webnovel

Ke Pesta

Mama menelepon dan memintaku menjemput Dhiya dan anak-anak. Akhirnya Aku mengantar anak-anak dan Dhiya lebih dulu ke gedung di mana Papi mengadakan pesta. Mantan istriku itu sempat bertanya, mengapa aku tidak masuk ke gedung bersama mereka. Kukatakan saja kalau aku harus bertemu rekan kerja untuk menunda pertemuan. Meskipun dia terlihat tidak percaya, tapi Dhiya hanya diam dan langsung mengajak anak-anak masuk ke dalam sana. Setelah itu, aku langsung kembali ke mobil. Sekarang, saatnya menjemput Rey. Aku yakin, gadis itu pasti sudah bersiap menungguku di sana. Ia tidak tahu kalau aku akan membawanya ke acara keluarga.

Setelah tiga puluh menit, aku telah sampai. Aku langsung masuk dan menunggu di lantai bawah. Sambil menunggu aku main game di ponsel supaya tidak bosan. Kemudian terlihat Kak Mela menuruni beberapa anak tangga, lalu berdiri di sana menatap ke arahku. Segera kumasukkan ponsel ke saku baju, lalu melempar senyum.

"Hey, udah datang rupanya. Tunggu sebentar, ya. Kakak jemput dulu istrimu yang sudah menunggu di atas."

"Oke, Kak.

Sudah lima belas menit aku menunggu, tapi Mengapa Kak Mela begitu lama menjemputnya? Apa dia baik-baik saja? Tidak sabar rasanya melihat Rey. Kira-kira bagaimana rupanya setelah dipermak seharian di sini? Apa nanti wajahnya jadi lucu, atau ....

"Very!! Lihat nih, Cinderellamu sudah siap!" kata Kak Mela sedikit berteriak dari atas sana.

Wanita berkulit putih itu menuntun tangan Rey menuruni anak tangga. Awalnya aku tersenyum pada Kak Mela, kemudian tertegun saat menatap gadis yang sangat cantik di sampingnya. Waw! Rey terlihat sangat menawan. Dia memang jelmaan putri dari kayangan. Mulutku bahkan sedikit terbuka, saking terpananya. Aku berdecak kagum beberapa kali. Rasa ingin memilikinya secara utuh semakin menggebu di dalam sini.

"Aduh!" ucapnya hampir terjatuh.

Aku langsung berlari menaiki anak tangga, kemudian mengambil tangannya yang digenggam oleh Kak Mela. Kakak angkatku itu tersenyum dan turun lebih dulu.

"Hati-hati, Rey," ucapku lembut seraya sedikit membungkuk, karena mengecup jemari tangannya yang terasa lebih halus.

Dia hanya menunduk, menyembunyikan wajahnya dariku. Kekagumanku pada sosok Rey semakin besar saja. Aku membantunya menuruni anak tangga, kemudian menuntun jemarinya agar memeluk dan memegang lenganku.

"Kak, terima kasih sebelumnya. Kami berangkat dulu, ya?" pamitku sambil menempelkan pipi kanan dan kiri pada Kak Mela.

"Sama-sama, Very. Hati-hati di jalan, ya. Gemas deh, lihat istrinya. Cantik banget."

Kak Mela menyentuh ujung dagu istri kontrakku dengan gemas. Selanjutnya, kami melangkah keluar bersamaan.

Sampai di luar, aku menggelengkan kepala seraya tertawa kecil, sungguh tak menyangka jika dia bisa secantik ini, kemudian menoleh ke arah bidadari yang kini ada di sisiku.

"Kita berangkat, ya, Sayang," ucapku yang membuat wajahnya bersemu. "Kamu cantik!" sambungku, tapi kali ini dengan satu kecupan di pipinya.

Rey hanya tersenyum tipis. Dia masih terus menundukkan kepala, dan beberapa kali tampak membetulkan rambut. Sepertinya, sikapku membuatnya menjadi grogi dan salah tingkah.

***

Di perjalanan, kami hanya diam. Aku menoleh beberapa kali ke arahnya, lalu melempar senyum dengan kekaguman yang luar biasa. Rey hanya membalas dengan senyum tipis. Tiba-tiba, aku melihat ritsleting bagian punggungnya turun, hingga membuatnya merasa tidak nyaman. Hanya saja, aku merasa Rey tidak menyadarinya. Aku menghentikan mobil di pinggir jalan, di dekat sebuah taman kota, lalu mencoba memberi tahunya.

