webnovel

Jujur

"Bunda ke mana saja?" tanya Zeze sembari duduk di samping ibu sambungnya.

"Hai, Sayang. Bunda dari suatu tempat," jawabnya menyunggingkan senyum.

Putri kecilku mendekatkan bibir mungilnya pada telinga Rey, kemudian membisikkan sesuatu "Bunda cantik deh," ucapnya yang masih bisa kudengar.

Wanita berparas ayu itu tertawa, kemudian mencium pipi Zeze gemas. Acarapun dimulai. Aku beberapa kali memanggil Nicole supaya mendekat, tapi anak itu selalu menolak. Tidak berapa lama, papi dipanggil untuk maju ke depan, lalu beliau menyampaikan kata sambutannya. Saat semua fokus semua orang tertuju padanya, di tengah-tengah sambutannya, Papi menyelipkan namaku sambil menatap diriku penuh haru.

"Untuk anakku, Very. Terima kasih sudah mau hadir. Papi harap, kamu bisa meneruskan perusahaan ini menjadi lebih baik lagi. Jujur, besar harapan papi agar kamu kembali ke perusahaan kita. Karena, siapa lagi yang akan meneruskan jalannya perusahaan selain kamu, Nak."

Aku diam saja. Bingung harus bersikap bagaimana. Di satu sisi aku kasihan pada papi, tapi di sisi lain aku sudah terlanjur nyaman dengan pekerjaanku yang sekarang. Meskipun bukan sebagai direkturnya, tapi aku enjoy menjalani semunya. Papi selesai menyampaikan sambutan. Kini, acara berlanjut dengan hiburan. Ternyata ada artis ibu kota yang tambil. Ya, artis laki-laki yang suaranya sangat tinggi itu nampak semringah berdiri di depan mimbar. Judika bernyanyi dengan apik. Lagu yang berjudul Sampai Kau Jadi Milikku dinyanyikan olehnya. Aku terus memandang Rey yang kini sibuk bercanda dengan Zeze. Lagu yang dinyanyikan oleh Judika itu, kini sedang kulalui. Bagiku, hati Rey telah menjadi milikku, meskipun raganya belum.

"Ze ... sini, sama Mama," kata Dhiya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. "Very, kamu dipanggil papa sama mamaku," sambungnya.

Aku menoleh ke arah Mami. Dia sedang berbincang dengan kedua mantan mertuaku. Aku tahu, ini akan terjadi, tapi aku harus jujur pada mereka. Namun di sisi lain, bagaimana dengan perusahaan Papi?

"Kamu nggak apa-apa di sini sendirian? Saya ke sana sebentar, ya," pamitku pada Rey, sedangkan Dhiya sudah berjalan menjauh bersama Zeze. Mereka menuju ke meja mertua dan orang tuaku yang sedang bercengkerama.

"Iya, Pak. Silakan saja," sahutnya.

Aku beranjak dan berjalan mendekati mereka. Dulu, kami juga duduk di meja bulat seperti itu untuk makan malam. Tepatnya, saat pertama kali keluarga mengutarakan niat untuk menikahkanku dan Dhiya. Apakah kali ini akan ada musyawarah kedua untuk membahas hal yang sama? Sayangnya, sekarang semua berbeda. Hatiku sudah digenggam erat oleh Reynata, dan tidak akan bisa lari ke mana-mana. Dia sudah membuatku nyaman dan bahagia. Aku tidak butuh yang lainnya!

"Hai, Ver! Kamu apa kabar?" tanya mantan mama mertua yang bernama Bu Tety.

Dia menempelkan pipi kiri dan kanannya di wajahku, setelah aku berdiri di hadapan mereka.

"Baik, Ma," jawabku sembari mendudukkan bokong di kursi yang posisinya ada di samping Papi.

"Bagaimana pekerjaan kamu, lancar?" tanya Pak Suryo.

Laki-laki paruh baya ini terlihat gagah memakai setelan jas berwarna hitam.

"Lancar, Pa," jawabku singkat sambil menyungging senyum.

Aku menoleh sekilas ke arah Rey, kasihan sekali dia sendirian.

"Itu siapa, Ver?" tanya Bu Tety sembari menoleh ke arah Rey.

Barangkali ia penasaran karena sejak tadi aku bersamanya, dan kali ini melihatku berulang kali memperhatikannya.

"Itu ...."

"Ah, dia cuma teman, kok," sanggah Mami memotong kalimatku.

"Oh. Dia cantik, loh," sambung Bu Tety sekali lagi.

