat. Pria itu menyentuh wajahku, kemudian tampak meminta aku bertahan. Dia bahkan beberapa kali membagi udara dari mulutnya ke mulutku. Kami hampir sampai di dasar kolam. Semakin samar, aku melihat wajahnya yang tampan, kemudian semua menjadi gelap.

"Rey, bangun!"

Samar, suara itu terdengar di telinga.

"Bunda, jangan tinggalin Zeze. Huhuhuhu."

Lagi, terdengar samar-samar.

"Tante, maafkan Nicole."

Kali ini mulai terdengar dengan jelas. Perlahan, aku membuka mata dan terbatuk beberapa kali. Semua orang sudah berkumpul di sini. Suamiku langsung memeluk kepalaku erat. Diciuminya wajahku berkali-kali. Begitu juga Zeze dan Nicole yang langsung menghambur memeluk. Aku dibantu duduk oleh bos koko. Tampak pakaiannya basah semua, karena ikut menceburkan diri ke kolam itu untuk menolongku.

"Pak, makasih," ucapku dengan suara lirih sembari membelai wajahnya. "Apa Bapak baik-baik saja?"

"Kamu itu nggak bisa berenang, Rey! Kenapa masih nekat juga?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Saya nggak mau terjadi sesuatu pada Nicole, Pak. Jika saya berlari ke dalam gedung itu, terlalu lama. Bagaimana dengan nyawa Nicole?"

"Biar bagaimanapun kamu juga harus memikirkan nyawa kamu dong!"

Anak laki-laki itu semakin menangis memeluk papanya. Sedangkan Kak Dhiya menunduk berdiri di antara kerumunan orang, lalu berjalan menjauh. Tiba-tiba Mami mendekat dan mengusap pundakku.

"Untung kamu selamat, Rey. Jika tidak, entah bagaimana Mami bisa menebus dosa-dosa Mami karena sudah salah menilaimu selama ini. Terima kasih sudah menyelamatkan nyawa cucu Mami, ya ..." ucap Mami dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengulurkan tangan dan meraih jemarinya seraya tersenyum.

"Mami nggak salah. Ini cuma salah paham saja. Maaf, selama ini Rey nggak bisa mendekatkan diri dengan keluarga besar Hendrawan, ya Mi. Maaf juga karena Rey bukan seperti menantu yang Mami harapkan."

"Jangan berkata seperti itu lagi, Nak. Mami salah, tidak seharusnya Mami mengukur segala sesuatunya dari materi semata. Kamu adalah menantu Mami. Terima kasih banyak, Menantuku sudah menolong cucu Mami dan Papi, bahkan nyawamu sendiri kamu pertaruhkan."

"Iya, Nak. Kami berhutang nyawa denganmu," sambung Papi yang ternyata sudah duduk di belakang tubuhku sambil memegang pundak ini.

Dia menatap penuh haru. Aku tersenyum melihat semua ini.

"Kalaupun bukan Nicole, saya akan tetap melakukan hal yang sama, Pi. Bukankah tolong-menolong itu sudah menjadi kewajiban bagi sesama umat manusia?"

"Mulianya hatimu, Rey. Sungguh, Mami jadi merasa semakin bersalah. Tolong ... maafkan Mami, ya!"

Kini Mami memeluk, dan aku membalas pelukannya. Ada beban yang selama ini terasa berat serasa terbang ke angkasa. Aku merasa sangat lega dan plong karena akhirnya bisa akur dengan Mami. Ketegangan yang selama ini terjadi alhamdulilah sudah mencair. Aku melerai pelukan dan melempar senyuman.

"Maaf, Rey belum bisa menjadi menantu yang baik dan membanggakan buat Mami," kataku dengan suara serak.

Aku tahu, menantu idaman Mami adalah wanita seperti Kak Dhiya dan aku tidak termasuk dalam kriteria.

Mami tersenyum dan mencium puncak kepala.

"Sudah Mami katakan tadi. Jadi jangan lagi merasa seperti itu, ya! Mulai sekarang, kamu adalah menantu satu-satunya buat Mami. Kita akan adakah resepsi yang megah dan mengundang semua orang. Akan Mami perkenalkan dengan bangga, bahwa kamu adalah menantu kesayangan Mami."

Aku terdiam menahan haru. Suaraku tertahan di tenggorokan.

"Makasih, Mi," ucapku sangat lirih, nyaris tidak terdengar.

Mami mengangguk cepat sambil mengusap bahu ini. Tiba-tiba, aku ingat Nicole. Berkeliling kepala ini mencari keberadaannya. Hanya ada Zeze di sampingku. Aku langsung memeluk dan mencium puncak kepalanya, kemudian memanggil Nicole—yang ternyata sedang bersama papanya—supaya mendekat.