"Rey."

"Iya, Pak?"

"Ritsleting di punggung kamu terbuka."

"Hah? Iyakah?"

Tangannya mencoba menggapai ritsleting itu, tapi tidak kunjung berhasil. Aku tetap diam, meskipun sangat ingin membantu, hanya saja aku sedang menunggu kata-kata darinya, jika ia membutuhkan pertolongan. Karena tak kunjung berhasil, pada akhirnya, dia duduk membelakangiku. Sambil sedikit menoleh ia berkata.

"Pak, tolong bantu saya untuk menaikkan resletingnya."

Aku mendekat, memandang punggung mulus yang belum pernah kulihat sebelumnya ini cukup lama, hingga wanita itu kembali berkata sambil berbalik dan duduk menghadap ke arahku.

"Apakah saya merepotkan Bapak?" tanyanya dan aku hanya diam sambil menatapnya.

Perlahan aku lebih mendekat, lalu melingkarkan kedua tangan di tubuhnya, seperti memeluk. Sementara kedua tangan menaikkan risleting baju di punggung bagian belakang, mataku terus menatap wajah ayu itu. Bahkan, wajah kami kini tidak berjarak. Aku telah selesai membantunya, tapi wajah ini enggan menjauh. Hingga Rey tersenyum tipis dan memejamkan mata. Apakah ini pertanda, dia bisa menerimaku sekarang? Ingin aku menciumnya, tapi tentu akan merusak kecantikannya. Akhirnya aku hanya memeluknya, menghirup aroma wangi tubuhnya, dan beberapa kali mengecup bagian punggungnya yang terbuka.

"Rey, saya mencintai kamu," bisikku lirih di telinganya.

Wanita itu melerai pelukan, kemudian tersenyum dan berkata, "Entah apa ini namanya, Pak. Yang saya tahu, saya merasa nyaman berada di dekat Bapak."

Kini dia balas memelukku, bahkan lebih erat dari pelukanku. Apakah kami sama-sama jatuh cinta? Setelah cukup lama, kami melerai pelukan, lalu entah mengapa aku merasa jadi agak canggung, begitu pun dia.

"Ehh, ngomong-ngomong kita mau ke mana, Pak? Dan di mana anak-anak?"

"Kamu akan tahu nanti, Rey," jawabku singkat, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan, suasana jadi berbeda. Rey hanya diam. Wajahnya selalu menghadap ke depan, sedangkan aku terus saja mencuri pandang. Kuberanikan diri mengulurkan tangan dan menggenggam jemarinya. Wanita itu masih saja diam. Hanya menoleh, untuk melemparkan senyuman manisnya.

***

Aku masih terus menggenggam tangan Rey, bahkan setelah kami sampai dan kini sudah berdiri di depan gedung. Suasana cukup ramai. Aku merasakan tangan wanita ini gemetar dan berkeringat.

"Pak, saya demam panggung," bisiknya.

"Kita nggak sedang di panggung. Santai saja, Rey. Cukup tunjukkan senyum manismu," perintahku.

Kemudian aku meminta ia melingkarkan tangannya di lenganku, lalu perlahan kami melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Rey terlihat kurang nyaman dengan situasi ini. Aku paham, dia hanya belum terbiasa.

"Pak, mengapa kita menjadi pusat perhatian seperti ini?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.

"Tenang, Rey. Mereka hanya peliput berita."

Aku berusaha menenangkan. Ada beberapa paparazi yang mengambil foto kami. Aku tersenyum dan memegang telapak tangannya yang melingkari lengan, sesekali melambaikan tangan dengan senyum semringah. Sementara Rey, wanita ini terus saja menunduk malu. Dia menyembunyikan wajahnya yang ayu.

"Hey, sudah dandan cantik-cantik kok nunduk terus? Perlihatkan wajah cantik kamu ke orang-orang, Rey."

"Saya ... saya malu, Pak."

"Malu karena berdampingan dengan saya?"

"Bukan, tapi malu karena di menjadi perhatian banyak orang."

Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Sampai di dalam, aku memilih meja di bagian tengah. Semua mata masih mengawasi kami. Zeze yang duduk bersama Mama dan omanya mendekat, kemudian memeluk Rey serta mencium pipinya. Aku melihat tatapan kebencian dari mata Mami, apalagi mantan istri. Kuharap wanita yang kucintai ini akan baik-baik saja bersamaku di sini.