"Bagaimana, Ver? Kamu bersedia mengambil alih perusahaan? Papi sudah tua. Waktunya istirahat."

Papi mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Papi kamu benar, Ver. Kamu harus mengurus perusahaan papi kamu, lalu kembalilah menjadi keluarga kami," lanjut Pak Suryo. "Saya tahu, anak saya pernah berbuat kesalahan, tapi dia sudah berubah dan saya jamin, dia sudah belajar banyak hal setelah perpisahan kalian. Tolong, kembalilah menjadi menantu kami, karena Dhiya masih sangat menyayangimu."

Aku melihat ke arah mantan istriku. Dia tersenyum penuh kemenangan. Berpura-pura mengajak Zeze dan Nicole bermain bersama. Dia pikir, aku akan mengiyakan, lalu menerima? Jangan harap! Aku tersenyum kecut, kemudian menoleh ke arah Rey. Kebetulan dia pun sedang menoleh ke arahku. Bibirnya tersenyum dengan tatapan sayu.

Kumohon, teruslah tersenyum seperti itu Rey. Senyummu adalah kekuatan dan keberanian supaya aku bisa jujur soal kita pada mereka semua.

Selanjutnya, aku menoleh ke arah Papi. Perusahaannya menjadi taruhan saat ini, jika aku menolak pernikahan ini. Aku diam sembari menarik napas dalam. Apa yang harus kulakukan? Setelah berpikir dengan matang, akhirnya aku beranikan diri untuk berkata.

Bismillahirrohmanirohim.

"Papa, sebelumnya ... terima kasih banyak untuk tawarannya. Hubunganku dan mamanya anak-anak hanyalah masa lalu. Dia tetapla ibu bagi kedua anakku, tetap bisa menjadi anak untuk mami dan papiku, juga sebagai adik untukku pribadi. Hanya saja, jika harus kembali menjalin ikatan pernikahan seperti dulu, dengan sangat menyesal saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya ... tidak bisa." Wajah Pak Suryo yang tadinya semringah berubah seketika. Aku menoleh ke arah Rey, lalu kembali berkata. "Pa ... gadis yang duduk di sana itu, adalah istri saya. Kami sudah bahagia dan saya sangat mencintainya."

Semua terdiam mendengar kalimatku barusan. Mata Mami menatap dengan tatapan marah. Sementara mantan ibu mertua mengerutkan keningnya.

"Loh, bukannya tadi kata Jeng cuma teman, ya?" sambung Bu Tety melihat ke arah Mami.

Mendengar pertanyaan Bu Tety wajah mami langsung berubah pucat.

"Maafkan Mami saya, Ma. Dia sangat ingin saya rujuk dengan anak Mama. Karena itu, beliau bersikap demikian. Jika Mama dan Papa mau marah, silakan marah pada saya. Jangan pada kedua orang tua saya, karena saya yang seharusnya bertanggung jawab penuh dengan apa yang saya ucapkan. Saya akan terima konsekuensinya," ucapku menundukkan kepala.

Papi menepuk pundakku beberapa kali. "Kamu hebat, Nak. Berani berterus terang. Papi bangga!" kata Papi seraya mengangguk beberapa kali.

"Maafkan Very, Pi."

Aku mengambil punggung tangannya, kemudian menciumnya dengan takzim.

"Pria memang harus seperti itu, harus jujur. Saya salut sama kamu, Very," ucap Pak Suryo ikut menepuk pundakku.

Reflek aku mendongak untuk menatapnya, karena tidak menyangka dengan sikap yang ia tunjukkan.

Aku pikir dia akan marah dan mencabut semua saham miliknya dari perusahaan Papi.

"Apakah Papa tidak marah?" tanyaku bingung.

"Buat apa? Sikapmu benar seperti ini. Jika kau menerima usulan Papa untuk kembali menikah dengan Dhiya, bukan hanya kau dan istrimu yang tersakiti, tapi anak Papa juga, si Dhiya," sahutnya.

Betapa lega hatiku mendengar ucapan mantan papa mertuaku ini. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur pernah kenal dengan Dhiya. Karena dialah, aku mengenal orang-orang yang baik dan bijak seperti mereka. Mami dan Dhiya hanya diam. Wajah mereka tampak memerah. ku tahu mereka berdua pasti tidak terima dengan ini semua. Apalagi Dhiya. Pak Suryo yang papanya sendiri mengatakan hal seperti itu.

"Terimakasih, Pa. Very benar-benar tidak menyangka kalau Papa ternyata manusia yang benar-benar baik dan bijaksana."