"Nicole, sini. Tante mau bicara," panggilku. Anak itu mendekat dengan wajah tertunduk. "Kamu harus segera berganti pakaian. Nanti sakit, Sayang." Aku mengusap kepalanya.

Semua orang yang melihat kami dengan senyum bahagia.

"Bun ... Bunda," panggilnya yang membuatku terkejut.

"Apa, Sayang? Kamu panggil apa tadi?" tanyaku, ingin dia mengulangnya sekali lagi.

"Bunda. Makasih, ya!"

Dia menghambur memeluk. Aku membalas pelukan dan mencium puncak kepalanya. "Kamu kapan mulai masuk sekolah? Kemarin izin berapa hari?" tanyaku sembari melerai pelukan dan menghapus air matanya.

"Izin satu minggu, Bunda," jawabnya sambil terisak-isak.

"Nanti Bunda antar. Mau?"

Nicole mengangguk cepat.

"Sudah. Anak cowok nggak boleh nangis. Kayak Papa tuh, kuat!"

Aku meninju bahunya pelan. Bibir mungil itu menyunggingkan senyuman. Zeze dan Nicole kembali memelukku secara bersamaan. Alhamdulillah. Aku mendapatkan dua anak sekaligus. Namun, di mana Kak Dhiya? Aku menoleh ke segala arah mencari keberadaannya, tapi tidak ada.

"Pak, ke mana Kak Dhiya?" tanyaku pada Bos Koko.

"Enggak tahu, Rey. Kenapa?"

"Enggak apa-apa, Pak. Saya hanya ingin bertemu dengan dia."

"Mungkin sudah pulang lebih dulu. Ayo, kita pulang. Sudah malam juga, Rey," ajak Bos Koko.

Dia membantuku berdiri, kemudian dengan cepat Mami menuntun tubuhku yang masih sedikit terhuyung, karena pusing. Semua orang menyalamiku dan meminta maaf, karena sempat menertawakanku di dalam gedung tadi. Sampai di mobil, Nicole dan Zeze masuk lebih dulu ke jok bagian tengah. Sedangkan Mami mendudukkanku di depan.

"Hati-hati, ya, Very."

"Iya, Mi," jawab Bos Koko, kemudian menghidupkan mesin mobil.

Semua orang ikut mengantar kepulangan kami.

"Telepon Mami, ya, kalau sudah sampai rumah," perintah Mami. "Rey, sampai rumah kamu langsung ganti bajunya, ya. Biar nggak sakit. Nicole juga."

"Iya, Mi," sahutku.

"Iya, Oma!" teriak anak itu dari belakang.

"Oke, Mi. Ya sudah, kami berangkat dulu, ya," jawab Bos Koko singkat.

Selanjutnya, mobil berjalan pelan menuju ke rumah.

***

Sampai di rumah seperti biasa, Nicole dan Zeze sudah terlelap. Bos Koko menggendong Nicole, sedangkan aku menggendong Zeze. Sampai di kamar mereka, aku mengompres tubuh Nicole dengan air hangat, kemudian mengganti pakaiannya. Bersyukur dia masih terlelap. Setelah selesai, aku langsung menuju kamar atas beriringan dengan Bos Koko.

"Rey, mandilah lebih dulu. Nanti kamu masuk angin, karena baju kamu basah."

"Bukankah pakaian Bapak juga basah semua?"

"Ya sudah, kita mandi sama-sama saja." Bos Koko tertawa.

"Ih! Bapak apa-apaan, sih? Ya sudah, saya duluan saja, Pak!"

Aku langsung berlari ke kamar mandi. Selesai mandi dan berganti pakaian, aku menunggu bos koko untuk melaksanakan salat Isya bersama. Dia keluar kamar mengenakan celana pendek berwarna cream dan kaus oblong berwarna putih.

"Sudah siap?" tanyanya.

"Bapak lihat sendiri. Saya sudah siap pakai mukena begini." Aku melirik sinis ke arahnya.

"Tanya doang, Rey. Enggak usah marah," ucapnya sambil tersenyum, lalu buru-buru memakai sarung dan peci.

Setelah itu, membentang sajadah di depanku.

Aku mencium punggung tangannya selesai salat, kemudian permisi keluar kamar untuk ke perpustakaan.

"Jangan lama-lama. Kamu tuh capek, harus istirahat," pintanya.

"Iya, Pak," jawabku singkat.

Aku sedikit melongok, ketika melewati kamar Kak Dhiya. Tidak ada orang, lalu langsung menuju perpustakaan. Aku membuka pintu. Terlihat mantan istri suamiku itu sudah ada di sana. Dia berdiri mematung di dekat salah satu rak.

Dengan hati-hati, aku menutup pintu.

"Kak," sapaku.

"Aku memang menunggu kamu di sini," sahutnya.

"Menunggu? Apa ada yang ingin Kakak bicarakan?"